What True Love Means
“Joooooo!” Regina berseru dengan suara gemetar. “Kamu liat? Aku bisa ketik gak pake salah kayak dulu!” Perempuan itu melonjak senang, menari-nari di atas kasurnya.
Malam itu melalui video-call, Xavier melampiaskan rindunya pada Regina. Begitu dia mendengar bahwa Regina bisa sedikit demi sedikit dapat meluruskan jemarinya, hatinya sangat bahagia. Rasanya satu masalah hidupnya terangkat.
Well, Xavier tidak pernah menganggap kekurangan Regina sebagai beban hidupnya.
Tidak.
Dia mencintai gadis itu sepenuh jiwanya. Tetapi satu yang paling ia takutkan, kala suatu saat mereka akan terpisah jarak, yakni kekecewaan Regina. Walau Xavier berharap Regina tidak akan sedih, tetapi perasaan itu kan manusiawi. Siapa yang nggak sedih kalau akan berpisah lama dengan sang pemilik hati?
Siapapun pasti akan menjawab hal yang sama.
“Selamat ya, Babe. I know, you're super strong!” Xavier memberi ucapan selamat sambil bertepuk tangan kecil. Regina tersenyum lebar, penuh rasa bangga.
“Sumpah, Jo. Aku nggak nyangka. Tiga minggu lalu jari aku gak bisa aku gerakin sama sekali. Eh, tapi tau-tau tadi, aku coba pelan, ternyata bisa, Jo!” Perempuan itu terlihat membolak-balikkan tangannya. Kadang ia luruskan, kadang jarinya ditekuk.
“Iya, Sayang. Aku tau itu. Aku seneng banget liatnya.”
“Makasih Jo, makasih udah mau nemenin aku, doain aku. Dukung aku. Coba bayangin kalo nanti kamu jauh dari aku...”
“Gin, aku udah mau sampe ke cafenya Fabian nin. Kita sambung nanti ya? Love you,” sela Xavier bergegas menarik perseneling mobilnya.
“Oke, Sayangku. Have fun sama anak-anak ya. Love you so much!”
Xavier tersenyum dan melambai tangan ke kamera ponselnya sebelum ia menekan layar ponsel, untuk mematikan sambungan video call itu.
—
“Waduh, ada apa gerangan nih Bapak Joseph melinting rokok di tangan?” Fabian menepuk pundak Xavier kala lelaki itu bersiap memantik api dari koreknya.
Fabian memiringkan kepalanya, melirik Xavier yang berkali-kali menghempas nafas. Kalau sudah begini, pasti sobatnya ini tengah memikirkan sesuatu. Gelagat Xavier yang amat kentara, membuat Fabian dengan mudah menerka.
“Belum ngomong sama Regina?”
Xavier terheran kala tebakan Fabian tepat sasaran. Dia mengangguk.
“Mau ngomongnya kapan?” tembak Fabian.
“Nggak tau.” Xavier menyahut putus asa. “Dia lagi happy banget karena mengalami kemajuan.”
Mata Fabian melebar antusias. “Serius? Udah bisa jalan?”
“Kalau yang itu belum, Fab. Tapi jarinya udah mulai bisa dilurusin. Dia bisa ngetik, kalo biasanya kan kayak panjang dan hurufnya kecil besar gitu. Sekarang udah mulai normal lagi...” Kemudian Xavier menyesap rokoknya sebentar. “Gue mana tega...” desahnya.
Fabian mengangguk paham. Posisinya memang sulit sekali. Dia mengerti maksud Xavier yang terhimpit situasi. “Tapi lo nggak mungkin gak ngomong. Menjadi arsitek kan impian lo dari lama, Xav.”
“I know.” Dia menghela nafas lagi untuk kesekian kali.
Xavier terdiam kala mengingat perdebatan kecil mereka, mengenai ketakutan Regina yang akan menghancurkan impian Xavier. Tapi untuk Xavier dia sama sekali tidak mengganggunya. Hanya, entah mengapa disaat-saat Regina menunjukkan progres yang baik...Xavier merasa ia sangat berat menyampaikan rencana kuliahnya.
“Ngomong dah, serius kalo kata gue.” Fabian mematikan puntung rokoknya. “Karena kalo lo lama nyimpennya nanti dia tambah kepikiran.”
“Iya, Fab. Gue harus liat mood Gina dulu.”
“Pastinya. Tapi semoga dia baik-baik aja.” Fabian tersenyum. “Gue mau kok gantiin lo jagain Regina.”
“Lo mau gue pukul bagian mana dulu nih? Tangan apa kaki?” gurau Xavier mengangkat topi. Fabian tergelak sejadi-jadinya.
“Daripada Hazel, bisa-bisa pacar lo berubah haluan bener.”
“Hahahaha, tai.”
“Tapi jujur. Gue salut sama lo Xav.” Fabian meminum sedikit tequillanya. “Gue kalo jadi lo mikir-mikir lagi sih mau melanjutkan hubungan atau engga.”
“Yang nggak bisa gerak cuma kaki dan tangannya doang, Fab. Orangnya tetep sama. Regina. Gue gak mikir dia mau kayak gimana, yang jelas dari dulu...Regina emang beda aja.”
“Bucin, bucin.” Fabian terkekeh tapi memaklumkan. Sejak dulu, dari awal Regina bertugas di OMK, hanya dia dan keempat temannya yang sadar jika Xavier memang menaruh rasa pada Regina. Dan hal itu tak terbantahkan.