The Ghost Trapped
“Gue mau tereak sumpah!” seruku ketika Chanting menelepon. Sahabatku di seberang sana tertawa cekikikan, padahal aku belum sama sekali bercerita apapun padanya.
“Jenan udah blacklist nih?” sahutnya antusias.
Aku terdiam sejenak. Kalau Chanting tak membahas Jenan, mungkin aku sudah melupakan laki-laki omdo itu. “Hmm, mungkin gue aja kali ya, yang terlalu ambil hati?” timbangku.
Seharusnya aku menuruti ucapan Renjana. Dia yang lebih lama kerja dengan Jenan, tentu Renjana juga yang paham seperti apa sepak terjang sang Pangeran Disney itu.
“Lo sih, sasimo,” ledek Chanting. Tawaku pecah. Sebenarnya bukan aku bermaksud ingin seperti itu, tapi ini Jenan! Jenan yang tampan, yang begitu banyak digilai perempuan. Hanya orang yang kuat iman saja yang tak terlena padanya.
“Ya, mana gue tau kalo dia ternyata buaya,” cetusku, membaringkan diri. Sejak dini hari, aku belum tidur sama sekali. Walau kepalaku pusing, entah kenapa pikiranku terus bermuara pada lelaki yang subuh tadi mampir ke kosan.
“Terus, maksud tweet lo tuh apa sih, Ri? Gue liat-liat lo gila beneran deh kayaknya. Anti depresan lo mending di double dah, kalo kata gua,” saran Chanting dengan logat Depoknya yang kental.
“Anjir, sialan!” tukasku terbahak.
“Tawa mulu lo dari tadi!” protesnya. “Cerita, woy. Ada apaan?”
Aku perlu menyamankan diriku dulu sebelum menyampaikan hal ini pada Chanting. Kalau aku saja sedari tadi ingin berteriak, lalu bagaimana dengan Chanting? Ia pasti akan terjungkal, terkulai lemas setelah mendengar penuturanku.
“Apa anjir! Buruan ngapa sih?” Kuyakin di seberang, Chanting pasti sangat gemas. Terdengar dari suaranya yang melengking sempurna.
“Hhhmmm, iye, iye.” Aku menarik nafas, memastikan semua jendela sudah tertutup rapat. Agenda kerjaku yang berlogo production house milik Jordy-pun sudah kututup agar pikiranku menjauh darinya.
“Lama-lama gue tutup ya telepon lo!”
“Ting, masa kata Jordy kemaren gue disuruh jadi Mama buat Aidan. Dia cuma bercanda kan?” Aku mengatakannya hanya dalam satu tarikan nafas. Sebab kerongkonganku tercekat, merasa pusing hebat, bak dipukul dari belakang.
“Apa? Mama buat Aidan? HAH?!”
“I-iya...”
“Ri? Halo? Woy! Riri? Lah kok ada suara brukk!”
“Maaf...”
“Maaf kenape, Ri?”
“Maaf, saya yang datang...”
“Siapa yang dateng, Ri? Jordy?”
“Saya...Mamanya Aidan, Kirana.”