Tatap Jordy padaku siang itu tampak penuh rasa bersalah. Ia tak bicara banyak ketika sampai di depanku. Yang Jordy lakukan hanya langsung duduk di sebelah Idan dan bertanya pada anaknya.

“Udah selesai makannya? Pulang sekarang, ya.”

Dan tentu Idan akan menolak. Anak itu sedari tadi sudah merengek padaku untuk main ke Timezone. “Papi, Idan bosen di rumah, Kakak Dhea sibuk. Tante Riri juga bosen kalo cuma langsung pulang, mau ke timezone, main.”

Jordy mengernyit lalu menatapku seolah menuduh aku tersangka utama Aidan jadi tukang merengek padanya. Namun karena kami masih dilingkupi kekesalan, baik aku maupun Jordy hanya bertukar tatap sedetik, lalu sama-sama buang muka.

“Tanya Tante, mau apa enggak,” katanya menyerahkan padaku.

“Tante bilang tanya Papi boleh apa enggak,” kata Idan membalikkan. Lelaki itu kembali melirikku sejenak, “ya udah, kita ke timezone.”

“BENERAN?!” Idan menjerit senang. Binar matanya langsung berubah saat Jordy memberi anggukan.

“Asik! Makasih Papi. Untung Tante Riri udah bisa jalan, jadi bisa ikut Idan main. Ayo Tante, ayooooo!” Anak itu menarik lenganku penuh antusias. “Idan.” Tapi tangan ayahnya menahan tangan Idan untuk memegang tanganku. “Dokter bilang, Tante Mentari harus banyak istirahat. Gak boleh terlalu capek. Nanti Papi aja yang nemenin Idan main.”

Anak itu tersenyum, “Iya. Tapi Tante gak boleh jauh dari Idan.”

“Iya, udah cepet sana ke mobil. Om Devon tadi Papi suruh nyusul. Idan sama Om Devon naik mobil satunya.”

“Yah, terus, Tante Riri sama siapa? Tante Riri ikut mobil Om Devon aja, Piii sama Idan.”

“Papi mau bicara sebentar sama Tante, buat ulang tahun Idan. Nanti Papi sama Tante ikut mobil Devon dari belakang.” Jordy membalik tubuh Aidan sesaat kami sampai di parkiran.

“Ya udah, tapi bener ya, nyusul!” Idan berkata seraya masuk ke mobil dan duduk di jok belakang. Jordy mengangguk dan melambaikan tangan pada Idan. Sisanya, aku, tercenung memikirkan masalah apalagi yang akan hadir saat aku dan Jordy hanya tinggal berdua.

Mobil Lexus andalan Jordy berbelok ke daerah Antasari, tempat kami waktu itu fitting kebaya dan jas pernikahan. Aku mengernyit heran saat mendapati Jordy lagi-lagi membohongi Aidan. Dia pasti kesal pada ayahnya karena menunggu terlalu lama.

“Kamu janji sama Idan mau nyusul dia main, kok malah kesini,” dengusku membuka percakapan. Tapi seperti biasa, Jordy hanya akan menganggap celotehanku ini biskuit gratisan yang sering dibagikan di bawah jalan raya.

“Marahnya nanti dulu, Mentari. Ada yang lebih penting,” sahutnya memutar setir ke kiri. Saat mobil itu berbelok, aku disuguhkan oleh sebuah pemandangan baju pengantin yang sangat apik. Kebaya berwarna merah muda salem dengan payet di setiap kancingnya.

“Mau ngapain sih, Mas? Fittingnya kan udah bulan lalu.”

Lelaki itu turun, lalu membukakan pintu mobilnya. Menggendongku seperti kemarin malam. Syukurnya, aku sudah dapat berjalan normal meski sangat pelan.

“Nih, ngapain tangannya?” tanyaku ketika Jordy melempar tangannya ke belakang.

“Kamu bawel banget, beneran,” dumelnya sambil menggenggam tanganku untuk pertama kali. Aku tak berani berkata apapun setelah kulihat Jordy menyelipkan jarinya di sela-sela jari tanganku.

“Ohhhh ini calon mamah barunya Idan itu? Cakep banget ya, kayak orang Korea. Pasti orang Sunda ya, Mbak. Putih banget soalnya.”

Belum ada semenit kuinjakkan kaki di studio, semua staf mengerubungiku macam lalat.

Ada yang ngurus rambut, tangan sampai kaki. Lengkap semua. Mereka bahkan tak memberiku celah untuk bicara. Yang kudengar hanya celotehan mereka mengenai Jordy si kulkas lima pintu yang akan segera melepas status dudanya denganku.

“Mana rambutnya alus banget, si Om Jordy, bisa aja nyari bini baru secakep mbanya,” puji salah seorang make up artis yang gayanya sangat gemulai.

Dari belakang, kulihat Jordy sudah selesai memakai tuxedo dan segala atributnya, sepatu vantofel yang kupastikan harganya selangit tampak sangat selaras dengan kepribadian dan cara berpakaian Jordy yang fashionista.

“Dia udah, Mel?” Jordy tau-tau bertanya dengan tangan yang bertumpu di pundakku.

“Duh ilah, si bos. Kagak sabaran amat yekan, main dielus-elus aje tuh pundak. Eke juga mau dongggg! Awwww!” Make up artist yang baru kutahu bernama Melissa itu bersender mesra di bahu Jordy. Aku tersenyum geli kala melihat wajah Jordy yang terlihat menahan jijik saat Melissa mendusal di bahunya.

“Cepet, Mel. Kalo lo syuting ama gue, udah abis lo kena omel. Gue masih ada janji sama Idan.”

“Oke, Bosku Sayang!” Melissa semakin brutal dengan meniupkan ciuman udara pada Jordy yang membuat lelaki itu mengedikkan bahu.

“Udah selesai, Mbak Mentari! Ih cakep banget dehhhhhh!” Melissa memujiku sambil menuntunku masuk ke studio foto itu.