The Devastated Lost

“Aduh, kebelet pipis lagi!” Aku bergumam pelan di tengah malam. Kulihat Aidan sudah tertidur pulas di sebelah dengan posisi mengamit lenganku. Dengan hati-hati, kuletakkan tangan Aidan di bantal, kemudian menurunkan kakiku. Tunggu. Kenapa lantainya sedikit lembek dan bertekstur?

Aku langsung menyalakan lampu kecil saking panik dan takut ada orang yang menyelinap ke kamar. Aku menunduk sedikit dan ternyata...benar ada penyelinap yang masuk entah dari mana. Tidak lain tidak bukan, Jordy Hanandian.

Ia tertidur di lantai tanpa alas sedikitpun. Lengannya menutupi dahi dan muka. Dia..sangat kelelahan. Aku tahu, tapi lagi-lagi egoku muncul. Amarah yang masih tersisa kembali memenuhi benakku. Kuputuskan untuk melangkahinya dengan memastikan bahwa kakiku takkan menimbulkan suara.

Tapi...aku lupa. Geretan infus yang mesti kudorong pasti akan membangunkan Jordy, sementara perawat menarik tiangnya cukup tinggi sehingga sulit buatku untuk menggapai kantung infusnya.

“Mau ke toilet?” Jordy tiba-tiba saja berdiri tegap di belakang seraya menyangga tiang infus itu.

“Aku bisa sendiri,” jawabku dingin. Meski rasa ngilu setelah kuretasi masih terasa, aku menahannya sebaik mungkin. Aku tak mau ia melihatku meringis. Aku berjalan pelan menuju kamar mandi, diikuti langkahnya dari belakang.

Tak sampai sedetik, aku tiba di kamar mandi. Aku sengaja mengunci pintunya, membiarkan Jordy menunggu di luar. Entah ia tetap menunggu atau kembali tidur, aku masih amat terpukul dengan ucapannya.

“Ri, bisa nggak?” tanyanya dari luar. Aku tak menjawab.

“Ri?” ulangnya. Aku sengaja menyalakan flush toilet agar ia berhenti menanya-nanyaiku. Aku berdiam sebentar di toilet, menangis di sana. Ini adalah satu-satunya caraku meluapkan kesedihan serta betapa hancurnya aku saat tahu Jordy lagi-lagi berbohong. Tentang perasaannya, tentang cara pandangnya terhadapku. Ia yang kucinta sepenuh hati, ternyata mematahkanku hanya dalam sedetik. Padahal berkali-kali aku ingin menyangkal keyakinanku sendiri; juga tentang weton kami yang katanya berseberangan, namun nyatanya anggapan tradisi itu kian nyata dalam hidupku. Aku dan Jordy adalah dua pribadi yang berbeda. Kami seatap walau tidak satu rasa. Lalu untuk apa aku harus bertahan dengannya?

Selain karena Aidan...yang sudah kusayangi seperti anak kandungku sendiri.

“Ri.” Aku berjalan menuju ranjang tanpa sedikitpun merespon panggilan Jordy. Helaan nafasnya terdengar seolah frustasi karena sudah seharian tak kuajak bicara. Ia duduk di sebelahku setelah memindahkan Aidan di sofa yang lebih empuk.

“Ri...” Suaranya mengudara, ia menggeser tubuhnya agar bisa dekat denganku. Netranya memandangku teduh. Aku nyaris tergugah, tapi sekali lagi hati kecilku bertanya-tanya, Untuk apa?

“Masih ngilu-ngilu nggak?” Wajahku memerah dan seluruh mukaku terasa panas. Tanpa sadar air mataku terjatuh. Jordy lantas mengusap mukaku dengan ibu jarinya. Ia hendak membawaku ke peluknya, namun dengan cepat kutepis.

“Saya juga kehilangan, Ri. Sama seperti kamu. Dia anak saya...Jangan kira saya nggak hancur.”

Suaranya memelan dan gemetar, tapi aku tetap meragukan perasaannya? Benarkah ia merasa kehilangan anak kami? Benarkah ia menyayangi anak ini walau tidak lahir dari rahim perempuan yang ia cintai?

Aku harap apa yang Jordy ucapkan bukan hanya bualan. Aku harap ia merasakan hal yang sama denganku terlepas kata-kata menyakitkan yang ia hadiahkan padaku disaat aku berjuang sendirian di ruang operasi.

Jordy akhirnya berpindah dari kasur dan mengusap kepala serta punggungku sebelum ia kembali tidur tanpa alas di lantai. Sesaat kudengar gesekan kain celananya berjibaku dengan dinginnya lantai rumah sakit, perih di hatiku bergaung hebat. Sekali lagi, aku hancur.

Kali ini bukan hanya kehilangan anakku, tetapi juga laki-laki yang kucinta.