Sunflower Bloomed

“Papa, bangun, Pa...Riri mau dijual sama perempuan itu. Riri takut, Pa.”

Sedikit saja perempuan bernama Mentari itu diganggu, entah mengapa Jordy merasa resah, terbayang oleh ucapan Renjana beberapa waktu lalu tentang latar belakang perempuan itu. Ayahnya telah tiada, dan ia besar tanpa kasih sayang seorang ibu. Nyaris dijual oleh ibu tirinya. Kalau saja kisah ini adalah kisah FTV, Jordy yakin ratingnya pasti menembus cakrawala, namun naasnya cerita kelam ini adalah kisah nyata yang tak pernah Jordy sangka, membuatnya mengambil sebuah keputusan besar yang mungkin akan dicerca banyak orang.

Pukul dua dini hari, Jordy memarkirkan mobilnya di depan sebuah pos satpam terbengkalai. Setelah memastikan mobilnya terparkir sempurna, ia lantas berjalan kaki menyambangi sebuah kos-kosan putri. Meski di pagar tertulis larangan masuk bagi kaum lelaki, namun Jordy bersikeras menantinya.

Jari lelaki itu dengan lincah menari di atas layar ponsel. Saat nama Mentari tertera, ia segera menekan tombol 'telepon.'

“Keluar, saya di depan pagar kosanmu,” titahnya tanpa basa-basi.

Yang diajaknya bicara malah bergeming. “Pak, ini jam dua malem loh, Pak,” keluhnya.

“Tadi kamu nelepon saya dua belas kali.”

“Hah?” Ia melenguh. Desahan nafasnya terdengar pelan di telepon. “Mana sih, Pak? Yang bener aja–”

“Shit! Iya lagi!” Terdengar pekik penuh penyesalan dari seberang. Dan tak lama setelah itu, ia mulai mendengar langkah kaki tergesa serta bantingan pintu yang cukup kuat.

. . . .

Empat menit berselang, Mentari muncul dengan pakaian tidur bergambar beruang.

Rambutnya acak-acakan, poninya terbelah tengah, matanya sembab nan sayu. Bisa Jordy tebak, perempuan ini pasti habis menangis hebat.

“P-pak! Aduh, maaf banget, Pak. Saya suka ngigo kalo kecapekan. Gak sadar tadi nelepon Bapak secara brutal. Pulang aja, Pak,” kata Mentari sampai membungkukkan badan, tak enak hati karena mengganggu istirahat malam atasannya.

Jordy hanya diam mendengarkan, kakinya sama sekali tak bergeser. Ia tetap berada di berdiri mematung tanpa mengatakan apapun.

“Pulang, Pak,” ujar Mentari sekali lagi. “Beneran, saya nggak sengaj—”

“Saya nggak tahu gimana bilangnya sama kamu,” potong Jordy. Kali ini kakinya mulai melangkah perlahan—mengikis jarak yang tersisa antara sepasang sepatu dan sandal jepit yang dikenakan Mentari.

“Bilang apaan?”

“jadi Mama untuk anak saya, Aidan. Supaya dia nggak rewel.”

“Hah?” balas Mentari dengan tampang bingung.

Dua dini hari yang sunyi, bukanlah waktu yang tepat untuk bercanda.

Kalaupun Jordy sedang bergurau, menurut Mentari, candaanya kali ini amatlah kelewatan.

“Pak, ini subuh jam...” Perempuan itu menatap layar ponselnya. “Dua lewat sepuluh,” katanya memberitahu.

“Iya, saya bisa baca,” sahut Jordy masih sedatar tadi. Matanya beralih memandang Mentari.

“Itu Bapak tau, kenapa masih bercanda aja sih, Pak?” protesnya, menghela nafas frustasi. Jordy menggeleng.

“Saya lagi gak bercanda.”

Tepat ketika Jordy berkata demikian, Mentari sontak memundurkan langkahnya. Nafasnya tercekat, dan pikirannyapun kacau sampai ia nyaris terjatuh ke belakang, tapi untungnya tertopang oleh Jordy.

Kedua netra mereka pun bertemu. Yang satu dingin, dan yang satu sendu.

“Pulang deh, Pak. Serius.” Perempuan itu melepas tangan Jordy yang masih bertengger di pinggulnya yang berlemak.

“Saya gendut, Pak. Kasihan nanti Bapak sumpek liat saya tiap hari.” Ia lalu membalik badannya dengan susah payah. Selain dari itu, Mentari hanya merasa tak sanggup bila harus menatap Jordy di tengah remangnya malam. Dia sungguh tampan, terlebih usai mengucapkan permintaannya barusan.