Still About Her

Still About Her

Helaan nafasku kali ini terdengar berat daripada biasanya. Aku sadar jika aku tak semestinya melirik dua huruf konsonan yang tertera di bawah.

Namun kuasaku atas rasa perih ini bagai dibuat tak berdaya. Selalu aku membiarkan rasa sakit itu menguar. Tangis pun tak terhindarkan ketika aku sedang membereskan tumpukan kartu ulang tahun Aidan, serta kemeja pink yang Jordy minta untuk dipakai di acara nanti.

Kira-kira sampai berapa lama aku sanggup mempertahankan rasa ini padanya? Kepalaku hampir pecah, dadaku membuncah setiap kali harus menatap kartu ucapan ini. Kalau boleh memilih, aku tak ingin membagikannya pada teman sekolah Aidan. Namun Jordy telah mengingatkanku untuk memasukannya ke tas sekolah Idan.

“Tante, mau liat dong kartu undangan ulang tahun Idan.” Anak itu menyambangiku setelah memakai seragam serapih mungkin. Saat ia hampir sampai di dekatku, aku buru-buru air mata yang tersisa. Aku tak mau Aidan mengetahuinya.

“Ini, Dan. Tante masukin di tas kamu ya?” izinku sembari membuka resleting tasnya.

“Tante.”

“Hmm?”

“Kok tisunya banyak amat di tong sampah? Tante abis nangis, ya?” tebak Aidan tepat sasaran.

Tanganku kontan berhenti memasukkan beberapa kartu undangan itu. “Nggak, Dan. Tante lagi kurang enak badan aja, kayaknya mau flu.”

“Titip Papi beliin obat aja, Tante. Nanti Tante gak dateng di ulang taunku lagi,” bibirnya mengerucut. Memang itu yang ingin kulakukan. Kuharap aku bisa menjauh sejenak dari Jordy demi memantaskan diri menjadi pendampingnya.

“Nggak apa-apa, Dan. Tante bawa obat kok dari rumah. Dah sana, berangkat. Udah ditungguin sama Pak Devon tuh di depan.” Aku sengaja membalik tubuh Aidan agar tidak melihatku yang nyaris menitihkan air mata.

“Tante, ada yang kurang,” ujarnya kembali menghadapku.

“Ada yang ketinggalan, Dan? Apa? Tadi Tante cek bekal sama botol minum Idan udah dalem ta–”

“Ini, Tan...” Anak itu meraih punggung tanganku, menyalamiku tanpa aba-aba. Aku lantas tersenyum, membiarkan rasa hangat nan haru melingkupi benakku. Benar apa yang kuduga, Aidan tidak seburuk yang Jordy ceritakan padaku. Yang suka melawan lah, tidak penurut. Aku yakin, Aidan begitu karena ada alasannya.

“Assalamualaikum, Dan. Yang pinter di sekolah ya, anak soleh.”

Lagi-lagi Aidan menghadap belakang, mengacungkan jempolnya sambil dipegang oleh Devon, supir pribadi Jordy.