The Moon Is Beautiful Isn't It?
Bulir air mata tanpa terasa membasahi pelupuk saya. Heran, padahal saya pernah mengalami hal ini sebelumnya, tapi kenapa ketika dokter menunjukkan letak buah hati kami dalam rahim Mentari, saya terbawa suasana?
“Selamat ya, Pak, Bu. Ada dedeknya nih.” Dokter berucap, membuat perempuan yang saya genggam jarinya menangis haru.
“Maklum ya, Pak. Namanya lagi hamil, sensitif jadinya,” kekeh sang dokter menatap Mentari.
Saya hanya tertawa, begitu juga Mentari. Ia melirik alat monitor USG dalam tatapan kagum, kemudian menatap saya kembali.
“See? We did it, Babe,” puji saya lembut. Lagi-lagi senyum di wajahnya merekah.
“Tapi Pak, Bu... tolong dijaga baik-baik ya, mengingat Ibu pernah keguguran. Jangan treadmill lagi ya, Bu.”
Kami berdua kompak mengangguk. “Dan, banyakin makan sayur. Mungkin di trimester pertama ini, Ibu bakal sering ngerasa mual, gak nafsu makan, tapi ini saya udah resepin obat penahan mual ya, Bu.”
“Thank you, Dok.” Mentari menyahut ramah, sambil mengeratkan genggamannya pada jemari saya.
—
Sepulangnya dari dokter, kami tak langsung pulang ke rumah. Saya ada hadiah kecil untuknya. Meski sedikit random, rasanya sesekali nge-date berdua tanpa arah begini, asyik juga.
Saya memutar setir dari arah Pakubuwono menuju HR Rasuna Said, mencari restoran private yang kira-kira memiliki pemandangan romantis.
Untungnya dapat. Sebuah restoran Jepang dengan desain minimalis dengan pemandangan city light yang cantik.
“Kamu ngidam?” tanyanya bingung.
“Nggak, lagi kepengen aja. Udah lama nggak makan masakan Jepang.”
“Tapi aku gak boleh makan yang mentah, Pi.”
“Di sini nggak cuma sashimi,” Ma. Ada ramen, tempura, you name it.
Yang saya ajak bicara mengangguk sembari membuka menu.
Ah, makin kesini, Mentari terlihat sangat menggemaskan. Pipinya menggembul, membuatnya mirip dengan Aidan waktu masih kecil. Kadang kalau dipikir-pikir, lucu juga, ya.
Mentari dan Aidan tidak terikat hubungan darah, tapi hampir setiap orang yang bertemu mereka, selalu bilang kalau Aidan adalah duplikat Mentari.
“Kenapa ngeliatin aku kayak gitu?” Ternyata si pemilik mata bulan sabit itu sadar kalau sedari tadi saya termangu menatapnya.
“Nggak papa. Coba liat keluar, the moon is beautiful isn't it?
“Perasaan nggak keliatan bulannya. Bukan bulan kali, tuh. Kabut. Orang mendung gitu,” balasnya lugu.
Aduh, entahlah mungkin gombalan om-om paruh baya ala saya ini, kurang masuk dengan umurnya. Yang ada saya cuma bisa tertawa menyaksikan reaksinya.
—