noonanya.lucas

“Anya,” panggil Pak Elliot. Raut muka serius dari mantan bos Anya ini langsung membuat Anya getir setengah mati.

“I-iya...Pak?” sahut Anya terbata-bata.

“Makasih banyak ya, Nya,” kata Pak Elliot tulus.

“Makasih untuk apa, Pak?” Tanpa menjawab tanggapan Anya, Pak Elliot mengedar tatapannya kepada sang anak bungsu.

“Saya nggak tau apa yang kamu lakukan sampai membawa perubahan besar pada Shaka.”

“Shaka itu dari dulu paling cuek dibandingkan Rakha. Jujur aja, saya agak khawatir sama dia. Ya emang sih, dia ngejalanin karier sesuai passionnya, tapi mau berapa lama sih, Nya? Dan yang saya khawatirkan, arena balap itu keras. Kalau Shaka kenapa-napa, gimana? Sejak ketemu kamu...Shaka kayak nemuin semangat hidupnya, Nya.”

Anya sangat-sangat terkejut. Ucapan Pak Elliot sukses menghantarkan Anya pada suatu keyakinan tentang Shaka. Anya bahkan tidak pernah tahu apa yang ia lakukan pada Shaka. Tapi jelas, yang Anya rasa, Shaka tidak pernah main-main padanya.

“Dia semangat ke kantor. Deal semua beres di tangan dia sama kamu. Dan yang paling penting dari semua itu, saya beneran kagum sama kamu yang kuat dan mandiri. Saya rasa Shaka itu menjadikan kamu motivasinya.”

Astaga, Anya bersumpah dalam hati, jika saja disana tidak ada siapa-siapa, hanya ada Shaka, air mata Anya sudah tumpah ruah. Ia tak dapat menyembunyikan rasa haru ketika Pak Elliot menceritakan tentang sang putra dan bagaimana Anya berpengaruh untuk Shaka.

“Terima kasih banyak, Pak.” Pak Elliot tertawa kecil menatap Anya yang terpasang tegang. “Hahaha, emang saya semenakutkan itu ya, Nya?”

“Eh? Enggak gitu maksudnya, Pak,” ujar Anya gugup.

“Abis kamu ngeliatin saya kayak saya ini hantu aja. Anyway, mulai sekarang jangan panggil “Bapak” lagi ya, Nya.”

Pupil Anya melebar, nyaris tidak percaya mendengar ucapan Pak Elliot barusan. “M-maksudnya gi-gimana, P-pak?”

“Ya masa saya dipanggil 'Bapak' sama calon menantu saya?”

Lutut Anya terasa lemah ketika Pak Elliot menampilkan barisan gigi rapihnya yang putih. Ia hampir saja menangis haru kala Pak Elliot menganggukkan kepala, kemudian berkata, “welcome to Kamandhaka family, Anya.”

“Makasih, Pa...” ucap Anya penuh rasa haru. Dari belakang, Shaka memberi kejutan melalui genggaman tangannya.

“Vendor wedding-nya mau yang mana, Gyayunindia Pradnya Gayatri?” Shaka mengeluarkan kotak kecil di hadapan Anya.

“Kaaaaa...” Anya sudah tak bisa menahan harunya, segera ia hamburkan peluk pada tubuh kokoh El Shaka. Bahunya tampak bergetar.

“Jarang-jarang nih Anya yang tegas di kantor nangis begini, hahahaha.” Pak Elliot menderai tawa disaat Anya menyeka air matanya.

“Selamat ya, Anya dan Shaka. Lancar-lancar persiapannya.” Dari belakang seorang perempuan berpenampilan edgy muncul bersama dengan lelaki yang amat dikenal oleh Shaka. Ketika mereka bertatapan, Shaka berseru kaget.

“LO BENER BENER YA NYET! Pantes aja lo nanyain Laia mulu!” Shaka tertawa lepas, begitupun sosok berdarah Batak yang sedang tertawa bersamanya.

“Jo tuh mukanya doang rembo, hatinya Rinto Harahap,” ucap Shaka meledek. Yang disoraki tersenyum malu-malu.

Enggan mengalah, Jovan juga ikutan membuka rahasia besar Shaka. “Congrats ya, Ka. Eh, Anya. Kawan gue ini naksir berat sama lo sampe maksa Sadewa, supaya jadwalnya dituker sama Rayhan,”

Shaka langsunng memelotot pada Jovan,” bacot lo, Ucok!”

Anya cuma bisa geleng kepala, dan akhirnya paham, mengapa El Shaka jauh lebih sering menjemputnya dibandingkan supir operasional yang lain.

“Boys will always be boys,” gumam Elaia menghela nafas, memerhatikan dua lelaki di depannya dan juga Anya saling meledek satu sama lain.

“Nya, makasih banyak ya, mau tahan banting sama Shaka. And, welcome to our family,” kata Laia. Anya tersenyum tulus pada Elaia.

“Sama-sama, Kak. Justru aku yang makasih udah ngasih hadiah buat Nora.”

“Oh, iya!” tukas Laia. “Nora lucu banget sumpah, anaknya gampang deket sama orang, ya? Dia lagi ngospek Rakha. Tuuuh!” Laia mengacungkan telunjuknya ke ruang tamu, memperlihatkan Anya, jika putri kecilnya langsung jadi idola dan kesayangan semua keluarga Kamandhaka. Ia bahkan bermain bersama Ariel, anak sepupu Shaka sambil diawasi oleh kembaran Rakha. Lelaki itu tampak terengah-engah tatkala dua gadis kecil yang berlarian itu meminta Rakha untuk menjadi kuda-kudaan mereka.

Lucunya, Rakha nurut saja.

Untuk Anya, semua yang ia lihat dan alami ini seperti hadiah kecil dari Tuhan untuknya. Buah kesabaran yang mungkin selama ini sangat ia nantikan.

Bertemu dengan laki-laki seperti El Shaka membuat Anya sadar jika yang ia butuhkan ada laki-laki yang tidak hanya mengecap janji belaka, tetapi juga usaha dan perjuangan yang nyata. Anya bersyukur sekali untuk itu.

Lantas netra Anya pun beredar dan terhenti pada sosok yang sebentar lagi menjadi suaminya. Shaka yang baru saja mengobrol empat mata dengan Jovan menghampiri Anya yang tertangkap sedang memandangnya lekat-lekat.

“Haiii,” bisik Shaka dengan senyum lebar. “Hai...” sapa Anya, menyelipkan tangannya di balik lengan kokoh Shaka.

”....Fiancee.” Shaka menyambung ucapannya, yang langsung membuat pipi Anya bersemu merah.

“I love you,” bisik Shaka seraya merapatkan jarak berdirinya ke Anya.

“I love you too,” jawab Anya, menghadiahkan kecupan kecil di bibir tunangannya.

“Anya,” panggil Pak Elliot. Raut muka serius dari mantan bos Anya ini langsung membuat Anya getir setengah mati.

“I-iya...Pak?” sahut Anya terbata-bata.

“Makasih banyak ya, Nya,” kata Pak Elliot tulus.

“Makasih untuk apa, Pak?” Tanpa menjawab tanggapan Anya, Pak Elliot mengedar tatapannya kepada sang anak bungsu.

“Saya nggak tau apa yang kamu lakukan sampai membawa perubahan besar pada Shaka.”

“Shaka itu dari dulu paling cuek dibandingkan Rakha. Jujur aja, saya agak khawatir sama dia. Ya emang sih, dia ngejalanin karier sesuai passionnya, tapi mau berapa lama sih, Nya? Dan yang saya khawatirkan, arena balap itu keras. Kalau Shaka kenapa-napa, gimana? Sejak ketemu kamu...Shaka kayak nemuin semangat hidupnya, Nya.”

Anya sangat-sangat terkejut. Ucapan Pak Elliot sukses menghantarkan Anya pada suatu keyakinan tentang Shaka. Anya bahkan tidak pernah tahu apa yang ia lakukan pada Shaka. Tapi jelas, yang Anya rasa, Shaka tidak pernah main-main padanya.

“Dia semangat ke kantor. Deal semua beres di tangan dia sama kamu. Dan yang paling penting dari semua itu, saya beneran kagum sama kamu yang kuat dan mandiri. Saya rasa Shaka itu menjadikan kamu motivasinya.”

Astaga, Anya bersumpah dalam hati, jika saja disana tidak ada siapa-siapa, hanya ada Shaka, air mata Anya sudah tumpah ruah. Ia tak dapat menyembunyikan rasa haru ketika Pak Elliot menceritakan tentang sang putra dan bagaimana Anya berpengaruh untuk Shaka.

“Terima kasih banyak, Pak.” Pak Elliot tertawa kecil menatap Anya yang terpasang tegang. “Hahaha, emang saya semenakutkan itu ya, Nya?”

“Eh? Enggak gitu maksudnya, Pak,” ujar Anya menepis.

“Abis kamu ngeliatin saya kayak saya ini hantu aja. Anyway, mulai sekarang jangan panggil “Bapak” lagi ya, Nya.”

Pupil Anya melebar, nyaris tidak percaya mendengar ucapan Pak Elliot barusan. “M-maksudnya gi-gimana, P-pak?”

“Ya masa saya dipanggil 'Bapak' sama calon menantu saya?”

Lutut Anya terasa lemah ketika Pak Elliot menampilkan barisan gigi rapihnya yang putih. Ia hampir saja menangis haru kala Pak Elliot menganggukkan kepala, kemudian berkata, “welcome to Kamandhaka family, Anya.”

“Makasih, Pa...” ucap Anya penuh rasa haru. Dari belakang, Shaka memberi kejutan melalui genggaman tangannya.

“Vendor wedding-nya mau yang mana, Gyayunindia Pradnya Gayatri?” Shaka mengeluarkan kotak kecil di hadapan Anya.

“Kaaaaa...” Anya sudah tak bisa menahan harunya, segera ia hamburkan peluk pada tubuh kokoh El Shaka. Bahunya tampak bergetar.

“Jarang-jarang nih Anya yang tegas di kantor nangis begini, hahahaha.” Pak Elliot menderai tawa disaat Anya menyeka air matanya karena terharu.

“Selamat ya, Anya dan Shaka. Lancar-lancar persiapannya.” Dari belakang seorang perempuan berpenampilan edgy muncul bersama dengan lelaki yang langsung membuat Shaka berseru kaget.

“LO BENER BENER YA NYET! Pantes aja lo nanyain Laia mulu!” Shaka tertawa lepas, begitupun sosok berdarah Batak yang ia bicarakan.

“Jo tuh mukanya doang rembo, hatinya Rinto Harahap,” ucap Shaka meledek. Yang disoraki tersenyum malu-malu. “Congrats ya, Ka. Eh, Anya. Kawan gue ini naksir berat sama lo, sampe maksa Sadewa, supaya jadwalnya dituker sama Rayhan.”

Saling membuka kartu, Shaka melotot pada Jovan tapi tentunya cuma taraf bercanda.

“Boys will always be boys,” gumam Elaia mendapati adiknya dan sosok yang sedang mendekatinya tak berhenti meledek satu sama lain.

“Nya, makasih banyak ya, mau tahan banting sama Shaka. And, welcome to our family,” kata Laia. Anya tersenyum tulus pada Elaia.

“Sama-sama, Kak. Justru aku yang makasih udah ngasih hadiah buat Nora.”

“Oh, iya!” gelai Laia. “Nora gemes banget sumpah. Dia udah deket sama Rakha, lagi diospek. Tuuuh!” Laia mengacungkan telunjuknya ke ruang tamu, memperlihatkan Anya jika putri kecilnya langsung jadi idola dan kesayangan semua keluarga Kamandhaka. Ia bahkan bermain bersama Ariel, anak sepupu Shaka sambil diawasi oleh kembaran Shaka, Rakha.

Anya menatap Shaka yang baru saja bicara empat mata dengan Jovan dengan segala perasaan bahagia yang sangat meluap-luap. Lelaki itu lantas menghampiri Anya yang berdiri di balkon villa dengan tatapan lekat.

“Haiii,” bisik Shaka dengan senyum lebar. “Hai...” sapa Anya, menyelipkan tangannya di balik lengan kokoh Shaka.

“Fiancee.” Shaka menyambung ucapannya, yang langsung membuat pipi Anya bersemu merah.

“I love you,”” ucap Shaka sekali lagi.

“I love you too.” Anya menyahut, menghadiahkan kecupan kecil di bibir Shaka.

“Surprise...” Suara pelan El Shaka membuyarkan segala lamunan Anya. Di depan perempuan itu, ternyata bukan cuma ada Shaka, tetapi juga Founder NCIT Corporate—Elliot Kamandhaka.

Pria paruh baya yang mengenal Anya cukup lama itu tersenyum, seraya meletakkan secangkir kopi di atas meja.

“Halo, Anya. Apa kabar?” sapa Pak Elliot. Dalam sepersekian detik, ruh Anya seolah melayang, memerhatikan Shaka yang tersenyum bangga ke arah sang ayah.

“Baik, Pak.” Anya menjawab dengan satu tarikan nafas. Kali ini situasinya berbeda. Kalau dulu setiap pagi Anya gugup karena harus mem-follow up all the deals antar perusahaan dan vendor kepada Pak Elliot, kini gugupnya Anya diakibatkan oleh restu yang ia harapkan dari Beliau.

“Kok kamu tegang gitu, Nya?” tanya Pak Elliot sambil melempar senyum hangat. Tak jauh dari Pak Elliot, sesosok laki-laki yang perawakannya persis dengan Shaka turut menyambut kedatangan Anya dan Nora.

“Halo, gue Rakha,” ucap lelaki itu penuh keyakinan.

“Anya,” balas Anya dengan uluran tangan. “Gak usah lama-lama tangan lo ye!” Dari arah samping, Shaka menepuk tangan Rakha yang membuat Pak Elliot tertawa terbahak-bahak.

Pria itu mengedarkan tatapannya kepada Shaka dan Rakha, “kalian berdua ini dari kecil selalu berebut. Nggak mainan, nggak apapun.”

“Oh, kalo yang sama Anya, Rakha takut dipelototin Shaka. Mending cari yang lain aja deh, mohon maaf ya.”

Lalu Shaka dengan sengaja membulatkan matanya, “tuh sadar lo.”

“Iya, iya, Ka. Tapi Anya, kalau ada temen, boleh kok kenalin ke gue. Udah lama nih tangan gue gak dipegang-pegang. Keburu karatan nanti,” gurau Rakha.

Anya sempat tercengang sekaligus terharu. Ia tidak pernah berpikir bahwa keluarga besar Shaka dengan mudah menerima kehadirannya beserta Nora. Seperti yang telah Anya bayangkan sebelumnya, ia memiliki keraguan untuk dikenalkan Shaka ke keluarganya.

“Iya, Rakha. Kalo ada ya,” ucap Anya seraya menebar senyum. Sementara lelaki tampan di sebelah Anya, asyik mengalungkan tangannya di atas bahu Anya.

“Kagak sopan banget lo sama kakak sendiri,” tegur Rakha, mendengus.

“Kagak sopan apanya sih?” balas Shaka jahil sambil menaik-naikkan alisnya. “Iri ya, bos?” ejek Shaka tertawa-tawa. Mendengar gelegar suara tawa Shaka beserta saudara kembarnya, anak kecil menggemaskan yang sejak tadi tidur nyenyak di stroller-nya menggeliat. Lalu, tidak beberapa lama kemudian, anak kecil itu menangis.

“HUAAAAA!”

Anya sontak terkejut, begitu juga Shaka. Ia langsung mengangkut Nora dari strollernya.

“Bangun kan! Lo sih!” omel Shaka pada Rakha yang menampilkan raut muka bersalah, tapi hanya beberapa detik, karena saat pertama kembaran Shaka itu bertukar pandang dengan gadis kecil berkuncir dua ini, ia langsung gemas kepadanya. Ekspresi lucunya saat menangis tak pelak membuat Rakha ingin merebut Nora dari gendongan Shaka.

Tanpa berpikir panjang, Rakha mengambil boneka beruang yang ada di tangan Nora. Dan ketika boneka itu berpindah tangan, tangis Nora langsung pecah membelah seluruh ruangan.

“HUAAAAAAAA PAPAAAAA!”

“Rakha....” Shaka menggelengkan kepala. Yang menerima pandangan datar, balas menatap bingung ke arahnya. “Sori, sori. Ini Om balikin ya... Ini, ini.” Cepat-cepat Rakha mengembalikan boneka itu pada sang pemilik, dan seketika itu juga tangis Nora terhenti. Tapi mimiknya yang lucu saat masih terisak-isak membuat Rakha makin gemas. Ia mengulurkan tangan, ingin mencubit kedua pipi gembul Nora.

“Cuci tangan dulu, nyet.” Shaka mendorong tangan Rakha. “Nora punya eczema,” beritahu lelaki itu. Reflek, Rakha menjauhkan tangannya.

“Untung lo ngasih tau, gue abis ngerokok tadi. Cuci tangan dulu lah gue,” pamit Rakha. Ia langsung masuk ke villa. Anya di sebelah Shaka memandang kekasihnya dengan tatapan haru. Seperti biasa, apapun yang Shaka lakukan selalu membuat Anya takjub.

“Nya? You okay?” Kali ini suara itu bukan dari Shaka, tapi dari Pak Elliot. Pria itu lantas mengajak Anya menepi sebentar.

“Jadinya kita nginep di villa kamu, Ka?”

Lelaki berhidung mancung itu menurunkan kacamata andalannya, kemudian mengangguk. “Iya, Nya. Lebih aman di sana, ada satpam yang jaga. Luas kok tempatnya, Nora bisa lari-lari, jumpalitan.”

Anya tertawa pelan, “Ya enggak sampe jumpalitan juga dong. Emangnya dia lady rocker?”

“Siapa tau kan? Passion Nora di dunia musik, orang tiap nyanyi baby shark palanya sampe headbang.”

Anya tergelak mendengar ucapan Shaka. Dia memang membenarkannya. Nora kalau suka dengan sesuatu, pasti akan menari-nari dan menggoyangkan kepalanya.

“Hahaha, kamu nih, ada-ada aja, Ka. Bagus sih kalo dia punya passion di musik, tapi kalo jadi lady rocker kayaknya ga mungkin.”

“Aku akan jadi pendukung nomer satu kalo Nora jadi lady rocker!” gurau Shaka makin menjadi-jadi sambil membentuk jari metal. Anya di sebelah cuma bisa geleng-geleng melihat kelakuan Shaka yang ada-ada aja.

“Nora pules banget tidurnya.” Shaka berucap seraya membelai kepala anak yang tengah berada di pelukan ibunya, sambil terus memeluk boneka beruang kesayangannya pemberian Shaka.

“Coba kamu ambil bonekanya, Ka.” “Emang kenapa?”

“Cobain aja.” Dengan polosnya Shaka menuruti perkataan Anya, dan tidak sampai semenit Nora langsung menunjukkan mimik imut seolah mau menangis. Shaka segera mengembalikan boneka itu ke tangan Nora.

Mendapati bocah kecil itu tidak mau melepas boneka pemberiannya, hati Shaka tergugah. Ia begitu tersentuh kala menemukan Nora sangat menyukai boneka pemberiannya.

“Dia selalu gitu kalo boneka dari kamu diambil, kalo ada yang mau narik mukanya langsung kayak mau nangis,” tutur Anya seraya menepuk-nepuk punggung Nora agar ia kembali tidur nyenyak.

“She loves you a lot, Ka..” kata Anya dengan mata berkaca-kaca.

“Sama kayak aku. I love you a lot too. And her of course.” Shaka menjawab, seraya menggenggam tangan mungil Nora yang tergantung di atas tangan ibunya.

“Aka, bener-bener kamu nih ya..”

“Blushing lagi!” ledek Shaka. “Sayang, entar lagi sampai. Aku biar turunin strollernya Nora dulu. Kamu turunnya nanti.”

“Iya, Sayang.” . . . .

Nuansa pedesaan yang asri menyapa netra Anya saat pertama kali ia melangkah turun dari mobil Rolls Royce milik Shaka. Mereka berhenti tepat di depan sebuah villa yang berlandaskan aksen kayu dan terkesan seperti rumah orang Jepang. Kalau begini, sudah pasti Anya tidak perlu menebak siapa pemiliknya. Keluarga Elliot Kamandhaka.

Anya pernah sekali ke tempat ini. Pada saat itu, Anya sedang ditugaskan Pak Elliot untuk mengecek lahan property yang ia pegang, rupanya lahan yang sedang dibangun itu akan dijadikan villa sebagus ini. Anya cukup takjub dengan arsitektur dan interior di bagian depan. Warnanya coklat gelap cenderung ke warna kayu mahgony, memberi kesan simpel dan mewah. Anya memang sangat hafal dengan selera Pak Elliot yang menyukai bangunan minimalis.

Villa ini begitu mengambarkan ayah dari Shaka tersebut. Omong-omong soal Pak Elliot, tidak jauh dari pandangan Anya, mengapa ia seperti melihat mobil dinas Pak Elliot terparkir di seberang? Apakah Beliau juga sedang berkunjung?

Anya segera melirik Shaka yang sedang mendorong stroller Nora. Laki-laki itu sama sekali tidak berbicara apa-apa soal ini. Dia sejak tadi malah sibuk ngajak bercanda Anya. Seketika kalut pun menyergap benak perempuan itu.

Bayangan-bayangan jika Pak Elliot akan memasang tampang kecut pada ia dan putrinya membuat langkah Anya terasa berat, sampai ia menyeretnya.

“Nya, kenapa?” Shaka segera menoleh pada Anya, memerhatikan wajah canggung serta pucat pasi di parasnya, lelaki itu mengusap pundak Anya, menyalurkan ketenangan pada perempuan yang sungguh ia cintai ini.

“Everything will be fine, Anya. Ada aku.” “Bukan itu...” ujar Anya memelankan suara. “Percaya deh, they even have something special for Nora.”

Anya melongo. Dia bahkan tak tahu apa-apa mengenai ini.

“Apaan?” “Dah, ikut aja ke dalem,” ajak Shaka.

“Melipir aja dulu. Nggak apa-apa kok, Nya.” Shaka menghentikan mobilnya di tepi jalan. Hari ini, tidak seperti biasa, Anya duduk di belakang—mendampingi Nora. Di tangan perempuan itu, tampak sekotak kecil sup ayam dan daging yang telah ia persiapkan untuk bekal Nora.

“Makan dulu ya, Cantik. Nanti habis ini kita liat giraffe, elephant, lion, and crocodile,” bujuk Shaka dari bangku kemudi. Sebelum Anya berhasil menyuapkan satu sendok kecil ke mulut Nora, anak itu ternyata sedang rewel. Berkali-kali Nora mendorong tangan mamanya, menolak makan.

“Eh, kok enggak mau mamam?” tanya Shaka. Laki-laki itu lantas turun dari mobil, lalu berpindah ke jok belakang. Shaka memang sengaja meletakkan satu mainan yang pernah Nora bawa, waktu pertama kali mereka bertemu. Ia membelikan yang sama persis dengan mainan kesayangan anak itu, supaya fokus Nora teralihkan.

“What is this?” Shaka menyodorkan mainan mobil-mobilan ke “Car! Shooo! Shooo!” Berhasil membuat Nora tertarik pada mainan tersebut, Anya pun langsung mencari celah menyuapkan sesendok makanan ke mulut Nora, dan hap! Nora langsung memakannya dengan lahap.

usai beberapa suapan, Anya di samping Nora, terpaku pada Shaka yang sedang mengajak putrinya mengobrol. Tidak sedikitpun Shaka merasa terganggu dengan pertanyaan konyol yang ditanyakan Nora padanya. Justru, Shaka malah semangat memberi jawaban. Lutut perempuan itu sungguh dibuat lemah oleh cara Shaka yang mampu mengasuh Nora. Padahal Anya tahu tidak mudah untuk seorang seperti Shaka yang belum berpengalaman menjadi orang tua.

Ia ingat betul, situasi ini ketika ia dan Tara masih bersama-sama. Saat Nora menolak makan, Tara justru meletakkan makanannya di atas meja anak itu dan berkata tegas, “Eleanor kalo nggak mau makan, nggak usah makan, ya. Dadda nggak suka nih kalau kamu ribet makannya.”

Mendengar ucapan Tara kala itu, hati Anya sungguh tersayat. Bagaimana bisa Tara meninggalkan anaknya yang menangis kencang? Ia justru ngedumel pada Anya, berkeluh karena Nora menolak makan mpasi yang Anya bikinkan.

“Kamu aja deh tuh, Nya yang suapin. Capek banget aku, makanan semua sama dia dilepehin,” dengus Tara, lalu ia berjalan ke dapur dan meninggalkan Nora yang mengangkat tangannya meminta gendong.

Sungguh berbeda dengan Shaka yang sangat-sangat sabar menghadapi Nora seperti ini. Sambil terus mengajak anak kecil itu bermain, dan tanpa youtube, hebatnya Nora mau membuka mulutnya lebar-lebar, meminta Anya untuk memasukkan makanan ke mulutnya.

“Pinter banget anak Papa, eat a lot ya, Nora. So you can beat the lion!” seru Shaka sambil menirukan auman suara singa.

Nora tampak senang dan tertawa terbahak-bahak. “Papa, lion!!!”

“AUM!!!” Shaka menekuk jari-jarinya seperti cakaran singa, dan kembali menirukan suara auman hewan buas itu.

“Hahahahaha, again, again!” Nora menyahut penuh antusias sampai terbatuk-batuk saking girangnya.

“Oops! Sorry, Nora.” Shaka sigap menepuk-nepuk punggung Nora dan mengusapnya beberapa kali. “Minta minumnya, Nya.”

Anya di samping Shaka tertangkap basah cengo dengan tampangnya yang lagi-lagi sedang terpasang haru. “Yang, tolong minumnya Nora,” ulang Shaka. Gadis kecil yang masih duduk di carseatnya itupun ikut menirukan ucapan Shaka, “Yang, minumnya Nola.”

Shaka dan Anya sontak saling bertatapan heran dan menderai tawa, gemas sendiri dengan tingkah Nora yang menunjuk-nunjuk mulutnya yang terbuka.

“Oh, iya, iya..” Anya lantas membuka botol berbentuk kelinci untuk ia berikan pada putri kecilnya.

Karena di kotak makan Nora makanannya sudah habis, Shaka pun bergegas pindah ke depan. “Good job, anak papa. Are you ready to see the lion????”

“Yeeeeeeeesssss! I want to feed the elephant, rabbits and birds!”

“Okay, Sayang. Let's gooo!” sahut Shaka yang kini siap menyalankan mesin mobil. Anya dari bangku penumpang, mengelus pelan tengkuk leher Shaka sebagai ucapan terima kasihnya.

“And good job too for Papa..” kata Anya seraya melirik pada Shaka. Yang menerima elusan, mengayunkan tangannya kemudian mengusap tangan Anya.

“Thanks, Sayang,” balas Shaka sambil tersenyum lebar, dan mengelus rambut hitam pekat Anya.

Sepanjang melanjutkan perjalanan, Anya tiada henti menggenggam tangan Shaka. Jika biasanya Shaka-lah yang lebih dulu mempererat pegangannya pada Anya, kali ini Anya yang mulai duluan. Raut wajah Anya mulai memancarkan kebahagiaan yang dulu hampir tidak pernah terlihat di mukanya.

El Shaka, sang pemberi kebahagiaan pasti untuk Anya seorang.

“Mamaaaaaaaa...”

Suara imut yang menyambut Anya selagi ia membuka pintu apartnya, membuat rasa hangat dengan cepat menjalari tubuh wanita itu. Tatap sendu Anya tak pelak jatuh pada kedua manik mata bulat milik putri semata wayangnya—Nora.

Tangan mungil Nora terangkat, berusaha menggapai jemari sang bunda. Kalau sudah begini, Nora pasti mau digendong.

“Anak Mama...” Dalam sepersekian detik aroma minyak telon mulai menyapa indra penciuman Anya. Begitu membuatnya ingin mendekap sang putri setiap saat, menyalurkan rasa aman pada Nora.

“Maaf Nora, Mama kemaren nggak pulang. Nora kangen sama Mama nggak?” tanya Anya sembari membiarkan Nora bermain dengan ujung rambutnya. Sambil mengucek mata, Nora mengangguk. “I miss Mama and Papa.”

Anya tersenyum, menyugar rambut sang putri. Mendengar ada kata 'Papa' yang tersebut oleh Nora, Anya menarik kembali senyumnya. Bukan berarti sosok yang barusan Nora cari-cari, berhenti menjadi sumber bahagia untuk seorang Anya.

Justru sosok itulah yang mampu membuat Anya bangkit kembali, dan berani mengecap rasa cinta. Meski baru kenal sebentar, rasanya...Anya sudah tak mau berpisah.

Shaka—pria itu, adalah lelaki yang mungkin boleh Anya katakan yang terbaik yang hidupnya. Hampir tidak pernah Anya melihat Shaka mengesampingkan Anya. Apapun yang berhubungan dengan dirinya dan sang anak, Shaka pasti akan mendahulukannya.

Isn't it amazing? Shaka dan segala pengorbanannya untuk Anya, bak anugerah yang selama ini Anya nantikan. Belum pernah Anya bertemu dengan lelaki seperti Shaka yang begitu tulus menyayangi Anya serta Nora. Bahkan, sampai membelikan hal-hal yang semestinya menjadi tanggung jawab Tara dan Anya.

Dengan semua yang Shaka lakukan untuknya Anya berpikir kembali. Sudah saatnya Anya melepas rasa takut akan kembali berumah tangga yang sempat membelenggu dirinya.

Tanpa Shaka perlu menyatakan cinta dengan rangkaian kata yang indah, Anya sungguh-sungguh merasa bahwa Shaka betul mencintai Anya dengan tulus. Bukan cuma Anya, tetapi juga Nora.

Ketika ia dan Shaka sedang dalam perjalanan pulang, keduanya sempat berdiskusi panjang tentang rencana untuk mereka ke depan.

Rencana yang tidak Anya sangka-sangka mampir kepadanya.

Menikah lagi—yang ia harapkan menjadi pernikahan terakhirnya.

Butuh beratus-ratus bulan bagi Anya untuk meyakinkan dirinya melangkah ke jenjang itu. Di sisinya saat ini, bukan hanya Shaka, tetapi juga ada Nora. Anak ini akan semakin dewasa, kian lama ia akan mengerti situasi yang terjadi pada keluarganya.

Nora akan terbiasa tidak melihat Tara bersamanya, yang akan ia lihat adalah Shaka. Dan yang Anya inginkan, Nora bukan hanya menganggap Shaka sebagai pengganti Tara, melainkan juga sosok ayah yang begitu mencintai dirinya.

Anya tahu, demi mencapai titik itu akan sulit. Nora kini masih kecil, lalu bagaimana jika ketika Nora dewasa kelak, rentetan pertanyaan itu mampir kepada Anya?

Anya sedang memikirkan ini masak-masak berdua bersama Shaka.


Di mobil, beberapa menit sebelum Anya naik ke apart...

“You look startled, Nya. Or...confuse? You have something to tell?” tanya Shaka, mendaratkan elusan pada dahi Anya.

“Aku lebih ke confuse, Ka. It's not that I didn't ready for this. I'm just thinking about Nora. Saat ini Nora emang masih kecil, tapi ke depannya yang aku pengenin...pas dia udah gede nanti, dia bukan melihat kamu sebagai pengganti Tara. But also a father whom she really love and respect.”

“She will I think. But takes time,” kata Shaka, memindahkan tangannya dari perseneling ke atas tangan Anya. Seolah mengerti bila Anya sedang dirundung kalut, lelaki itu mengusap tangan perempuan itu.

“Aku tau nggak akan gampang menjelaskannya, tapi kamu juga harus ngasih waktu buat Nora untuk mengerti.”

Anya mengangguk, lalu mempererat genggamannya pada Shaka. Selalu, sentuhan hangat dari telapak tangan lelaki itu mampu menyurutkan segala rasa kalut yang memenuhi relung Anya.

“Kamu pasti kaget, tadi aku nanya mau nyari vendor wedding?”

Anya mengiyakan. “Aku tau maksud kamu nggak langsung kita nikah besok or gimana, tapi kadang di sisi lain aku takut ngerasa egois untuk Nora.”

Mendengar penuturan dari Anya, Shaka memilih bungkam. Paham betul dengan keputusan yang mereka buat akan berimbas pada Nora dan juga tumbuh kembangnya kelak, sebagai calon orang tua bagi gadis kecil itu, Shaka tidak menganggap sepele kerisauan Anya ini.

Justru jauh setelah Shaka tau jika anak perempuan itu adalah anak Anya, ia banyak merencanakan hal-hal yang berkaitan tentang Nora dan perkembangannya. Memang, Shaka akui tidak mudah untuk menjadi orang tua sambung, apalagi dia sendiri belum pernah punya anak. Akan ada banyak pertanyaan yang mungkin Nora pertanyakan kepada Anya dan dirinya; tentang Tara yang tidak lagi tinggal bersama ibunya dan justru tinggal bersama Shaka— menjadi salah satu pertanyaan besar bagi anak itu. Karena, otomatis ketika Anya dan Shaka menikah, Nora akan ikut bersama mereka.

“Kamu takut kalau Nora nanya soal Tara, ya?”

Anya kembali mengiyakan. “Dia kan suka nanya dulu, kenapa Dadda gak pernah pulang, kenapa dia cuma bisa vidcall Tara, dan Tara gak pernah mau nonton lagi bertiga sama aku..”

“I'm so sorry, Ka.. Aku bukannya mau nginget yang dulu..”

“Nggak, Nya. Aku ngerti posisi kamu. Jujur aja, aku nggak ada masalah kalau semisal Nora pengen main sama Tara, atau kamu ketemu Tara buat urusan Nora. It must be something yang udah kamu bicarain sebelumnya dengan Tara.”

”...So more or less aku juga enggak punya hak untuk melarang kamu ataupun Nora ketemu Tara. Kewajiban kalian untuk ngebesarin Nora, sama seperti aku ngebesarin Nora dan anak-anak kita nanti. Sama aja.”

Pernyataan itu sukses membuat Anya kembali hanyut dalam pribadi seorang Shaka. Kebimbangannya seakan tersapu rata lewat perlakukan pria itu, pola pikirnya yang memukau, sungguh meyakinkan Anya bahwa Shaka memang tidak pernah main-main kepadanya. Teduhnya netra El Shaka ketika bertukar pandang dengan Anya, membuat perempuan itu melengkungkan senyum tulus untuk Shaka.

“Nangis lagi nih?” Mendapati Anya yang sedang menatapnya haru, Shaka mencari celah untuk menggoda.

“Akaaaaaa,” kata Anya seraya menutupi mukanya pakai lengan, malu.

Shaka tertawa terbahak-bahak mendapati wajah Anya yang memerah. Sedangkan Anya, hampir saja lemah karena ucapan Shaka barusan. Pemilik tato kupu-kupu itu andal menerbangkan kupu-kupu pada perut Anya.

“Kan, pasti mau nangis mulu. Genre hidup kamu apa sih, Nya?” gurau Shaka masih belum puas menertawakan Anya.

“Angst, tapi dulu. Sekarang udah enggak,” sahut Anya tersenyum lebar.

“Hahahaha.”

“By the way, aku sebenarnya mau ngajak kamu ngecek lahan di Cinere dan Cipete,” ungkap Shaka.

“Tapi, kamu habis sakit, jadi baiknya kamu istirahat aja di rumah. Kapan-kapan kan masih bisa,” kata Shaka lagi.

“Lahan apa?” tanya Anya bingung.

“Hmm, ada tanah kosong yang Papa suruh liat. Katanya sih mungkin mau dibuat tempat usaha, entah FnB, entah buat cabang perusahaan lain,” terang Shaka.

“Oh, gitu..” Anya manggut-manggut.

“Aku cek sendiri dulu, nanti kalo kondisi kamu udah bener-bener pulih, baru aku ajak ya. Kasian juga kalau Nora nanti ditinggal lama-lama sama kamu,” ucap Shaka, mengeratkan genggaman tangannya.

“Iya nggak apa-apa, Aka. Thank you so much ya.. Nanti kalo udah di rumah, aku vidcall.”

“Sip, Sayang. Maaf gak naik dulu, bilangin sama Nora ya? Nanti Papa Aka-nya telepon.”

“Iya.” Usai menerima pelukan singkat dari Shaka, Anya baru merasa lega dan siap naik ke apart.

“Hati-hati Mr. Butterfly,” ujar Anya yang membuat Shaka langsung memutar badannya menghadap Anya. Ingin mendengar julukan baru yang Anya hadiahkan kepadanya.

“Hahaha, jangan bikin kangen gini dong Mamanya Nora.”

“Hahaha, abisan kamu gitu sih. Bikin aku bingung mau bales apaaa! Rese banget, tau.” Anya mengacak-acak rambut Shaka.

“Ck, jangan gini, Nya. Mau ketemu vendor Papa loh ini.” Shaka merapihkan rambutnya kembali.

“Cewek yaaa? Sampe harus rapih-rapih gitu?” tanya Anya.

“Jealousan banget nih Bu Anya sekarang,” kekeh Shaka. “Ya udah ya, Yang. Aku jalan dulu.” Secepat kilat Shaka memberikan kecupan di dahi Anya.

Anya pikir dengan cuma mengonsumsi vitamin penambah darah, juga meminum obat penurun panas, kondisinya akan lekas pulih. Nyatanya, tubuh Anya sedang enggan bersahabat. Tadi ketika ia selesai meeting dengan Restu, sang direktur keuangan, mendadak kepalanya pusing hingga pada akhirnya Anya tumbang di tempat.

Kehebohan pun tak terhindar ketika semua orang di ruang meeting mendapati Anya lemas tak berdaya. Langsung saja, laki-laki bertubuh tinggi menjulang itu membawa tubuh Anya untuk dilarikan ke rumah sakit terdekat. Restu hanya mengantar Anya dan memastikan rekan kerjanya benar-benar mendapat penanganan yang tepat oleh dokter.

Anya kini sudah terbaring di salah satu ruangan teratas yang dimiliki oleh rumah sakit tersebut. Tangannya terinfus serta hidungnya dipasangkan selang oksigen. Menurut dokter yang menangani Anya, wanita itu mengalami anemia yang cukup parah sehingga tubuhnya memberi penanda agar ia dapat beristirahat.

Restu terlihat duduk di salah satu sofa yang tersedia. Tubuh tegapnya sedikit membungkuk sambil sesekali mengangkat pandangan pada Anya yang perlahan-lahan mulai siuman.

“Pak Restu...?” Anya segera menoleh pada sesosok pria yang ia kenal. “Iya, Nya. Saya cuma nemenin aja, kok. Habis ini langsung balik,” ucap Restu sambil menarik senyum tipis.

“Aduh, hahaha. Maaf banget ya, Pak jadi merepotkan,” balas Anya sungkan. “Oh enggak apa-apa, Nya. Yang penting istirahat aja dan minum obatnya.”

Usai berkata demikian, Restu yang tampaknya sedang diburu waktu segera beranjak dari sofa. Sesaat ia melangkahkan kaki, di depannya terlihat Shaka yang berdiri berhadapan dengannya. Tanpa membalas tatapan Restu, Shaka langsung mengarahkan pandangannya pada Anya yang juga melirik dirinya.

“Nya, saya duluan ya. Masih ada meeting,” pamit Restu. “Iya, Pak. Makasih banyak ya, hati-hati baliknya,” ucap Anya seraya tersenyum pada sosok yang baru saja meninggalkan ruangan itu.

Shaka di sebelah Anya bersikap seperti tak biasanya. Lelaki itu lebih banyak diam, mengunci rapat mulutnya dengan wajah datar. Mendapati raut muka Shaka yang terpasang dingin, Anya membujuknya dengan elusan pada punggung tangan berurat milik laki-laki itu.

“Ka...” “Aku beneran marah sama kamu kali ini,” dengus Shaka tanpa menepis tangan Anya.

“Kok masuk-masuk akunya malah dimarahin sih, Ka...” “Ya gimana nggak marah, liat nih kamu ngapain?” omel Shaka masih dengan muka cemberutnya.

“Aku kira tadi...” “Aku kira, aku kira. Nggak pake kira-kira, Nya. Kenapa sih kalo sakit suka banget ditutup-tutupin? Pake acara dianter Restu lagi.”

Yang nerima omelan panjang menatap kernyitan alis Shaka sambil nahan senyum, “jealous ya, Ka?”

“Nggak.”

“Iya, kamu cemburu. Kayak Nora aja kalo liat aku sibuk,” ledek Anya. “Aku bukan marah perkara kamu dianter Restu, itu nanti aja dibahasnya,” sanggah Shaka.

“Terus apaan dong?”

Shaka memberi jawaban pada Anya melalui pandangan matanya yang terarah pada infus dan selang oksigen pada tubuhnya. “Ini, Nya. Ini. Aku nggak suka kalo kamu kerja sampe bikin kamu sakit kayak gini.”

“Iya, maaf, Aka...Aku juga udah minum obat tadi pagi, tapi mungkin emang lagi kecapekan aja...Udah dong aku jangan dimarain terus,” bujuk Anya dengan nada memelas. Mendengar nada memohon yang keluar dari bibir Anya, Shaka pun berusaha meredam kekhawatirannya walau tak langsung bisa hilang semua.

“Jangan kayak gini lagi ya, Nya,” kata Shaka pelan, mendaratkan ciuman pada dahi Anya.

“Peluk dulu dong!” Anya merentangkan tangannya. Tanpa ragu Shaka pun segera menarik Anya dalam dekapannya untuk membuang segala kerisauannya tentang kesehatan Anya.

“Tadi aku sempet ketemu dokter kamu, Nya. Katanya kamu anemia yang bisa dipicu dari stres. Kenapa lagi? Masalah hak asuh Nora?” tanya Shaka, melonggarkan peluknya.

Anya sempat terlihat ragu ketika mendengar lontaran pertanyaan Shaka. Sebab, ia cukup berhati-hati dan telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak melibatkan Shaka dalam urusan pribadinya dengan Tara. Walau Anya sempat kepikiran tentang keseriusan hubungannya dengan Shaka di masa depan, rasanya terlalu tidak adil bagi Shaka kalau harus ikut pusing mengenai masalah ini.

“Hmm...” Anya bergumam ragu. Lelaki di sebelahnya ini langsung menepikan duduknya di sebelah Anya, menarik lagi wanita itu untuk ia peluk sebentar. Mungkin seperti yang Shaka duga sebelumnya, hal ini berkaitan dengan mantan suami Anya. Di satu sisi, Shaka ingin sekali menanyakan tentang hal itu, tetapi ia ingat jika Anya pernah menegaskan bahwa ia tidak mau Shaka terlibat dalam masalahnya dengan Tara. Jadi, mau tidak mau Shaka menahan diri, menunggu Anya menuturkan kepadanya secara langsung.

“It's okay kalau kamu nggak mau cerita dulu sama aku,” ucap Shaka, memberi usapan pelan pada pundak Anya.

“Makasih ya, Ka...Aku bukannya nggak mau cerita sih, tapi bingung aja harus dari mana ceritainnya.” Anya menarik nafas pelan. “I don't know if it's a right thing to tell you. But I kinda feel annoyed lately.”

“Tara?” Anya menggeleng. “Bukan sih, tapi mantan mertuaku sempet minta bantuan ke aku untuk bantu Tara, but on the other side I don't think helping him is a good way for him. He needs to pay twenty seven million for his guilty. I didn't know what happen to him, dan tau-tau dia disuruh bayar uang sebegitu banyaknya.”

“Buset, banyak amat,” ucap Shaka menanggapi dengan singkat. “Kamu gak nanya problemnya apa emang?”

Mendengar pengakuan Anya, Shaka langsung teringat akan pesan rekannya, Jeandra Hartawan. Pemilik perusahaan tempat Tara itu mengaku kalau ia mengalami kerugian besar akibat perbuatan mantan suami Anya. Dan pastinya, uang dalam jumlah besar yang barusan disebutkan Anya adalah uang ganti rugi perusahaannya. Shaka bahkan mendengar berita lain dari Sadewa tentang Tara. Sadewa bilang, Tara dirumahkan karena enggan dijebloskan ke penjara.

Tapi yang tidak pernah Shaka sangka ialah Tara yang masih bermuka tembok di depan Anya. Dari mana ia memiliki keberanian sebesar itu untuk meminta uang pada mantan istrinya? Jika Shaka ada di posisi Tara, ia pasti akan benar-benar malu karena perbuatannya.

“Nggak, Ka. Aku sama Tara decide untuk komunikasi tentang Nora doang. Selebihnya, urusan pribadi kembali ke masing-masing. Aku udah nggak sama dia anyway, kan,” jawab Anya sembari menghela nafas pelan.

Shaka sementara itu, menatap Anya dengan raut wajah khawatir dan mengusap puncak kepalanya, “Terus, kamu mikirin ini sampai sakit?”

Anya terdiam. Mau seberapa besar usaha Anya berkelit, ujung-ujungnya Shaka selalu mampu membuatnya tak berkutik. Akhirnya, Anya mengangguk. “Aku tadinya nggak mau mikirin ini, Ka... Tapi aku nggak nyaman aja kalau terus-terusan ditelepon sama mamanya Tara.”

“What did she say to you?” tanya Shaka kemudian. “A lot of things. Dragging Nora juga. Aku jadinya nolak karena memang ada sebagian tanggungan yang harus aku selesaikan buat Nora,” ucap Anya, lalu ia mengedarkan tatapannya pada Shaka yang masih memandangnya dengan wajah khawatir.

“Sorry ya, Ka.. jadi bikin kamu khawatir juga.” Perempuan itu mengelus pelan pundak Shaka.

“Don't mention it, Nya. Yang penting aku tau kamu baik-baik aja. Istirahat ya, nggak usah dipikirin. Apalagi sampai bikin kamu drop kayak gini lagi,” jawab Shaka sambil mengecup pelipis Anya. Lalu, tangan wanita yang sedang dipenuhi selang infus itu, ia genggam sebentar. Shaka yakin disaat-saat seperti ini pasti Anya sedang kalut. Wajah teduh perempuan itu sampai terlihat sendu dan tak berseri seperti biasanya.

“Ka, kamu udah makan belum? Jangan ikutan sakit juga kayak aku.” Anya baru sadar jika ini sudah jam makan siang. Sejak tadi Anya tidak melihat Shaka mengunyah atau meminum sesuatu.

“Udah, Sayang. Tadi aku udah sarapan di rumah. Makan siangnya aku pesen aja, biar sekalian bisa nyuapin kamu,” balas Shaka dari sofa. Mendengarnya, Anya langsung tersipu-sipu. “Ih, segala disuapin.”

“Tangan kamu masih diinfus gini, Nya. Nggak apa-apa,” ujar Shaka memerhatikan tangan kanan Anya yang terinfus.

“Makasih ya, Ka.” Anya mengangkat tangan kirinya dengan susah payah demi mengelus rambut belakang Shaka. “Sama-sama, Sayang. Nanti kalau emang gak mau makan makanan rumah sakit bilang aja, aku pesenin sekalian.” Lelaki itu membalas dengan memberi kecupan pada telapak tangan Anya.

“Oh iya...” Shaka mengedarkan baru menyadari tidak ada suara menggemaskan yang biasanya menyapa Shaka melalui telepon ataupun video call. “Nora masih sama Tara ya?” Anya mengangguk. “Minggu depan baru sama aku.”

“Oh gitu..” “Kenapa emang, Ka?”

“Kangen, sepi nggak ada Nora, biasanya ada yang ngegelendotin aku, hahaha.”

Anya tersenyum kecil, merasakan dirinya kini dipenuhi aliran hangat yang sampai pada lubuk hatinya sambil terus memandangi wajah Shaka yang duduk di sebelahnya.

Baru kali ini ia mengenal laki-laki yang sebegitu tulusnya menyayangi Nora. Sebab pasca bercerai dulu, banyak lelaki yang menjauhi Anya saat tahu jika Anya sudah dikaruniai seorang putri dari pernikahannya yang terdahulu.

Salah satu laki-laki itu adalah sosok yang tadi mengantarnya ke rumah sakit,

Restu.

Dan hanya Shaka, yang benar-benar menerima Anya secara utuh dan mencintai Anya sebegitu hebatnya.

Dengan begitu, Anya semakin yakin pada Shaka. Jika laki-laki yang kini tengah sibuk mengecek situasi saham pada aplikasi di ponselnya sambil tangannya nggak berhenti menggenggam tangan Anya—adalah definisi a good man untuk dirinya.

Rasa cinta Anya pada Shaka pun meluap hebat, dan ia pun tersadar jika dengan Shaka-lah, ia ingin melabuhkan hatinya.

Bukan hari ini saja, melainkan sepanjang hidupnya, seperti yang Shaka katakan.

“Btw, Nya.” “Iya, Shaka?”

“Restu tadi bilang apa sama kamu?” “Masih jealous yaaa?” ledek Anya.

“Enggak,” kilah Shaka. “Iya juga enggak apa-apa, Aka...” kata Anya seraya menekan-nekan pipi Shaka dengan telunjuk kirinya. Yang dibujuk supaya nggak cemburu langsung ketawa, “Kamu nih ya, tau aja kelemahan aku, hahaha.”

“Hahaha, abis tadi kamu masuk-masuk mukanya kayak mau nonjok orang. Aku kira yakuza, nggak taunya El Shaka, hahaha.”

“Dih, sekarang ngeledek terus ya!” Shaka pun turut tertawa mendengar gurauan Anya, lelaki itu kembali memeluk Anya, membiarkan dirinya terbuai dalam aroma tubuh Anya yang lembut dan beraroma bunga. Hari ini Anya memang sengaja memakai parfum yang amat disuka Shaka, yakni Kenzo Flower.

“Kamu pasti pake parfum kamu yang aku suka itu ya?” Anya mengangguk. “Tapi kan ada Restu tadi,” kata Shaka.

“Hahaha, jealousan banget deeeh Aka,” ledek Anya lagi. “Padahal aku pake parfum ini soalnya tau pasti kamu mau ngejagain aku.”

“Kata siapa?” “Jadi kamu maunya aku dijagain Restu aja ya?” balas Anya memerhatikan wajah Shaka tertekuk saat mendengar nama rekannya disebut.

“Coba aja dia jaga kamu besok posisinya langsung sama kayak Sadewa.” “Sadis banget hahahaha.”


Anya pikir dengan cuma mengonsumsi vitamin penambah darah, juga meminum obat penurun panas, kondisinya akan lekas pulih. Nyatanya, tubuh Anya sedang enggan bersahabat. Tadi ketika ia selesai meeting dengan Restu, sang direktur keuangan, mendadak kepalanya pusing hingga pada akhirnya Anya tumbang di tempat.

Kehebohan pun tak terhindar ketika semua orang di ruang meeting mendapati Anya lemas tak berdaya. Langsung saja, laki-laki bertubuh tinggi menjulang itu membawa tubuh Anya untuk dilarikan ke rumah sakit terdekat. Restu hanya mengantar Anya dan memastikan rekan kerjanya benar-benar mendapat penanganan yang tepat oleh dokter.

Anya kini sudah terbaring di salah satu ruangan teratas yang dimiliki oleh rumah sakit tersebut. Tangannya terinfus serta hidungnya dipasangkan selang oksigen. Menurut dokter yang menangani Anya, wanita itu mengalami anemia yang cukup parah sehingga tubuhnya memberi penanda agar ia dapat beristirahat.

Restu terlihat duduk di salah satu sofa yang tersedia. Tubuh tegapnya sedikit membungkuk sambil sesekali mengangkat pandangan pada Anya yang perlahan-lahan mulai siuman.

“Pak Restu...?” Anya segera menoleh pada sesosok pria yang ia kenal. “Iya, Nya. Saya cuma nemenin aja, kok. Habis ini langsung balik,” ucap Restu sambil menarik senyum tipis.

“Aduh, hahaha. Maaf banget ya, Pak jadi merepotkan,” balas Anya sungkan. “Oh enggak apa-apa, Nya. Yang penting istirahat aja dan minum obatnya.”

Usai berkata demikian, Restu yang tampaknya sedang diburu waktu segera beranjak dari sofa. Sesaat ia melangkahkan kaki, di depannya terlihat Shaka yang berdiri berhadapan dengannya. Tanpa membalas tatapan Restu, Shaka langsung mengarahkan pandangannya pada Anya yang juga melirik dirinya.

“Nya, saya duluan ya. Masih ada meeting,” pamit Restu. “Iya, Pak. Makasih banyak ya, hati-hati baliknya,” ucap Anya seraya tersenyum pada sosok yang baru saja meninggalkan ruangan itu.

Shaka di sebelah Anya bersikap seperti tak biasanya. Lelaki itu lebih banyak diam, mengunci rapat mulutnya dengan wajah datar. Mendapati raut muka Shaka yang terpasang dingin, Anya membujuknya dengan elusan pada punggung tangan berurat milik laki-laki itu.

“Ka...” “Aku beneran marah sama kamu kali ini,” dengus Shaka tanpa menepis tangan Anya.

“Kok masuk-masuk akunya malah dimarahin sih, Ka...” “Ya gimana nggak marah, liat nih kamu ngapain?” omel Shaka masih dengan muka cemberutnya.

“Aku kira tadi...” “Aku kira, aku kira. Nggak pake kira-kira, Nya. Kenapa sih kalo sakit suka banget ditutup-tutupin? Pake acara dianter Restu lagi.”

Yang nerima omelan panjang menatap kernyitan alis Shaka sambil nahan senyum, “jealous ya, Ka?”

“Nggak.”

“Iya, kamu cemburu. Kayak Nora aja kalo liat aku sibuk,” ledek Anya. “Aku bukan marah perkara kamu dianter Restu, itu nanti aja dibahasnya,” sanggah Shaka.

“Terus apaan dong?”

Shaka memberi jawaban pada Anya melalui pandangan matanya yang terarah pada infus dan selang oksigen pada tubuhnya. “Ini, Nya. Ini. Aku nggak suka kalo kamu kerja sampe bikin kamu sakit kayak gini.”

“Iya, maaf, Aka...Aku juga udah minum obat tadi pagi, tapi mungkin emang lagi kecapekan aja...Udah dong aku jangan dimarain terus,” bujuk Anya dengan nada memelas. Mendengar nada memohon yang keluar dari bibir Anya, Shaka pun berusaha meredam kekhawatirannya walau tak langsung bisa hilang semua.

“Jangan kayak gini lagi ya, Nya,” kata Shaka pelan, mendaratkan ciuman pada dahi Anya.

“Peluk dulu dong!” Anya merentangkan tangannya. Tanpa ragu Shaka pun segera menarik Anya dalam dekapannya untuk membuang segala kerisauannya tentang kesehatan Anya.

“Tadi aku sempet ketemu dokter kamu, Nya. Katanya kamu anemia yang bisa dipicu dari stres. Kenapa lagi? Masalah hak asuh Nora?” tanya Shaka, melonggarkan peluknya.

Anya sempat terlihat ragu ketika mendengar lontaran pertanyaan Shaka. Sebab, ia cukup berhati-hati dan telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak melibatkan Shaka dalam urusan pribadinya dengan Tara. Walau Anya sempat kepikiran tentang keseriusan hubungannya dengan Shaka di masa depan, rasanya terlalu tidak adil bagi Shaka kalau harus ikut pusing mengenai masalah ini.

“Hmm...” Anya bergumam ragu. Lelaki di sebelahnya ini langsung menepikan duduknya di sebelah Anya, menarik lagi wanita itu untuk ia peluk sebentar. Mungkin seperti yang Shaka duga sebelumnya, hal ini berkaitan dengan mantan suami Anya. Di satu sisi, Shaka ingin sekali menanyakan tentang hal itu, tetapi ia ingat jika Anya pernah menegaskan bahwa ia tidak mau Shaka terlibat dalam masalahnya dengan Tara. Jadi, mau tidak mau Shaka menahan diri, menunggu Anya menuturkan kepadanya secara langsung.

“It's okay kalau kamu nggak mau cerita dulu sama aku,” ucap Shaka, memberi usapan pelan pada pundak Anya.

“Makasih ya, Ka...Aku bukannya nggak mau cerita sih, tapi bingung aja harus dari mana ceritainnya.” Anya menarik nafas pelan. “I don't know if it's a right thing for me to tell you. But I kindly feel annoyed lately.”

“Tara?” Anya menggeleng. “Bukan sih, tapi mantan mertuaku sempet minta bantuan ke aku untuk bantu Tara, but on the other side I don't think helping him is a good way for him. He needs to pay twenty seven million for his guilty. I didn't know what happen to him, dan tau-tau dia disuruh bayar uang sebegitu banyaknya.”

“Buset, banyak amat,” ucap Shaka menanggapi dengan singkat. “Kamu gak nanya problemnya apa emang?”

Mendengar pengakuan Anya, Shaka langsung teringat akan pesan rekannya, Jeandra Hartawan. Pemilik perusahaan tempat Tara itu mengaku kalau ia mengalami kerugian besar akibat perbuatan mantan suami Anya. Dan pastinya, uang dalam jumlah besar yang barusan disebutkan Anya adalah uang ganti rugi perusahaannya. Shaka bahkan mendengar berita lain dari Sadewa tentang Tara. Sadewa bilang, Tara dirumahkan karena enggan dijebloskan ke penjara.

Tapi yang tidak pernah Shaka sangka ialah Tara yang masih bermuka tembok di depan Anya. Dari mana ia memiliki keberanian sebesar itu untuk meminta uang pada mantan istrinya? Jika Shaka ada di posisi Tara, ia pasti akan benar-benar malu karena perbuatannya.

“Nggak, Ka. Aku sama Tara decide untuk komunikasi tentang Nora doang. Selebihnya, urusan pribadi kembali ke masing-masing. Aku udah nggak sama dia anyway, kan,” jawab Anya sembari menghela nafas pelan.

Shaka sementara itu, menatap Anya dengan raut wajah khawatir dan mengusap puncak kepalanya, “Terus, kamu mikirin ini sampai sakit?”

Anya terdiam. Mau seberapa besar usaha Anya berkelit, ujung-ujungnya Shaka selalu mampu membuatnya tak berkutik. Akhirnya, Anya mengangguk. “Aku tadinya nggak mau mikirin ini, Ka... Tapi aku nggak nyaman aja kalau terus-terusan ditelepon sama mamanya Tara.”

“What did she say to you?” tanya Shaka kemudian. “A lot of things. Dragging Nora juga. Aku jadinya nolak karena memang ada sebagian tanggungan yang harus aku selesaikan buat Nora,” ucap Anya, lalu ia mengedarkan tatapannya pada Shaka yang masih memandangnya dengan wajah khawatir.

“Sorry ya, Ka.. jadi bikin kamu khawatir juga.” Perempuan itu mengelus pelan pundak Shaka.

“Don't mention it, Nya. Yang penting aku tau kamu baik-baik aja. Istirahat ya, nggak usah dipikirin. Apalagi sampai bikin kamu drop kayak gini lagi,” jawab Shaka sambil mengecup pelipis Anya. Lalu, tangan wanita yang sedang dipenuhi selang infus itu, ia genggam sebentar. Shaka yakin disaat-saat seperti ini pasti Anya sedang kalut. Wajah teduh perempuan itu sampai terlihat sendu dan tak berseri seperti biasanya.

“Ka, kamu udah makan belum? Jangan ikutan sakit juga kayak aku.” Anya baru sadar jika ini sudah jam makan siang. Sejak tadi Anya tidak melihat Shaka mengunyah atau meminum sesuatu.

“Udah, Sayang. Tadi aku udah sarapan di rumah,” balas Shaka dari sofa. “Bener yaaa?” tanya Anya memastikan.

“Iya, beneran. Btw, Nora masih sama Tara ya?” Anya mengangguk. “Minggu depan baru sama aku.”

“Oh gitu..” “Kenapa emang, Ka?”

“Kangen, sepi nggak ada Nora, biasanya ada yang ngegelendotin aku, hahaha.”

Anya tersenyum, seraya membiarkan tubuhnya dialiri rasa hangat dan wajahnya memancarkan rona bahagia.

Baru kali ini ia mengenal laki-laki yang sebegitu tulusnya menyayangi Nora. Anya masih ingat bahwa banyak lelaki yang menjauhinya saat tahu Anya telah memiliki seorang putri pasca bercerai.

Salah satunya adalah laki-laki yang tadi mengantarnya ke rumah sakit,

Restu.

Dan hanya Shaka, yang benar-benar menerima Anya secara utuh.

Dengan begitu, Anya semakin yakin pada Shaka. Jika laki-laki yang kini tengah sibuk mengecek situasi saham pada aplikasi di ponselnya sambil tangannya nggak berhenti menggenggam tangan Anya—adalah definisi a good man untuk dirinya. Rasa cinta Anya pada Shaka pun meluap hebat, dan ia pun tersadar jika dengan Shaka-lah, ia ingin melabuhkan hatinya.

Bukan hari ini saja, melainkan sepanjang hidupnya, seperti yang Shaka katakan.


test

Happy Birthday Jevandra

“Kuenya ilangg!!!!”

Mobil Jevandra ngerem mendadak akibat teriakan histeris Cali. Jeritan perempuan itu membuat bahu Jevan terangkat karena syok.

“Kuenya mana? Tadi perasaan saya pegang deh. Jatuh ya?” tanya Cali dengan mata membelalak.

“Nggak usah teriak-teriak gitu. Kue hilang bisa beli lagi,” sahut Jevandra santai. Mendengar tanggapan santai Jevan, Cali mendengus. Merasa usaha antrenya berjam-jam tidak dihargai oleh sang birthday boy

“Tau gitu tadi saya nggak usah beli aja,” dumel Cali dengan bibir mengerucut. “Nggak ikhlas?” balas Jevan sinis. Cali makin keki mendengar tuduhan Jevan. Ia memilih diam daripada emosinya meledak disaat yang tidak tepat.

“Kamu ini.” Kalo dari ucapannya, Cali yakin sebentar lagi Jevan pasti akan mengomelinya. “Kue seperti itu saja kamu khawatirin, harusnya yang kamu khawatirkan itu barang pribadi kamu ini.” Jevan mengangkat sebuah dompet putih yang warnanya buluk menjurus ke abu milik Cali.

“Hah? Kok dompet saya ada di Bapak?” Gadis itu memandang Jevan dengan muka melongonya. Cute, batin Jevan.

“Pak, Bapak balik lagi ke toko kuenya?” tanya Cali lagi. Jevan mengangguk. “Astagaaa,” Cali menghela nafas. “Maaf banget ya, Pak. Jadi bolak-balik,” katanya tidak enak hati. Melihat ekspresi wajah penuh penyesalan dari Cali, bukannya mengiyakan, Jevan malah semangat untuk mengusili Cali.

“Papa marah sama kamu, karena technical meetingnya dibatalin,” bohong Jevan dengan mimik wajah serius agar terlihat meyakinkan. “Hah? Gimana dong, Pak? Marah banget Pak Dion?” Sesuai dugaan Jevan, Cali langsung berkeringat dingin. Perempuan itu lekas merogoh tasnya, lalu mengeluarkan ponselnya dari sana.

“Eh, kamu mau ngapain?” tanya Jevan saat menemukan Cali sedikit lagi menghubungi ayahnya.

“Mau nelepon Pak Dion, lah, Pak. Saya nggak enak banget sama Beliau. Sebentar-” “Jangan ditelepon, Papa kalau marah lebih nyeremin dari saya,” cegatnya sebelum Cali benar-benar menelepon sang ayah.

“Yang bener, Pak? Aduh, nggak jadi deh. Orang kayak Pak Dion kalau marah pasti menyeramkan. Mending, saya dimarahin Bapak aja deh,” kata Cali buru-buru menyimpan ponselnya.

“Kok gitu?” sahut Jevan tak terima. “Saya udah biasa dimarain Bapak,” kata Cali jujur sambil nyengir. Jevan memasang tampang datar, sedikit sedih mendengar pengakuan Cali yang membuatnya terkesan galak.

“Terus gimana dong, Pak? Nggak enak sama Pak Dion. Apa saya besok ke ruangannya aja, minta maaf sama Pak Dion,” kata Cali hampir menangis.

“Nggak bisa, besok Papa ke Singapura,” beritahu Jevan yang tentunya hanya bualan. “Terus caranya gimana, Pak supaya Pak Dion nggak marah sama saya?” tanya Cali gelisah.

“Nggak perlu dipikirin, nanti juga baik sendiri,” jawab Jevan cuek. “Ya kan Bapak anaknya, jelaslah bakalan baik sendiri,” decak Cali karena Jevan selalu menganggap enteng segala situasi.

“Papa kayaknya lebih sayang kamu daripada saya,” kata Jevan. “Ngaco!” tukas Cali masih kesal. “Terus...kuenya...” keluh Cali, merasa usaha antre selama satu jamnya sia-sia. Kuenya hilang, sudah gitu bakal kena omel dari bos besar. Nasib Cali memang selalu kurang beruntung setiap berada di sekitaran Jevan.

“Nih kuenya.” Tiba-tiba Jevan mengambil satu box besar yang sejak tadi disembunyikan Jevan saat Cali tertidur di jok belakang.

“HAH? INI ADAAAAA!” tunjuk Cali seraya menarik nafas lega. “Eh! Ini jangan-jangan Bapak beli baru? Tadi kan Bapak balik ke toko kue. Kapan, Pak?”

“Makanya jangan tidur mulu. Liat tuh liur kamu meper sampe ke baju,” ejek Jevandra sambil tertawa.

“ISH! YANG BENER AH!” rajuk Cali meronta-ronta. Jevan tergelak mendengar amukan calon istrinya.

“Ya ampunnn kirain kuenya ilang, Pak. Sampe pegel nih saya ngantriin,” gumam Cali, mengetuk box kuenya.

Lantas, ia sudahi aksinya mengerjai Cali dengan meminta perempuan itu untuk membuka kue pemberiannya. “Buka, lah.” “Pak, tapi kalo bentukannya nggak enak diliat gimana?” cemas Cali ragu.

“Udah buka aja dulu,” ucap Jevan.

“Tapi kalau bentukannya ga enak-” “Ah, kamu kelamaan!” tukas Jevan nggak sabaran, mengambil alih si kue dan ia buka sendiri.

Seperti yang sudah Cali duga, penampilan kuenya sudah tak secantik saat pertama Cali beli. Bagian atasnya meleleh karena kue ini adalah kue es krim, namun untungnya white chocolate yang bertuliskan Happy Birthday Jevandra nggak rusak sama sekali, tetap utuh seperti sedia kala.

“Tuh kan, saya bilang juga apa, sebagian kuenya udah meleleh, Pak,” gerutu Cali.

“Yang penting edible, kecuali udah basi. Cuma mencair doang, nggak masalah,” ujar Jevan sembari mengelap lelehan es krim itu menggunakan tangannya. Sementara si pemberi kue alias Cali melongo. Ia cukup heran dengan perubahan sikap Jevandra yang drastis. Bukankah Jevan tak suka? Bukankah Jevan tidak pernah menerima pemberian seseorang?

“Thank you for the birthday cake,” ucap Jevan tersenyum. Wajahnya tetap terlihat tampan meski hanya disinari oleh lampu mobil yang remang-remang.

“Bap...pak suka?” tanyanya heran. “M-maksudnya nggak jijik gitu sama kuenya?” “Kapan sih kamu berhenti sarkas sama saya?” desis Jevan dengan muka datarnya.

“Saya nggak sarkas!” Cali berkilah. Padahal dalam hati ia mengiyakan sambil merutuki dirinya berkali-kali yang paling nggak pandai menjaga kebiasaan julit-nya di depan orang.

“Kalau yang ngasih kamu, saya terima,” ucap Jevan sembari meletakkan satu tangkai lilin, kemudian menyalakannya. Entah mengapa Cali tak kuasa menahan senyum ketika Jevan berkata demikian. Lantas, perempuan itu melirik sekilas ke Jevan yang sedang bersiap meniup lilinnya.

“Kata Pak Dion, Bapak...nggak suka dirayakan ulang tahunnya,” ujar Cali, menatap Jevandra dari samping.

“Mulai sekarang, saya mau ulang tahun saya dirayakan.” Mata Cali membulat ketika Jevan berucap demikian, tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan.

”...Asal ngerayainnya berdua sama kamu, begitu seterusnya.” Usai melanjutkan ucapannya, lelaki itu meniup kue ulang tahunnya. Cetusan Jevan menuai senyum lebar pada wajah Cali.

“Happy birthday, Pak Jevan,” Cali memberi ucapan tulus sambil bertepuk tangan. Lalu ia mengarahkan tatapannya kepada sang calon suami, lega karena usahanya tidak sia-sia kala menemukan raut wajah Jevan menunjukkan binar hangat.

“Angel,” panggil Jevan usai ia merapihkan kembali kue yang dibeli Cali ke dalam boxnya.

“Ya?” jawab Cali.

Tanpa aba-aba, Jevan langsung memeluknya begitu erat, bahkan bisa lelaki itu tidak ragu mengelus punggungnya pelan. Jujur, Cali cukup heran dengan sikap hangat Jevan malam ini. Ia seperti bepergian dengan kembaran Jevan, ketimbang Jevan yang asli. Tapi mau bagaimanapun, Cali tetap mensyukurinya. Lelaki itu perlahan mulai meninggalkan arogansinya dan mau menerima pemberian orang lain. Bagi Cali perubahan Jevan ini harus dimuseumkan karena sangat langka.

Ia tak punya nyali untuk membalas peluk Jevan, jadi ia biarkan tangannya menggantung disela-sela peluk lelaki itu. Kedua pipi Cali seketika bersemu merah tanpa ia perintah. Peluk Jevan yang pertama ia rasakan benar-benar terasa hangat, sangat jauh berbeda dari kepribadiannya yang dingin dan galak. Makin lama rengkuhan Jevan padanya makin erat, mengizinkan Cali untuk menyesap aroma tubuh Jevan yang khas dalam-dalam. Aroma yang menurut Cali sangat candu, walau dia tidak terlalu suka parfum yang aromanya maskulin.

Masih dalam posisi yang sama, Jevan berbisik di telinga Cali, “Ini pertama kalinya saya merayakan ulang tahun. Tahun depan ngerayainnya sama kamu lagi, ya?” Lelaki itu mengakhiri tatapannya pada pada kedua manik mata Cali. Begitu lekat.

Cali langsung menganggukkan kepalanya yang masih ia letakkan di atas ceruk leher Jevan. Usai menerima dekapan pertamanya dari Jevan, timbul keinginan Cali untuk terus berada di sisi laki-laki itu. Selamanya.