She's Not Her

“Mamah kenapa, Pi?” tanya Aidan pada saya yang terduduk lemas saat baru sampai di depan ruang ICU. Otak saya terhenti. Tak ada ruang bagi saya untuk berpikir jernih. Ini sama saja mengulang kejadian yang paling membuat saya trauma dan benci pada kematian.

Saya melangkah gontai menuju pintu ruang ICU, Aidan di sebelah saya menggenggam erat tangan saya, seakan paham jika saya sedang hancur-hancurnya.

“Papi, Mamah sakit apa?” Saya cuma bisa menatap Aidan pedih. Rasanya kejadian ini sama seperti mengulang peristiwa yang dialami Kirana beberapa tahun lalu. Persis. Pedih dan sesaknya berkecamuk dalam dada.

“Dan.” Saya merengkuh Aidan agar setidaknya saya memperoleh kekuatan apabila kemungkinan buruk harus terjadi lagi.

“Mamah kayak Mami, Pi?” tanya Aidan. “...Maksud Idan, Mamah gak bakalan kayak Mami kan, Pi?” Suara Aidan mulai melemah dan bergetar. Dia ikut menangis saat saya meluruhkan air mata. “MAMAAAAAAAAAAAH!” Tangisnya tiba-tiba menggaung di depan ruangan.

“Dan, ssst. Enggak, Mamah sembuh kok. Mamah sama kita. Cup, cup. Jangan nangis.”

“MAMAAAAAAAAH! HUAAAAAAA!” Peluk saya mengerat ketika tangis Aidan pecah. Anak itu menenggelamkan kepalanya pada dada saya. Tangisnya mereda, namun tidak dengan sedihnya. Ia terus meracau di sebelah saya, memohon agar Mentari tidak meninggalkan kami.

“Dengan Bapak Jordy?” Dari dalam ruangan, seorang perawat membuka pintu.

“Iya saya!” jawab saya spontan. “Silakan masuk, Pak. Ibu Mentari sudah berhasil melewati masa kritis.”

Tak ada kata-kata lagi yang terucap dari mulut saya, sebab fokus saya tertuju pada kondisi Mentari. Sambil menggendong Aidan, saya langsung menyambangi kamarnya.

“Ri–”

Ia menepis keras tangan saya yang berusaha menggenggamnya, lalu dengan lirikan yang bergerak lambat, Mentari menatap saya dan berkata, “Pergi.”

Tatapan itu... persis dengan tatapan Kirana ketika ia memandang orang-orang yang meremehkannya. Ucapannya yang singkat adalah khas Kirana apabila ia tidak menyukai sesuatu.

Kepala saya semakin pening, bersikeras menolak apa yang dijelaskan Bulik Ratih. Namun tampaknya omongan Beliau tidak main-main.

“Mamaaaah,” Aidan menghamburkan peluknya pada Mentari. Namun tanpa disangka, Mentari justru bersikap dingin. Ia sama sekali tak memeluk Aidan yang meratap di sebelahnya.

“Pergi.” “Mamah, ini Idan, Mah!” Mentari hanya diam dan menatap Aidan datar. “Mah, kok tangan Mamah dingin?”

Seketika itu saya lihat Mentari menutup wajahnya, sekaligus tersadar bahwa mungkin dia bukanlah Mentari.