Until The Last Breath of Us

// CW // Content Mature

“Saya terima nikah dan kawinnya, Mentari Ovellie Gaudina binti Aiman Budi Hendarto, dengan seperangkat alat shalat dibayar tunai.”

Kalimat ijab kabul diucapkan secara lantang oleh Jordy dengan wajah gugup. Netranya tertuju lurus pada penghulu dan para saksi yang mendampingi upacara sakral tersebut. Mentari, disebelahnya juga tak kalah tegang, mengingat ini adalah pernikahan kedua bagi mereka.

“Bagaimana saksi? Sah?” Suara penghulu yang memimpin akad tersebut sontak membuat Jordy berkeringat dingin. Ia cemas apabila kalimat yang terucap ada yang tidak lengkap, atau ada yang tiba-tiba menentang pernikahan mereka.

“Sah!” jawab para saksi.

“Alhamdulillah,” sahut Jordy dan Mentari kompak seraya mengusap wajah mereka sebagai ucapan syukur kepada Yang Maha Kuasa. Sesudahnya, Mentari segera menyalami punggung tangan suaminya, sebagai tanda ikrar hidupnya untuk Jordy. Namun tak seperti pernikahan mereka yang pertama, ketika Mentari mencium tangan Jordy, pundak tampak lelaki itu gemetar hebat dengan air mata yang mengalir deras. Kontan para kerabat yang menyaksikan itu juga merasakan harunya, terlebih mereka tahu apa yang sempat menimpa keduanya sebelum mereka berpisah.

“Malu ih, Mas. Idan ketawain kamu, malu sama tato!” Alih-alih ikut berselimut haru, Mentari malah menunjukkan reaksi sebaliknya. Ia nyaris terbahak ketika Jordy sedang memeluknya erat sembari mengucapkan terima kasih karena semestanya telah kembali.

“Awas kamu sampe rumah.” Tawa Jordy menghilang berganti menjadi wajah tanpa ekspresi. Melihat muka jahil sang istri serta Jordy yang menangis haru, sontak pembawa acara yang tak lain dan tak bukan adalah Renjana melontarkan pertanyaan.

“Pak Jordy, ada yang mau disampaikan?” Jordy kontan mengedarkan tatapannya pada pria yang pernah mengisi hidup istrinya zaman remaja.

”...Mungkin pesan-pesan untuk Riri,” tambah Renjana.

Jordy mengambil mic dari tangan Renjana, lalu memutar tubuhnya menghadap Mentari. Tatapan dingin yang barusan ia layangkan pada Mentari sirna, berganti menjadi tatap sendu penuh rayu. Mentari terakhir melihat Jordy memandangnya seperti itu saat mereka memutuskan berpisah.

“Aku...” Digenggamnya tangan Mentari lembut. “Mau minta maaf sama kamu.”

Mendengar ungkapan permintaan maaf itu para kerabat serta orang tua Jordy tak dapat menyembunyikan rasa terkejut mereka, karena sosok Jordy yang mereka tahu adalah lelaki yang penuh harga diri, jarang sekali mau mengakui kesalahan. Kalaupun ia punya salah, Jordy hanya akan bilang 'sorry' dan bukan maaf, apalagi sampai di muka umum seperti ini.

”...Karena aku berkali-kali nyakitin kamu,” katanya pelan.

Mentari mengangguk dengan tangan yang mengusap pipi suaminya. “Makasih udah ngasih kesempatan ke aku untuk memperbaiki diri dan jadi kepala keluarga yang baik. Aku masih perlu belajar banyak untuk ngertiin kamu,” lanjutnya yang membuat para kerabat makin menangis hebat, termasuk Mentari yang akhirnya luruh dengan permintaan tulus suaminya.

”...Udah sih, gitu aja.” Ia kembali memasang wajah tegas.

“Ri, nggak mau ngasih speech in English?” Renjana tambah meramaikan suasana, cengiran jahil pun terulas pada bibirnya, begitupun Chanting yang langsung mengganti mode sedihnya ke usil. “Iya, Ri. Kan lo udah nyontek oxford dictionary!”

Mendengar seruan kedua temannya, Mentari melayangkan tatapan kesal karena apa yang diucapkan Renjana dan Chanting benar adanya. Diam-diam, Mentari mengambil salah satu kamus milik Jordy yang berwarna biru yang ia pikir adalah kamus Bahasa Inggris-Indonesia, tak tahunya kamus itu hanya menyediakan arti dari english to english.

Akibatnya, Mentari begitu frustasi saat harus mempelajari vocabulary yang tercantum di dalamnya meski tak semua. Berkali-kali ia mengadu pada Chanting tentang betapa susahnya belajar bahasa inggris. Namun ia enggan menyerah karena tak mau membuat Jordy dan Aidan malu.

Mentari dengan gigih mempelajarinya. Mulai dari auxiliary verbs sampai sixteen tenses Mentari telan bulat-bulat sampai mual.

“Seriusan?” tanya Jordy bangga dengan wajah berbinar. Mentari mengangkat bahu, sengaja menghindar. Pertama, ia masih belum sefasih Jordy dan kedua, kosa katanya masih begitu mudah, setingkat dengan Aidan. Kalaupun ia mengerti, itu hanya sebagiannya saja. Tidak semua, karena kapasitas linguistiknya hanya mencakup dua bahasa. Indonesia dan Jawa.

“Jangan di sini, aku maluuuuuu!” bisiknya pada Jordy.

“Okay. I'll test you when we're home,” balas Jordy ikut berbisik.

“Yah! Gak jadi neh?” tagih Chanting. “Padahal daughter of Depok and son of Cililitan, wait for you to speak loh!!!” serunya penuh semangat sambil melirik Renjana si biang kerok.

“Maaf, kata suami aku bukan konsumsi publik.” Jawaban Mentari sontak mengocok perut kerabat-kerabatnya, juga Jordy yang agak terkejut dengan selera humor Mentari yang mirip dengan sahabatnya, Jenan. Lelaki yang sempat merasakan pukulan Jordy, namun setia menjadi sahabatnya sampai rela menemani Jordy bertandang ke rumah Bulik Ratih dimasa-masa ia dan Mentari berpisah. Ia mengedarkan tatapannya pada pria berlesung pipi itu, dan Jenan merespon dengan mengacungkan jempolnya, pertanda ia mengikhlaskan Mentari kembali pada cinta sejatinya.

“Okay, let me check what you have here...”

Mentari memutar bola matanya malas, karena alih-alih mengidamkan kemesraan sepulang dari acara akad dan makan siang, suaminya justru mengaminkan ucapannya barusan. Memberinya ujian kehidupan selain ujian rumah tangga—tes bahasa inggris.

“Sayang, aku ngantuk tau, mau tidur. Mau peluk, mau manja-manjaan, eh malah disuruh belajar bahasa inggris—”

“Can you tell me how much you mean to me?”

“Hah?” Mentari mengerutkan alisnya dengan tampang berpikir. Otaknya sontak mengartikan kata per kata dari kalimat yang Jordy ucapkan.

Sementara lelaki yang berperan sebagai guru malam itu melipat kedua tangannya, seakan sangat menanti jawaban Mentari.

“Yang, besok aja yaaa!” bujuk Mentari yang langsung ditentang Jordy. Mau Mentari merayu suaminya dengan elusan, Jordy tetap tak tergoda. Ia melipat kedua tangannya di depan dada dengan wajah serius. “Aku pernah ngasih tau jawabannya lho waktu itu.”

Mentari langsung panik, ia menggaruk kepalanya yang tak gatal sambil memaksa otaknya untuk membongkar segala memori tentang Jordy yang telah tersimpan sekian lama.

“Kapan?” Dahinya mengernyit dalam.

“Oh God, how could you forget everything about us?” Jordy mendekati istrinya dengan ikut menaiki kasur. Tangannya terulur untuk membaringkan tubuh Mentari di ranjang mereka, raut muka seriusnyapun lenyap ditelan bumi, dan seketika berubah sayu seakan sedang menggoda Mentari untuk segera membalas cumbuan Jordy di detik berikutnya.

“Yang...” Tawa renyah serta gugup Mentari mengudara ketika Jordy semakin mendekatkan wajahnya pada Mentari. Kini tubuh mereka kembali saling mengikat dan satu per satu pakaian mereka mulai tanggal, Jordy dengan leluasa menguasai tubuh puannya dan mulai menghantarkan sensasi hangat yang selama ini keduanya nantikan. Usai satu cumbuan panas serta pagutan mesra itu berlangsung, Jordy bergumam, “kamu bilang abis nikah. Ya udah.”

“Hahahaha.”

“Udah inget belum jawabannya tadi?”

Mentari mengangguk, “you mean a lot to me.” Ia menyengir lebar yang disambut Jordy dengan sentuhan lembut pada bagian tersensitif miliknya.

“Yaaang!” Mentari kontan menjerit kaget, namun Jordy membungkamnya dengan menandaskan ciuman panas pada bibir ranumnya. Detik berikutnya kedua sejoli itu saling berlomba mencari kenikmatan di antara nafas mereka yang tersengal. Mentari yang baru pertama kali melakukannya hanya bisa menggigit bibir sambil sesekali meringis kala sang suami meminta lebih.

“Yang, aku baru pertama...” adunya. Jordy tersenyum sembari mengelus pinggul sang istri. “And I'm sorry for doing this to you.”

Mentari menekuk wajahnya, tapi tak lama ia kembali mengizinkan suaminya untuk menjadi tuan bagi tubuhnya.