The Way They Love Each Other
Jordy terpekur. Nafasnya tercekat kala tak lagi mendapati cincin pernikahan Mentari terlingkar di jari manisnya.
Daksanya tanpa sadar mencari keberadaan cincin Mentari yang tak tampak di hadapannya.
Seandainya Jordy bisa menunjukkan betapa kecewa dan marahnya ia saat ini, mungkin ia sudah melakukannya. Tetapi Aidan, putra lelaki itu satu-satunya, berhasil meredam emosinya melalui wajah lugu serta jemari mungilnya yang mengait di genggaman Mentari.
Ya, Jordy tahu betul Aidan begitu menyayangi Mentari. Dan itu pula yang kini meluluhlantahkan hatinya.
Ia sungguh ingin bertanya mengapa Mentari melepas cincin pernikahan mereka, namun sayang kondisi perempuannya yang sedang lemah, membuat Jordy harus menahan rasa penasaran itu.
Jordy memutuskan memupuk kegetirannya dengan bermain game di ponsel, hingga ia tersadar bahwa wanitanya itu bergerak, memeluk tubuhnya erat.
Daksanya perlahan terbuka. “Kok kamu bisa di sini?”
“Nanya lagi.” Jordy menjawab ketus.
Perempuan itu lalu meraba dahinya, merasakan ada kain yang terletak di sana. “Aku udah enakan. Aku siapin dulu makan malemnya.”
“Nggak perlu.” Langkahnya terhenti. “Kenapa kamu lepas cincinnya?” Jordy kemudian langsung bertanya.
Mentari sempat diam beberapa detik, tatapannya resah. Jordy rasa dia ingin menghindar, tapi situasi menjebaknya.
“Jawab,” tuntut Jordy. “Aku kesel sama kamu.” Mentari menjawab meski suaranya nyaris tak terdengar.
“Terus kalau kesel langsung lepas aja?”
Wanitanya diam lagi. Tetapi Jordy sepertinya tak peduli, dia tetap mencecar Mentari. “Kamu tau Jenan nge-chat kamu terus? Dia nggak berhenti nanyain keadaan kamu.”
”...Aku kan gak megang hp, Mas. Hp-ku ada di atas meja terus. Berarti kamu baca-bacain notif-ku?”
“Nggak usah balikin pertanyaan. Jawab yang tadi saya tanya.”
Puannya itu menghela nafas. Dia sudah ingin menangis sebab Jordy tiada henti mencurigainya.
“Aku nggak tau Mas Jordy... kan aku udah bilang, dua jam lalu aku tidur, badanku lemes.”
Jordy akhirnya tak lagi bersuara namun tetap menatap puannya datar. Begitu pun Mentari yang berusaha bangun dari kasur untuk menghindari pertengkaran.
“Kamu mau ke mana?” “Pipis. Mau ikut?”
Jordy tak membalas. “Di kamar mandi dalem aja, jangan coba-coba keluar.”
“Posesif banget sih!” dumel Mentari. Tetapi Jordy yang sedang berada dalam mode 'galak' tak mau mengalah. Setelah puannya kembali dari toilet dan Aidan yang diam-diam Jordy pindahkan ke kamarnya, lelaki itu segera duduk di depan Mentari, seolah ingin kembali menyalurkan emosinya.
“Kamu mau aku ngapain?” tanya Mentari.
“Saya mau ngobrol berdua.” “Ngobrol dengan muka kamu yang asem kayak gitu? Bilang aja mau marah-marahin aku lagi. Tunggu aku sembuh dulu—”
Sebelum perempuan itu menyelesaikan ucapannya, Jordy langsung merengkuh Mentari dalam peluknya. “Saya nggak tau gimana ngobrolnya, kita awkward satu hari.”
“Terus?” “I'm sorry if I was mad at you, kemaren.”
Mentari tak menjawab apapun, dia diam tapi bukan berarti tidak mendengarkan perkataan suaminya. Ia justru sedang membiarkan Jordy memberi penjelasan. “Saya nggak suka Jenan masih deketin kamu.”
“Kapan sih tuh orang berhentinya?” Lelaki itu mendumal bahkan dengan posisi yang sama.
“Aku nggak tau. Tapi yang jelas aku udah bilang berkali-kali buat berhenti deketin aku.”
“I can't blame you because you're so pretty.”
“Gendut gini lho! Masa cantik?”
“Jenan suka yang chubby kayak kamu, saya denger sendiri waktu itu.”
“Terus besok-besok aku harus diet, gitu maksudnya?”
“Nggaklah, ngapain. Segini udah pas.”
Mentari tampak terkejut dengan pernyataan Jordy. Sebab setahunya, lelaki itu seharusnya menyukai perempuan bertubuh singset ketimbang dirinya yang berisi, bukan?
“Tapi nanti kamu dikira jalan sama angka 10. Gimana?”
“Angka sepuluh kan artinya sempurna, kecuali nilai matematika Aidan.”
Puannya terbahak mendengar ceplosan Jordy. Ya.. sebenarnya Jordy juga sengaja bercanda supaya hubungan mereka cair dan membaik.
“Jangan sakit lagi, Mamahnya Aidan.”
“Aku kecapekan kayaknya...deh, sama kemaren juga kan aku keluar seharian...”
“Makanya kalo saya bilang saya yang anterin tuh denger. Dari awal sebelum kita married juga saya kan bilang, ke mana-mana pake Devon or saya kalo lagi lowong.”
”...Ini malah pergi sendiri.”
Puannya cuma bisa menyengir kecil. “Ya udah, besok-besok kamu anter. Tapi harus seharian perginya sama aku dan Aidan, ya.”
Jordy mengangguk, mempererat pelukannya. “Aku udah gak panas deh. Kamu semaleman ngurusin aku ya?”
Jordy memasang wajah datar. “Terus mau siapa lagi?”
Memandangi wajah suaminya, Mentari tersenyum geli. “Dasaaar grumpy old man! Makasih ya udah gak marah lagi.”
“Hmm.” “Jangan gengsi gitu dooong.” Mentari menarik pelan pipi Jordy hingga lelaki itu pun menepis ego dalam dirinya.
“Peluk lagi dong, peluk.” “Nggak,” balas Jordy melonggarkan kaitannya.
“Saya mau peluk lagi tapi kamu harus janji, seberapa besar kita bertengkar ke depannya, jangan lepas cincin ini.”
“Iya, Mas.” Mentari menyodorkan jarinya pada sang suami, lalu setelah cincin itu kembali tersemat, Jordy segera membalas pelukan Mentari.
“Kenapa? Rambut aku bau ya? Aku belom keramas,” aku Mentari kala Jordy mengendus puncak kepala.
“Yah, mau gimana. Kamu sakit kemaren.” “Aku hari ini keramas deh.”
“Ya udah, nih.” Jordy menyodorkan black card-nya.
“Ini buat...?” “Katanya mau keramas.” Mentari langsung mengembalikan kartunya.
“Maksud aku keramas di rumah.” “Nggak boleh.”
“Aneeeh kamu ih!” “Kok aneh? Ya nggak anehlah, saya hari ini emang sekalian mau potong rambut.”
Mentari terperanjat, “Jadi kita nyalon bareng...?”
Jordy mengangguk tanpa mengucap sepatah kata yang membuat Mentari menggeleng heran.