Kali Kedua
“Hey...” Shaka terbangun saat merasakan usapan yang mampir pada lengan kokohnya yang berurat.
Ditatapnya perempuan yang tengah duduk di tepi sofa, “Eh, aku ketiduran.”
“Nggak apa-apa, Ka,” sahut sang puan, tangannya menyapu punggung anak kecil yang meringkuk dalam pelukan Shaka, lalu netranya kembali pada Shaka, “Pegel, ya? Sini, biar aku Nora ke dalem dulu.”
Tangan Anya langsung terulur, bersiap menggendong putrinya. Akan tetapi, saat ia melihat anak semata wayangnya terlelap dalam peluk Shaka, Anya bergeming sesaat, menyadari ada satu hal yang tak biasa terjadi pada anaknya, Nora.
Ini pertama kalinya ia melihat Nora tertidur pulas di pelukan orang lain. Biasanya, anak itu akan rewel jika bukan Anya yang memeluknya. Alisnya akan mengerut selama ia tertidur.
Namun bersama Shaka, Anya tidak menemukan alis anaknya bertemu pada satu titik. Wajah mungilnya begitu tenang dan damai. Entah apa yang lelaki itu lakukan hingga Nora bisa sangat nyaman berada dipeluknya.
“Nya?” Shaka menjentikkan jari, membuyarkan lamunan Anya. Sejurus kemudian, laki-laki itu berdiri sambil tetap menggendong Nora, kemudian menepuk punggungnya agar anak itu tak terganggu tidurnya.
“Aku aja yang naro Nora di kamarnya. Kamu duduk di situ aja. Capek nanti,” ucap Shaka sesaat sebelum lelaki itu berjalan meninggalkan Anya termenung di sofa.
Begitu saja, Anya kembali terbuai dengan Shaka, berkali-kali ia mencoba menepis perasaannya untuk lelaki itu, berkali-kali pula Shaka tak menyerah pada Anya, hingga Anya pun luluh dan memutuskan untuk membuka hatinya buat Shaka.
As she said before, the door is open. Just for him. Maka, Anya mempersilakan Shaka lagi untuk menyusuri lorong apartnya dan masuk ke kamar Nora.
Anya mengekeh pelan, “aku kan nggak ngapa-ngapain, Ka..”
“Kata siapa?” balas Shaka, tersenyum tipis. “kamu capek, abis main petak umpet sama aku di dalem kamar,” sindirnya dalam taraf bercanda. Anya yang paham kalau ia sedang disindir halus, melayangkan tatapan sebal ke arah lelaki itu dan bergumam, “Hhhhh.”
Karena ia selalu tak bisa berkelit dari Shaka. Selalu saja laki-laki itu menyentuh titik lemahnya sampai membuat Anya tak dapat menghindar.
Seperti yang barusan terjadi.
Padahal, sebelumnya Anya telah mempersiapkan segudang cara untuk menolak Shaka, karena alasan martial status-nya, a divorcee
“Udah,” ucap Shaka singkat sekembalinya dari kamar Nora. Lelaki itu menyandarkan tubuhnya sebentar di sofa, sementara tangannya meraih tangan Anya untuk ia genggam lembut. Tanpa mengatakan apapun, Anya dapat merasa jika Shaka sedang mengistirahatkan dirinya dari segala macam urusan pelik di kantor. Dan hanya lewat hangatnya genggaman tangan Anya, kegetiran seorang Shaka tersapu rata dan ia merasa tenang.
Rona merah kembali menghiasi wajah Anya ketika Shaka merapatkan duduknya pada perempuan itu, sambil terus mengelus tangannya.
“Bu Anya, demam? Mukanya merah banget,” ledek Shaka melirik Anya yang sibuk menghindari tatapan matanya.
“Diem deh. Nggak usah ngeledek gitu, bisa nggak sih?” protes Anya malu-malu. Lelaki itu makin meluapkan tawa sembari mengusak rambut hitam kelam Anya yang lembut. Berikutnya, Shaka yang punya segudang cara untuk memukau Anya, tanpa permisi menautkan satu ciuman pada bibir wanita itu. Anya sempat terkejut ketika Shaka bukan hanya melakukannya sekali, tetapi berkali-kali, bahkan bisa dibilang sangat intens. Deru nafas Shaka dan Anya saling berlomba, mencari kenikmatan dari pagutan sensual itu.
Dari hangatnya tautan yang Shaka berikan padanya, Anya pun mulai mengikuti kata hatinya. Ia tersadar jika dirinya pun sama menginginkan Shaka sebanyak Shaka menginginkannya. Perasaan Anya menguat tatkala lagi-lagi Shaka membuatnya terpukau karena satu hal.
“Ka..” panggil Anya pelan-pelan membuka mata, menyentuh bibir lelaki itu dengan ibu jarinya. Ia tak lagi mencium aroma rokok Malboro yang biasa menguar hebat dari mulut Shaka.
“Kamu gak ngerokok hari ini?” tanya Anya memastikan seraya membiarkan aroma mint dari lelaki itu ikut tertinggal di bibirnya.
Shaka mengangguk, “Cause' I have found something addicts more than a cigarette.”
“What's that?” Alis Anya terangkat satu, air mukanya terlihat amat penasaran.
“It's you,” bisik Shaka tepat di telinga Anya, lalu secepat kilat Shaka mengecup bibir wanita itu hingga sukses membuat mata Anya membulat, kaget.
“Hahaha, such a flirt!” kekeh Anya.
“Strangely, I didn't feel cringe when you say it,” pungkas Anya seraya mengusap pelipis Shaka lembut.
“Emang biasanya Bu Anya nggak suka dirayu?” tanya Shaka, menderai tawa.
Anya mengiyakan. “He'eh. Gak biasa aja. Mana anak muda lagi yang ngerayu.”
”...Nggak tau sama kamu, aku disihir pake apa sampe suka,” aku Anya blak-blakan.
“Pake ini.” Shaka kembali mengecup bibir Anya. Kalau yang pertama Anya sampai tersentak kaget, pada ciuman Shaka yang kedua, Anya mulai mengikuti alurnya, ia membiarkan lelaki itu sedikit bereksplorasi dengan lidahnya.
Anya sangat menikmati setiap pagutan yang Shaka hantarkan, that sparks yang Anya pikir telah terkubur dalam-dalam semenjak ia bercerai, mulai muncul kembali. Mengisi hatinya dengan kehangatan.
“Kan, kata kamu waktu itu boleh?” ucap Shaka usai mereka berciuman. Lelaki itu memasang wajah memelas persis dengan Nora kalau minta sesuatu.
“Iya, Shaka...” sahut Anya, memainkan kerah baju Shaka dan menatap matanya dalam-dalam. Entah karena Anya mulai terpengaruh bacotan Gaby tentang Shaka, atau justru dirinya memang sedang dimabuk Shaka, Anya memberanikan diri untuk menautkan satu ciuman di bibir Shaka. Pertama kalinya, Anya yang memulai lebih dulu.
Shaka sebagai penerima cium Anya tertawa lepas, menyugar rambut hitam wanitanya sambil geleng kepala. Tak mampu ia menyembunyikan bahagianya yang meluap kala Anya memeluk dirinya begitu erat. Dari situ, Shaka tahu jika Anya telah memberinya jawaban yang selama ini ia tunggu.
Shaka juga terpesona akan wajah Anya yang selalu merona merah setiap kali mereka habis kissing.
“Nya,” panggil Shaka ketika keduanya saling melempar pandang cukup lama.
“Hmm?”
“Jadi istri aku...ya?” tanya Shaka enteng namun tetap terdengar hati-hati. Netra Anya sontak membulat ketika mendengar pertanyaan Shaka.
Sejujurnya, Anya sangat bahagia ketika akhirnya ada pria yang sungguh-sungguh mencintai dirinya seperti Shaka. Namun batin Anya kembali meragu. Bukan pada cinta Shaka kepadanya, tapi Anya ragu pada dirinya sendiri. Akankah ia mampu bertahan dengan Shaka? Akankah ia bisa menjadi pendamping yang baik bagi laki-laki itu? Semua pertanyaan ini memberondong dalam pikirnya. Anya sangat mengerti ada konsekuensi yang akan siap mengikuti Shaka, bila seandainya lelaki itu bersedia menikah dengan Anya. Maka, alih-alih langsung mengiyakan lamaran Shaka, Anya pun mengungkapkan segala kegamangannya pada lelaki itu.
“Ka...” Anya menyapu lembut wajah Shaka. Ia menghembuskan nafas dalam-dalam, “Makasih ya, Ka.. Makasih udah sayang sama aku dan Nora. Makasih karena kamu udah ngelakuin banyak hal untuk aku dan Nora.”
”...Honestly, it's not going to be easy for you to have someone like me.”
”...I think this a lot too. Nggak gampang mencintai perempuan yang punya masa lalu kayak aku. Konsekuensi yang harus kamu pikul bakalan banyak, Ka. Nama kamu, nama perusahaan, dan keluarga besar kamu. Semua itu harus kamu jaga baik-baik.”
“Aku takut, kalau kita benar-benar bersama, kamu malah kehilangan reputasi kamu, aku nggak mau kamu ngalamin yang aku alami, apalagi kamu udah ada di posisi sekarang. Gak enak, Ka. Beneran.”
”...I've been there, Ka. Aku nggak mau mengacaukan semua yang sudah kamu bangun buat nama kamu juga Pak Elliot.”
Dapat Shaka lihat sendunya pandangan Anya ketika ia berkata demikian. Pasti Anya sangat terbebani karena memikirkan ini sendirian.
Betapa ia sangat tersiksa karena embel-embel status dan masa lalunya.
Padahal Shaka tidak pernah mempermasalahkan masa lalu Anya. Semua orang pernah mengalami masa-masa sulit di hidupnya, justru ketika Shaka tahu bahwa Anya nelangsa karena keadaan itu, Shaka tak mau lagi Anya kembali dalam lubang itu. Ia ingin Anya bahagia di hidupnya, bersama dirinya.
Bagi Shaka, masa lalu Anya adalah hal yang semestinya menjadi sejarah bagi perempuan itu.
Seperti yang Shaka katakan pada Sadewa dan teman-temannya yang lain, Shaka tak pernah keberatan dengan masa lalu Anya yang pernah menikah.
Yang Shaka mau cuma Anya. He means it.
“Aku...” Anya bahkan tak sanggup melanjutkan ucapannya sendiri. Terlalu banyak yang bersarang dalam kepalanya, dan perlu ia katakan pada Shaka. Namun hebatnya, lelaki itu dapat memahami kebimbangan Anya.
“Boleh aku gantian yang ngomong sekarang?” pinta Shaka lembut, Anya pun, mempersilakan lelaki itu untuk berucap, “kamu nggak akan ngerusak semua itu, karena aku tau kamu gimana.”
“Nya...Aku ga pernah mempermasalahkan kamu pernah menikah, kamu janda, kamu apa. Semua itu udah terjadi.” Lelaki itu membelai lembut wajah Anya, “Aku maunya kamu, Nya. Bukan yang lain.”
“Dan, alasan aku balik kesini...bukan karena aku gak mau main sama mereka lagi, Anya. Tapi...aku ngerasa waktu main-mainku udah cukup.”
“Aku udah terlalu banyak menghabiskan waktu buat hura-hura, dan pada saat aku ngelakuin itu, emang menyenangkan...” Shaka kemudian menunjuk ke dadanya sendiri, “tapi disini...”
Lelaki itu menggeleng. “I feel empty.”
Anya memerhatikan Shaka dengan tatapan sungguh-sungguh, sembari mencari cara menenangkan degup jantungnya yang sedang berdetak kencang kala Shaka memandangi wajahnya dalam-dalam. “So...what's your answer then? Aku emang gak mau ngajak kamu pacaran dari pertama kenal, maunya langsung serius kayak gini.”
Mendengar kesungguhan Shaka, Anya pun memberi jawaban, ”...Ka, didn't I tell you before?”
“Wait. Did I miss something?” tanya Shaka panik, otaknya berputar, mencoba mengingat apa yang sempat Anya katakan. Menemukan tampang panik yang terpancar dari wajah Shaka, Anya tertawa kecil. Matanya terarah pada pintu apartnya sendiri, “The door is open. Just for you.” Shaka tersenyum lebar mendengar ucapan Anya yang tentu amat bermakna.
“Thank you, Love.” Shaka menarik Anya dalam peluknya. Kali ini ia mempererat dekapannya, meyakinkan Anya bahwa ia bersungguh-sungguh
mempersunting bidadarinya, Gyayunindia Pradnya Gayatri.*
“I should be the one who says that to you, Mr. Racer.” Gelak tawa Shaka menyambut ucapan Anya. Keduanya saling menderai tawa usai Shaka kembali memperkenalkan Anya kepada love language-nya yang lain.
Lips to lips.
End