The Failed Co-Parenting
“MAMAAAAAAHHHHHH!” Tangis Aidan membuka percakapan Jordy dan Mentari yang saat itu tersambung via telepon video. Aidan, putra mereka terlihat meraung sambil memegangi lengannya yang habis divaksin.
Anak berpipi bulat itu duduk di car-seat didampingi pengasuhnya. “Idan... udah Nak, nangisnya... Sakitnya cuma sebentar kok.”
Mentari membujuk, dan perlahan tangis bocah itu pun berhenti.
“Mamaah, Idan disuntik sama Om Dokter, huhuhu, sakit Mamaaaah,” adunya sambil terisak.
“Kasiaan–” “Idan mau sama Mamaaaah, maunya dipeluk Mamaaaaahhhhhh!”
Mendengar racauan anaknya, Jordy reflek melirik spion dan memandang Aidan. Sejujurnya, dia tak bermaksud memberi tatapan tajam. Tapi tahu sendiri kan, Aidan selalu berprasangka buruk pada ayahnya sendiri.
“MAMAAAH PAPI PELOTOTIN IDAAAAN, Mamaaaaaah!” Tangisnya makin memecah suasana. Jordy yang tadinya masih bisa bersabar, lambat laun mulai emosi.
“Aidan Alvaro.”
Sekali ayahnya memanggil dengan nama lengkap, itu pertanda Aidan sedang berada dalam pengawasan. Begitupun Mentari yang terkadang ciut juga saat Jordy sudah memasang tampang tegas.
“Stop teleponannya, sambung lagi di rumah.”
“Jor—”
Terlambat, Jordy langsung mengakhiri sambungan telepon mereka.