noonanya.lucas

Seumur-umur Anya dan Shaka bertengkar, Shaka jarang sekali sampai mengacuhkan Anya. Ngajak bicara ada sih, walau hanya seiprit. Tapi tidak sampai masuk mobil dengan wajah kesal dan sorot mata tajam seperti yang ia tunjukkan ke Anya malam itu. Biasanya, Shaka hanya akan diam sambil bertanya-tanya meski nadanya agak ketus.

“ngapain aja tadi di kantor? Kenapa bisa kamu sampe lemes gitu?”

Diberondong pertanyaan macam itu saja Anya sudah cukup mati kutu. Semenjak memegang perusahaan, Shaka memang lebih sering meeting di luar, ketimbang Anya yang berdiam di kantor. Tadinya, Anya-lah yang lebih sering bepergian, namun setelah diskusi dan kandungan Anya makin tua, Shaka tidak mengizinkan Anya keluar kantor dan makan dengan klien. Kalaupun ia meeting dengan klien-klien itu, Anya hanya diperbolehkan makan di restoran di bawah, yang masih tenant di gedung ini.

Sampai seorang klien bernama Harris Reagan Tanaja, yang juga sahabat Elliot, ayah mertua Anya menawarkan saham dalam jumlah besar untuk reksadana, yang meminta perempuan itu khusus menangani dirinya. Anya mau tidak mau menyetujui, meski Restu sudah bersedia ambil alih, tapi permintaan Harris terlalu kekeuh. Lelaki berusia tiga puluh empat tahun itu enggan menandatangani surat pencairan dana serta dokumen penting, jika bukan Anya yang close deal dengannya.

Anya tidak pernah berekspektasi juga tentang Harris. Lelaki dengan gaya bicara santai dan memiliki wajah tampan ini, rupanya memiliki maksud lain. Bukan hanya ingin berinvestasi, tapi juga...mencoba merebut hati Anya.

Awalnya Anya mengira tindakan-tindakan Harris yang memberikan sejumlah makanan, hanyalah bentuk terima kasih karena bersedia membantunya berinvestasi, akan tetapi...lama kelamaan tindakan itu semakin tak masuk akal. Tidak cuma makanan, Harris mengirimkannya buket bunga serta menghujaninya pesan penuh perhatian di WA dan iMess.

Sebenarnya Anya sudah melakukan berbagai cara untuk menolak Harris. Mulai dari cari alasan meeting bareng CEO, sampai lunch dengan suami tercintanya, Shaka, tapi Harris si pantang mundur terus melaju bahkan hingga meminta Restu untuk menyerahkan dealnya pada Anya.

Bagaimana Anya nggak pusing kalau gini?

Saat masuk mobil, Shaka memasang muka ketat dan bahkan tidak menyapa Anya seperti biasa. Dia hanya fokus menatap jalan raya sambil nyetir. Anya di sebelahnya, cuma bisa terdiam. Keberanian Anya seolah menciut ketika melirik tampang garang Shaka.

“Udah berapa lama?” Suara tegas Shaka mengejutkan Anya. Dari bangku penumpang, perempuan itu hanya berani melirik Shaka sebentar saking takutnya.

“Apanya yang berapa lama?” balas Anya, itupun setelah lima detik Shaka melontarkan pertanyaan. Tatapan Anya tampak gelisah, membuat perempuan itu sama sekali enggan menoleh pada sang suami. Kalut juga di waktu yang sama.

“Masa harus aku jelasin lagi, Nya?” ketus Shaka.

Jika sudah begini nada bicara sang suami, Anya cuma bisa mengembuskan nafas dalam-dalam. Pikirannya dapat menebak jika setelah ini, Shaka akan mengacuhkannya.

“Ka...” Anya mengelus lengan Shaka yang tengah menggerakkan perseneling. Bibir Anya mengerucut. “Aku udah usaha supaya Pak Harris nggak ngusik.”

“Terus?”

“Tapi gagal terus...”

“Dianya yang bikin gagal, atau kamu yang nggak bisa nolak?” Mata Shaka melirik Anya dari spion rear. Wajah istrinya benar-benar merasa bersalah kala itu. Shaka tahu betul sifat Anya yang satu ini. Nggak enakan, hobi memforsir dirinya sendiri.

Shaka tidak akan melarang Anya jika perempuan itu sedang tidak berbadan dua, tetapi Shaka jauh lebih mengkhawatirkan Anya dan anaknya jika harus bolak-balik kantor dan lunch meeting.

“See?” dengus Shaka. “Kamu kebiasaan banget, Nya.”

“Lah kok jadi aku sih, Ka?” Suara Anya terdengar lemah, tapi jelas dari nadanya, Anya sedikit membantah.

“Kamu dikasih tau nggak bisa,” ucap Shaka dingin.

Anya pun terdiam ketika Shaka menyekaknya dengan balasan itu. Padahal, Anya sudah begitu berhati-hati dengan kandungannya. Makan tepat waktu, rajin minum susu hamil, lebih banyak duduk di kantor, dan makan bareng sama Harris pun, Anya cuma sekali saja. Seharusnya Shaka tidak perlu sekhawatir ini, kan?

“Besok nggak ada makan-makan sama Harris,” kata Shaka dengan melirik Anya sekilas, “ngerti?”

Yang ditanya enggan menjawab. Entah karena sentimentil Anya sebagai bumil sedang berjalan, atau memang dia hanya terlalu lelah menghadapi Shaka yang lagi protektif, Anya justu merasa kesal dengan permintaan Shaka.

“Aku istri kamu, Ka. Udah bukan bawahan kamu lagi.” Anya bahkan menepis tangan Shaka yang mampir untuk mengelus punggung tangannya.

“Nya, aku kayak gini karena khawatir. I'm worried about you and our baby,” balas Shaka memelankan suaranya.

“Tapi nggak perlu gitu kan, Ka?”

“Gitu kayak gimana sih, Nya?”

“Nada kamu nggak enak,” kata Anya seraya melipat tangan.

“Aku cuma ngingetin aja, Nya. Bukan maksud mau marah-marah sama kamu.”

“Nggak marah kamu bilang?” sengit Anya. Pandangan malas dari netra Shaka berakhir pada manik mata Anya. Disaat dua-duanya sangat lelah, Anya justru memilih berargumen dengannya. Di satu sisi, Shaka ingin sekali mendebat Anya, namun pada sisi lain, Shaka juga sedang tidak mood untuk meladeni argumen Anya. Sadar sekali kalau malam ini mungkin tidak akan kondusif bagi mereka berkomunikasi, Shaka pada akhirnya memilih bungkam. Tidak lagi membalas ucapan sang istri.

Sedangkan Anya, banyak ketakutan yang kini mulai bergelayut dalam kepalanya. Ia pernah gagal, ia pernah ada di satu titik ini. Ego bertemu ego, tidak ada satupun yang mau mengalah. Biasanya Shaka yang selalu mulai meredam emosinya terlebih dahulu, namun tidak dengan kali ini. Shaka membiarkan ego itu menguasai, hingga membuat Anya bertanya-tanya, apakah pernikahan keduanya ini...akan bertahan?

Anya tentu tidak mau kembali gagal dalam sebuah pernikahan. Dirinya sebagai istri masih perlu belajar, meski ini bukan kali pertamanya menjadi pasangan hidup seseorang. Anya hanya ingin Shaka tidak terus-terusan terlalu memproteksinya, ia ingin diberi kebebasan sedikit dalam hal pekerjaan. Tetapi bagi Shaka, kondisi Anya sepertinya yang membuat lelaki itu memupuk kekhawatiran berlebih. Padahal dokter mengatakan kandungannya sehat-sehat saja. Anak mereka pun tumbuh dengan baik dalam rahim Anya.

Apa mungkin...hanya Anya yang masih belum bisa menjadi istri yang baik? Kata-kata mantan mertua Anya yang sempat menilai Anya adalah wanita angkuh yang tak bisa tunduk pada suami mulai menghantui. Anya tahu betul, jika ia sangat mencintai pekerjaannya, bagaimanapun karier adalah landasan Anya untuk membuat dirinya menjadi wanita kuat.

Lalu kali ini, Anya harus seperti apa? Namun tampaknya Shaka tak mau menerima alasan apapun. Ia tetap kekeuh jika Anya amat butuh istirahat. Bahkan kalau bisa, Anya lebih baik stay di rumah.

“Happy anniversary...”

Usai satu kecupan kecil yang mendarat pada bibir Anya, Shaka membelai lembut kepala istrinya. Tidak henti-hentinya lelaki itu mengucap terima kasih pada sang belahan jiwa atas kehadirannya dalam hidup Shaka.

“Makasih, Anya,” bisik Shaka tepat di telinga perempuan itu. Anya kemudian membalas, “I should be the one who said that, Ka. Makasih udah mau sama aku, sayang sama Nora.”

Shaka menderai tawa kala mendengar ceplosan Anya, “siapa emang yang nggak mau sama kamu?”

“Banyaaak!”

“Bodoh berarti,” balas Shaka tersenyum tipis. “Tapi ya bagus deh, saingan aku berkurang.”

“Lah sekarang udah enggak ada saingan kan?”

Shaka mengangguk. Dari sekian banyak pria yang mendekati Anya (berdasarkan pengakuan orang yang bersangkutan), yang paling membuat Shaka insecure sudah pasti Restu. Berkali-kali ia nyaris patah semangat karena laki-laki itu. Tetapi ketika Anya bercerita, bagaimana Restu sendiri yang merekomendasi Shaka padanya, ia sangat terkejut sekaligus senang.

“Kamu salah, Ka. Justru Restu yang bilang sama aku, kalau kamu orang yang sangat bertanggung jawab,” kenang Anya sembari memindahkan kepalanya ke atas lengan sang suami. Tangan perempuan itu berputar-putar di atas dada polos Shaka yang tidak memakai atasan. Wangi tubuh Shaka yang berasal dari parfum Neroli Portofino selalu membuat Anya nyaman berada di pelukan sang Adam.

“Hahaha, bisa aja dia,” kekeh Shaka, tapi dalam hati ia juga mengiyakan. Dia juga cukup amazed pada dirinya sendiri, dan amat berterimakasih pada Anya.

Jika saja Shaka tidak bertemu Anya, mungkin sekarang hidup Shaka hanya habis di sirkuit, dan dompetnya terkuras hanya untuk sesuatu yang tidak penting.

“Aku juga mau makasih sama kamu dan Nora. Kalau gak ketemu kalian, mungkin hidupku hambar-hambar aja, Nya.”

“How? Kamu punya segalanya, Ka.. You got fame, achievement, you've reached your goal, great career. What's not enough?”

“What's not enough for me...is being complete. The feeling of completeness, yang nggak pernah aku dapetin walaupun aku berhasil wujudin cita-cita yang selama ini aku inginkan.”

“And when I'm with you...plus Nora, I feel like God answered my pray. Being complete,” jawab Shaka seraya menolehkan kepalanya, memandang Anya.

“Nggak usah merah gitu kali mukanya, Nya,” ledek Shaka jahil. Dia selalu suka dengan ekspresi tersipu-sipu milik Anya. Wajah putihnya memperlihatkan rona merah alami yang membuat Shaka gemas, nggak tahan untuk mengelus pipinya.

Just like her little princess, Eleanor—yang selalu malu-malu kalau digodain Shaka.

“Gini terus sampai tua ya,” pinta Shaka seraya mempererat pelukannya.

“Gak mau ngasih adik buat Nora?”

Yang ditanya langsung melebarkan mata. “Gas sekarang?”

“Hahahahah.”

Setelah itu, hanya mereka berdua dan Sang Pencipta yang bisa memberi jawaban atas keinginan terdalam ini.

“Papaaaa, will Mama like the cake?” Anak kecil yang dikuncir satu ke atas itu sibuk mencolek-colek kue tart bikinan Shaka. Tepat pukul setengah enam pagi, Shaka bangun dan mempersiapkan kejutan anniversary buat Anya.

Hebatnya, si kecil Nora, sangat bersemangat dan bersedia untuk membantu Shaka. Sejak semalam, Nora dan Shaka sudah merencanakannya. Bahkan, Nora sendiri yang berkata untuk bangun lebih pagi agar ibunya tidak tahu.

Mendengar usul putrinya, Shaka langsung setuju. Nora yang biasanya tidur sendiri, tiba-tiba ingin tidur bersama Shaka dan Anya. Lengkap sambil membawa boneka beruang kesayangannya, Nora datang ke kamar papa-mamanya, lalu tidur di tengah.

“Of course, Nowa. Mama will like the cake. Tapi jangan dicolek-colek, nanti badutnya mirip “it” yang kita nonton tadi malem,” gurau Shaka sambil mengelus pangkal hidung Nora.

“Iya, Papa. Abis, enak sih!” sahutnya, menjilati jarinya sendiri. Shaka hanya geleng-geleng melihat tingkah anaknya itu.

“Udah beres, nih.” Shaka mengambil ponsel, kemudian memfoto hasil kuenya dengan Nora.

“Sekarang, kita bangunin Mama, tapi pelan-pelan ya. Ini surprise dari Papa sama Nora.”

Anak kecil itu mengangguk paham. Sesudahnya, Nora dan Shaka meninggalkan dapur, kemudian menyusuri lorong kamar mereka. Seketika akan membuka pintu, rupanya Anya telah bangun lebih dulu, menyusul sang suami dan anak di dapur.

“Mamaaaa! Happy birthday!” Terlalu sulit untuk Nora mengucapkan anniversary, apalagi dia belum ngerti maksud dari makna kata itu. Jadi, di pikiran lugu Nora, ibunya sedang berulang tahun.

Yang diberi ucapan tertawa terpingkal-pingkal. “It's not my birthday, Sayang. It's Mama and Papa wedding anniversary.”

“Anniversary? What's that means?”

“Papa and Mama hari ini ngerayain ulang tahun pas pakai baju prince and princess, Nowa,” kata Shaka membantu menjelaskan. Terlihat takjub, gadis kecil itu mengangguk, berusaha memahami penjelasan Shaka.

“Kalo gitu, nanti kalau Nowa pake baju prince and princess, dirayain juga ya?” tanyanya.

“Boleeeh,” balas Shaka mengangguk setuju.

“Ini buat kamu, Nya.” Shaka menyerahkan kue berbentuk emoticon badut pada Anya. Ketika melihatnya, perempuan itu tertawa mati-matian. Selain out of the box sifat humoris Shaka inilah yang sepertinya membuat Anya tak sanggup menolak lelaki itu.

“Sayang...” kata Anya lemas ketika melihat bentuk kuenya.

“Apa?” Shaka menahan tawa.

“Lucu banget kuenya, jadi nggak pengen aku makan, tapi mau aku museumkan,” ledek Anya, tapi ujung-ujungnya Anya sendiri yang mencolek kue itu.

“Hahahaha.”

“Mama, Mama. Waktu Nowa ulang tahun, Mama kiss Nowa. Why don't you kiss Papa too?”

Ditodong pertanyaan seperti itu oleh Nora, sontak Shaka dan Anya kompak tertawa. Anak mereka semakin besar, semakin kritis pemikirannya. Dan sesuai yang Anya perhatikan, Nora makin memiliki sifat yang...mirip sekali dengan ayah sambungnya, Shaka. Anya sampai hampir tidak percaya. Apa mungkin karena Shaka pintar membangun bonding dengan Nora?

“Ya udah, Mama ayo kiss Papanya,” ujar Shaka seraya mengetuk-ngetuk pipinya. Sambil malu-malu, Anya menuruti ucapan suaminya, tapi El Shaka yang punya trik untuk menggoda Anya, segera membalikkan mukanya menghadap Anya sehingga wanita itu malah mengecup bibir Shaka.

“YAAAAAY!” Nora bersorak senang melihat kedua orang tuanya saling menunjukkan kasih sayang.

“Oh ya, Mama juga punya kado buat Papa...dan Nora tentunya.”

“Apa????” Nora menyahut penuh antusias. Anya mengeluarkan kotak jam tangan, dan ia berikan langsung kepada Shaka. Mengingat saat ke Tag Heuer Shaka sempat melirik salah satu jam tangan, lelaki itu tersenyum senang kala jam impiannya dibelikan oleh Anya. Padahal, Shaka sudah bilang kalau ia tidak mau Anya membelikan jam tangan mahal untuknya. Dia bisa beli sendiri.

“Ini jam tangan yang itu, Nya?” tanya Shaka.

“Buka aja dulu, Yang.”

“Hah? Ini mahal banget, Anya. Aku beli sendiri aja, nggak usah kamu...” Shaka berucap sambil menarik pita merah yang terikat di atas kotak jam tangan itu.

“Ini jam tang—” Sebelum sempat Shaka melanjutkan ucapannya, mata lelaki itu melebar kala melihat ada benda di dalamnya.

Sedetik...dua detik...Shaka benar-benar kehabisan kata-kata, termenung memandangi benda yang terletak di dalam kotak itu. Rasa haru serta luapan bahagia yang melingkupi benak Shaka, membuat ia menitihkan air mata dan langsung menggendong Nora.

“Papa why did you cry?” tanya Nora dalam gendongan Shaka. Sementara si pemberi kado, mendekati suaminya dengan tangan terulur untuk menyeka air mata yang membasahi wajah tampan sang suami.

“Congratulations, you're going to be a dad...”

“Nowaa, you're going to be a big sister!!!” seru Shaka sambil memeluk erat Nora. Mendengar seruan Shaka, Nora juga menjerit kesenangan.

“YEAAAAAAAAAAAY!!!!!” Nora balas memeluk Shaka.

“Thank you, Sayang. This is the best present ever.”

“Sama-sama, Sayangkuu,” balas Anya seraya memeluk sang suami.

Ricuh dan sorak kemenangan dari kubu kanan yang adalah Adire Team Malaysia memenuhi arena sirkuit. Dari podium teratas, El Shaka melambaikan tangan, sambil membawa piala juga champagne. Ia membuka botol sebagai tanda kemenangannya. Teriakan bahagia menghampiri Shaka, begitu juga Anya yang menonton sang suami dari ruang tunggu VVIP. Harupun tak pelak memenuhi relung perempuan itu, tangis bahagia tak luput di wajahnya. Ia ingat betul bagaimana perjuangan Shaka. Baru semalam sang suami bercerita alasan ia memilih keluar dari arena balap.

“Jujur aja, Nya. I love circuit, I love racing. Tapi pas aku kalah waktu itu, aku ngerasa payah banget. It's like I'm losing my identity. Aku ngecewain semua orang yang percaya sama aku. That's why aku milih keluar dari balapan. Aku takut enggak bisa ngebanggain orang-orang yang udah percaya sama aku...”

Mendengar nada putus asa yang keluar dari bibir lelaki itu, Anya mulai mengerti betapa besar pengorbanan Shaka terhadap dirinya sendiri. Menekan ego-nya untuk keluarga, demi orang-orang yang begitu ia sayang, tidaklah mudah.

Pada suatu titik, Anya yakin Shaka pernah terlalu keras pada dirinya sendiri. Seperti Anya, yang pernah tenggelam pada ekspektasi-ekspektasi tertentu dan berusaha untuk mencapainya demi kebaikan semua orang.

Kenyataannya, Anya sangat sadar jika ia terus hidup dengan menjalani ekspektasi orang agar terlihat baik, ia akan semakin terpuruk. Inilah mengapa akhirnya Anya berhenti untuk menyenangkan orang lain.

Tara dan mantan ibu mertuanya. Ia berhenti menggantungkan harapan dan berharap pada lelaki itu. Di saat Anya berhenti dan keluar dari zona itu, barulah ia dipertemukan dengan laki-laki yang sepadan, bernama El Shaka.

Yang mampu membuatnya merasa berharga, dicintai, dan amat layak menerima rasa bahagia yang benar-benar mereka ciptakan. Tidak tumpang tindih, melainkan dari keduanya.

Shaka turun dari podium kemenangannya, menyalami tim dan semua orang yang ada di sekitaran booth. Tak terkecuali Sena, rivalnya.

“Selamat, Ka,” ucap Sena dengan seulas senyum di bibir. “Lo nge-proof ke gue, kalo lo adalah the actual winner. Lo pantas bawa pulang piala itu.” Netra Sena tertuju pada piala yang ada di tangan Shaka.

“Sama-sama, sukses terus kariernya di dunia balap,” sahut Shaka, membalas jabatan tangan Sena.

Tak beberapa lama setelahnya, Shaka langsung menuju ruang tunggu, berlari cepat mencari Anya yang sedang duduk di sana.

Perempuan berkulit putih susu itu merentangkan tangannya, sesaat Shaka muncul. Disampirkannya piala kemenangan yang ia bawa, lalu dalam hitungan detik, Shaka berlabuh pada dekapan Anya.

Tanpa berlama-lama, Anya kembali mendaratkan ciuman pada bibir Sang Adam. Biasa, kalau sudah begini, Shaka langsung memahaminya sebagai small present dari Anya untuknya. “Congratulations, jagoanku.” Anya mengusap wajah Shaka yang tersenyum hangat kepadanya.

“Thank you, Love. Bener kan kata aku, ada kamu aku menang. Ini kadonya, buat kamu sama Nora,” balas Shaka, memeluk Anya erat-erat. Perempuan yang ia peluk itu mengangguk dalam dekapannya, menyetujui ucapan Shaka. “Makasih kadonya, jagoannya Nora dan Anyaaaa!” Sudah nggak malu, Anya langsung memajukan bibirnya untuk dikecup Shaka.

Tapi...

“WUIIIIH!” Suara dehaman dari belakang membuyarkan aksi Shaka yang nyaris memagut bibir Anya. Rawan memang, kalau di tempat umum seperti ini.

Lelaki berkulit putih, yang merupakan sahabat sekaligus manajer Shaka di Adire itu menahan tawa sejadi-jadinya saat menemukan Shaka yang tersipu karena ia pergoki.

“Mo'on maap aja nih, saya mah sadar diri aja, nggak bisa ganggu penganten anyar,” ledek lelaki yang akrab disapa Aldo itu.

“Oit!” Sambil merangkul Anya di sebelah, Shaka balas menyapa Aldo.

Dengan cepat Aldo menghampiri Shaka, lalu memeluknya sebentar. “Gue emang nggak pernah salah kalo ngerekrut pembalap. You got your name back, bro!”

Aldo menatap Shaka dengan rasa bangga. “Thank you, Aldo,” sahut Shaka dengan senyuman.

“Nya,” panggil Aldo. “Pinjem suaminya sebentar ya? Mau ada wawancara soalnya.”

“Oh iya, silakan,” kata Anya, melepas rangkulan sang suami.

“Sebentar ya, Hon. Ke depan dulu.”

“Iyaaa.”

“Kemenangan ini saya berikan untuk keluarga saya. Istri dan anak saya. Papa, kakak, dan kembaran saya. Juga untuk teman-teman dan tim yang terlibat. Saya mengucapkan terima kasih atas dukungan dan doanya,” ujar Shaka berpidato di depan podium. Ia menerima kalung bunga sebagai tanda pemenang juara pertama dalam turnamen balap kali ini.

Dari sekian banyaknya wartawan, Shaka tak menyangka ada satu orang yang melontarkan pertanyaan tak terduga.

“Anda dan istri Anda baru saja menikah, bagaimana bisa Anda langsung punya anak? Jangan-jangan Anda menikah dengan janda?”

Shaka sempat terkejut kala mendengar pertanyaan itu, tetapi jawaban Shaka jauh lebih mengagetkan semua orang sekaligus menyenggol mental sang wartawan.

“Saya tidak pernah mempermasalahkan masa lalu istri saya. Dia janda atau bukan, tidak berpengaruh untuk saya. Anak istri saya, adalah anak saya juga. Dan saya sangat sayang kepada anak saya. Jadi lebih baik, jaga etika Anda sebagai wartawan saat bertanya. Terima kasih.”

Sontak semua yang mendengar jawaban Shaka terdiam seribu bahasa. Tidak ada yang berani menatap mata Shaka. Mukanya terpasang tegas sehingga aura garang yakuza-nya keluar sampai membuat sang wartawan memohon maaf pada Shaka serta Anya.

Seumur-umur belum pernah El Shaka jauh lebih merasa gugup dalam menjalankan turnamen balap.

Khusus hari ini, Shaka benar-benar mengalaminya. Bukan karena takut kalah dari rival lamanya, Sena—melainkan karena ada sang istri yang ia ajak. Kehadiran Anya dalam turnamen hari ini sungguh membuat Shaka bersemangat. Ia termotivasi untuk menang demi membanggakan istri dan anaknya. Meski begitu, Shaka tetap memegang kata-kata Anya, apapun hasilnya dia adalah juara di hati Anya.

Maka lima menit sebelum pertandingan kala itu, Shaka tidak lupa melambai pada sang istri, memeluknya erat-erat.

“Good luck, Shaka,” kata Anya seraya mengusap punggung sang suami. Karena telah memakai helm pelindung, Shaka hanya membukanya sebentar, menunjukkan wajahnya pada Anya.

“Love you.”

Shaka tidak akan pernah bosan mengatakannya pada Anya. Buat Shaka, dua kata ini seperti mempunyai kekuatan magis dan membuatnya semangat menjalani pertandingan.

“Love you too, jagoanku!” balas Anya sambil tersenyum, menatap mesra sang suami.

Usai saling memeluk, Shaka berjalan meninggalkan sang istri di ruang VVIP, dan bersatu dengan timnya. Tak lupa Anya menyapa Sena yang boothnya tidak jauh dari booth Adire.

Setelah menganggukkan kepala pada rivalnya, Shaka bertolak menuju mobil balap berwarna putih, dan langsung mengenakan pengaman.

Sedetik sebelumnya, jempol Shaka terangkat, mengisyaratkan jika persiapannya sudah lengkap, juga ia siap membalap.

Namun khusus untuk sang istri, Shaka membentuk hand-love gesture. Sesudahnya, mobil balap yang dikendarai Shaka melaju cepat mengitari arena turnamen.

“Nya, cukuran kumis aku ada di koper yang mana ya?”

Suara Shaka terdengar dari luar kamar mandi. Anya yang sedang membersihkan wajah pun teralih fokusnya sesaat Shaka bersuara.

“Yang item, Sayang,” sahut Anya, masih dengan wajah yang penuh make up. Tidak lama berselang, Shaka menyusul sang istri yang tengah mengusap mukanya dengan pembersih. Betapa terkejutnya Anya ketika ia membalik badan, El Shaka tidak mengenakan pakaian atasnya dan pinggulnya hanya ia lilit menggunakan handuk.

Dengan gerakan cepat Shaka sukses membuat Anya menghentikan kegiatan bersih-bersihnya. Ia menggantinya menjadi kegiatan panas yang pada puncaknya menekan hasrat keduanya secara gamblang.

Embusan nafas yang amat tergesa-gesa mengisi kegiatan istirahat Anya dan Shaka siang itu. Shaka yang Anya percayakan, memimpin kegiatan panas mereka, menautkan satu lumatan pada bibir polos Anya, lalu setelahnya Anya gantian menghujani kecupan kecil pada leher sang suami. Anya nyaris tak percaya the sparks yang dulu paling tidak ingin ia ingat, mampir kembali mengisi hidupnya. Rasanya jauh lebih menyenangkan, euforia kebahagiaan meluap-luap dalam diri Anya, ketika Shaka menurunkan kepalanya, lalu mulai menghantarkan sengatan-sengatan yang menekan titik hasrat seorang Anya.

Dari kamar mandi, Shaka menggendong Anya kemudian membaringkan perempuan itu di ranjang. Pakaian mereka mulai tertanggalkan, keduanya saling mencari kehangatan satu sama lain melalui sentuhan-sentuhan yang mereka lakukan.

“You're so damn pretty, Anya.” Bisik Shaka saat ia sibuk menghentak-hentakkan dirinya dengan tempo yang terkadang cepat dan lambat. Yang dipuji hanya tersenyum sambil memagut bibir sang suami.

“Ka... Makasih banyak,” ujar Anya penuh haru saat Shaka mendekap dirinya dan ketika mereka baru menyelesaikan permainan.

“No need to say that, Anya. Aku milih kamu ya artinya mutlak, nggak ada beban atau perasaan nggak enak lainnya.”

Shaka merentangkan tangannya, kemudian mengangkat kepala Anya agar berbaring di lengan atletisnya.

Anya tersenyum haru mendengar ucapan sang suami, lalu sebagai tanda terima kasihnya, Anya menghadiahkan lumatan pada bibir sang suami.

Sesudahnya, mereka mengulang kembali kegiatan favorit Shaka.

Beberapa menit kemudian, Shaka mengusap perut Anya kemudian berkata, “jadi ya, Nak. Biar Kakak Nowa happy, dibawain adik.”

Anya tertawa mendengarnya sambil mengelus kepala Shaka, “Amin. Mudah-mudahan soon jadi papa anak dua ya, Aka.”

Maskapai Malaysia Airlines telah mendarat dengan selamat di Bandara Internasional Kuala Lumpur.

Berdua dengan Anya, Shaka menanti sabar sang istri yang berada di belakangnya, mengantre untuk keluar dari pesawat. Tangan mereka saling berpegangan.

Siapapun yang mendaratkan netranya pada dua sejoli ini, pasti langsung tahu mereka adalah sepasang suami istri yang baru menikah. Shaka yang notabene-nya tidak sungkan bersikap mesra, tanpa malu-malu menarik Anya dalam peluknya, sambil sesekali ia mengusap puncak kepala sang istri.

“Did you have a good sleep?” tanya Shaka, berbisik lembut pada Anya.

“Iya. Kamu?” balas Anya seraya meletakkan kepalanya pada ceruk bahu Shaka.

“So so, kalau belum ketemu kasur, terus ga dipeluk kamu, tidurnya belum nyenyak.”

Mendengar selipan kata rayuan dari bibir Shaka, Anya langsung tersipu-sipu. Wajahnya merona merah, membuat Shaka makin giat menggoda istrinya yang sedang malu-malu.

“Hmm...nanti istirahat dulu ya, Nya?” pinta Shaka seraya mempererat genggamannya dan mengajak Anya keluar dari pesawat.

Yang diajak ngomong menderai tawa, meninggalkan desir hangat dalam benak El Shaka.

“Kamu? Istirahat?” balas Anya dengan senyum penuh arti seolah tahu kode sang suami.

“Hahahaha, aku udah nggak bisa bohongin kamu emang,” geleng Shaka tengsin.

tes


Buset dah, cantik banget bini gue.

Pertama kali gue ngedarin tatapan gue ke Anya, gue bener-bener dibuat skak mat sama perempuan ini. Gue belum bisa lupa pas pertama ketemu Anya di sirkuit, dalem hati gue udah berdoa aja, Bisa ga sih dia aja yang jadi jodoh saya?

Lah taunya, dikabulin beneran. Thanks God.

Anya gak cuma cantik, tapi dia juga mandiri dan pekerja keras. Yang ngebikin gue bener-bener cinta mampus sama dia tuh itu, bukan karena cantiknya. Kalo cantik, Anya gak usah dibicarain dan butuh diakuin untuk dibilang cantik, semua orang yang liat dia juga bakal noleh saking cakepnya.

Yang buat detik itu juga memutuskan untuk ngedeketin Anya adalah gimana cara dia nge-handle semuanya sendiri. Gak gampang lagi, jadi ibu tunggal. Walaupun beberapa kali gue liat Anya lelah saat ngurusin Nora, tapi dia benar-benar sabar dan gak pernah ngeluh saat ngurusin anaknya.

Dari situ, timbul pikiran gue yang bilang, I think she's the one. I think she's my perfect match.

Gue sampe dikata-katain halu sama temen-temen, dicibir kepedean sama si kunyuk Sadewa, tapi nyatanya sekarang gue sama Anya sudah menikah. Di pikiran gue saat tahu kalah Anya adalah janda cerai, adalah gimana caranya gue assure dia kalau gue ga main-main sama Anya.

Anya gak perlu banyak cerita ke gue tentang kekhawatiran dia tentang backgroundnya. saat gue pertama kali ngajakin serius, tatap matanya yang sendu itu langsung ngasih jawaban. As I said before, I'm not keen someone who's abudantly perfect in every aspect she has, gue cuma butuh orang yang benar-benar mau menyandarkan dirinya ke gue. The more she relies on me, the more I brutally love her.

Sama yang sebelum-sebelumnya (dan yang pasti countless, hahaha) entah kenapa gue ngerasa kosong, kayak gitu-gitu aja. Makan, jalan, nonton. Makan, jalan, nonton, belanja. Monoton banget.

Baru sama Anya, dan lewat Nora, gue baru ngerasa, hubungan kayak gini yang sebenarnya gue cari. Yang meaningful karena ketika pertama kali gue ngeliat Nora di sirkuit, gue gemas banget sama pipi gembulnya. How her tiny hands waved at me, and the way she she didn't scare of me when our eyes met. Semua itu bikin gue terkejut dan mikir, 'ada ya anak kecil yang gak takut sama orang kayak gue yang mukanya segarang ini?'

Ariel aja pundung tiap gue mau gendong, dia lebih nyaman sama kembaran gue tuh, Rakha. Lah, anak ini dengan senangnya ngajakin gue main, ngedipin mata pula. Siapa juga yang bisa nahan gemas sama dia?

Dan makin gue mengenal Nora yang lucu itu, gue tambah sayang sama Nora, dan pastinya keinginan gue untuk membahagiakan Anya memuncak. Bukan semata-mata karena pengen dibilang keren, gokil, tobat sama janda.

Nggak.

Tapi karena rasa tanggung jawab gue pada sebuah keluarga muncul sejak gue mengenal Anya dan Nora. Sama Anya, gue ngerasa gue dibutuhkan sekali. Dan emang perempuan seperti Anya yang gue cari. Dia sosok yang selalu percaya akan kerja keras dapat membuahkan hasil.

Kayak gue yang dulu mati-matian ngeyakinin Anya, kalo sampai akhir hayat gue nanti, gue cuma sama dia. Ngebesarin Nora dan adik-adiknya nanti, berdua.

“Sarapan dulu sini, Ka.” Anya berkata. Ngedenger suaranya yang lembut, juga ngelirik ke Nora yang udah ngangkat tangan pengen gue gendong, tanpa berlama-lama, gue segera menghampiri istri dan anak gue.

“Papaaaaaaaaa....” Panggil Nora. “Iya, Sayang..” Gue angkat Nora dari kursi makannya untuk gue gendong sebentar. Tuh anak hafal banget kalo tangan gue udah ngulur ke dia, pasti anak itu langsung ngalungin tangannya ke leher gue. Persis ibunya.

“Makan apa, Nora?” Melihat bibir Nora yang penuh sama bekas makanan, gue ngebersihin pakai tangan gue.

“Pake tisu aja, Ka. Tangan kamu kotor lagi nanti,” beritahu Anya yang sekarang ikut berdiri di sebelah gue.

“Nggak apa-apa, berani kotor itu apa, Nora?”

“BAIKKKK!” Nora menyahut semangat empat lima. Ibunya di sebelah gue cuma ketawa-tawa.

“Ikut Papa cuci tangan, mau?” tawar gue. Nora mengangguk.

“Wash, wash, wash.” Nora menyanyi dengan penuh ceria sambil ngegoyangin kepalanya.

“Wash, wash, wash.” Gue ngikutin, sambil ngebasuh tangan Nora dan membersihkan sekitar mulutnya.

“Papa anter Nowa ke school?” tanya Nora dengan matanya yang bulat itu.

“Anterin dong!” jawab gue semangat.

“YEAAAAY!” serunya. “Nanti pulang school Nowa mau es krim.”

“Nowa tanya Mama dulu, boleh makan es krim enggak,” kata gue sambil ngelirik istri.

Yang sedang diperbincangkan sadar, dan langsung nyahut. “Nora boleh makan es krim, tapi satu cup aja ya, Papa.”

Anak gue langsung monyongin bibirnya, merajuk dia cuma dikasih jatah satu doang. “Nowa wants two, Mamaaaa.”

“Nowa, can Papa show you something?”

“Yes..” Gemes banget, ngejawabnya gak bersemangat sambil mainin kerah kemeja gue. “Nowa, liat. Kemaren Papa got injected.”

Gue nunjukkin bekas vaksin dosis ketiga gue sama Nora.

“Papa sick?”

Gue mengangguk.

“Papa makan es krim sampe dua, terus got injected?”

“Gimana yaaaa...Papa enggak makan es krim sampai dua porsi dan disuntik, tapiiiiii....”

Gue menjeda ucapan gue sesaat, berusaha cari contoh yang tepat supaya Nora mengerti maksud ibunya ngelarang dia makan es krim banyak-banyak.

Sambil nowel pangkal hidung Nora, gue ngejawab, “Tapiii kalo Nowa makannya banyak....nanti Nowa sakit perut. Kalau Nowa sakit, siapa yang mijetin Papa pulang kantor?” tanya gue sambil ngerengutin muka.

“Nggak ada...Ada sih, Mama... tapi, tapi, Mama juga tired...”

“Naaaah. Mama sama Papa tired, nanti kalau Nowa sakit, nggak bisa main sama Mama Papa. Sedih nggak?”

“Sedihhhhh...” jawabnya nggak semangat.

“Jadi, Nowa makan satu es krim aja ya? Nanti pulangnya, Papa bacain story. Nowa mau dibacain story apa? Can you whisper it to me?”

Tanpa banyak ngomong dia setuju untuk makan satu es krim dan ngebisikin gue cerita apa yang dia mau dengar nanti malam.

“Crocodile and his friends.”

Gue ketawa tengsin disaksikan Anya yang ikut ngetawain jawaban anak kita.

Nora...Nora, kok malah mau dengerin cerita Papa sama om-om kamu sih, Nak? Kan Papa jadi sungkan.

“Siap Princess!” sahut gue sambil belagak hormat. “Udah bereskan makannya? Go get your bag, Papa sama Mama antar Nowa ke school, okay?

“Iyaaaa!”

“Good girl.”

Ia turun dari gendongan gue, lalu ambil tasnya sendiri. Salut gue sama Anya yang mendidik anak sekecil Nora jadi semandiri ini. Kalau anak kecil lain pasti udah minta bantuan ke ayahnya untuk dipakaikan tas, tapi Nora bisa figure it out by herself.

Makin besar gue liat-liat Nora makin mirip Anya, yang walaupun ditentang sama Anya. Kata Anya, jahil dan isengnya Nora mirip banget sama gue.

Fokus ngurusin anak, gue sampe lupa bini gue yang cantiknya effortlessly itu sedang memenjarakan netranya ke arah gue.

“Kaus kakinya udah ketemu belum, Ka?”

Gue menggeleng. Bukan karena pengen modusin, tapi emang bener belum ketemu.

“Kamu cuci kali?” tanyanya sambil mengingat-ingat. Sekarang gue sama Anya lagi di ruang wardrobe. Dia lagi sibuk mengaduk-aduk laci, nyariin kaus kaki gue.

“Nggak ada Yang, di jemuran sama tumpukan baju yang baru kering,” sahut gue.

“Nya, nggak usah deh kalau jadinya kamu harus nunduk-nunduk begitu. Sakit nanti belakangnya.” Gue narik Anya dari lemari wardrobe, nikmatin muka kagetnya karena gak pakai aba-aba, gue langsung narik dia ke pelukan gue.

“Gak modus kan ini?” Belum apa-apa udah curiga aja nih.

Gue ketawa, “Nggak, Sayang. Aku ada kaus kaki lain, tapi emang paling pewe yang itu. Gak apa-apa, nanti kita terlambat meeting.”

“Ya udah.” Anya ngelepas peluk gue, tapi tentu El Shaka Nareswara mantan buaya rawa punya segala cara buat nggak melepaskan Anya.

“Aka...” ucapnya pasrah saat gue menautkan ciuman yang * kinda husband-wife thing* ke dia.

“Hahaha, mumpung Nora di depan lagi minum susu,” kata gue sambil cengar-cengir. Gue kira Anya bakal nabok manja ke lengan gue, nggak taunya dia balik memberikan ciuman kecil di bibir gue.

Anya dan sifat malu-malunya yang gak ketebak, buat gue tergila-gila.

When people say, fall in love with someone who doesn't make you think hard, kupikir kata-kata ini hanya bualan semata. Sebagai perempuan yang pernah gagal berumah tangga aku sungguh sangat terbiasa dengan mencintai sendirian.

Hatiku telah terlatih merasakan patah hati yang benar-benar hancur. Jadi aku mengalihkan rasa sakit itu dengan fokus mengurus putri semata-wayangku. Meski dibuntuti rasa bersalah, sebab sebagai orang tua aku telah gagal memberikan keluarga yang utuh untuknya.

Skenario-skenario tentang sulitnya menjalani hidup berdua dengan anakku, hampir setiap malam menghantui. Jujur, sangat berat buatku karena malaikatku ini masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang terjadi pada keluarganya.

Ia terpaksa tumbuh ditengah tengarai orang tuanya yang saling membunuh perasaan masing-masing setiap malam.

Ketika aku memutuskan untuk menyerah, tiap malam aku menangis seraya memandangi wajah putriku yang tidur nyenyak sambil memegangi tanganku kuat-kuat. Aku sungguh meminta maaf pada putriku karena perpisahan yang harus aku jalani.

Sampai suatu ketika, di sebuah persimpangan, aku dipertemukan dengan seseorang yang memunculkan pertanyaan dalam kepala.

Dia fiksi atau nyata?

Sosok itu bisa kubilang nyaris sempurna. Bukan karena parasnya yang begitu memukau, tetapi cara sosok itu yang setiap hari membuatku merasa layak dicintai.

Keraguan akan diriku sendiri muncul ketika dia dengan mudah menggenggam tanganku, juga putriku. Akan tetapi, tidak Sejengkal pun El Shaka, sosok itu—melepas aku dari genggamannya.

Tanpa banyak rayuan maut, El Shaka membuatku terbuai, sampai aku sendiri yang menjatuhkan hatiku pada dirinya. Ia menggenggam tanganku begitu erat, surai tawanya yang hampir setiap hari memanjakan netraku, membuat diri ini meronta-ronta, menginginkan El Shaka untuk terus berada di sampingku.

Dia berhasil menghapus segala rasa takut dan ragu yang acap kali membuat aku menyerah, berkata pada diri sendiri jika aku tidak pantas untuk dicinta. El Shaka dan apa yang ia lakukan untukku dan anakku, menghentikanku untuk menoleh ke masa lalu.

“M-misi, Bang. K-kak, hmm.” Raut wajah serta keringat yang mengucur deras dari dahi Gavrel membuat lelaki itu sontak melangkah mundur.

Kali pertama Shaka bertukar pandang dengan Gavrel, entah mengapa Gavrel seolah menghindari dirinya. Matanya ke sana-sini. Bicaranya juga terbata-bata.

“Halo. Gue Shaka, calon suaminya Anya,” sapa Shaka seraya mengulurkan tangan pada Gavrel, tak lupa ia tersenyum agar wajahnya tak terlalu sangar.

Yang menerima uluran tangan mendadak kalut. Telapaknya tiba-tiba keringat dingin, sampai ia mengelapnya di celana. Akhirnya usai menarik nafas dalam-dalam, sosok itu berani menjabat tangan Shaka. Sambil dalam hati sosok itu mengucap,

“Ya Gusti semoga hamba pulang dengan selamat. Kepala masih utuh, tangan masih bisa buat makan, apalagi tugas kuliah sama sempro banyak... Kaki masih bisa dipake buat lari pagi.”

“Rel.” Shaka membuka suara, sementara sosok yang sedarah dengan calon istrinya itu menutup rapat mulutnya. Tapi yang membuat Shaka heran, sepertinya lutut lelaki itu bergoyang hebat seperti sedang gemetar.

Sampai ketika Shaka menurunkan pandangannya, ia melihat ada sesuatu yang menetes dari celana laki-laki di hadapannya ini.

“Rel, lo lari berapa kilo sampe keringetan gitu?” tanya Shaka lagi. Yang ditanya segera membalik badan, terbirit-birit berlari ke kamar mandi.

“MBANYA! MBANYA! please gue harus ganti celana. Gue nggak sengaja...” sosok itu menggedor kamar mandi, panik.

“Nggak sengaja apa, Rel?” Anya menjawab dengan muka bingung. Lalu karena keburu tengsin, ia pun berbisik pada sang kakak.

Beberapa menit kemudian tawa Anya menggelegar dengan sangat kencang hingga Shaka mengerutkan dahi. “Rel, lo udah gede...masa masih pipis di celana....”

“Mbanya mah!” Lelaki itu buru-buru masuk ke kamar mandi sambil menutupi mukanya, persis buronan curanmor.

“Kenapa?” tanya Shaka ketika Anya sudah tiba di ruang depan. “Aku nggak ngapa-ngapain Gavrel, Yang. Beneran. Aku cuma salaman.”

Anya mengangguk paham. “Senyum deh coba.”

Shaka menuruti perkataan calon istrinya. “Nah kayak gitu ya, sampe Gavrel keluar dari kamar mandi.”

Mendengar suruhan Anya, Shaka langsung paham apa yang terjadi pada calon adik iparnya itu.

“Dia ngompol?” Shaka terbahak-bahak setelahnya. Anya mengiyakan.

“Astaga, hahahahahahaha.”