Sunflower Rose in the Sky

Remang rembulan di atas langit Ibu Kota menemani perjalanan Jordy malam itu ke sebuah tempat. Mobil Lexusnya bergerak lambat mengikuti arus padat kota Jakarta yang hari itu dipenuhi oleh para pengemudi roda dua maupun empat. Saat rambu lalu lintas berganti ke warna hijau, Jordy langsung menancap gas mobilnya dengan tujuan berbeda. Tol Wiyoto Wiyono yang biasa ia lewati dalam perjalanan pulang, ia hindari. Ia mengambil jalan lain. Arah yang jelas-jelas bukan menuju kediamannya.

“Uange wis tak terimo. Tapi anak wedho'mu tetep rak iso tak tuku! Dasar kowe, penipu!”

Rumah berukuran kecil yang berada di ujung gang, malam itu mendadak dipenuhi para tetangga. Mereka datang menyaksikan murka seorang pria yang sedari tadi mengganggu istirahat para warga. Beberapa kali pria itu menggedor pintu kayu usang rumah kecil itu. Dari yang pelan, lama-lama menjadi keras. Tergesa dan penuh amarah.

Lelaki bertubuh tambun itu berang tatkala seorang perempuan paruh baya membuka pintu. Tatapan intensnya makin mericuhkan warga. Banyak dari mereka yang menduga lelaki itu adalah lelaki hidung belang yang mencari mangsa di gelapnya Ibu Kota.

“Ngapunten Pak Suryo dan Pak Damar, kulo nyuwun nembah sewu,” ucap sang wanita sembari menundukkan kepala dan membungkukkan badan, seolah begitu hormat pada sang Tuan.

“Duitku! Cepet, gowo rene!” Ia menggertak pintu rumah kayu itu. Tak puas walau ia sudah menerima uangnya, dua pria menyeramkan tadi menginjakkan kaki di rumah petak itu. Netranya beredar ke penjuru rumah. Dua pintu kamar menjadi sasarannya. “Dia mboten tinggal rene?!”

“Nggih, Pak Suryo.” Perempuan paruh baya itu mengangguk sekali lagi. “KURANG AJAR! Jaremu waktu itu dia tinggal sama sampeyan!”

Tanpa peduli ia menjadi tontonan warga, lelaki itu menarik kasar tubuh sang wanita. “Dua ratus lima puluh juta ini buat apa kalau anakmu ora oleh tak sentuh?”

“Nyuwun sewu, Pak Suryo. Duit meriki buat bayar utang bojone kulo ambek Pak Suryo. Mohon diterima nggih, Pak.”

Pria itu menyunggingkan senyum licik, “Bungane piye? Lho, ra mbok pikir bungane rak perlu dibayar? Nek rak gelem, aku akan suruh pegaweiku golek Mentari! Ojo ngapusi aku lho kowe, ki!”

Telunjuknya mengacung tepat di depan wajah perempuan bernama Andini ini. Air mukanya begitu kalut ketika pria bernama Suryo itu kembali menggertaknya. “Kowe kan nduwe anak wedho siji meneh? Endi? Ojo mbo diumpetke!”

Andini tersungkur, bersujud memeluk kaki Suryo. “Jangan dia, Pak. Dia anak kandung saya, dia segalanya untuk saya! Saya mohon, Pak. Saya akan coba membujuk Mentari—”

Ratapan Andini terhenti sejenak, saat derap sepatu seseorang dengan mudahnya masuk ke rumah. Lelaki itu adalah lelaki yang beberapa waktu lalu pengacau segala rencana Andini untuk mengeruk harta kekayaan berlimpah dari Suryo. Dengan pandangan intens, lelaki itu mendaratkan tatapannya pada Suryo, terlihat tak gentar tatkala Suryo mencoba mendorongnya.

“Mau apa?” tanyanya melipat tangan. Andini menggeram. “Saya bilang, weton Mentari nggak bagus! Kamu akan sial kalau menikahi dia! Percaya sama saya, saya sedang menyelamatkan kamu.”

Namun semakin Andini melarang, lelaki itu justru mengacuhkan omongannya. “Jadi kalian beneran mau saya laporkan ke polisi ya?” tanyanya, menatap seisi rumah satu per satu. “Berkasnya masih ada di saya. Dua ratus lima puluh juta yang saya kasih ke Ibu masih nggak cukup?” Kali ini netra lelaki itu terhenti tajam pada Andini. Yang ditanya menyergah kesal.

“Yang kamu bayar itu utang papanya Mentari! Nggak ada hubungannya dengan mahar yang saya janjikan,” ucap Andini menjelaskan. Pemuda itu mengangguk, kemudian bergerak menuju daun pintu rumahnya, sengaja membukanya selebar mungkin.

Dan...

“Selamat malam, kami dari kepolisian, reserse kriminal. Perkenalkan nama saya Kasat Reskrim, IPTU Dionisius Yudi, mendapat laporan dari Bapak Jordy Hanandian mengenai perdagangan perempuan bernama Mentari Gaudina. Saya sudah memegang berkas dokumen dan file yang saya rasa cukup untuk menjadi bukti. Silakan ikut saya sekarang ke kantor untuk diperiksa,” ujar seorang pria berseragam yang berpostur tegak. Mendengar suara tegas pemimpin pamong praja, Andini gemetar takut. Ia menundukkan kepala.

“Tolong, bekuk dia,” kata Iptu Dio pada anak buahnya. Sekali sang pemimpin bertitah, anak buahnya langsung bergerak, mengeluarkan borgol untuk mengikat tangan Andini, serta kedua pria hidung belang yang membeku dan melaraskan tatapan penuh dendam ke arah Jordy.

“Saya nggak salah! Saya dijebak oleh Suryo dan antek-anteknya—”

“Alah! Diem! Gak usah banyak bicara! Kalau mau bicara, di kantor saja!” damprat salah satu petugas kepolisian. Andini meraung-raung kesal saat tangannya diikat dengan borgol, ia dipaksa naik ke mobil khusus tahanan. Sementara Jordy yang berdiri tepat di depan rumah kecil Andini hanya menghela nafas pelan. Entah mengapa malamnya menjadi lebih damai setelah masalah ini terungkap.

“Terima kasih, Pak Jordy atas kerja samanya,” ucap Iptu Dio menjabat tangan Jordy. Lelaki itu melebarkan senyum puas. “Sama-sama, Pak.”

“Thanks, Ren.” Jordy menyalakan puntung rokoknya di sebuah warung kecil dekat gang rumah Andini. Beberapa saat sebelum kejadian mencekam itu terjadi, Jordy sudah lebih dulu mencaritahu tentang akar masalah ini dari seseorang yang sangat terpercaya.

“Sama-sama, Pak.” Pria bertubuh mungil dan berambut semi gondrong yang tak lain adalah karyawan casting-nya tersenyum lega. “Kalau Bapak nggak bergerak, Mentari pasti abis sih, dijadiin simpenan sama tuh bapak-bapak edan.”

Jordy terkekeh, “emang keluarganya sengenes itu ya?”

Renjana mengangguk. “Sejak papanya meninggal, Mentari dijadiin alat sama tuh medusa buat ngapus utang-utangnya, Pak. Tapi dia gak mau ngorbanin anak perempuannya sendiri.”

“Loh, masih ada satu lagi?” sahut Jordy heran.

“Satu laginya itu, anak kandungnya Medusa yang gak berani dia apa-apain. Selalu Mentari yang jadi bemper kalo urusan beginian mah,” tutur Renjana. Jordy menggeleng lagi, tak menyangka ada seseorang yang hidupnya sepahit Mentari. Jika ia rasa kehilangan cintanya sudah membuat hidupnya tawar, lalu bagaimana dengan Mentari? Sakit mental iya, tak mendapat kasih sayang keluargapun, iya.

“Pak,” panggil Renjana, mengutak-atik bungkus rokoknya lalu mengambil salah satu dari rokok itu.

“Ya?”

“Saya tau ini bukan porsi saya bicara seperti ini ke Bapak. Tapi Pak Jenan belakangan ngajak Mentari pergi, terus gak jadi.”

“Saya tau kok,” jawab Jordy tenang.

“Oh, Bapak tau.”

“Hmm.” Ia mengangguk. “Jenan gak bakalan suka sama Mentari, saya tau tipe dia kayak apa,” katanya menjelaskan.