Tak Lagi Sama

Beberapa jam setelah pembicaraan Jordy dengan Bulik Ratih selesai, semua yang kulihat pada diri Jordy berubah.

Ia bukan lagi sekedar orang luar yang membantuku dalam segala hal, namun lelaki yang kuyakini dapat menjagaku dengan baik. Bulik Ratih pun berpendapat sama denganku.

“Jordy sepertinya baik ya, Nduk.” Bulik Ratih berbisik saat Jordy sedang mengobrol dengan Paklik Eko, suaminya. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, tetapi kuperhatikan Jordy banyak tersenyum. Ia juga makan masakkan Bulik dengan sangat lahap. Tak henti-hentinya Jordy berdiri di sebelah meja makan, mengambil opor dan gudeg andalan Bulikku. Mendapati Jordy sedikitnya melepas tawa dengan Paklik, keyakinanku untuk menikah dengannya kian bertambah. Tatapan yang terpancar dari netranya sangatlah hangat, terlebih ketika ia membantu Paklik untuk berjalan menuju kursi.

Paklik Eko penderita diabetes. Sejak tahun 2019, kaki kiri Paklik harus diamputasi karena ada pembengkakan pada luka kecelakaan motor yang ia alami di tahun yang sama. Sejak saat itu, Paklik harus menggunakan tongkat dan kursi roda jika hendak berjalan. Netraku terpatri kala Jordy meletakkan piring makannya hanya untuk memapah Paklik untuk duduk di kursi.

“Terima kasih ya, Nak Jordy.” Kudengar Paklik berucap lembut padanya.

“Sama-sama, Om,” sahut Jordy, sembari membantunya duduk.

“Saya senang sekali mendengar kabar tentang kalian,” kata Paklik. Jordy tersenyum kecil. “Boleh saya tahu, alasan Nak Jordy mau menikah dengan ponakan saya?”

Aku yang saat itu duduk berjauhan dari Jordy dan Paklik, diam-diam memasang telinga. Walau aku terlihat asyik mengobrol dengan sepupuku dan Dhea, adik tiriku, aku tetap berjaga, ingin tahu kalimat apa yang akan keluar dari mulut Jordy.

Lelaki itu diam sebentar, kemudian berdeham. “Nggak macem-macem, orangnya.”

Singkat, padat dan jelas, tapi sukses membuat Dhea dan satu sepupuku memandangku dengan tatapan jahil. “Ya ampun Mbak Riri sampe merah gitu mukanya.”

“Enggak! Mana ada!” tukasku bohong.

“Iya, Mbak. Raimu lho, abang tenan.” Sepupuku makin semangat menggoda. Ia tertawa keras, tapi herannya Jordy sama sekali tak menoleh ke arahku. Ia hanya fokus pada ponselnya beberapa detik.

Tak lama, Jordy berdiri. Mempertontonkan kaki jenjang serta tubuh proporsionalnya yang sempurna seperti model. Lelaki itu benar-benar tidak melirikku sedikitpun, dan entah mengapa aku merasa ia sedikit tidak nyaman saat aku tertangkap basah sedang memandanginya. Apa...ada yang aneh dengan penampilanku hari ini?

“Mbak.” Dhea membuyarkan lamunanku.

“Ya?”

“Yakin ta, sama Mas Jordy iku?”

Aku melongo. Sudah kubilang berkali-kali bahwa aku memandang Jordy sebagai calon suamiku yang patut kuhormati. Masih saja ada orang yang meragukan pilihanku. Bulik saja sudah setuju. Jika Bulik menyetujuinya, apalagi yang kurang?

“Kenapa, Dhe? Kamu suka ya?” tanyaku sedikit judes. Dhea menggeleng sungkan. “Nganu...”

Dhea mengambil sesuatu dari kantung celananya lalu ia berikan padaku. “Ki lho, Mbak. Aku nggak sengaja nemuin foto ini pas tadi Mas Jordy jalan. Kayaknya dia...ngejatuhin sesuatu deh.”

Aku meraih benda itu dari tangan Dhea. Sebuah foto lawas yang menunjukkan Jordy mengenakan kemeja formal, sedang menyalami penghulu di depannya. Di sebelah Jordy tampak seorang perempuan cantik yang memakai kebaya. Anggun dan sangat berkharisma. Figur wajahnya lembut, keibuan. Tahi lalat di batang hidungnya mengingatku pada sosok yang pernah hadir di setiap malam di mimpiku.

Aku hanya bisa diam dan terpekur ketika harus memegang foto itu di tanganku. “Mbak, kamu yang bener aja toh? Jangan mau dijadiin istri sirinya,” bisik Dhea kesal.

“Dhe.” Nafasku tercekat. Aku runtuh saat itu juga.

“Dia siapa, Mbak?” cecar Dhea. “Mantan istri Mas Jordy, udah lama meninggal.”

Dhea yang tadinya sudah memasang wajah garang, langsung melunak. Tidak demikian dengan diriku yang mempertanyakan apakah Jordy sungguh-sungguh menginginkan pernikahan ini.