Unless It's You, I Fall Into
// cw // Mature Content
Dekapan Jordy masih membekas. Itu satu hal yang kupastikan melekat kuat dalam pikiranku. Maka ketika kedua kaki ini kulangkahkan pelan ke kamar, entah mengapa kakiku terasa lemas. Bukan perkara aku tak sanggup bila harus tidur berdua Jordy yang hobi memamerkan tubuh berotot yang penuh tato itu, tapi aku lebih tidak sanggup bila harus melihatnya menyembunyikan keluh, lelah dan patahnya sendirian.
Dua hari ke belakang, aku selalu memerhatikan Jordy berkutat pada tumpukan kertas di meja kerjanya. Bahkan tidak jarang, suamiku tertidur di atas tumpukan itu. Menjadi buruh di industri film, ternyata tak seindah bayanganku. Mereka bukan hanya duduk memantau di balik layar, ongkang kaki dan tinggal menyabet penghargaan, tapi ternyata ada kerja keras di dalamnya.
Aku langsung merasa tidak enak hati pada Jordy, lantaran pernah mempermasalahkan dia menyebut nama mendiang di ajang penghargaan bergengsi itu.
Aku merasa egois, tak becus dalam mendukung pekerjaan suamiku. Yang kupikir saat itu cuma cemburu yang menggebu, mengesampingkan betapa ia berjuang keras demi meraih penghargaan tersebut.
Maka sebagai tebusan atas keegoisanku, aku menghampiri Jordy yang tengah memejam mata di ranjang, merehatkan diri sejenak dari tumpukan skenario itu.
“Mas,” panggilku pelan. Ia tak menggubris panggilanku. “Tidurnya yang bener, nanti punggungnya sakit.”
Satu detik, dua detik Jordy tetap bertahan pada posisinya. Namun di detik ketiga, akhirnya ia bergerak pelan. “Mas, udah ya, jangan kerja lagi. Kamu capek banget itu, sampe cekung gitu matanya. Tidur ya? Jangan dipaksa lagi buat kerja.”
“Hmm.”
“Kamu lagi bad mood ya hari ini? Gara-gara apa?”
Jordy menggeleng pelan. Ia menarikku dari belakang, memelukku erat. Tangannya bertumpu di pundak. Seketika itu, aku terdiam. Jantungku berdegup tak beraturan, baru sadar jika ada satu hal yang kulupa malam ini.
Aku belum mengenakan bra. Biasanya aku selalu tidur menggunakannya, karena aku yakin Jordy tidak akan menyentuhku. Kontan, mataku yang seharusnya terpejam malah terjaga, sebab Jordy mengeratkan peluknya.
“Mas,” kataku pelan.
“Kenapa lagi...” Suaranya mulai mengayun pelan, “Gak bisa kita tidur aja?”
“Boleh ya aku ke kamar mandi sebentar,” izinku gelisah, sedangkan tangannya yang beberapa menit lalu bertengger hanya di sekitar pundak, kini merambat ke dada.
“Mas, aku mau ke toilet,” ujarku sekali lagi, dengan harap Jordy berhenti dan menurunkan tangannya ke bagian tubuhku yang lain.
Tetapi yang kudapat justru sebaliknya. Ia menggeleng, dan malah semakin mempererat peluknya. “Nggak mau,” gumamnya dengan nada memelas.
Sepertinya dia tahu aku berbohong. Akhirnya aku putuskan untuk menghadap ke arahnya.
“Kamu nggak pake bra ya?” tanya Jordy yang sontak makin membuatku malu.
Terpaksa aku mengangguk. Dan lagi, aku yakin jika selama ini dia menyadari kebiasaanku yang selalu mengenakan pelindung saat tidur.
“Pantesan.” Jordy mengekeh kecil. Mataku melebar kala dia tertawa, “pantesan apa?”
“Ngerengek alesan pengen ke toilet.”
“Ck!” Aku berdecak menahan malu.
“Nggak bagus kalau sering pake bra pas tidur,” ujarnya memberitahu layaknya orang tua menasihati anaknya.
Aku sontak tertawa ketika dia berkata seperti ayah kepada anaknya. Tapi apa yang Jordy katakan, sepenuhnya benar.
Aku selalu mengenakannya karena aku tak pernah terpikir kalau kami akan berada di titik yang sekarang.
Tidur seranjang, saling mengikat tubuh satu sama lain.
Desahan nafasnya berembus pelan di telingaku—seakan merayu untuk melepas segala yang selama ini kupertahankan sejak Jordy resmi menjadi suamiku.
“Rambut kamu wangi,” ia mendekati wajahnya.
“Aku abis keramas,” sahutku pelan. “Kamu gerah ya, kalo tidur nggak pernah pake baju.”
Dia menjawab dengan suara parau, “emang kebiasaan saya dari dulu kalo tidur gak seneng pake baju.”
“Ntar kamu masuk angin.”
“Nggak pernah, tuh,” balasnya cuek.
“Eh, aku ke kamar mandi dulu ya, Mas?”
“Mau pake bra?”
Aku mengangguk.
“Nggak usah.” Ia melarang.
Pikiranku langsung kacau detik itu juga. “Aku belum kebiasaan...” Aku terus beralasan dengan harap ia mengerti maksud hatiku.
“Kan tadi udah dibilangin, gak bagus.” Tangannya kini bertengger disela-sela dadaku. Perlahan ia menggerakkannya, dan kupastikan ia menyentuh salah satu dari milikku.
“Mas kamu ngapain...”
Ia tertawa kecil.
“Kan emang cuma boleh saya yang megang,” katanya sambil tersenyum.
“Sinting!” Aku menukas, menggeser tangannya dari benda yang paling ingin kulindungi. Matanya setengah terbuka, memandangku memelas.
“Sayang, boleh ya?”
“Nggak.” Aku berkeras diri. Ia merengut. “Tadi saya di-mention sama temen kamu di Twitter.”
“Chanting asu!” Aku kelepasan mengumpat, sebab sedari tadi aku sudah berusaha kuat dan tegar menahan diri agar hal ini dapat kusembunyikan rapat-rapat dari suami, tapi sayangnya pepatah yang sering kudengar itu benar adanya.
“Tuhan menyembunyikan rahasiamu, tapi tidak dengan sahabatmu.”
“Kamu nggak bales,” kataku sembari berusaha memindah tangannya dari salah satu benda itu.
“Emang enggak, tapi kan saya punya mata buat baca.”
“Maas!” Aku nyaris mendesah ketika sadar bahwa Jordy tidak hanya sekedar meletakkan tangannya di sana, tapi juga meremasnya.
“Kamu iseng banget!” Aku tersentak kaget.
“Saya suami kamu.”
“Bukan berarti kamu bisa seenaknya!” tegasku.
“Ya udah maaf,” ia mengalah dengan muka pasrah. “Maaf kalo maksa.”
“Aku bukan nggak mau,” tuturku mencoba memberinya pengertian.
Ia mendengarkan dalam raut penuh rasa bersalah. “Idan masih butuh perhatian ekstra. Sabar dulu ya, masih banyak yang harus kita perbaikin.”
“Apa?”
“Us.”
Entah apa yang membuatku menjadi seberani ini dalam mengutarakan isi pikiranku. Kulirik wajahnya dipenuhi rasa bersalah seketika. Disaat yang sama, akupun panik, takut menyinggung perasaannya.
”...Ng, aku gak maksud nyalahin kamu—”
“Saya tau, salah saya banyak sama kamu,” ia memotong perkataanku tanpa sedikitpun melepas peluknya. Justru kini dia kembali mengeratkannya.
“Maaf ya, aku kayaknya ngajak bicara pas lagi gak tepat gini,” sesalku kini memburu. Aku bukan maksud menolak permintaannya, namun kurasa baik aku dan dia harus sama-sama yakin akan pernikahan ini. Jadi, aku menahannya sebisaku. Dan lagi, Aidan...aku sangat menyayanginya seperti anakku sendiri walau dia tidak lahir dari rahimku. Ia masih butuh banyak perhatian dariku, juga ayahnya meski usia Aidan boleh terbilang pantas memiliki adik. Tapi yang paling aku utamakan adalah aku dan Jordy sebagai orang tuanya.
Masih banyak kurangku yang terkadang membuat Jordy marah, begitupun dia yang hingga saat ini membuatku bingung dan sulit membedakan apa sikapnya ini sungguh-sungguh atau dia hanya ingin kompak di depan Aidan dan tidak menyakiti anaknya.
“Nggak, kamu bener,” ucap Jordy. “Saya nggak sadar kalau saya selalu nyakitin kamu.”
“Mas, jangan gitu..”
“Tidur, besok saya harus kerja.”
“Kamu marah ya?” tanyaku lembut, ia menggeleng.
“Tidur, Mentari.” Kali ini suaranya tegas. “Kalo kamu udah siap, baru kasih tau saya. Its on you.” Ia tampak menjeda ucapannya, “...Saya ga marah sama kamu.”
Aku mengangguk dalam rengkuhnya, “...Mas, aku sayang banget sama kamu,” lirihku sepelan mungkin.
Ia tak menyahut, tapi jelas kurasa Jordy turut mengangguk dengan tangannya yang mengelus puncak kepalaku.
”...Kalau Jenan ngechat, jangan dibales.”
”...Kalau dia telpon jangan diangkat.” Aku melirik matanya yang mulai terpejam.
”...Kalau saya yang telpon, kamu harus angkat.”
”...Kalau saya chat, dibales.”
“Masih ada lagi, Pak?” gurauku sambil tertawa.
”...Kalau Idan mau tidur di sini, harus approve saya dulu.”
“Ih! Nggak boleh gitu, Mas. Itu anak kamu, masa gak boleh tidur sama papi mamahnya, yang bener aja?” Aku langsung mengomel panjang.
“Boleh, tapi nggak boleh keseringan. Harus banget saya ngulang-ngulang?” Ia tak mau kalah memprotesku.
“Kalo itu aku tau, Mas Jordy. Udah sih, kamu marah-marah melulu,” gerutuku kesal.
“Abis kamu, udah saya kasih tau masih keras kepala,” debatnya.
“Lagi, emang kenapa coba Aidan nggak boleh tidur sama orang tuanya—”
“Kamu mau dia liat kita posisinya gini?” Jordy balas menyekakku, netranya kini terperangkap pada pakaian tidurku yang transparan, tangannya yang terikat pada pinggangku.
Aku tersenyum kelu, kadang apa yang dia bicarakan ada benarnya. Pasti Aidan akan bertanya-tanya jika ia melihatku dan Jordy tidur dalam posisi saling menghimpit seperti ini.