Sudah Jatuh Terjedut Pula

“Jangan diketawaiiiin!” Mentari menutupi wajahnya dengan siku begitu dia keluar dari toilet lansia.

“Iya, enggak,” jawab Jordy mengalah. Padahal sebenarnya lelaki itu cukup effort untuk menahan tawa jahilnya. Wajah Mentari menjadi semakin lucu ketika pipinya merah.

“Udah, ayo, balik ke kantor,” ujar Mentari seraya bersembunyi di balik tubuh tegap Jordy.

“Nggak mau makan dulu? Abis nangis biasanya butuh tenaga,” ledek Jordy dengan tampang datar.

Yang diledek langsung melirik dengan tatapan tajam. “Aku mau makan di pantry kantor aja. Kamu kan ada meeting, aku baru inget di buku tamu. Nanti telat. Yuk.”

Mentari memburu-buru, dia berlari kecil menuju lapangan parkir yang kebetulan dekat dengan toilet, lalu dengan sendirinya mendekat ke mobil tanpa menunggu Jordy.

Akibatnya dia yang tak mengetahui jika pintunya masih terkunci, tak sengaja membenturkan kepalanya ke kaca jendela.

“Aduh!” “Astaga, Mentari...” Jordy berdecak pelan. Fokusnya pada barang-barang belanja pun buyar dan tersita pada sang puan.

“Duh, benjol nggak ya? Malu banget kalo benjol!” Mentari meracau sendiri sambil mengelus dahinya.

“Mana coba sini liat?” Jordy ikutan mengusap dahi Mentari pelan. “Merah sih, tapi nggak sampe benjol.”

“Duh, ya udah deh, ayo buruan masuk,” ajak Mentari cepat karena dia ingin menyembunyikan rasa malunya usai tak sengaja terbentur.

“Itu barangnya, mau kamu tinggal aja di sini?” Tatapan Jordy mengarah pada bagian bagasi.

“Oh... iya,” jawab Mentari. Bahunya merosot lantaran harus menunggu Jordy menyelesaikan penataan barang di mobil. Dia tampak gelisah, sebab malu itu terus mengintai dirinya.

“Aku masuk duluan boleh nggak?” “Ya, masuk aja. Pintunya barusan saya buka. Pelan aja jalannya, kalo kejedot lagi saya gak tanggung jawab.”

“Hhhhhhh!” sergah Mentari yang diiringi dengan seringai tawa Jordy di belakang.

Jordy melirik Mentari yang tahu-tahu ia temukan sudah menyelimuti dirinya sendiri dengan jaket berwarna abu miliknya. Tanpa ada kata permisi, Mentari langsung menutupi wajahnya dengan jaket yang biasa Jordy bawa ketika harus syuting di tempat dingin.

“Mentari, kamu ngapain sih nutupin muka begitu?” tanyanya.

Dengan suara yang tak terlalu jelas, Jordy berusaha memahami ucapan Mentari. “Aku maluuuuu! Mata aku bengkak gara-gara dompet kamuuuuu!”

“Cuma karena foto itu doang?”

Mentari menganggukkan kepala. “Terus ngapain segala pake nangis? Udah kayak Idan aja, cengeng.”

“Biarin, aku maluuu!” “Malu apa terharu?”

Mentari enggan menjawab. Makin Mentari diam, semakin semangat pula lelaki itu iseng padanya.

“Terharu apa malu?” Mentari masih tetap merapatkan bibirnya. “APA BEDANYA! Mas, kamu sengaja ya dari tadi? Soalnya mobilnya kok gak gerak.”

“Enggak, kok,” jawab Jordy bohong. “Jalan ini, cuma macet aja. Liat aja sendiri.”

Mentari termakan tipuan rayu Jordy. Lelaki itu memang sengaja menunggu Mentari membuka jaket yang menutupi wajah dan kepalanya.

“MAS JORDY! Kamu kenapa sih dari kemareeeeen!” jerit perempuan itu sambil langsung menutup dahinya dengan tangan.

“Nggak benjol, Mentari. You'll be fine.” Jordy berujar sebelum dia benar-benar melajukan mobilnya.

Siang itu menjadi perjalanan paling seru bagi Jordy.

Sepanjang hidupnya, dia belum pernah bertemu dengan perempuan seperti Mentari—yang pemalunya bahkan lebih daripada tanaman putri malu yang sering Jordy temui di dekat rumahnya yang terdahulu.