Unholy Warning: +21

Singapura menjadi tempat pertama aku menginjakkan kaki di luar negeri.

Memanjakan mata dengan indahnya gedung-gedung tinggi serta ramainya pejalan kaki yang tertata, rupanya tak juga memuaskan dahagaku siang ini. Di bawah cuaca terik yang menderu, Jordy membawaku ke sebuah hotel berbintang lima di pusat Ibu Kota. Ia memesan kamar paling mewah, katanya agar kami dapat beristirahat dengan nyaman.

Begitu menjejaki lobby hotel, aku sungguh terpukau dengan desain interiornya yang didominasi dengan warna krem pada temboknya. Lantai marbel putih, hitam dan ornamen emas mirip seperti lantai kantor Jordy sebelum ia melepas PH kesayangannya.

Tak lupa dengan condiment mahal seperti mesin kopi dengan harga selangit, terpampang nyata di atas meja di depan ranjang berukuran besar yang nanti malam akan menjadi tempat tidurku.

Itupun kalau Jordy mengizinkanku beristirahat. Kalau tidak, ceritanya beda lagi.

“Yang.” Suara dalam Jordy membuatku berhenti meracau, pandanganku seketika dibius oleh dia yang tak lagi mengenakan kaus putih kesayangannya—alias—bertelanjang dada.

Jordy mendekat. Langkahnya pelan namun berbanding terbalik dengan degup jantungku yang berdetak cepat. Kini ia berhenti tepat di depanku.

“Ntar, ntar dulu. Aku mau mandi,” tahanku yang menuai hembusan nafas kecil sebagai protes darinya.

“Ya udah sana.” Tangannya tidak tinggal diam, dengan satu gerakan Jordy meremas bokongku pelan. Aku tertawa kecil seraya menghilang ke kamar mandi.

“Idan udah makan belum ya?” gumamku sambil memandangi layar ponsel, berbeda dengan ayahanda dari Aidan ini yang memelukku erat sambil memasukkan tangannya ke dalam pakaian tidurku.

“Kamu nih! Entar dulu kenapa sih, Mas? Aku mau telepon Idan.” Wajar dong aku berdecak gemas, karena Om Yahud malah cengar-cengir setelah puas memainkan pucuk payudaraku dengan jarinya. Aku segera menyingkirkan tangannya agar ia bisa berhenti sebentar. Tapi ya..namanya juga Jordy, makin dilarang, pasti dia akan lakukan.

“Hhhh...Mas Jordy, bisa nanti nggak sih?”

“Enggak,” ia membantah dengan tampang jahil.

“Kalo diliat Idan gimana?” Aku melotot.

“Bilang aja papi lagi main game console.”

“Gila.” Aku memutar bola mata. Jordy kalau udah mode seperti ini, tak akan menggubris perkataanku. Ia bertindak sesukanya, sampai kadang-kadang aku yang harus bertindak sebelum ia memainkannya terlalu keras.

“Ga bakal keliatan, aku belum pake lidah,” tambah Jordy dengan seringai menggoda.

“Ah—stop, Mas! Geli ih!” Akhirmya agendaku untuk mengobrol sama Aidan terpaksa batal karena Jordy si bandel ini sudah tak tahan. Pergerakannya pesat, hingga membuatku agak sesak.

Jordy menurunkan kepala, kemudian langsung mencumbuku lembut. Ibu jarinya bergerak, mengusap bibirku yang sedikit basah usai kami berciuman. Satu tangannya merogoh lingerie yang kukenakan dan membuka celana dalamku.

“Kalo sakit bilang ya,” bisiknya dengan suara dalam. Dan benar saja, aku mengerang saat dua jarinya merangsek ke dalam bagian sensitifku. Sontak kulingkarkan tanganku pada leher jenjangnya sambil meliuk-liukkan badan saking aku dibuat tak berdaya oleh Jordy yang subuh itu sangat menjaga staminanya. Pucuk payudarakupun tak luput dari bibirnya. Dia benar-benar lihai membuatku tunduk padanya. Setelah puas menguasai bagian-bagian tubuhku, kini gilirannya untuk mengoyak ranjang.

“Ri,” panggilnya dengan suara

“Sayang,” ujarku ditengah-tengah kami saling mengatur nafas. Dahinya masih penuh keringat, tapi tampaknya Jordy sangat puas kali ini. Ia tersenyum hangat seraya mengangkat kepalaku untuk bersandar di lengannya yang kokoh.

“Hmm?” jawabnya dengan memberi kecupan di dahiku.

”...kamu inget gak, pas keguguran beberapa bulan lalu...aku sempet dibilang gak akan bisa punya anak.”

Jordy memandangku sejenak, air mukanya terlihat tegar. “Itu kan pas sebelum kamu dibersihin, Yang.”

“Kalo masih berlaku gimana, Mas?” tanyaku cemas, aku masih pterpukul saat tahu bahwa aku harus kehilangan bayiku dengan cara yang tak wajar.

“No... jangan underestimate, Ri.” Jordy menarikku dalam dekapnya. Saat itu tangisku pecah, pelupuk mataku sudah basah. Kilatan memori tentang bagaimana anakku raib begitu saja langsung memenuhi kepala. Aku takut...aku takut tidak bisa membahagiakan Jordy dan Aidan.

“Ssshhh... masa nangis, Babe?” Aku tersenyum kelu. “Aku gak mau kamu sedih.” “Aku tambah sedih kalo liat kamu nangis gini, we haven't try it though. Baru hari ini cobanya, hahaha.”

Aku tertawa kecil mendengar guyonan ambigu khas bapak-bapak milik Jordy. Dengan candaanya itu aku tahu ia sedang menenangkanku.

“Babe, soal yang kemaren mungkin bakalan susah kamu lupain. Aku tau, aku juga sama. Tapi kita gak boleh pesimis, kalaupun kita cuma bertiga doang, I would be okay with that...” tatap teduhnya menepis segala ketakutanku.

“kamu abis baca komen di IG ya?”

Aku geleng kepala, enggan mengakui hal itu, tapi Jordy tahu bahwa aku hanya berkilah. Ia mencium keningku, lalu berucap. “Gak usah dipikirin, Babe. Kita punya anak lagi juga gak bakal pengaruh buat mereka. Aku ngajak staycation ke Spore gini juga untuk quality time.”

“Makasih ya, Mas Jordy.” Aku mengecup bibirnya kilat.