The Biggest Fault

“IDAN MAU SAMA MAMAAAH! IDAN ENGGAK MAU SEKOLAH KALO NGGAK DIANTER SAMA MAMAAAAH!”

Ini adalah tantrum terparah Aidan yang pernah Jordy alami. Sebelumnya, Aidan tidak pernah ngambek hingga mogok sekolah.

Dia akan tetap berangkat walau dengan wajah cembetut meski ditemani Erna. Namun sejak Mentari ada, anak itu hanya mau berangkat bila sudah berpamitan dan diantar olehnya.

Tapi kalau Mentari tidak datang, ya beginilah kelakuan Aidan.

Dia akan kembali nakal dan tidak mau mendengar perkataan auahnya.

Bahkan semalam, Aidan menangis karena calon ibu sambungnya tak kunjung datang.

“Aidan!” tegur Jordy yang kala itu emosinya memuncak.

Ia membentak Aidan dengan harap bocah 9 tahun itu akan patuh tapi ternyata..

Aidan justru semakin menjadi-jadi. Dia berlari lalu masuk kamar dan mengunci pintu.

“Gimana ya, Pak...” Erna bertanya cemas, mendapati tuannya terlihat shock.

“Saya takut Den Idan panas lagi kayak waktu itu, kalau dia teriak-teriak dan mogok makan,” ucap Erna.

“Dari semalem Mentari nggak ada yang hubungin kamu atau Devon?” Jordy memastikan. Raut wajahnya tampak begitu cemas.

Sayang kedua asisten rumah tangganya kompak menggeleng.

“Ya sudah. Biarin aja Aidan dulu di kamar.” Jordy melirik jam tangan Audemars Piguet miliknya. “Saya coba hubungin Mentari dulu.”

Tepat di waktu yang sama, intercom Jordy berbunyi.

“Pak, maaf ini ada tamu, Mbak Mentari.”

“Langsung suruh naik aja,” jawab Jordy dengan nafas lega. Lelaki itu segera mengakhiri teleponnya lalu bergegas menyambangi Aidan di kamarnya.

“Aidan, Mamah kamu udah dateng,” ujar Jordy dengan suara dalam. Mendengarnya, Aidan segera loncat dari kasur, kemudian bertanya antusias, “YANG BENER PI?”

“Cepetan, berangkat! Papi juga kerja,” tegur Jordy menahan kesal.

Tanpa menanggapi omelan ayahnya, Aidan segera berlari menuju daun pintu, menyambut Mentari.

“Mamaaaaah!” sapanya. “Hai, Sayang,” sahut Mentari.

“Mamah kemaren ke manaaaaa? Idan mau sekolah, ayo anterin Idan!” rengeknya sambil menggandeng tangannya.

“Iya, tapi Mamah boleh minum sebentar?” “Boleh, Mamah.” Aidan menggeser kakinya, mempersilakan Mentari untuk masuk ke apart.

Namun ada yang aneh dari perempuan itu. Ia sama sekali tidak menyapa Jordy, dan hanya fokus mengurus Aidan hingga anak itu siap berangkat sekolah.

“Dan, Mamah tinggal dulu di rumah. Besok baru anter Idan.” Jordy sengaja mencetuskan ide tersebut agar dia bisa bicara empat mata dengannya.

Aidan sontak menoleh, “GAK BOLEEEEH! Idan mau sama Mamaaaah! HUAAAAAAAAAA!” tangis Aidan pecah seketika.

“Aidan, denger Papi sekali! Bisa nggak!” bentak Jordy. Mendengar Aidan digertak, Mentari langsung melirik sengit Jordy.

“Kalau mau marah ke aku aja, Mas. Jangan sama Aidan,” ujar perempuan itu tak kalah dingin darinya.

Nyali lelaki itu sontak menciut. Dia terdiam sambil terengah-engah karena harus pandai mengolah emosinya.

“Dan, Mamah besok yang anter Idan ya... Mamah harus bicara dulu sama Papi kamu.” Mentari membujuk Aidan dengan nada lembut seraya mengarahkan kelingkingnya pada anak itu.

“Iya, Mamah,” jawab Aidan gemetar. Kepalanya menunduk, sama sekali tak berani memandang ayahnya. Usai menyalami punggung tangan Mentari, bocah kecil itu segera mengekor pengasuhnya.

“Dadah Mamah!” Tangannya melambai ke arah Mentari namun tidak pada Jordy.