The Devil Speaks

// TW // harsh word

“You are my sunshine...My only sunshine... you make happy when skies are blue...”

Sedari tadi Erna, pengasuh Aidan terlihat bingung ketika nyonya-nya melantunkan lagu kesukaan Aidan di setiap gerak-geriknya. Sebelumnya ia berpesan pada Erna untuk membantu menjaga Aidan, tetapi pada detik berikutnya, istri dari tuannya itu justru menghentikan Erna untuk melakukan tugasnya.

“Biar saya aja, Na,” ucap Mentari pada Erna. Sebagai pengasuh, titah tersebut harus ia lakukan. Iapun membiarkan nyonya-nya bergerak bebas mengurus putra sambungnya.

“Bu, udah nggak papa? Tadi kata Ibu, kepala Ibu pusing?” tanya Erna cemas.

“Oh iya, ya? Saya baik-baik aja kok,” jawab Mentari tersenyum simpul. Erna diam lagi, tadinya ia enggan memikirkan hal ini, akan tetapi ia sadar jika gelagat Mentari cukup membingungkan.

Pertama, Mentari bolak-balik ke gudang. Kemudian saat keluar, perempuan itu dilihatnya membawa beberapa bingkai foto yang bukan menampilkan wajahnya sendiri, melainkan mantan istri Jordy, Kirana.

“Na, bagus ya?” tanya Mentari pada Erna ketika ia keluar dari gudang. Erna mengangguk saja. “Iya, Bu. Almarhumah cantik banget,” jawabnya setuju.

“Bu...” Teringat akan pesan tuannya yang meminta Erna untuk tidak lagi memajang foto Kirana, Erna mencoba memberitahu Mentari.

“Bu... Maaf, tapi Bapak pesen sama saya untuk simpen foto Almarhumah di gudang.”

“Kenapa? Kenapa harus disimpan? Emangnya ini jelek? Bener, Jordy yang ngomong gitu?”

Kilatan penuh emosi begitu kentara di daksa Mentari. Hal itu membuat Erna tertegun dan ketakutan setengah mati. Wajahnya seketika merah padam. “Taruh semua ini di kamar.”

Mentari yang Erna kenal, tidak pernah sedikitpun memarahinya. Ia akan berkata lembut. Kalaupun Mentari menegur Erna karena ia teledor, nyonya-nya itu akan lebih memilih mengajaknya bicara baik-baik. Tapi mungkin hari ini berbeda. Ada banyak kemungkinan yang terlintas di kepala Erna. Entah karena sedang bertengkar dengan Bapak, atau jangan-jangan... nyonya-nya ini akan segera memberi adik untuk Aidan.

Sebab, siapapun tahu jika wanita berbadan dua tidak mungkin memiliki emosi stabil. Kalau benar alasannya karena Mentari sedang berbadan dua, Erna turut senang. Akhirnya penantian dan doanya terkabul oleh Tuhan.

“Bu, tapi Bapak pesen—”

“Kalau saya bilang taro, ya taro. Susah banget ya bilangin kamu!” gertak Mentari. Erna sontak menunduk, iapun gemetar saat pertama kali Mentari menunjukkan taringnya.

“Baik, Bu.” Ia menyahut patuh sekaligus gelisah. Seraya melangkahkan kaki ke kamar tuannya, lagi-lagi sayup suara terdengar dari luar. Kali ini suara itu terdengar merintih pelan, sedih dan sesak.

“You are my sunshine...My only sunshine...You make me happy, when skies are blue...”

Lutut Erna melemas ketika Mentari melantunkan lagu kesukaan Aidan dalam nada pedih dan lara. Sudah cukup lama Mentari tidak menyanyikan lagu itu, namun saat nyonya-nya bernyanyi, salah satu bingkai foto pernikahan Jordy dan Mentari yang dipajang di atas lemari mendadak jatuh, kaca bingkainya pecah berserakan.

Erna sontak menjerit kaget karenanya. “Astaghfirullahaladzim!” Ia menengok ke belakang, dan segera berlari mengambil sapu.

“Siapa yang suruh kamu beresin?” Tau-tau Mentari muncul di depan Erna, sorot matanya memburu, suaranya lantang. Tapi yang lebih menakutkan dari itu semua, Mentari memoles lipstik merah yang dulu sering dipakai mendiang.

“Bu, Bapak kan nggak suka kalau kamarnya berantakan—”

“Nyonya kamu itu saya! Bukan perempuan sundal ini!”

Erna tersentak ketika Mentari yang ia lihat di matanya bukan lagi Mentari, melainkan Kirana.

Tak lama kepala Ernapun terasa sakit, bagai dihantam palu. Pandangannya lambat laun meredup, tubuhnya makin lemas. Dalam hitungan detik, perempuan paruh baya itu tak sadarkan diri.