Table's Turned
Mentari bilang saya menyebalkan saat mabuk. Tapi sayang, saya tak ingat apapun apa yang saya perbuat padanya.
Yang jelas, Mentari berkali-kali menekankan bahwa saya membuatnya begitu menderita.
Saya sadar kalau perbuatan saya sejak beberapa hari lalu telah menyakitinya. Sikap arogan saya padany, emosi yang membuncah kala itu, membuat saya tak dapat berpikir jernih.
Pikiran saya terbutakan oleh amarah yang membelenggu. Bayang tentang Jenan yang lancang menggenggam erat tangan Mentari betul-betul menghancurkan nadir dalam diri saya.
Malam sebelumnya saya dan tim diajak makan untuk merayakan award yang kami terima, dan tanpa sadar saya kebablasan minum hingga merepotkan semua orang di sana.
Kata Mentari saya sampai dibopong oleh enam orang dan ambruk begitu saja ketika bertemu kasur.
Saat pagi hari, saya segera menyusul Mentari ke kamar mandi untuk segera meminta maaf padanya. Tapi ia justru tak berada di kamar mandi kami.
Apa dia belum pulang? Apa dia bohong pada saya dan diantar Jenan?
Dengan perasaan tak menentu saya berusaha bangkit berdiri dan berjalan meski sempoyongan.
And there she is, sedang menggosok gigi di kamar mandi luar.
“Jangan peluk-peluk aku,” tandasnya ketus.
“Saya mau minta maaf.” Saya tak peduli dengan permintaannya.
“Minta maaf terus juga percuma, Mas Jordy. Besok-besok paling kamu ngulangin.” Ia melangkah meninggalkan wastafel.
“Sebentar dulu, kamu juga salah sama saya. Kamu kabur—”
“Masih pagi harus banget nyari-nyari kesalahan orang lain?” protesnya sambil berkacak pinggang.
“Kita sama-sama ngelakuin kesalahan, akuin aja, Ri. Yang dewasa kalau nyelesein masalah,” sambar saya memberi nasihat. Dia berdecak, “udah sana ah!”
“Ntar dulu,” cegat saya cepat. “Kita bicara dulu sebentar.”
“Apa? Minta dimaafin? Apa mau ngapain lagi?”
“Salah satunya itu, saya mau minta maaf.”
“Ya, udah aku maafin. Minggir, aku mau nyiapin sarapan anak kamu.”
“Eh, kok gitu ngomongnya?” tanya saya panik. “Anak saya anak kamu juga, Ri.”
Ia hanya diam kemudian meninggalkan saya ke dapur.
“Ri,” panggil saya.
“Saya—”
Kalimat permohonan maaf yang seharusnya terucap, terpaksa saya simpan terlebih dahulu ketika saya menemukan Mentari tertidur di meja makan, disela-sela makanan yang telah tersaji. Rambut ikal miliknya terurai panjang dan sedikit acak, membuat saya ingin segera menyugar rambutnya. Saya...selalu suka dengan rambut ikal alami Mentari. Bagi saya rambutnya begitu sesuai dengan Mentari. Malah ia semakin cantik karenanya.
Sayapun berjalan pelan dan duduk di sebelah Mentari. Tangan saya terangkat untuk mengelus punggungnya, namun mengingat sikap-sikap saya semalam—ragu itu mulai menghantui. Akhirnya saya putuskan untuk tidak melakukannya. Tapi sebagai ganti, saya meminta Erna untuk mengambilkan salah satu mantel berbahan wool yang biasa saya kenakan kalau sedang syuting di tempat dingin.
Saya mengusap puncak kepala Mentari lembut sebagai tebusan rasa bersalah saya padanya, juga atas sikap-sikap arogan saya padanya. Walau tahu Mentari tak akan semudah itu memaafkan saya, setidaknya saya ingin ia paham kalau saya juga tidak ingin ia pergi. Bukan cuma saya, tapi Aidan juga.
“Mamah belum tidur dari tadi malem karena jagain Papi abis muntah. Badan Papi panas,” beritahu Aidan yang datang untuk meletakkan segelas teh hangat untuk Mentari.
My son... Kadang-kadang punya cara sendiri untuk menegur saya. Usia dia memang masih kecil tapi lihat bagaimana ia menjaga Mentari, saya sampai takjub dan malu sendiri, karena seharusnya sayalah yang berjaga untuk Mentari. Tapi selama ini... Aidan malah menggantikan saya. Kalau kadang saya tidak ingin Aidan berada di tengah-tengah saya dan Mentari, bukan berarti saya tidak menyayangi Aidan. Saya ingin memerhatikan Mentari seperti yang Aidan lakukan padanya.
“Papa...Riri kangen Papa...Riri pengen pulang...Riri nggak kuat lagi sama Mas Jordy, Pa...”
Mendengar itu, tatapan Aidan terhadap saya langsung berubah datar. “Dan, Papi sama Mamah emang kadang-kadang suka berantem tapi bukan berarti, kita berdua nggak sayang sama kamu—”
“Papi sayang Idan, tapi sayang nggak sama Mamah?”
Saya sontak membisu ketika Aidan melontarkan pertanyaan itu. Saya tak pernah menduga bahwa Aidan bisa sedikit membaca situasi yang terjadi antara kami berdua.
“Dan, kamu ke kamar dulu ya. Papi mau bicara sama Mamah.”
Aidan hanya diam dan mengangguk, ia melangkah meninggalkan saya dan Mentari yang tertidur dalam sunyi.
—