The Reason
Mimpi itu datang lagi. Dan sungguh, aku benar-benar kacau dibuatnya. Hari jalan-jalanku bersama Jordy sampai terganggu, namun aku berusaha menutupinya sebaik mungkin. Dalam tidurku, aku melihat seorang wanita tua datang, mencengkram wajahku. Pelan ia berkata dan tertawa mengejek.
“Kita belum selesai, Mentari...” Aku langsung terbangun. Tubuhku dipenuhi keringat, sedang wajahku memucat. Aku melirik Jordy yang terlelap nyenyak di sampingku, dan reflek aku mengingat masa-masa paling mencekam yang pernah kualami sewaktu kami masih bersama.
“Ingat... Saya tidak pernah main-main dengan apa yang saya ucapkan!” Suara itu mengalun di telingaku. Tak ingin berpikir jauh, aku segera bangkit dan mengambil air wudhu. Waktu saat itu menunjukkan pukul tiga subuh, dan tanpa berlama-lama aku mengusyukkan diri untuk berdoa.
Awalnya masih normal, hingga di rakaat terakhir, tiupan angin menderu dengan sangat kencang, mengelilingi aku. Bukan hanya itu, lamat-lamat kudengar gamelan bali bergaung di luar jendela. Aku diam sejenak, mengambil waktu untuk membaca surat-surat Al Fatihah dan Yasin, namun semakin aku perdalam...sebuah geraman terdengar sangat jelas di sebelah. Ia berbicara dalam bahasa Bali yang tak aku pahami.
Tanganku gemetar hebat, bahkan hampir tak sanggup meraih ponsel yang tergeletak di samping. Namun tekad bulatku serta berkat membaca surat Al Fatihah, aku berhasil mengambil ponsel, segera—kuhubungi Bulik Ratih di Yogya.
“Bu...Bulik...” “Ri, jangan tasbihmu di tangan? Jo' dilepaske, pake terus.”
“Bulik... dia mau apa... Perut Riri tiba-tiba sakit...” Aku merintih saat perutku tiba-tiba terasa nyeri bagai diremas dari belakang. Sama seperti saat aku mengalami keguguran.
“Ri! Denger Bulik, kamu baca Al-Fatihah lima kali. Denger Bulik, Ri! Bulik bantu dari sini!”
Dengan gemetar dan suara parau aku mengiyakan permintaan Bulik.
Akhirnya... setelah hampir setengah menit, sakit perutku hilang. Suasana kembali tenang. Tapi hanya satu yang Bulik pesan padaku, yakni untuk tidak berhenti beribadah. Sebab... Andini masih ingin menghancurkan aku dan Jordy.
—
Pagi harinya, berjalan seperti biasa—aku menyiapkan sarapan untuk Aidan; membuatkan kopi untuk Jordy, bahkan setelahnya aku menemani Aidan berenang di depan villa.
Tak ada satupun yang curiga mengenai hal yang kualami semalam. Mungkin Andini sengaja membuat semuanya terlelap agar jalannya mulus saat menggangguku. Tapi aku enggan berteman dengan situasi itu, sesuai kata Bulik, aku diharuskan berdzikir dan terus melafalkan Al-Fatihah. Alhamdulillah, perasaanku menjadi lebih tenang.
“Mamaaaah!” Aidan menghampiri, lalu mengulurkan tangan untuk menyalami punggung tanganku.
“Hai Sayang. Enak bobonya tadi malem?”
Aidan terdiam sesaat, menatapku dengan tampang bingung. “Mamah tadi malem enggak papa?”
“Maksud Idan?” “Idan liat Mamah kesakitan, megangin perut. Mamah nggak kayak waktu itu kan? Mamah berdarah?”
Astaga... Aidan...? Kupikir tidak ada yang tahu tentang hal ini. Aku segera mensejajarkan posisiku dengan Aidan, mengajak Aidan untuk memegang rahasia ini dari Jordy.
“Idan, Mamah tadi malem cuma sakit perut biasa, kok. Jangan kasih tau Papi ya?”
“Kenapa Papi nggak boleh tau, Mamah? Nanti kalo Mamah kenapa-napa, biar bisa langsung dibawa ke dokter. Mamah takut disuntik ya...hihihi.”
Aku hanya bisa tertawa pasrah mendengar keluguan Aidan. Nak, seandainya kamu tau alasannya kenapa...mungkin tawamu itu akan berubah menjadi tangis paling pilu yang pernah Mamah liat.
“Nggak, Mamah berani. Tapi Mamah minta tolong sama Idan, jangan bilang Papi. Oke?”
Aidan awalnya sempat ingin menggeleng, tapi syukurlah, Aidan menyetujui permintaanku.