Tempatmu di Dunia Lain
“Ri! Riri! Ri, gue sama Pak Ustad, sama Chanting nih, Ri!”
Renjana berteriak sekuat tenaga dari luar. Bersama dengan seorang lelaki yang memakai peci serta tasbih di tangan, Renjana tak putus asa terus melafalkan ayat kursi dalam hatinya.
“Gue aja deh yang buka. Kali aja setannya nurut, jagoan Depok nih aing!” Chanting bersuara, menepuk dada dengan bangga. Maka tanpa berlama-lama gadis itu segera mendorong pintu kamar Mentari yang ternyata...tak terkunci.
Mereka menemukan Mentari dalam kondisi segar, sehat dan sadar. Tak ada yang aneh dari pandangan Renjana dan Chanting.
“Assalamualaikum.” Ustad yang kebetulan diajak Renjana selangkah maju tepat di depan Mentari.
“Wa'alaikumsalam,” jawab Mentari seperti biasa. Sontak, Renjana dan Chanting saling bertukar pandang, heran dengan apa yang ia saksikan. Terutama Chanting yang tadi ketakutan setengah mati saat harus membalas iMess Mentari. Tutur kata serta bahasanya sama sekali jauh dari sosok “Riri” yang ia kenal. Heboh dan galak, sama sepertinya.
“Gim..ana, Pak Ustad?” Chanting memberanikan diri bertanya, sambil sesekali melirik Mentari, memastikan bahwa kawannya sudah kembali.
Sang Ustad hanya diam dan tersenyum. Tak ada ucapan lebih lanjut yang ia sampaikan pada Chanting maupun Renjana. Namun ketika netranya bergulir pada sahabat mereka, entah mengapa bulu roma keduanya naik seketika. Bahkan, Chanting langsung menghindari berkontak mata dengan sobatnya sendiri.
“Weton njenengan Jumat Kliwon, calon suaminya, Minggu Pahing. Dan...yang terdahulu Selasa Wage.” Sang Ustad tiba-tiba berucap sembari mengelus dagu lalu mengangguk pelan. “Wis nggak apa-apa, Insha Allah aman. Yang penting shalatnya jangan ditinggal.”
Makin terdiamlah dua orang yang berdiri mengapit Mentari itu. Sementara sang gadis hanya termangu, berusaha mencerna apa yang sang ustad katakan. “Pak Ustad, saya sama sekali nggak mengerti apa yang Pak Ustad bilang.”
Sang Ustad tersenyum tipis, “Nggak usah jadi pikiran. Yang punya dunia hanya Gusti Allah. Njenengan tinggal memperkuat iman. Pokoknya, jangan ditinggal shalatnya.”
Sang Ustad mempertegas ucapannya kembali. Wajahnya begitu tenang, namun getir pada senyumnya terbaca oleh Mentari.
“Saya nggak ada rencana menik–” Mentari terdiam. Ia baru ingat kejadian beberapa jam lalu. Seketika tangannya dingin membeku, begitupun dengan tubuhnya.
“Sini, tak bilangin,” panggil Sang Ustad. Mentari sempat merasa takut dan ragu, membayangkan semua mimpi buruk yang selama ini ia alami kemungkinan bisa menjadi nyata. Ia menolehkan kepala ke Chanting dan Renjana, meminta diyakinkan jika keputusan untuk melangkah ke arah Ustad itu, adalah benar. Dan usai kedua sobatnya mengangguk, Mentari baru mau melangkah, walau kakinya terasa begitu berat dan sakit.
Sesaat Mentari berdiri di sebelah Sang Ustad, netranya refleks terarah pada telapak tangannya sendiri. Di matanya, tangannya itu nyaris tak berwarna dan sangat pucat. Namun tubuh Mentari bereaksi sebaliknya. Yang ia rasa justru gelisah sepanjang masa dan tubuhnya terasa panas.
“Sing nduwe dunyo iki, cuma Gusti Allah. Sampeyan wis ono tempate dewe. Lungo.” Ustad tersebut berbisik sambil mengusap dan meniupkan sesuatu pada punggung Mentari.
“Terasa ringan, nggak?” tanya Sang Ustad kemudian. Mentari mengangguk walau ia tak begitu paham mengapa Sang Ustad berkata demikian, tapi setelah Beliau mengusap punggungnya, ia benar-benar merasa lebih baik. Pusingnya berkurang meski kakinya masih sedikit sakit.
“Iya, Pak Ustad. Matur nyuwun, Nggih.”
“Sami-sami.”
—