He's A Good Man

Anya pikir dengan cuma mengonsumsi vitamin penambah darah, juga meminum obat penurun panas, kondisinya akan lekas pulih. Nyatanya, tubuh Anya sedang enggan bersahabat. Tadi ketika ia selesai meeting dengan Restu, sang direktur keuangan, mendadak kepalanya pusing hingga pada akhirnya Anya tumbang di tempat.

Kehebohan pun tak terhindar ketika semua orang di ruang meeting mendapati Anya lemas tak berdaya. Langsung saja, laki-laki bertubuh tinggi menjulang itu membawa tubuh Anya untuk dilarikan ke rumah sakit terdekat. Restu hanya mengantar Anya dan memastikan rekan kerjanya benar-benar mendapat penanganan yang tepat oleh dokter.

Anya kini sudah terbaring di salah satu ruangan teratas yang dimiliki oleh rumah sakit tersebut. Tangannya terinfus serta hidungnya dipasangkan selang oksigen. Menurut dokter yang menangani Anya, wanita itu mengalami anemia yang cukup parah sehingga tubuhnya memberi penanda agar ia dapat beristirahat.

Restu terlihat duduk di salah satu sofa yang tersedia. Tubuh tegapnya sedikit membungkuk sambil sesekali mengangkat pandangan pada Anya yang perlahan-lahan mulai siuman.

“Pak Restu...?” Anya segera menoleh pada sesosok pria yang ia kenal. “Iya, Nya. Saya cuma nemenin aja, kok. Habis ini langsung balik,” ucap Restu sambil menarik senyum tipis.

“Aduh, hahaha. Maaf banget ya, Pak jadi merepotkan,” balas Anya sungkan. “Oh enggak apa-apa, Nya. Yang penting istirahat aja dan minum obatnya.”

Usai berkata demikian, Restu yang tampaknya sedang diburu waktu segera beranjak dari sofa. Sesaat ia melangkahkan kaki, di depannya terlihat Shaka yang berdiri berhadapan dengannya. Tanpa membalas tatapan Restu, Shaka langsung mengarahkan pandangannya pada Anya yang juga melirik dirinya.

“Nya, saya duluan ya. Masih ada meeting,” pamit Restu. “Iya, Pak. Makasih banyak ya, hati-hati baliknya,” ucap Anya seraya tersenyum pada sosok yang baru saja meninggalkan ruangan itu.

Shaka di sebelah Anya bersikap seperti tak biasanya. Lelaki itu lebih banyak diam, mengunci rapat mulutnya dengan wajah datar. Mendapati raut muka Shaka yang terpasang dingin, Anya membujuknya dengan elusan pada punggung tangan berurat milik laki-laki itu.

“Ka...” “Aku beneran marah sama kamu kali ini,” dengus Shaka tanpa menepis tangan Anya.

“Kok masuk-masuk akunya malah dimarahin sih, Ka...” “Ya gimana nggak marah, liat nih kamu ngapain?” omel Shaka masih dengan muka cemberutnya.

“Aku kira tadi...” “Aku kira, aku kira. Nggak pake kira-kira, Nya. Kenapa sih kalo sakit suka banget ditutup-tutupin? Pake acara dianter Restu lagi.”

Yang nerima omelan panjang menatap kernyitan alis Shaka sambil nahan senyum, “jealous ya, Ka?”

“Nggak.”

“Iya, kamu cemburu. Kayak Nora aja kalo liat aku sibuk,” ledek Anya. “Aku bukan marah perkara kamu dianter Restu, itu nanti aja dibahasnya,” sanggah Shaka.

“Terus apaan dong?”

Shaka memberi jawaban pada Anya melalui pandangan matanya yang terarah pada infus dan selang oksigen pada tubuhnya. “Ini, Nya. Ini. Aku nggak suka kalo kamu kerja sampe bikin kamu sakit kayak gini.”

“Iya, maaf, Aka...Aku juga udah minum obat tadi pagi, tapi mungkin emang lagi kecapekan aja...Udah dong aku jangan dimarain terus,” bujuk Anya dengan nada memelas. Mendengar nada memohon yang keluar dari bibir Anya, Shaka pun berusaha meredam kekhawatirannya walau tak langsung bisa hilang semua.

“Jangan kayak gini lagi ya, Nya,” kata Shaka pelan, mendaratkan ciuman pada dahi Anya.

“Peluk dulu dong!” Anya merentangkan tangannya. Tanpa ragu Shaka pun segera menarik Anya dalam dekapannya untuk membuang segala kerisauannya tentang kesehatan Anya.

“Tadi aku sempet ketemu dokter kamu, Nya. Katanya kamu anemia yang bisa dipicu dari stres. Kenapa lagi? Masalah hak asuh Nora?” tanya Shaka, melonggarkan peluknya.

Anya sempat terlihat ragu ketika mendengar lontaran pertanyaan Shaka. Sebab, ia cukup berhati-hati dan telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak melibatkan Shaka dalam urusan pribadinya dengan Tara. Walau Anya sempat kepikiran tentang keseriusan hubungannya dengan Shaka di masa depan, rasanya terlalu tidak adil bagi Shaka kalau harus ikut pusing mengenai masalah ini.

“Hmm...” Anya bergumam ragu. Lelaki di sebelahnya ini langsung menepikan duduknya di sebelah Anya, menarik lagi wanita itu untuk ia peluk sebentar. Mungkin seperti yang Shaka duga sebelumnya, hal ini berkaitan dengan mantan suami Anya. Di satu sisi, Shaka ingin sekali menanyakan tentang hal itu, tetapi ia ingat jika Anya pernah menegaskan bahwa ia tidak mau Shaka terlibat dalam masalahnya dengan Tara. Jadi, mau tidak mau Shaka menahan diri, menunggu Anya menuturkan kepadanya secara langsung.

“It's okay kalau kamu nggak mau cerita dulu sama aku,” ucap Shaka, memberi usapan pelan pada pundak Anya.

“Makasih ya, Ka...Aku bukannya nggak mau cerita sih, tapi bingung aja harus dari mana ceritainnya.” Anya menarik nafas pelan. “I don't know if it's a right thing for me to tell you. But I kindly feel annoyed lately.”

“Tara?” Anya menggeleng. “Bukan sih, tapi mantan mertuaku sempet minta bantuan ke aku untuk bantu Tara, but on the other side I don't think helping him is a good way for him. He needs to pay twenty seven million for his guilty. I didn't know what happen to him, dan tau-tau dia disuruh bayar uang sebegitu banyaknya.”

“Buset, banyak amat,” ucap Shaka menanggapi dengan singkat. “Kamu gak nanya problemnya apa emang?”

Mendengar pengakuan Anya, Shaka langsung teringat akan pesan rekannya, Jeandra Hartawan. Pemilik perusahaan tempat Tara itu mengaku kalau ia mengalami kerugian besar akibat perbuatan mantan suami Anya. Dan pastinya, uang dalam jumlah besar yang barusan disebutkan Anya adalah uang ganti rugi perusahaannya. Shaka bahkan mendengar berita lain dari Sadewa tentang Tara. Sadewa bilang, Tara dirumahkan karena enggan dijebloskan ke penjara.

Tapi yang tidak pernah Shaka sangka ialah Tara yang masih bermuka tembok di depan Anya. Dari mana ia memiliki keberanian sebesar itu untuk meminta uang pada mantan istrinya? Jika Shaka ada di posisi Tara, ia pasti akan benar-benar malu karena perbuatannya.

“Nggak, Ka. Aku sama Tara decide untuk komunikasi tentang Nora doang. Selebihnya, urusan pribadi kembali ke masing-masing. Aku udah nggak sama dia anyway, kan,” jawab Anya sembari menghela nafas pelan.

Shaka sementara itu, menatap Anya dengan raut wajah khawatir dan mengusap puncak kepalanya, “Terus, kamu mikirin ini sampai sakit?”

Anya terdiam. Mau seberapa besar usaha Anya berkelit, ujung-ujungnya Shaka selalu mampu membuatnya tak berkutik. Akhirnya, Anya mengangguk. “Aku tadinya nggak mau mikirin ini, Ka... Tapi aku nggak nyaman aja kalau terus-terusan ditelepon sama mamanya Tara.”

“What did she say to you?” tanya Shaka kemudian. “A lot of things. Dragging Nora juga. Aku jadinya nolak karena memang ada sebagian tanggungan yang harus aku selesaikan buat Nora,” ucap Anya, lalu ia mengedarkan tatapannya pada Shaka yang masih memandangnya dengan wajah khawatir.

“Sorry ya, Ka.. jadi bikin kamu khawatir juga.” Perempuan itu mengelus pelan pundak Shaka.

“Don't mention it, Nya. Yang penting aku tau kamu baik-baik aja. Istirahat ya, nggak usah dipikirin. Apalagi sampai bikin kamu drop kayak gini lagi,” jawab Shaka sambil mengecup pelipis Anya. Lalu, tangan wanita yang sedang dipenuhi selang infus itu, ia genggam sebentar. Shaka yakin disaat-saat seperti ini pasti Anya sedang kalut. Wajah teduh perempuan itu sampai terlihat sendu dan tak berseri seperti biasanya.

“Ka, kamu udah makan belum? Jangan ikutan sakit juga kayak aku.” Anya baru sadar jika ini sudah jam makan siang. Sejak tadi Anya tidak melihat Shaka mengunyah atau meminum sesuatu.

“Udah, Sayang. Tadi aku udah sarapan di rumah,” balas Shaka dari sofa. “Bener yaaa?” tanya Anya memastikan.

“Iya, beneran. Btw, Nora masih sama Tara ya?” Anya mengangguk. “Minggu depan baru sama aku.”

“Oh gitu..” “Kenapa emang, Ka?”

“Kangen, sepi nggak ada Nora, biasanya ada yang ngegelendotin aku, hahaha.”

Anya tersenyum, seraya membiarkan tubuhnya dialiri rasa hangat dan wajahnya memancarkan rona bahagia.

Baru kali ini ia mengenal laki-laki yang sebegitu tulusnya menyayangi Nora. Anya masih ingat bahwa banyak lelaki yang menjauhinya saat tahu Anya telah memiliki seorang putri pasca bercerai.

Salah satunya adalah laki-laki yang tadi mengantarnya ke rumah sakit,

Restu.

Dan hanya Shaka, yang benar-benar menerima Anya secara utuh.

Dengan begitu, Anya semakin yakin pada Shaka. Jika laki-laki yang kini tengah sibuk mengecek situasi saham pada aplikasi di ponselnya sambil tangannya nggak berhenti menggenggam tangan Anya—adalah definisi a good man untuk dirinya. Rasa cinta Anya pada Shaka pun meluap hebat, dan ia pun tersadar jika dengan Shaka-lah, ia ingin melabuhkan hatinya.

Bukan hari ini saja, melainkan sepanjang hidupnya, seperti yang Shaka katakan.