Stay Away

Memasuki apart yang dulu selalu mengguncang isi kepala, membuatku sedikit merasakan getaran yang berbeda. Canggung, takut, dan khawatir bila Aidan akan terkejut saat aku yang menjaganya, muncul dalam kepala dengan segera.

Aku meyakinkan diri untuk melangkah masuk. Jordy telah membekaliku dengan access card serta password untuk membuka pintunya.

Dua puluh lima Januari.

Pikirku pun segera membuka satu ingatan tentang tanggal bersejarah itu. Tanggal itu tak sengaja tertera di balik foto pernikahan Jordy dengan mendiang istrinya, Kirana.

Lagi-lagi aku terpekur hanya karena foto usang itu.

“Tante?” Aidan melongokkan kepala dari balik pintu. Sesuai dugaanku, ia nampak terkejut melihatku berdiri mematung di depan rumahnya.

“Tante!!!!” Ia tiba-tiba melonjak kegirangan, mendorong pintunya selebar mungkin lalu berlari memelukku. Eh? Kok dia senang?

“H-hai,” sapaku canggung. Tanganku sebenarnya telah terulur hendak mengelus surai hitamnya. Namun entah mengapa percakapanku dengan Jordy menghentikan segalanya. Alhasil tanganku, kukembalikan ke posisi semula.

“Dan,” panggilku.

“Iya? Tante kesini mau bacain cerita lagi kayak waktu itu? Tante udah sembuh dan gak sakit lagi?” Aidan memberondongku dengan sejumlah pertanyaan yang aku tak bisa kujawab.

“Iya, alhamdulillah, Tante udah sembuh,” kataku menebar senyum. “Asyik! Kalo gitu, ayo Tante, aku mau dibacain buku cerita baru!” Anak kecil itu menarik lenganku dengan sangat antusias. Nampaknya Aidan menerima kehadiranku dengan mudah.

“Tante, Papi pulang nggak?” tanya Aidan disela-sela ia mengerjakan PR sekolahnya. Aku kontan membisu, sebab tidak ada pemberitahuan jelas dari Jordy.

“Tante nggak tau, Dan,” jawabku jujur. Aidan mengerutkan dahi serta bibir bawahnya. “Papi pasti nggak pulang.” Kemudian ia merajuk.

Tersisalah aku yang sibuk menahan tawa melihat tingkah manjanya. Aku bisa memaklumkan pertanyaan spontan Aidan itu, sebab waktu kecil posisiku sama dengannya. Papa selalu sibuk di kantor, sedangkan aku dan Dhea ditinggal berdua di rumah. Kalau Medusa...ya, dia ada di rumah juga, sih. Tapi perempuan itu sering menghabiskan uang belanja dari Papa untuk hal yang tidak penting, sampai aku dan Dhea sedang kesulitan, barulah Medusa kelabakan sendiri dan menuduh kami berdua pemutus rejeki Papa.

Melihat raut sedih terpancar di wajah Aidan, akupun lekas mendekatinya. “Dan—”

“Tan, Papi nggak sayang sama Idan ya?” ceplos Aidan murung.

“Papi gak mungkin gak sayang sama Idan. Dia cuma sibuk aja, Dan. Kerja buat Idan sekolah, terus bisa makan enak.” Anak itu mengangguk paham, lalu senyumpun mengembang perlahan di bibirnya.

“Eh iya.” Aku mencoba mengalihkan perhatiannya. “Idan, entar lagi ulang tahun, kan? Katanya request warna pink ya?”

Jawaban yang kudapati dari Aidan benar-benar menghancurkanku detik itu juga.

“Nggak, Tan. Kata siapa?” Aku tercekat. Lagi-lagi aku terhantam batu besar dalam sekali pukul.

“Ng... nggak kata siapa-siapa,” bohongku. “Tante cuma nebak doang. Mamimu suka warna pink?”

“Iya, Tan. Kata Papi, Mami suka banget warna pink.” Aku mengangguk pelan, berusaha menahan bulir kristal yang tertumpuk di mataku.

“Oh gitu...” Suaraku parau. “Hmm, tadi Papi kamu ngasih tau, katanya ulang tahun nanti, temanya warna pink. Tante...nggak tau mau kasih apa buat Idan. Tapi tadi Tante nemu kemeja pink, siapa tau kepake buat ntar ulang tahun Idan,” jelasku dengan helaan nafas frustasi. “Idan...mau coba? Kalau enggak, juga gak apa-apa.”

“Mau, Tan! Mau cobaaaa. Idan bosen, Papi kalau beliin baju buat Idan kalo gak putih, item. Idan bosen pokoknya, nggak suka.”

Aku lantas tertawa. Kupikir semua anak-anak itu selalu berisik dan menyebalkan. Tapi sepertinya dugaan itu hanya ada dalam kepalaku. Buktinya, Aidan, anak yang selalu dicap pembangkang oleh Jordy malah bersikap sebaliknya.

“Tanteeee!” Idan keluar dari kamarnya sembari berlari kecil ke arahku.

“Lucu! Pas apa kesempitan, Dan?” tanyaku merapikan sebagian kancingnya yang terbuka.

“Enggak, ini pas kok, Tan,” katanya ikut mematut di depan kaca. Akupun turut menghadap kaca, namun entah mengapa seluruh jariku mendadak dingin dan kaku. Digerakkan pun rasanya sangat sakit, terlebih saat aku hendak mengusap pundak Aidan, sakit di tanganku makin menjadi-jadi.

“Tante, tangannya kenapa?”

“Nggak apa-apa, Dan. Rapihin sendiri ya?”

Jangan sentuh Aidan. Kamu boleh mengambil suamiku, tapi tidak dengan anakku.

Suara itu benar-benar membuat semua bulu lenganku tegak seketika. Kutatap sekeliling rumah Jordy, memastikan bisikan barusan kudengar hanyalah sebuah ilusi.

Mungkin, aku hanya terlalu lelah dan banyak pikiran. Tapi angin dingin yang tiba-tiba membelai tengkukku, membungkam bibir ini untuk bicara.

“Hhhhhhhhhhaaaahhhh...” Desahan nafas di sebelah kirik membuatku sesak nafas. Aku lantas mencoba membaca ayat kursi, atau ayat suci apapun yang kuhafal mati. Tapi semua sia-sia. Suara itu justru mengikuti omonganku.