The Mothers
“Oi, anak mami!” seruan seorang bocah lelaki berambut jabrik dan berseragam SD mengejutkan Aidan dari belakang. Ia tahu betul siapa pemilik suara itu, dan siapa juga yang berulah kepadanya di siang hari ini.
Saat tadi Aidan masuk sekolah bocah laki-laki yang pernah ia pukul hingga babak belur waktu itu, tidak berhenti meliriknya. Seringai licik penuh dendam terus terlengkung di bibirnya. Ia bersama kedua antek-anteknya bergerak, mengawasi Aidan. Bel istirahat berdentang, para siswa berhambur keluar kelas. Ada yang bawa bekal, ada pula yang jajan di kantin, namun tidak demikian dengan Aidan.
Seketika nafsu makannya lenyap walau tubuhnya mulai lemah, namun putra dari Jordy Hanandian, sang sutradara kawakan ini menahannya sebaik mungkin. Tatapan Aidan jatuh pada sebuah kertas prakarya yang ia buat sendiri saat pelajaran KTK.
Kertas yang berisi tempelan foto mendiang ibunya. Pada bagian pinggir, Aidan memberi hiasan bunga mawar—bunga kesukaan almarhumah sang ibu. Dengan segenap hati ia kerahkan segala usaha demi meraih nilai tertinggi pada pelajaran karya seni itu, tetapi dua bocah jahil bin nakal yang bernama Gallen dan Michael, mendatangi Aidan. Dengan wajah piciknya, mereka mengolok hasil karya Aidan.
“Mami kamu hidup lagi, ya?” Kepala Aidan mendidih detik itu. Tangannya mengepal kuat dan sabarnya pun sirna ditelan semesta. Nafas yang semula teratur berubah berang, begitupun dengan sorotnya yang menajam.
“Apaan tuh, Len? Masa cowok hiasannya bunga! Bunga kan buat orang meninggal, hiiiiiiy!” Tanpa seizin Aidan, Michael—pengikut setia Gallen merampas kasar kertas prakaryanya. Bocah itu menjentikkan jarinya tepat di wajah ibu Aidan, lalu mencabut paksa setiap bunga yang Aidan tempel sebagai bingkai.
“Apaan sih?!” Aidan merebut balik.
“Mami kamu itu udah mati, udah di tanah! Kayak kita doooong! Maminya nunggu di depan, gak cuma liat foto doang!” ejek Michael mengompori Gallen.
“Mike, kamu enggak tau ya? Idan tuh sekarang punya mamah baru! Mamah barunya itu naik motor, gak pake mobil kayak kita!” Gallen membuka mulut. Aidan tadinya masih bisa menahan sabar walau murkanya sebentar lagi meledak, ia terus mengingat ibu sambungnya yang selalu berpesan agar tak mementingkan omongan orang-orang. Tetapi Aidan tak semudah itu memaafkan orang, terlebih jika sudah menyangkut ibunya.
“Mamah baru kamu kerja dimana? Pasti cuma supir ojek doang,” cibir Gallen sembari menurunkan jempolnya.
“Emang kenapa kalo Mamah aku kerjanya cuma supir? Daripada Mamah kamu kerjanya cuma bisa marahin kamu, jewer kuping kamu, Mamah aku enggak pernah marahin aku! Mamah aku baik!” balas Aidan penuh amarah.
“Mamah baru kamu baik? Hahahaha, mana ada sih ibu tiri baik? Kamu jangan kebanyakan nonton kartun deh,” ledek Michael bergantian.
“Pasti dia nontonnya yang fairytale gitu, makanya kayak cewek, hahahahah.” Detik ketika Gallen memandangnya remeh, Aidan langsung maju. Tidak ada ampun bagi bocah tengik itu, Aidan menarik kerah seragam Gallen, dan tak perlu menunggu waktu lama, hidung Gallen berdarah. Ya, Aidan kembali melayangkan tonjokan pada anak itu. Mau Gallen menangis atau meringis, Aidan tak peduli. Di matanya, bocah menyebalkan seperti Gallen harus musnah.
“Jangan pernah hina Mamah dan Mamiku! Aku nggak suka!” Setelah puas membuat wajah Gallen babak belur, barulah Aidan melepaskan Gallen. Kali ini tidak hanya bibir yang berdarah, tetapi pelipis hingga mata Gallen dipastikan terluka. Semua anak yang menyaksikan Aidan murka berlarian panik, Nono sahabat Aidan berusaha menenangkan dengan menarik Aidan, namun emosi yang membuncah dalam benak sobatnya membuat ia gelap mata.
Alhasil Nono harus menunggu hingga emosi Aidan stabil baru ia berani mendekati. Karena jangan sampai ia juga menjadi sasaran Aidan berikutnya.
—
“Kamu udah dimana? Saya telepon dari tadi kenapa nggak diangkat?” Tak ada ramah tamah yang tertutur dari bicara Jordy ketika ia menghubungi Mentari.
“Mentari, kamu sudah dimana? Saya telepon kamu karena urgent, Aidan mukul temennya—”
“Kamu memang gak bisa diharapkan.”
Jordy terdiam. Nada angkuh itu datang kembali, yang berarti personaliti Mentari yang kedua kini telah menguasai dirinya.
“Enak-enakan ya kamu menikahi perempuan ini, sementara kamu tidak mengurus anak kita?” Lanjut perempuan itu dingin.
“Dengar! Siapapun kamu, jangan pernah datang ke sekolah! Pulang sekarang!”
“Terlambat. Perempuan ini tidak akan pernah menggantikan saya sebagai ibu dari Idan. Dengar baik-baik.” Sosok itu mematikan telepon Jordy tanpa memberinya celah untuk membalas. Jordy lantas memijat kepalanya, segala kalut dan khawatir kini bersarang dalam dirinya, berpikir keras betapa Mentari begitu tak bisa menahan diri disaat genting seperti ini. Helaan nafas Jordypun terdengar berat, rasanya semua sia-sia. Mau sampai kapapun Mentari mengonsumsi segala anti-depresan, ia tidak akan membaik.
—
Gallen, anak yang barusan dipukul Aidan kini telah berada di ruang kepala sekolah. Ibu Gallen, yang juga putri dari penyumbang saham terbesar di sekolah Aidan turut hadir mendampingi putranya yang terluka.
“Ini sudah yang kedua!” Perempuan congkak itu menggebrak meja. Ditariknya Gallen agar berdiri di sebelah, sorot mata intensnya tertuju pada Aidan yang menunduk.
“KAMU!” Bentaknya kemudian. “Tidak ada lagi skors yang berlaku! Saya mau, kamu keluar dari sekolah ini!” Ia menjerit kuat hingga terdengar ke luar ruangan.
“Selamat siang,” sapa seorang perempuan dengan pakaian serba merah gelap. Ia melangkah masuk, tidak langsung menyambangi Aidan, melainkan berdiri di hadapan ibu dari Gallen. Netranya bergulir sekilas pada Gallen sambil menyunggingkan senyum remeh.
“Kenapa kamu mencabuti bunga yang ditempel Aidan?” Suaranya pelan, namun jelas anak lelaki yang diajaknya bicara gemetar hingga menunduk takut. Bahkan dari celananya keluar cairan kuning karena ia sangat kalut.
“Say....saya cuma bercanda...” sahutnya sembari mengamit lengan sang ibu.
“Kamu kira saya sudah mati?” tantang perempuan itu dengan tatapan dingin. Semua yang berada dalam ruangan hanya bisa terdiam saat perempuan itu melantangkan suara. “Saya belum mati, saya datang. Karena saya tidak suka! Kamu mengganggu anak saya!”
Kali ini suaranya benar-benar bergemuruh, bahkan tanpa gebrakan meja, siapapun yang mendengar kecaman suara perempuan itu langsung bergidik. Bulu kuduk mereka satu persatu tampak berdiri, dan bukan hanya itu, aroma melatipun seketika tercium begitu kuat. Beberapa gelas yang berisi air jatuh dan pecah dengan sendirinya.
“Minta maaf sama anak saya,” suruh perempuan itu melipat tangan di dada. Aidan yang berdiri tepat di samping ibunya merapatkan posisi, ia menggenggam tangan ibu sambungnya kuat. Dan tanpa kata, anak lelaki itu pun menunjukkan raut bingungnya. Dalam hati ia berkata, kenapa Mamah tangannya dingin banget ya? Mamah sakit? Tapi kok...kuat kesini ya? Kemaren waktu Mamah sakit, lemes tuh, ini kenapa Mamah malah dateng?
Sayangnya, Aidan tak dapat langsung bertanya pada ibu sambungnya. Sebab tiba-tiba, Gallen dan ibunya meminta maaf hingga berlutut di depan kakinya. Ia tercengang bukan main. Gallen yang terkenal jahil dan menyebalkan, meminta maaf kepadanya sampai hampir menangis.
“Maafin aku ya, Idan. Aku cuma...cuma sirik aja sama kamu, karena kamu disayang sama mamah kamu...Mamah aku enggak gitu, mamah aku sibuk kerja, aku harus jadi seperti apa yang dia mau...”
Sontak ibu dari anak itu menoleh, “Gallen! Kamu ngomong apa? Jangan sembarangan!” tegurnya kemudian.
“Iya, Mamah aku selalu bilang kalo aku bodoh karena aku gak pernah dapet seratus. Tanganku dicubit Mamah karena aku dapet sembilan puluh, aku juga gak boleh makan malem kalo aku belum selesein PR, aku pernah dikurung sama Mamah satu jam karena nilaiku tujuh puluh. Maafin aku, Idan—”
“GALLEN! Kamu ini ngomong apa? Kamu mencoreng muka Mamah ya?!” Ibu Gallen panik seketika, sementara Aidan tercengang saat Gallen tidak berhenti membuka kartu ibunya.
“Mamah, aku juga nggak tau kenapa aku gak bisa berhenti ngomong gini! Aku gak bisa tahan mulutku,” ia meracau sambil menangis. “Mamah, tolong, Mah. Aku gak bisa berhenti bilang apa yang ada di kepalaku! Aku benci Mamah! Aku benci Papah, aku benci kalian! Aku mau kayak Idan, disayang, dimanja, aku gak suka dituntut!”
Gallen tidak berhenti memukuli kepalanya sendiri, bahkan tanpa ia sadari, ia pun ikut menusukkan pelipisnya dengan pensil hingga terluka. “Mamah, tolong! Mamah tanganku gak bisa berhenti! Mamaaaaaah!”
“Aidan, ayo ikut Mami pulang. Kita udah selesai.” Perempuan itu menarik tangan Aidan dan membawanya keluar dari ruang kepala sekolah, meninggalkan segala kisruh yang terjadi di dalam sana. Sedang Aidan dalam heningnya terdiam, Mamah kenapa nyebut dirinya Mami?