Treat Him Well

Bagai masuk pressure test di acara MCI, jantungku bergedup kencang kala harus bertatapan dengan lelaki paling otoriter se-Jakarta Raya, Jordy Hanandian, yang kini tengah menghunuskan pandangan dinginnya kepadaku.

Decakan kecil terdengar dari mulutnya, pertanda aku harus melebarkan senyum sesabar mungkin agar granatnya-nya tidak melukai kepalaku.

“Ng...Maaf, Pak—”

“Makanya, WA kamu ngapain sih di-non aktifkan segala? Hapus aja app yang gak penting. Ngeribetin orang aja bisanya,” dumel Jordy bahkan disaat kakiku belum menapak di mobilnya.

Mau tidak mau aku terpaksa diam dan merenungi omongannya. Cih, dia aja yang nggak tau alasanku sampai me-delete WA. Kan karena dia mendaftarkanku kesini!

“Dan satu lagi.” Aku sudah siap-siap menghela nafas, menahan amarah, tapi rundungannya belum kelar ternyata. Sambil mengecilkan suhu AC, Jordy kembali bersuara, “Sampe kapan WA saya kamu block?”

Jeng, jeng! Nih orang punya mata-mata berapa banyak sih? Kok sampai seluk-beluk sekecil itu saja, aku tak bisa berkelit darinya?

“Ng..nganu, Pak...” Nggak. Akan lebih baik aku mengiyakan saja titah sang duda. Mendapati tangannya yang penuh dengan bekas cakaranku, timbul sedikit rasa bersalah dalam diri ini. Aku sampai tak berani menoleh ke lengan Jordy yang dipenuhi cakaran itu.

“Nanti saya unblock,” janjiku cepat. Dan kulirik sedikit lengannya dengan tampang bodoh, “lukanya dalem juga ya, Pak?”

Dan si Otoriter itu langsung berdecak, “kalau nggak dalem, nggak mungkin berdarah kayak gini.”

“Iya, maaf, Pak.” Aku menundukkan kepala penuh sesal. Apakah akan lebih baik jika aku mengobatinya sekarang? Biar bagaimanapun aku melakukan kesalahan padanya.

“Ngapain ngeliat saya kayak begitu?” tanyanya datar. “Jangan bilang kamu mau kambuh lagi...”

“Enggak, Pak. Saya tadi sudah minum obat kok. Ng..” Aku mengeluarkan salah satu pembersih luka serta handsaplast yang selalu kusediakan di dalam tas.

“Kamu ambil dari kamar Idan, ya?” Sejenak netra Jordy terarah pada handsaplast milikku.

“Enggak, Pak. Ini punya saya. Kebetulan dulu saya pernah kerja jadi pengasuh anak-anak, jadi saya selalu sedia handsaplast corak pororo buat yang cowok, dan barbie buat yang cewek.”

Mendengar penjelasanku, Jordy justru menyeringai, seperti tengah meremehkanku, “kamu? pengasuh anak-anak?”

“Iya, udah lama. Waktu Papa baru meninggal. Sekarang sudah enggak lagi,” jawabku berusaha mengacuhkan remehannya. Jordy hanya ber-oh-oh ria, kemudian kembali memfokuskan tatapannya pada jalanan Ibu Kota. Dia menyetir, sedang aku menatap gamang lengannya yang terluka.

“Pak, lukanya boleh diobatin nggak sama saya? Maaf, ini bukannya lancang. Tapi kalo dibiarkan kayak gitu, takutnya infeksi.” Aku menawarkan satu kebaikan kepadanya yang langsung ia jawab—padat dan singkat.

“Nggak.”

“Oh, ya udah kalau begitu, saya taro disini aja handsaplast dan betadine-nya. Sampai rumah minta tolong sama Aidan untuk dibersihin ya,” kataku, meletakkan peralatan itu di dekat dasbor mobilnya. Siku Jordy yang menahan dasbor mobil dekat persenelingnya, membuatku agak kesulitan memasukkan peralatan itu ke dalam dasbornya, hingga terpaksa aku mendorong sikunya sedikit.

“Ck!” tukas Jordy, mukanya benar-benar kesal seketika. “Kamu tuh perempuan paling ribet yang pernah saya kenal, tau nggak?” Kan, ujung-ujungnya ngomel sendiri. Padahal dia yang ribet, duh.

“Saya bingung mau taro dimana, handsaplast dan betadine-nya. Saya pikir kosong...” Aku berujar pasrah. Nggak sih, lebih tepatnya aku hanya membela diri dari amukannya.

“Nih!” Ia tiba-tiba saja merentangkan tangannya ke arahku usai melipirkan mobilnya ke sebuah jalan yang agak sepi.

“Mau ngapain, Pak?” tanyaku bingung. Kukira sugar daddy alert-nya sedang menyala hingga berani memberhentikan laju mobilnya di suatu tempat terpencil.

“Katanya tadi mau dikasih betadine, saya mana bisa nyetir sambil diobatin,” sahutnya dengan wajah datar. Aku mengangguk saat baru paham apa yang ia omongkan dan segera membubuhkan betadine di atas lukanya. Dan yang mengherankan, Jordy tidak menampilkan mimik apapun. Ia hanya diam sembari memerhatikan tangannya yang sedang kuobati. Kalau begini, aku tidak menyalahkan protesan Aidan tentang papinya yang selalu dingin dan menyebalkan.

Lihat saja reaksi Jordy saat selesai diobati. Tidak ada ucapan terima kasih yang keluar dari bibirnya, dia justru berkomentar sinis, “betadine kamu kebanyakan, by the way.”

Matanya lalu terarah pada cairan coklat yang terbuang sia-sia, seperti usahaku mengobatinya, alias tidak dihargai sama sekali. Sekali lagi, karena menghadapi Jordy yang ternyata memiliki sifat persis dengan anaknya butuh kesabaran, maka aku putuskan untuk tidak lagi mendebat apapun yang ia ucapkan. Malah, aku sok inisiatif, mengelap bekasan betadine di lengannya.

“Ngapain?” Jordy bertanya retoris. Masak nasi! Aku menyahut dalam hati.

“Tadi Bapak bilang, betadine-nya kebanyakan,” aku memperjelas penyebab ocehan panjang lebarnya. Sementara yang kuajak bicara tetap memandang dengan wajah tegas nan dingin, “Ya maaf, Pak. Saya cuma nggak enak sama Bapak, itu tangannya kecakar.”

“Saya nggak butuh kamu ngelakuin hal-hal yang sering kamu tonton di drama Korea.” Dih?! Aku mengamuk dalam batin.

“Saya mau keadaan kamu membaik, supaya kamu bisa kerja lagi,” katanya dengan nada bicara yang mulai merendah.

“Iya, Pak.”

“Yang rajin minum obatnya,” ucap Jordy sekali lagi.

“Emang enggak apa-apa kalau punya resepsionis yang gak sedap dipandang kayak saya gini? Nggak mau cari resepsionis baru aja, Pak?” tanyaku hati-hati, mengingat tubuhku yang makin mirip dengan lagu andalan Tulus, Gajah.

“Yang nentuin karyawan berhak kerja di kantor itu saya? Atau kamu sih? Bawel amat,” sahut Jordy nyolot.

Aku mendengus ketika ia berucap ketus. Dasar duda sinting! Masih mending Jenan, sahabatnya yang talkative dan humoris itu, deh. Walau jokes-nya tak selalu lucu, tapi dia selalu berhasil melengkungkan senyum di bibirku.

Ah, jadi kangen Jenan.