Terlambat

“Makasih ya, Pak.” Regina buru-buru melepas helm yang terpasang, bahkan sebelum kakinya menapak di tanah. Pandangannya terarah pada sunyinya lapangan Gereja Santo Damianus, yang menjadi penanda bahwa kemungkinan rapat OMK telah dimulai.

Nafas Regina sedikit tak beraturan, karena langkahnya tergesa-gesa. Ia berlari kecil, memasuki gereja, kemudian segera menuju ke ruang aula Santa Theresia.

Regina merutuk pelan dalam hati, dan air mukanya terlihat sedih, kalo aja tadi Biel ngabarin, gue kan ga nunggu dia jemput.

Belakangan Regina memang merasa ada sesuatu yang mengganjal tentang sang pacar. Tidak, ia bukan menuduh Biel selingkuh, hanya saja waktu Biel untuknya semakin berkurang. Regina begitu menaruh percaya pada Biel. Dia sosok yang lembut dan setia. Anak Tuhan, pula. Tidak mungkin seorang Biel bermain di belakangnya, kan?

Biel yang dulu, saat baru jadian, selalu menyediakan waktu bagi Regina. Apapun kendalanya, cowok itu akan memprioritaskan Regina terlebih dahulu. Bahkan, rela mengantar Regina ke gereja, walau ia tidak ikut misa. Tapi sekarang...Biel perlahan-lahan berubah. Ia lebih memilih menghabiskan waktu untuk pelayanan di gerejanya.

Regina tidak ingin bersikap egois atau terlalu kekanakan, walau tahu dirinya agak manja. Apalagi Biel pelayanan untuk Tuhan. Masa iya, Regina tega membatasi kegiatan Biel, yang mempersembahkan dirinya demi Kemuliaan Allah?

Maka, gadis itu berupaya menyingkirkan segala pikiran buruknya tentang Biel. Meletakkan kembali rasa percayanya pada sang pacar dengan mendoakannya dalam hati agar kegiatan Biel selalu lancar dan menjadi berkat bagi orang-orang di sekelilingnya.

“Jadi berdasarkan arahan Xavier, nanti kalian akan berkoordinasi dengan tatib, begitu? Susunan acaranya sudah baik. Hanya perlu di-remind kembali untuk keamanannya, mengingat saat malam natal pasti umat banyak yang datang,” ucap Romo Doni saat memeriksa keseluruhan rundown acara natal Muda-Mudi.

“Baik, Romo,” sahut Xavier sigap.

“Ini...Humasnya gak ikut rapat apa gimana? Kok belum dateng jam—”

“Selamat sore, Romo.” Suara pelan yang berasal dari arah pintu membuat anggota OMK di Aula sontak menoleh kepada seorang perempuan.

“Maaf Romo,” ujar perempuan itu. “Saya terlambat, tadi ojek online-nya cancel semua.” Entah mengapa di telinga para anak OMK, suara perempuan berambut hitam legam ini terdengar sangat gemetar. Seolah ketakutan akan sesuatu.

“Iya, enggak apa-apa. Lain kali jangan terlambat lagi,” kata Romo Doni, mengangkat tatapannya sedikit ke arah sang perempuan. “Kamu... Humasnya ya?” Romo Doni kembali bertanya.

Perempuan dengan kulit seputih susu itu mengangguk. “Benar Romo, saya Regina.”

“Oh, kalau gitu, nanti tolong bantu juga di bagian perlengkapan. Just to make sure kalau ada alat yang kurang saat acara,” ujar Romo Doni.

“Siap Romo,” sahut Regina cepat.

“Koordinasi lebih lanjut bisa ke Xavier dan tim ya, Regina. Saya tinggal dulu. Ada kunjungan ke Panti Jompo Cinta Kasih.”

“Baik Romo, terima kasih sudah mendampingi rapat,” ucap Xavier, mengantar sang Imam meninggalkan ruang aula, selaku ketua OMK.

“Kalau dari Frater Tarci, ada tambahan lagi nggak?” Hazel angkat suara. Melihat rekan pelayanannya tengah mengantar pastur paroki, dialah yang menggantikan.

“Kalau dari saya...” Frater Tarci berdeham sebentar, melirik susunan acara yang tertera di kertas yang ia pegang. “Gak ada sih. Cuma pastikan saja saat acara natal nanti, untuk nyebar ke titik-titik yang udah diatur sama tatib, biar kalian bantunya juga enak. Gak tabrakan sama petugas tatib maupun panitia gereja. Makasih ya teman-teman atas waktunya. Tuhan berkati,” tutup Frater Tarci, melempar senyum pada Hazel, Fabian, Edrigo, dan Rafael. Begitu juga dengan Regina, Phanie dan Della.

“Baik Frater. Nanti saya sampein ke Xavier,” jawab Hazel, mengacungkan jempol. Bertepatan dengan berdirinya Frater Tarci, Xavier kembali ke ruangan. Matanya menyorot satu per satu teman sepelayanannya.

“Udah selesai, ya? Thanks banget, Frater.”

“Siap, siap, Xav. Btw, ingetin lagi ke temen-temen kamu, supaya lebih disiplin kalau dalam rapat. Untung Romo Doni lagi mood hari ini,” ucap Frater Tarci mengekeh. Xavier mengangguk paham. Ia tahu betul sifat tegas Romo Doni yang paling anti dengan keterlambatan.

“Siap, Frater. Aman itu,” kata Xavier. Setelah berucap demikian, kini anggota OMK kembali duduk di kursi panas. Dimulai dari Hazel yang tak lain adalah wakil Ketua OMK, cowok itu bergegas memeriksa kembali rangkuman meeting panitia barusan. Sedangkan Regina menarik kursinya pelan di sebelah Phanie dan Della. Dua sobatnya itu menyenggol lengan Regina pelan.

“Tumbenan, Gin.” “Hhh... Biel gak jadi jemput, terus telat ngasih tau guenya,” bisik Regina takut-takut.

“Gin.” Suara dalam itu berhasil membuat bahu Regina terangkat. Rupanya, Xavier telah berdiri dengan posisi tangan yang bertumpu di ujung meja. Netra cowok itu terpatri jelas pada manik mata bulat milik Regina.

“Sori ya, temen-temen, gue telat. Maaf banget, lain kali...”

“Nggak papa, sih. Cuma kayaknya lo harus izin di grup lain kali, kalau telat kayak tadi,” peringat Xavier.

“Iya, Xav. Nanti gue kabarin di grup,” respons Regina.

“Oke, deh. Just to remind aja, Gin,” ucap Xavier sebelum cowok itu benar-benar berbalik badan.

“Iya, Xav. Paham,” ujar Regina lagi tanpa menoleh ke lelaki itu. Bukan tanpa alasan, namun karena tiba-tiba saja wangi Xavier mengingatkannya pada wangi Biel. Parfum mereka sepertinya sama, dan hal ini membuat Regina termangu seketika. Entah mengapa, ia jadi tak ingin mengingat aroma tubuh Biel. Ada sesuatu yang kembali mengganjal hatinya, hingga perempuan itu cuma bisa terdiam.

“Gin.” Hazel memanggil. “Gue mau nanya deh,” katanya kemudian.

“Ya?” jawab Regina. “Yang rundown itu kan bakalan ada perform nari ya, dari temen-temen, kalau ganti bajunya lima menit, apa nggak terlalu singkat waktunya? Kasih waktu agak lebih kayaknya masih oke,” ucap Hazel memberi saran.

“Iya, boleh. Kemaren gue nanya sih sama Stella, mereka biasanya butuh berapa lama untuk ganti baju. Karena kan riweh, Zel. Ada yang butuh make up juga. Kata Stella paling cepet lima menit, karena masih ada kata sambutan dari Xavier dan Romo Doni,” kata Regina menjelaskan.

Hazel mengangguk paham “Kalo dari anak tarinya udah oke, berarti no probs, sih.” Regina mengiyakan. “Aman ya berarti?” Hazel mengacungkan jempol, mengisyaratkan jika kerja rekannya itu sudah benar. Lain lagi halnya dengan Xavier. Ia cukup terkejut saat mendengar jika dirinya harus memberi kata sambutan dalam acara natal nanti. “Lo aja, Zel.”

“Enggak, ah. Lo kan ketuanya,” tolak Hazel mentah-mentah.

“Anjir.” Xavier mengelus dada, mendadak kalut saat ia dipercaya oleh teman-temannya memberi kata sambutan.

“Bisa, Xav. Bisa.” Regina memberi semangat. Perempuan itu sempat menemukan kegamangan dalam tatap Xavier, seolah tak yakin pada dirinya sendiri.

“Iya, bener. Lo bisa. Kalo gak ngapain dari jaman masih jadi PaPi kita milih lo jadi ketua?” Edrigo turut memotivasi.

“Ya deh, semoga nggak salah ngomong aja gue entar,” tutup Xavier, menyambar tas ranselnya kemudian keluar aula.

“Cabut yuk, entar lagi misa. Gue mau ke Goa Maria dulu,” ajak Xavier, melongokkan kepala dari balik pintu.

“Ngapelin putri altar lo yaaaa?” ejek Rafael mengedipkan mata.

“Iya tuh, biar ga skip doa angelus,” tambah Edrigo cekikikan.

Bibir Xavier mengerucut, sadar kalau teman-temannya sedang mengolok dirinya perihal cuitan di akun Twitter pribadinya.

“Hahahaha, malu dia,” ujar Hazel tertawa puas. Kalau Hazel yang meledek, jangan harap Xavier akan mengacuhkannya. Cowok itu berbalik badan dan langsung meremas telapak tangan Hazel sampai ia menjerit minta ampun.

“Tenaga lo terbuat dari apa sih anjir!” Hazel yang setengah berlutut menahan sakit, mengibaskan tangannya.

“Ampun gak lo? Mulut lo comel banget,” tanpa peduli, Xavier makin mengeraskan remasannya.

“Santa Maria Bunda Allah!!!” Hazel berteriak karena tak kuasa menahan sakit.

Semua sontak tertawa melihat tingkah ketua dan wakil OMK itu. Termasuk Regina yang merasa terhibur melalui candaan teman-teman se-gerejanya. Gurauan mereka berhasil menyingkirkan pikiran negatifn Regina tentang Biel.