Akankah Bertahan?
Seumur-umur Anya dan Shaka bertengkar, Shaka jarang sekali sampai mengacuhkan Anya. Ngajak bicara ada sih, walau hanya seiprit. Tapi tidak sampai masuk mobil dengan wajah kesal dan sorot mata tajam seperti yang ia tunjukkan ke Anya malam itu. Biasanya, Shaka hanya akan diam sambil bertanya-tanya meski nadanya agak ketus.
“ngapain aja tadi di kantor? Kenapa bisa kamu sampe lemes gitu?”
Diberondong pertanyaan macam itu saja Anya sudah cukup mati kutu. Semenjak memegang perusahaan, Shaka memang lebih sering meeting di luar, ketimbang Anya yang berdiam di kantor. Tadinya, Anya-lah yang lebih sering bepergian, namun setelah diskusi dan kandungan Anya makin tua, Shaka tidak mengizinkan Anya keluar kantor dan makan dengan klien. Kalaupun ia meeting dengan klien-klien itu, Anya hanya diperbolehkan makan di restoran di bawah, yang masih tenant di gedung ini.
Sampai seorang klien bernama Harris Reagan Tanaja, yang juga sahabat Elliot, ayah mertua Anya menawarkan saham dalam jumlah besar untuk reksadana, yang meminta perempuan itu khusus menangani dirinya. Anya mau tidak mau menyetujui, meski Restu sudah bersedia ambil alih, tapi permintaan Harris terlalu kekeuh. Lelaki berusia tiga puluh empat tahun itu enggan menandatangani surat pencairan dana serta dokumen penting, jika bukan Anya yang close deal dengannya.
Anya tidak pernah berekspektasi juga tentang Harris. Lelaki dengan gaya bicara santai dan memiliki wajah tampan ini, rupanya memiliki maksud lain. Bukan hanya ingin berinvestasi, tapi juga...mencoba merebut hati Anya.
Awalnya Anya mengira tindakan-tindakan Harris yang memberikan sejumlah makanan, hanyalah bentuk terima kasih karena bersedia membantunya berinvestasi, akan tetapi...lama kelamaan tindakan itu semakin tak masuk akal. Tidak cuma makanan, Harris mengirimkannya buket bunga serta menghujaninya pesan penuh perhatian di WA dan iMess.
Sebenarnya Anya sudah melakukan berbagai cara untuk menolak Harris. Mulai dari cari alasan meeting bareng CEO, sampai lunch dengan suami tercintanya, Shaka, tapi Harris si pantang mundur terus melaju bahkan hingga meminta Restu untuk menyerahkan dealnya pada Anya.
Bagaimana Anya nggak pusing kalau gini?
Saat masuk mobil, Shaka memasang muka ketat dan bahkan tidak menyapa Anya seperti biasa. Dia hanya fokus menatap jalan raya sambil nyetir. Anya di sebelahnya, cuma bisa terdiam. Keberanian Anya seolah menciut ketika melirik tampang garang Shaka.
“Udah berapa lama?” Suara tegas Shaka mengejutkan Anya. Dari bangku penumpang, perempuan itu hanya berani melirik Shaka sebentar saking takutnya.
“Apanya yang berapa lama?” balas Anya, itupun setelah lima detik Shaka melontarkan pertanyaan. Tatapan Anya tampak gelisah, membuat perempuan itu sama sekali enggan menoleh pada sang suami. Kalut juga di waktu yang sama.
“Masa harus aku jelasin lagi, Nya?” ketus Shaka.
Jika sudah begini nada bicara sang suami, Anya cuma bisa mengembuskan nafas dalam-dalam. Pikirannya dapat menebak jika setelah ini, Shaka akan mengacuhkannya.
“Ka...” Anya mengelus lengan Shaka yang tengah menggerakkan perseneling. Bibir Anya mengerucut. “Aku udah usaha supaya Pak Harris nggak ngusik.”
“Terus?”
“Tapi gagal terus...”
“Dianya yang bikin gagal, atau kamu yang nggak bisa nolak?” Mata Shaka melirik Anya dari spion rear. Wajah istrinya benar-benar merasa bersalah kala itu. Shaka tahu betul sifat Anya yang satu ini. Nggak enakan, hobi memforsir dirinya sendiri.
Shaka tidak akan melarang Anya jika perempuan itu sedang tidak berbadan dua, tetapi Shaka jauh lebih mengkhawatirkan Anya dan anaknya jika harus bolak-balik kantor dan lunch meeting.
“See?” dengus Shaka. “Kamu kebiasaan banget, Nya.”
“Lah kok jadi aku sih, Ka?” Suara Anya terdengar lemah, tapi jelas dari nadanya, Anya sedikit membantah.
“Kamu dikasih tau nggak bisa,” ucap Shaka dingin.
Anya pun terdiam ketika Shaka menyekaknya dengan balasan itu. Padahal, Anya sudah begitu berhati-hati dengan kandungannya. Makan tepat waktu, rajin minum susu hamil, lebih banyak duduk di kantor, dan makan bareng sama Harris pun, Anya cuma sekali saja. Seharusnya Shaka tidak perlu sekhawatir ini, kan?
“Besok nggak ada makan-makan sama Harris,” kata Shaka dengan melirik Anya sekilas, “ngerti?”
Yang ditanya enggan menjawab. Entah karena sentimentil Anya sebagai bumil sedang berjalan, atau memang dia hanya terlalu lelah menghadapi Shaka yang lagi protektif, Anya justu merasa kesal dengan permintaan Shaka.
“Aku istri kamu, Ka. Udah bukan bawahan kamu lagi.” Anya bahkan menepis tangan Shaka yang mampir untuk mengelus punggung tangannya.
“Nya, aku kayak gini karena khawatir. I'm worried about you and our baby,” balas Shaka memelankan suaranya.
“Tapi nggak perlu gitu kan, Ka?”
“Gitu kayak gimana sih, Nya?”
“Nada kamu nggak enak,” kata Anya seraya melipat tangan.
“Aku cuma ngingetin aja, Nya. Bukan maksud mau marah-marah sama kamu.”
“Nggak marah kamu bilang?” sengit Anya. Pandangan malas dari netra Shaka berakhir pada manik mata Anya. Disaat dua-duanya sangat lelah, Anya justru memilih berargumen dengannya. Di satu sisi, Shaka ingin sekali mendebat Anya, namun pada sisi lain, Shaka juga sedang tidak mood untuk meladeni argumen Anya. Sadar sekali kalau malam ini mungkin tidak akan kondusif bagi mereka berkomunikasi, Shaka pada akhirnya memilih bungkam. Tidak lagi membalas ucapan sang istri.
Sedangkan Anya, banyak ketakutan yang kini mulai bergelayut dalam kepalanya. Ia pernah gagal, ia pernah ada di satu titik ini. Ego bertemu ego, tidak ada satupun yang mau mengalah. Biasanya Shaka yang selalu mulai meredam emosinya terlebih dahulu, namun tidak dengan kali ini. Shaka membiarkan ego itu menguasai, hingga membuat Anya bertanya-tanya, apakah pernikahan keduanya ini...akan bertahan?
Anya tentu tidak mau kembali gagal dalam sebuah pernikahan. Dirinya sebagai istri masih perlu belajar, meski ini bukan kali pertamanya menjadi pasangan hidup seseorang. Anya hanya ingin Shaka tidak terus-terusan terlalu memproteksinya, ia ingin diberi kebebasan sedikit dalam hal pekerjaan. Tetapi bagi Shaka, kondisi Anya sepertinya yang membuat lelaki itu memupuk kekhawatiran berlebih. Padahal dokter mengatakan kandungannya sehat-sehat saja. Anak mereka pun tumbuh dengan baik dalam rahim Anya.
Apa mungkin...hanya Anya yang masih belum bisa menjadi istri yang baik? Kata-kata mantan mertua Anya yang sempat menilai Anya adalah wanita angkuh yang tak bisa tunduk pada suami mulai menghantui. Anya tahu betul, jika ia sangat mencintai pekerjaannya, bagaimanapun karier adalah landasan Anya untuk membuat dirinya menjadi wanita kuat.
Lalu kali ini, Anya harus seperti apa? Namun tampaknya Shaka tak mau menerima alasan apapun. Ia tetap kekeuh jika Anya amat butuh istirahat. Bahkan kalau bisa, Anya lebih baik stay di rumah.
—