That Must Be True Love
“Happy anniversary...”
Usai satu kecupan kecil yang mendarat pada bibir Anya, Shaka membelai lembut kepala istrinya. Tidak henti-hentinya lelaki itu mengucap terima kasih pada sang belahan jiwa atas kehadirannya dalam hidup Shaka.
“Makasih, Anya,” bisik Shaka tepat di telinga perempuan itu. Anya kemudian membalas, “I should be the one who said that, Ka. Makasih udah mau sama aku, sayang sama Nora.”
Shaka menderai tawa kala mendengar ceplosan Anya, “siapa emang yang nggak mau sama kamu?”
“Banyaaak!”
“Bodoh berarti,” balas Shaka tersenyum tipis. “Tapi ya bagus deh, saingan aku berkurang.”
“Lah sekarang udah enggak ada saingan kan?”
Shaka mengangguk. Dari sekian banyak pria yang mendekati Anya (berdasarkan pengakuan orang yang bersangkutan), yang paling membuat Shaka insecure sudah pasti Restu. Berkali-kali ia nyaris patah semangat karena laki-laki itu. Tetapi ketika Anya bercerita, bagaimana Restu sendiri yang merekomendasi Shaka padanya, ia sangat terkejut sekaligus senang.
“Kamu salah, Ka. Justru Restu yang bilang sama aku, kalau kamu orang yang sangat bertanggung jawab,” kenang Anya sembari memindahkan kepalanya ke atas lengan sang suami. Tangan perempuan itu berputar-putar di atas dada polos Shaka yang tidak memakai atasan. Wangi tubuh Shaka yang berasal dari parfum Neroli Portofino selalu membuat Anya nyaman berada di pelukan sang Adam.
“Hahaha, bisa aja dia,” kekeh Shaka, tapi dalam hati ia juga mengiyakan. Dia juga cukup amazed pada dirinya sendiri, dan amat berterimakasih pada Anya.
Jika saja Shaka tidak bertemu Anya, mungkin sekarang hidup Shaka hanya habis di sirkuit, dan dompetnya terkuras hanya untuk sesuatu yang tidak penting.
“Aku juga mau makasih sama kamu dan Nora. Kalau gak ketemu kalian, mungkin hidupku hambar-hambar aja, Nya.”
“How? Kamu punya segalanya, Ka.. You got fame, achievement, you've reached your goal, great career. What's not enough?”
“What's not enough for me...is being complete. The feeling of completeness, yang nggak pernah aku dapetin walaupun aku berhasil wujudin cita-cita yang selama ini aku inginkan.”
“And when I'm with you...plus Nora, I feel like God answered my pray. Being complete,” jawab Shaka seraya menolehkan kepalanya, memandang Anya.
“Nggak usah merah gitu kali mukanya, Nya,” ledek Shaka jahil. Dia selalu suka dengan ekspresi tersipu-sipu milik Anya. Wajah putihnya memperlihatkan rona merah alami yang membuat Shaka gemas, nggak tahan untuk mengelus pipinya.
Just like her little princess, Eleanor—yang selalu malu-malu kalau digodain Shaka.
“Gini terus sampai tua ya,” pinta Shaka seraya mempererat pelukannya.
“Gak mau ngasih adik buat Nora?”
Yang ditanya langsung melebarkan mata. “Gas sekarang?”
“Hahahahah.”
Setelah itu, hanya mereka berdua dan Sang Pencipta yang bisa memberi jawaban atas keinginan terdalam ini.
—
“Papaaaa, will Mama like the cake?” Anak kecil yang dikuncir satu ke atas itu sibuk mencolek-colek kue tart bikinan Shaka. Tepat pukul setengah enam pagi, Shaka bangun dan mempersiapkan kejutan anniversary buat Anya.
Hebatnya, si kecil Nora, sangat bersemangat dan bersedia untuk membantu Shaka. Sejak semalam, Nora dan Shaka sudah merencanakannya. Bahkan, Nora sendiri yang berkata untuk bangun lebih pagi agar ibunya tidak tahu.
Mendengar usul putrinya, Shaka langsung setuju. Nora yang biasanya tidur sendiri, tiba-tiba ingin tidur bersama Shaka dan Anya. Lengkap sambil membawa boneka beruang kesayangannya, Nora datang ke kamar papa-mamanya, lalu tidur di tengah.
“Of course, Nowa. Mama will like the cake. Tapi jangan dicolek-colek, nanti badutnya mirip “it” yang kita nonton tadi malem,” gurau Shaka sambil mengelus pangkal hidung Nora.
“Iya, Papa. Abis, enak sih!” sahutnya, menjilati jarinya sendiri. Shaka hanya geleng-geleng melihat tingkah anaknya itu.
“Udah beres, nih.” Shaka mengambil ponsel, kemudian memfoto hasil kuenya dengan Nora.
“Sekarang, kita bangunin Mama, tapi pelan-pelan ya. Ini surprise dari Papa sama Nora.”
Anak kecil itu mengangguk paham. Sesudahnya, Nora dan Shaka meninggalkan dapur, kemudian menyusuri lorong kamar mereka. Seketika akan membuka pintu, rupanya Anya telah bangun lebih dulu, menyusul sang suami dan anak di dapur.
“Mamaaaa! Happy birthday!” Terlalu sulit untuk Nora mengucapkan anniversary, apalagi dia belum ngerti maksud dari makna kata itu. Jadi, di pikiran lugu Nora, ibunya sedang berulang tahun.
Yang diberi ucapan tertawa terpingkal-pingkal. “It's not my birthday, Sayang. It's Mama and Papa wedding anniversary.”
“Anniversary? What's that means?”
“Papa and Mama hari ini ngerayain ulang tahun pas pakai baju prince and princess, Nowa,” kata Shaka membantu menjelaskan. Terlihat takjub, gadis kecil itu mengangguk, berusaha memahami penjelasan Shaka.
“Kalo gitu, nanti kalau Nowa pake baju prince and princess, dirayain juga ya?” tanyanya.
“Boleeeh,” balas Shaka mengangguk setuju.
“Ini buat kamu, Nya.” Shaka menyerahkan kue berbentuk emoticon badut pada Anya. Ketika melihatnya, perempuan itu tertawa mati-matian. Selain out of the box sifat humoris Shaka inilah yang sepertinya membuat Anya tak sanggup menolak lelaki itu.
“Sayang...” kata Anya lemas ketika melihat bentuk kuenya.
“Apa?” Shaka menahan tawa.
“Lucu banget kuenya, jadi nggak pengen aku makan, tapi mau aku museumkan,” ledek Anya, tapi ujung-ujungnya Anya sendiri yang mencolek kue itu.
“Hahahaha.”
“Mama, Mama. Waktu Nowa ulang tahun, Mama kiss Nowa. Why don't you kiss Papa too?”
Ditodong pertanyaan seperti itu oleh Nora, sontak Shaka dan Anya kompak tertawa. Anak mereka semakin besar, semakin kritis pemikirannya. Dan sesuai yang Anya perhatikan, Nora makin memiliki sifat yang...mirip sekali dengan ayah sambungnya, Shaka. Anya sampai hampir tidak percaya. Apa mungkin karena Shaka pintar membangun bonding dengan Nora?
“Ya udah, Mama ayo kiss Papanya,” ujar Shaka seraya mengetuk-ngetuk pipinya. Sambil malu-malu, Anya menuruti ucapan suaminya, tapi El Shaka yang punya trik untuk menggoda Anya, segera membalikkan mukanya menghadap Anya sehingga wanita itu malah mengecup bibir Shaka.
“YAAAAAY!” Nora bersorak senang melihat kedua orang tuanya saling menunjukkan kasih sayang.
“Oh ya, Mama juga punya kado buat Papa...dan Nora tentunya.”
“Apa????” Nora menyahut penuh antusias. Anya mengeluarkan kotak jam tangan, dan ia berikan langsung kepada Shaka. Mengingat saat ke Tag Heuer Shaka sempat melirik salah satu jam tangan, lelaki itu tersenyum senang kala jam impiannya dibelikan oleh Anya. Padahal, Shaka sudah bilang kalau ia tidak mau Anya membelikan jam tangan mahal untuknya. Dia bisa beli sendiri.
“Ini jam tangan yang itu, Nya?” tanya Shaka.
“Buka aja dulu, Yang.”
“Hah? Ini mahal banget, Anya. Aku beli sendiri aja, nggak usah kamu...” Shaka berucap sambil menarik pita merah yang terikat di atas kotak jam tangan itu.
“Ini jam tang—” Sebelum sempat Shaka melanjutkan ucapannya, mata lelaki itu melebar kala melihat ada benda di dalamnya.
Sedetik...dua detik...Shaka benar-benar kehabisan kata-kata, termenung memandangi benda yang terletak di dalam kotak itu. Rasa haru serta luapan bahagia yang melingkupi benak Shaka, membuat ia menitihkan air mata dan langsung menggendong Nora.
“Papa why did you cry?” tanya Nora dalam gendongan Shaka. Sementara si pemberi kado, mendekati suaminya dengan tangan terulur untuk menyeka air mata yang membasahi wajah tampan sang suami.
“Congratulations, you're going to be a dad...”
“Nowaa, you're going to be a big sister!!!” seru Shaka sambil memeluk erat Nora. Mendengar seruan Shaka, Nora juga menjerit kesenangan.
“YEAAAAAAAAAAAY!!!!!” Nora balas memeluk Shaka.
“Thank you, Sayang. This is the best present ever.”
“Sama-sama, Sayangkuu,” balas Anya seraya memeluk sang suami.
—