noonanya.lucas

Bukan Vina tidak sadar jika dirinya hidup dibawah banyak tekanan yang diberikan oleh orang tuanya. Sejak Vina terpaksa drop out dari kampus karena kebanyakan absen, bisa dibilang ia cukup luntang-lantung demi menyambung hidup.

Mulai dari membuka warmindo sampai menjadi montir di bengkel dekat rumahnya, ia lalui dengan lapang dada. Vina tak pernah membayangkan hidupnya akan menjadi nestapa. Seandainya ayah Vina—Budi—tidak terlibat judi gelap dan hobi mabuk-mabukan, mungkin hidup Vina tidak akan semenyedihkan saat ini. Kedua orang tuanya kerap meminta dirinya untuk mencari pundi-pundi tanpa memberi ruang kepada Vina untuk rehat, hingga tak jarang membuat perempuan itu ingin untuk kabur dari rumah.

Bukan karena ingin lari dari tanggung jawab, melainkan mendengar ocehan yang kurang mengenakkan dari mulut ibunya.

“Kami ini orang tuamu, Nduk. Kamu harus berbakti pada kami, dengan merawat dan membiayai hidup kami sampai nanti kami gak ada lagi di dunia ini. Karena dengan begitu, rejekimu akan terbuka. Ndak usah ngomongin capek nyari duit. Kami lebih capek sudah mengurus kamu dari bayi sampai sekarang kamu dewasa.”

Pada saat mendengar kata-kata itu, batin Vina terkoyak. Seolah-olah ia dilahirkan hanya untuk menjadi sapi perah bagi mereka.

Rasa sayang tulus pada orang tua dalam hati Vina seketika sirna.

Pantaskah? Pantaskah orang tua menuntut balas budi pada seorang anak yang lahir dari rahimnya sendiri? Bahkan disaat anak itu tidak minta dilahirkan sama sekali.

At All Cost

tw // mention of traumatic events and fire. Harsh words

cw // sexual pitching and abuse

JEVANDRAAAAAA!

Cali seketika membeku saat Jevandra, orang yang paling tidak mau ia lihat, menatapnya tajam. Dingin. Penuh dendam.

Sebenarnya, dijatuhkan pandangan seperti itu, Cali sudah terbiasa. Tapi haruskah disaat ia tengah menghirup udara bebas seperti ini?

Apa salah Cali? Apa yang telah ia perbuat sampai bertemu dengan si dakjal lagi?

Dimana-mana selalu ada Jevan! Seolah dunia Cali bukan dikelilingi malaikat surgawi, tetapi malah titisan lucifer yang mengitari. Kurang apalagi penderitaan Cali setiap hari?

Dalam hati, ia hanya bisa meratap nasib sialnya pagi ini. Sementara si pembuat kisruh langsung melengos pada detik pertama Cali membalas tatapannya.

Di samping Cali, Rachel dan suaminya, Jayden, melirik dirinya dengan wajah heran.

“Lo kenal?” tanya Rachel pada Jevan sambil menahan tawa. Lelaki itu tak membuka mulut, seolah pura-pura tidak mengenal Cali. Sialaaaan! umpatnya kesal.

“Oh iya, gue baru ingat.” Jayden bergumam. Kali ini pria itu melirik Jevan, kemudian ia kembali memandang Cali, “Kamu sekertaris barunya Jevandra, kan?”

Cali hanya bisa memaksa diri untuk tersenyum dan mengangguk. Berusaha terlihat tulus di depan Jayden yang ternyata adalah...KAKAK DARI SI BOS DAKJAL!

“Oh iya???? Waaah! Ternyata dunia sesempit itu ya, Cal,” ucap Rachel dengan senyum kekaguman. Berbanding terbalik dengan Cali yang wajahnya langsung datar ketika Jevan menatapnya lagi. Jantung Cali yang tadinya baik-baik saja, mendadak berdegup tak keruan saat Jevan mengulitinya hanya lewat pandangan.

Terasa sekali aura kehororannya.

“Jev, dia pinter lho make upnya. Liat. Bagus kan? Gue jamin di kantor lo—”

“Pintar?” putus Jevan, tersenyum miring. Meremehkan.

Ekspresi Jevan saat menyela ucapan kakak iparnya sungguh membuat Cali ingin menerbangkan debu blush-on ke wajah lelaki itu. Biar! Bir dia rasakan sekalian wajahnya dipenuhi dempul supaya mirip si Amang yang sering menjadi tontonan anak kecil! Biar Jevan tahu gimana rasanya dipermalukan depan orang banyak.

“Iya. Pintar, teliti. Detail,” tambah Rachel penuh keyakinan. Lagi, bukannya menyetujui, lelaki tidak tahu diri itu justru mendengus, Kentara sekali, lelaki itu membantah penilaian Rachel abis-abisan.

“Teliti? Detail?” Dia menunjukkan ekspresi bingung, tetapi lebih mirip mengejek Cali. Astaga, kalau saja Cali boleh membongkar aib Jevan, yakni dia uhuk seorang penyuka sesama jenis, Cali akan dengan senang hati membisikkannya ke telinga Rachel. Pokoknya, Jevan harus malu juga gara-gara itu!

Dan, kurang ajarnya, Jevan menggelengkan kepala sambil melirik sinis Cali, “detail dari mananya kalau nulis saja masih sering typo?”

Kepala Cali mendidih saat itu juga. Sedangkan Rachel yang menyadari ada aura menakutkan diantara Cali dan Jevan, mencoba mencairkan suasana.

“Ahahahahaha. Mungkin Cali nervous Jev, bosnya ganteng kayak lo. Iya, kan, Cal?”

Cali sebenarnya ingin menggeleng, tetapi nama dan pekerjaannya mesti ia pertaruhkan. Akhirnya yah...Dia terpaksa mengangguk.

————-

Demi mencairkan suasana hati Cali yang sedang membara, perempuan itu keluar dari ruangan yang panasnya melebihi neraka gara-gara Jevandra. Ia mencuci mata dengan menyapu pandangannya ke ruang megah bak ballroom Disney Princess—yang di depannya, berjejer banyak booth makanan dan minuman enak.

Memang beda kalau orang berada yang mengadakan pesta. Makanan yang disediakan bukan prasmanan sembarangan, tapi Sushi Tei sampai Starbucks booth pun ada.

Ini pertama kalinya Cali berada di pesta yang seperti itu. Dan tentu, ia tidak mau melewatkan momen damainya. Segera, Cali langkahkan kakinya untuk mengantre di booth tersebut. Berharap, mood-nya lekas membaik.

Cali juga tak lagi menemukan batang hidung mancung nan kokoh seorang Jevandra. Dia pasti telah berkelana mencari pangeran baru untuk mengisi kekosongan hidupnya. Supaya dia tidak bertambah galak juga, kan?

Menyingkirkan pikirannya tentang Jevan, kini Cali sudah berada di belakang dua orang. Yes! Sebentar lagi akan menjadi gilirannya menikmati segarnya Java Chip Frapuccino. Mata Cali tampak berbinar-binar ketika mendapati segarnya es batu dan aroma kopi yang menyapa ketika orang di depannya sudah selesai memesan. Momen yang ia tunggu-tunggu pun tiba.

“Mas, Java Chip Frapuccin—”

“Hot Tea with Milk buat dia.” Sebuah suara dalam terdengar dari sebelah kiri. Suara ini sukses menggagalkan barista Starbucks memasukkan es batu ke dalam cup. Sontak, semua orang memasang mata ke sang sumber suara. Begitupula Cali yang bahunya langsung merosot saat menatap sosok itu.

“Baik, Pak Jevandra.” Mendengar nama sosok itu disebut, para perempuan yang mengantre di belakang kompak berpindah, mengelilingi booth kopi itu. Mereka tampak terkesima dengan ketampanan sosok tersebut. Bahkan Cali mendengar beberapa perempuan berbisik satu sama lain, “Dia adiknya Pak Jay? Yang nomer satu apa dua?”

“Yang kesatu. Anaknya Pak Dion yang nomer dua.”

“Bukannya dia gay?” INI! Ini yang Cali tunggu-tunggu. Akhirnya, ada orang yang menyela bosnya. Ia nyaris mengikik puas mendengar cemoohan itu. Akan tetapi sebelum ia berhasil, Jevandra lebih dulu menyerahkan hot milk tea pada Cali.

Alih-alih bersedia menerima, Cali melayangkan protes. “Saya mau minum kopi. Bukan teh.”

“Kamu belum tidur satu malam. Jangan minum kopi.”

“Gak, mau kopi,” bantah Cali mendengus. Sang Barista menelan ludah kala Jevan sudah ancang-ancang memberi peringatan untuk tidak membuatkan Cali kopi.

“Maaf, Mbak. Saya nggak boleh bikinin kopi sama Bapak yang tadi...” Cengiran sungkan terlihat jelas di wajah sang barista.

“Nih.” Si angkuh itu sepertinya mencoba memompa emosi Cali. Kalau tidak sengit padanya, sepertinya Jevandra tidak puas.

“Buat Bapak aja. Saya mau minum yang lain,” kekeuh Cali, mendorong teh panas itu ke arah Jevan.

“Ngel, kenapa kamu kerja hari ini?” Jevan meletakkan teh itu di meja dekatnya.

“Biar saya punya penghasilan tambahan,” kata Cali malas. Iya, dia malas diajak ngobrol sama Jevan.

“Gaji kamu tidak cukup?” tanya Jevan lagi. Heran, bawel banget nih orang! Lagi-lagi sayangnya, Cali cuma berani ngomong dalam hati.

“Cukup.” Cali menjawab sekedarnya, daripada dibilang kurang ajar sama bos.

“Kalo gitu, ngapain masih di sini?”

“Ngusir saya?” balas Cali sengit.

“Enggak.” Ia mengelak, Cali mendengus.

“Tenang aja, Pak. Saya gak akan lama-lama kok—”

DHUARRR!!!!!! Suara ledakan yang berasal dari arah depan, mengejutkan semua hadirin. Yang lain tampak berteriak dan bertepuk tangan meriah kala melihat Rachel berdiri di atas panggung, kecuali Cali yang langsung berjongkok sambil menutup kedua mata dan telinganya.

Cali benci suara petasan. Otaknya otomatis terputar pada suatu memori yang akan membuatnya teringat akan sosok kakak tirinya, Tama.

Lelaki itu kerap menakutinya dengan petasan api apabila Cali tidak menuruti keinginannya. Tama tidak akan segan menyundutnya dengan ujung bara petasan yang masih panas.

Dengan begitu, Cali akan lemah dan menjadi submissive terhadapnya.

“Ikut, Cali! Ikut Kakak ke kamar!” Tama menarik lengan perempuan itu gusar.

“Jangan, Kak,” tolak Cali, berusaha melepas genggaman kasar Tama.

“Kalo gue bilang ikut, ikut ya anjing! Jalang lo emang!” Mata lelaki itu menyalak, membuat Cali yang renta, terpaksa mengikuti keinginan lelaki bejat itu. Di tangan kanannya, petasan api yang ujungnya telah ia panaskan siap melukai lengan gadis itu.

“LO UDAH BERANI NGELAWAN GUE YA?!”

Tama meninggikan suaranya. Dan tanpa belas kasihan, Tama mulai menempelkan ujung petasan itu pada lengan Cali.

“Sakit, Kak! Panaaaas!” Cali menjerit sekuat tenaga. Namun alih-alih mendengarkan seruan pilu gadis itu, Tama meremas kedua pipi Cali dan menjambak rambutnya.

“Ampun, Kak...Ampun...” isak Cali sambil menangis, memegangi bekas sundutan bara petasan itu. Tubuh ringkihnya tersungkur ke lantai, sementara Tama merogoh kantung, dan menurunkan celananya di hadapan Cali.

“Puasin gue.”

“Kak...” Cali menundukkan kepala, sementara si bejat itu memaksa Cali dengan memasukkan paksa kelaminnya ke dalam mulut Cali.

Detik berikutnya, lelaki itu tampak tersenyum puas menikmati apa yang Cali lakukan kepadanya.

“Good girl...” desisnya yang membuat Cali semakin menangis. Tak puas sampai disana, Tama melakukan hal yang paling tidak Cali inginkan.

Dan menyisakan trauma yang mendalam dalam hidup perempuan malang itu.

———-

“NGGAAAAKKKKKK! AKU NGGAK MAU KAK!!!” Cali berteriak keras tanpa sadar. Untungnya pada saat itu, Jevan berhasil membawa sekertarisnya ke satu kamar yang khusus ia pesankan karena Cali sempat tak sadarkan diri.

“Angel.” Lelaki itu memanggilnya. Namun apa yang Jevan terima? Ia malah dicengkram Cali kuat-kuat. Bajunya diremas, sementara perempuan itu menutupi wajahnya di lengan Jevan. Ia lantas menjerit, “Jangan! Jangan, Kak. Jangaaan. JANGAN KAK!!! Jangan. Sakit. Panas! Tangan aku melepuh, Kak. Jangan ambil mahkotaku, Kak. Aku minta maaf...Ibu, maafin Cali...Ibu...jangan tinggalin Cali, Bu...Jangan...”

Jevan tercekat mendengar raungan pilu dari sang sekertaris. Wajahnya yang tadi terpasang dingin pun lamat-lamat berubah iba. Baru kali ini, Jevan menyadari jika ada sesuatu yang menggerakkan hatinya. Sebelumnya, Jevan paling anti mendengar hal-hal yang tidak menyangkut dirinya.

Tapi kali ini berbeda. Sebuah naluri yang hampir dua puluh sembilan tahun senyap di hidup Jevan pun, mendadak menguar hebat. Ia tidak mau perempuan ini sendirian atau sampai nelangsa seperti dirinya. Dia juga terluka sama seperti Jevandra.

Mereka sama-sama butuh obat tapi tidak pernah berhasil menemukannya.

“Angel.” Sekali lagi Jevan mencoba memanggil nama perempuan itu, dan syukurlah... Gadis itu berhenti menangis. Matanya sembab dan wajahnya pucat pasi.

“Pak Jevan?” Ia tampak linglung, padahal sejak tadi Jevandra adalah sosok yang mendampinginya. Bukan lelaki bejat yang dari tadi Cali sebutkan namanya.

“Astaga! Ma-maaf, Pak. Maaf sekali lagi ya, Pak. Saya permisi pulang dulu.” Perempuan itu terburu-buru berdiri, tidak menyadari jika ruang yang sedang ia tempati itu bukanlah ruang make up, tetapi sebuah kamar suite yang menelan harga fantastis.

“Ngel. Tunggu sebentar.” Cali refleks menghentikan langkah kakinya. Sejenak matanya menyoroti Jevandra yang sedang balik memandangnya. Lelaki itu lalu berhenti tepat di depan Cali.

“Jangan pulang sendiri,” kata Jevandra tegas.

“Pak, saya nggak mau merepotkan. Bapak masih ada acara keluarga. Nggak enak sama Kak Rachel dan suaminya. Saya dul—”

“Saya mau ketemu sama Ibu kamu.”

Cali reflek mengernyit heran. Tidak ada keperluan apapun, tapi tahu-tahu Jevandra mau bertemu dengan ibunya? Mau memecat dia di depan orang tua langsung?

“Bapak bisa bicarain kinerja saya di kantor. Jangan di depan Ibu saya atuhlah, Pak. Saya tau saya belum kompeten menjadi sekertaris Bapak. Saya...”

Mendengar ocehan yang sama dari mulut wanita itu, Jevan balas memandangnya heran. “Saya mau bicara sama ibu kamu.”

“Mau ngomong apa, Pak? Mau bilang kalau saya gak becus jadi sekertaris. Iya?” sengit Cali dengan wajahnya yang memerah marah.

“Udah. Nggak usah nuduh saya yang macam-macam.” Jevandra menyambar tas yang adalah milik Cali, berikut juga dengan peralatan make up-nya yang ternyata telah diletakkan di depan kamar.

“Pak?” Cali memandangnya bingung. Bingung, karena ia sama sekali tidak tahu kalau alat-alat make upnya sudah berpindah tempat. Ia termangu memandangi seorang bell-boy yang membawa kotak alat make up milik Cali. Ia tampak mengikti langkah Jevan dan dirinya di belakang.

Sedangkan Jevan, lelaki itu mengeluarkan kunci mobil dengan gambar kuda dan bertuliskan Porsche.

“Titip,” Jevan mencemplungkan kunci mobil itu di dalam tas Cali yang terbuka. Cali yang menerima lagi-lagi hanya bisa bengong dan bengong.

“Pak, ini benda pribadi Bapak. Kenapa ditaro di dalam tas saya semua...?” Cali bertanya. Sebab tidak hanya kunci mobil, tapi dompet beserta card holder juga ia masukkan di dalam tas Cali.

“Sudah taro aja dalem tas kamu. Saya malas bawa barang.”

Cali nyaris mendumel, akan tetapi mengingat hidup dan matinya dipertaruhkan sebentar lagi di depan sang Ibu, Calipun terpaksa mengurungkan niat itu. Lebih baik ia tutup mulut sebelum bosnya ini yang duluan mengomelinya.

“Kasih tau alamat rumah kamu.” tanya Jevan berikutnya.

“Bapak ngapain sih Pak mau ke rumah saya?” tanya Cali penasaran.

“Ada yang perlu saya bicarakan dengan Ibu kamu.”

“Pak, Bapak kira Bapak kepala sekolah yang harus mendisiplinkan saya di depan orang tua?” sinis Cali kesal. Jevan mendengus.

“Sudah diam. Jangan banyak ngomong, ngomel mulu,” tegur Jevan sebelum ia mempersilakan Cali masuk ke dalam lift. Cali langsung merapatkan mulutnya ketika Jevan memasang wajah kesal. Berikutnya, lelaki itu menggeser tubuhnya untuk berdiri di belakang Cali, menjaga pintu lift agar tidak menghimpit mereka.

Aneh, pikir Cali. Dia gak biasa-biasanya se-gentle ini. Sampe segala ngeduluin gue masuk segala lagi. Cali berpikir keras.

tes

Cali melayangkan pandangannya pada sebuah cermin dengan tangannya yang sibuk membubuhkan blush on serta highlighter pada wajah seorang wanita yang bisa Cali katakan....

SEMPURNA

Hidung pipih nan mungil, berbatang tinggi, kulit putih bagai porselen serta kaki jenjang bak egrang, membuat mata Cali enggan berpaling dari sosok wanita itu.

Ini adalah kali pertama untuk Cali bertemu dengan wanita yang parasnya bak Dewi Athena. Astaga Tuhan, batin Cali. Kalau saja gue boleh bertukar wajah dalam satu hari, boleh deh gue pinjem mukanya.

“Cali, sudah lama ya make-upin orang?” Mendadak canggung yang sejak tadi melingkupi Cali pun sirna ketika klien-nya itu buka suara.

“Iya, Ka Rachel,” balas Cali tersenyum.

“Oh iya, pantes aja. Make up-nya flawless banget. Natural sekali hasilnya,” puji si klien lagi seraya memeriksa hasil make up Cali.

“Makasih, Ka Rachel. Seneng dengernya kalau suka sama hasil make upku.” Cali menyahut.

“Kalau gitu, bisa gak Cali saya rekrut langsung jadi make up artist pribadi saya? Jujur, saya kadang kurang cocok di make-upin sama make up artis di tempat kerja saya.”

Cali agak terkejut mendengar tawaran itu. Tawaran yang sejak dulu sangat ia impikan. Namun sayang, penawaran ini harus hangus, karena Cali baru saja bekerja di salah satu perusahaan besar—Mahaputra Corporate.

Sayang sungguh sayang. Rejeki itu terpaksa Cali tolak.

“Maaf, Ka Rachel,” ujar Cali lesu. “Sekarang udah kerja?” tanya Rachel seolah paham. Cali mengangguk. Jelas terlihat di sorotnya jika ia sebenarnya berat menolak permintaan sang klien.

“Yah, sayang banget. Gak apa-apa, Cali. Kalau ada occasion lain, bisa kan make-upin aku?”

“Iya, Kak. Pasti bisa!” Cali menyanggupi penuh percaya diri.

“Oke, that's good! Nanti kontak lagi sama Ciripa ya, manajer aku,” ucap Rachel sebelum perempuan itu berdiri dari kursi, melirik salah seorang lelaki androgini yang membawa tas Hermes milik Rachel. Cali mengedarkan pandangannya tepat pada lelaki tersebut. Jujur, sekali melihatnya, Cali langsung teringat pada bosnya sendiri. Si makhluk berdarah dingin—Jevandra.

Naon sih aing nginget-nginget si eta, anjing! Cali mengumpat dalam hati. Membayangkan wajahnya saja kepala Cali mendidih, apalagi Senin besok, Cali masih harus bertemu face to face dengan Si Sinting itu?

Lantas gadis itu mengalihkan pikirannya dengan cara lain, yakni membuka laman chatnya dengan Mandala, laki-laki yang ia cintai. Mending seperti itu, kan? Daripada emosi karena satu lelaki yang paling ia benci?

Untunglah Cali berhasil mengendalikan emosi sesaatnya. Kini ia harus membereskan peralatan make-upnya dan menunggu di ruang yang disediakan oleh kliennya itu.

“Cali, nanti jangan pulang dulu ya? Ikut hadir di acara ini enggak apa-apa,” kata Rachel sambil tersenyum.

Astaga, apa yang telah Cali lakukan sehingga Dewi Fortuna bersedia menghampirinya hari ini? Apakah ini bentuk buah kesabarannya menghadapi bos dakjal di kantor? Kalau memang benar begitu, syukurlah. Setidaknya Cali dapat merehatkan pikiran dan perasaannya yang selalu tak keruan jika berada di dekat si tanduk setan itu.

“Makasih, Kak Rachel,” balas Cali, lalu segera ia bereskan semua alat make up miliknya, sebelum menikmati pesta orang kaya ini.

“Hai, Sayang...” Cali refleks menoleh ke belakang saat hidungnya disegarkan oleh aroma citrus bercampur oak wood yang sangat kuat. Dan pastinya, sosok yang memiliki aroma tersebut adalah seorang pria. Wanginya menenangkan dan dengan mudah tertinggal dalam kepala Cali. Tanpa harus membayangkan seperti apa rupa pemilik aroma maskulin itu, Cali yakin seratus persen jika wajahnya akan sangat tampan.

Daaan....Bingo! Tebakan Cali tidak meleset. Di belakangnya persis, Rachel memeluk mesra seorang lelaki yang wajahnya seperti Dewa Yunani, siapapun itu sosoknya. Tidak sih, lebih tepatnya lelaki ini mirip sekali dengan Edward Cullen, si vampir tampan yang pernah Cali idolakan. Astaga..betul-betul pasangan yang serasi bin sempurna. Melihat mereka saling melempar kemesraan, Cali berharap jejaknya dengan Mandala pun akan seperti sejoli ini.

“Sayang, kenalin.” Rachel menarik lengan lelaki itu dan membawanya ke depan Cali. Gilaaaa! Sekali Cali bertukar tatap dengan pria itu, rasanya Cali dibuat mabuk kepayang oleh pesonanya yang mematikan. Dingin, namun melemahkan kaum hawa.

”...Kenalin, Cali. Dia make up artist-ku hari ini.”

“Oh, Jay.” Lelaki berkulit putih seperti porselen itu menjawab singkat.

Dengar, nada bicaranya yang hemat itu membuat rasa penasaran Cali tergugah. Bagaimana bisa lelaki sesempurna ini dipertemukan dengan Rachel yang juga sempurna? Kalau dunia seadil itu, akankah Mandala bisa berakhir dengannya?

Cali hanya bisa berdoa Tuhan memberikan keadilan yang sama untuknya.

“Cali, Kak.” Ia menjawab ragu-ragu, sungkan. Belum pernah bertemu dengan lelaki yang auranya sangat mematikan seperti Jay. Eh, pernah ding.

JEVANDRA!

Dia punya aura yang mirip dengan lelaki ini. Bahkan, suara dalamnya pun nyaris sama. Caranya menatap Cali juga tak jauh dari Jevandra.

Alah siaaaa! Rutuk Cali sekali lagi. Ia kesal dengan pikirannya yang dibayangi Jevandra. Padahal di hari bebasnya hari ini, ia bisa menghirup udara bebas—yakni dengan kembali menjadi seorang freelancer.

“Saya kayaknya pernah lihat kamu. Tapi dimana, ya?” Lelaki yang ternyata adalah suami dari Rachel ini menggaruk pelipisnya dengan tampang bingung. Kalau Jay saja bingung, lantas Cali juga lebih bingung.

“Oh iya kah, Kak?” Cali ikut bertanya.

“Iya...Hmm—” Sebelum sempat lelaki itu melanjutkan ucapannya, dari belakang pintu ruangan rias Rachel terbuka lebar.

Lho, bukankah Rachel berpesan jika ruangannya hanya untuk keluarga? Cali reflek ikut menoleh ke pintu ketika Jay dan Rachel kompak melirik ke arah yang sama.

“Oy, Jev, gue kira lo gak dateng.”

Cali rasanya mau mati saja melihat sosok yang baru masuk ke ruangan itu.

Jevandra

“Hey...” Shaka terbangun saat merasakan usapan yang mampir pada lengan kokohnya yang berurat.

Ditatapnya perempuan yang tengah duduk di tepi sofa, “Eh, aku ketiduran.”

“Nggak apa-apa, Ka,” sahut sang puan, tangannya menyapu punggung anak kecil yang meringkuk dalam pelukan Shaka, lalu netranya kembali pada Shaka, “Pegel, ya? Sini, biar aku Nora ke dalem dulu.”

Tangan Anya langsung terulur, bersiap menggendong putrinya. Akan tetapi, saat ia melihat anak semata wayangnya terlelap dalam peluk Shaka, Anya bergeming sesaat, menyadari ada satu hal yang tak biasa terjadi pada anaknya, Nora.

Ini pertama kalinya ia melihat Nora tertidur pulas di pelukan orang lain. Biasanya, anak itu akan rewel jika bukan Anya yang memeluknya. Alisnya akan mengerut selama ia tertidur.

Namun bersama Shaka, Anya tidak menemukan alis anaknya bertemu pada satu titik. Wajah mungilnya begitu tenang dan damai. Entah apa yang lelaki itu lakukan hingga Nora bisa sangat nyaman berada dipeluknya.

“Nya?” Shaka menjentikkan jari, membuyarkan lamunan Anya. Sejurus kemudian, laki-laki itu berdiri sambil tetap menggendong Nora, kemudian menepuk punggungnya agar anak itu tak terganggu tidurnya.

“Aku aja yang naro Nora di kamarnya. Kamu duduk di situ aja. Capek nanti,” ucap Shaka sesaat sebelum lelaki itu berjalan meninggalkan Anya termenung di sofa.

Begitu saja, Anya kembali terbuai dengan Shaka, berkali-kali ia mencoba menepis perasaannya untuk lelaki itu, berkali-kali pula Shaka tak menyerah pada Anya, hingga Anya pun luluh dan memutuskan untuk membuka hatinya buat Shaka.

As she said before, the door is open. Just for him. Maka, Anya mempersilakan Shaka lagi untuk menyusuri lorong apartnya dan masuk ke kamar Nora.

Anya mengekeh pelan, “aku kan nggak ngapa-ngapain, Ka..”

“Kata siapa?” balas Shaka, tersenyum tipis. “kamu capek, abis main petak umpet sama aku di dalem kamar,” sindirnya dalam taraf bercanda. Anya yang paham kalau ia sedang disindir halus, melayangkan tatapan sebal ke arah lelaki itu dan bergumam, “Hhhhh.”

Karena ia selalu tak bisa berkelit dari Shaka. Selalu saja laki-laki itu menyentuh titik lemahnya sampai membuat Anya tak dapat menghindar.

Seperti yang barusan terjadi.

Padahal, sebelumnya Anya telah mempersiapkan segudang cara untuk menolak Shaka, karena alasan martial status-nya, a divorcee

“Udah,” ucap Shaka singkat sekembalinya dari kamar Nora. Lelaki itu menyandarkan tubuhnya sebentar di sofa, sementara tangannya meraih tangan Anya untuk ia genggam lembut. Tanpa mengatakan apapun, Anya dapat merasa jika Shaka sedang mengistirahatkan dirinya dari segala macam urusan pelik di kantor. Dan hanya lewat hangatnya genggaman tangan Anya, kegetiran seorang Shaka tersapu rata dan ia merasa tenang.

Rona merah kembali menghiasi wajah Anya ketika Shaka merapatkan duduknya pada perempuan itu, sambil terus mengelus tangannya.

“Bu Anya, demam? Mukanya merah banget,” ledek Shaka melirik Anya yang sibuk menghindari tatapan matanya.

“Diem deh. Nggak usah ngeledek gitu, bisa nggak sih?” protes Anya malu-malu. Lelaki itu makin meluapkan tawa sembari mengusak rambut hitam kelam Anya yang lembut. Berikutnya, Shaka yang punya segudang cara untuk memukau Anya, tanpa permisi menautkan satu ciuman pada bibir wanita itu. Anya sempat terkejut ketika Shaka bukan hanya melakukannya sekali, tetapi berkali-kali, bahkan bisa dibilang sangat intens. Deru nafas Shaka dan Anya saling berlomba, mencari kenikmatan dari pagutan sensual itu.

Dari hangatnya tautan yang Shaka berikan padanya, Anya pun mulai mengikuti kata hatinya. Ia tersadar jika dirinya pun sama menginginkan Shaka sebanyak Shaka menginginkannya. Perasaan Anya menguat tatkala lagi-lagi Shaka membuatnya terpukau karena satu hal.

“Ka..” panggil Anya pelan-pelan membuka mata, menyentuh bibir lelaki itu dengan ibu jarinya. Ia tak lagi mencium aroma rokok Malboro yang biasa menguar hebat dari mulut Shaka.

“Kamu gak ngerokok hari ini?” tanya Anya memastikan seraya membiarkan aroma mint dari lelaki itu ikut tertinggal di bibirnya.

Shaka mengangguk, “Cause' I have found something addicts more than a cigarette.”

“What's that?” Alis Anya terangkat satu, air mukanya terlihat amat penasaran.

“It's you,” bisik Shaka tepat di telinga Anya, lalu secepat kilat Shaka mengecup bibir wanita itu hingga sukses membuat mata Anya membulat, kaget.

“Hahaha, such a flirt!” kekeh Anya.

“Strangely, I didn't feel cringe when you say it,” pungkas Anya seraya mengusap pelipis Shaka lembut.

“Emang biasanya Bu Anya nggak suka dirayu?” tanya Shaka, menderai tawa.

Anya mengiyakan. “He'eh. Gak biasa aja. Mana anak muda lagi yang ngerayu.”

”...Nggak tau sama kamu, aku disihir pake apa sampe suka,” aku Anya blak-blakan.

“Pake ini.” Shaka kembali mengecup bibir Anya. Kalau yang pertama Anya sampai tersentak kaget, pada ciuman Shaka yang kedua, Anya mulai mengikuti alurnya, ia membiarkan lelaki itu sedikit bereksplorasi dengan lidahnya.

Anya sangat menikmati setiap pagutan yang Shaka hantarkan, that sparks yang Anya pikir telah terkubur dalam-dalam semenjak ia bercerai, mulai muncul kembali. Mengisi hatinya dengan kehangatan.

“Kan, kata kamu waktu itu boleh?” ucap Shaka usai mereka berciuman. Lelaki itu memasang wajah memelas persis dengan Nora kalau minta sesuatu.

“Iya, Shaka...” sahut Anya, memainkan kerah baju Shaka dan menatap matanya dalam-dalam. Entah karena Anya mulai terpengaruh bacotan Gaby tentang Shaka, atau justru dirinya memang sedang dimabuk Shaka, Anya memberanikan diri untuk menautkan satu ciuman di bibir Shaka. Pertama kalinya, Anya yang memulai lebih dulu.

Shaka sebagai penerima cium Anya tertawa lepas, menyugar rambut hitam wanitanya sambil geleng kepala. Tak mampu ia menyembunyikan bahagianya yang meluap kala Anya memeluk dirinya begitu erat. Dari situ, Shaka tahu jika Anya telah memberinya jawaban yang selama ini ia tunggu.

Shaka juga terpesona akan wajah Anya yang selalu merona merah setiap kali mereka habis kissing.

“Nya,” panggil Shaka ketika keduanya saling melempar pandang cukup lama.

“Hmm?”

“Jadi istri aku...ya?” tanya Shaka enteng namun tetap terdengar hati-hati. Netra Anya sontak membulat ketika mendengar pertanyaan Shaka.

Sejujurnya, Anya sangat bahagia ketika akhirnya ada pria yang sungguh-sungguh mencintai dirinya seperti Shaka. Namun batin Anya kembali meragu. Bukan pada cinta Shaka kepadanya, tapi Anya ragu pada dirinya sendiri. Akankah ia mampu bertahan dengan Shaka? Akankah ia bisa menjadi pendamping yang baik bagi laki-laki itu? Semua pertanyaan ini memberondong dalam pikirnya. Anya sangat mengerti ada konsekuensi yang akan siap mengikuti Shaka, bila seandainya lelaki itu bersedia menikah dengan Anya. Maka, alih-alih langsung mengiyakan lamaran Shaka, Anya pun mengungkapkan segala kegamangannya pada lelaki itu.

“Ka...” Anya menyapu lembut wajah Shaka. Ia menghembuskan nafas dalam-dalam, “Makasih ya, Ka.. Makasih udah sayang sama aku dan Nora. Makasih karena kamu udah ngelakuin banyak hal untuk aku dan Nora.”

”...Honestly, it's not going to be easy for you to have someone like me.”

”...I think this a lot too. Nggak gampang mencintai perempuan yang punya masa lalu kayak aku. Konsekuensi yang harus kamu pikul bakalan banyak, Ka. Nama kamu, nama perusahaan, dan keluarga besar kamu. Semua itu harus kamu jaga baik-baik.”

“Aku takut, kalau kita benar-benar bersama, kamu malah kehilangan reputasi kamu, aku nggak mau kamu ngalamin yang aku alami, apalagi kamu udah ada di posisi sekarang. Gak enak, Ka. Beneran.”

”...I've been there, Ka. Aku nggak mau mengacaukan semua yang sudah kamu bangun buat nama kamu juga Pak Elliot.”

Dapat Shaka lihat sendunya pandangan Anya ketika ia berkata demikian. Pasti Anya sangat terbebani karena memikirkan ini sendirian.

Betapa ia sangat tersiksa karena embel-embel status dan masa lalunya.

Padahal Shaka tidak pernah mempermasalahkan masa lalu Anya. Semua orang pernah mengalami masa-masa sulit di hidupnya, justru ketika Shaka tahu bahwa Anya nelangsa karena keadaan itu, Shaka tak mau lagi Anya kembali dalam lubang itu. Ia ingin Anya bahagia di hidupnya, bersama dirinya.

Bagi Shaka, masa lalu Anya adalah hal yang semestinya menjadi sejarah bagi perempuan itu.

Seperti yang Shaka katakan pada Sadewa dan teman-temannya yang lain, Shaka tak pernah keberatan dengan masa lalu Anya yang pernah menikah.

Yang Shaka mau cuma Anya. He means it.

“Aku...” Anya bahkan tak sanggup melanjutkan ucapannya sendiri. Terlalu banyak yang bersarang dalam kepalanya, dan perlu ia katakan pada Shaka. Namun hebatnya, lelaki itu dapat memahami kebimbangan Anya.

“Boleh aku gantian yang ngomong sekarang?” pinta Shaka lembut, Anya pun, mempersilakan lelaki itu untuk berucap, “kamu nggak akan ngerusak semua itu, karena aku tau kamu gimana.”

“Nya...Aku ga pernah mempermasalahkan kamu pernah menikah, kamu janda, kamu apa. Semua itu udah terjadi.” Lelaki itu membelai lembut wajah Anya, “Aku maunya kamu, Nya. Bukan yang lain.”

“Dan, alasan aku balik kesini...bukan karena aku gak mau main sama mereka lagi, Anya. Tapi...aku ngerasa waktu main-mainku udah cukup.”

“Aku udah terlalu banyak menghabiskan waktu buat hura-hura, dan pada saat aku ngelakuin itu, emang menyenangkan...” Shaka kemudian menunjuk ke dadanya sendiri, “tapi disini...”

Lelaki itu menggeleng. “I feel empty.”

Anya memerhatikan Shaka dengan tatapan sungguh-sungguh, sembari mencari cara menenangkan degup jantungnya yang sedang berdetak kencang kala Shaka memandangi wajahnya dalam-dalam. “So...what's your answer then? Aku emang gak mau ngajak kamu pacaran dari pertama kenal, maunya langsung serius kayak gini.”

Mendengar kesungguhan Shaka, Anya pun memberi jawaban, ”...Ka, didn't I tell you before?”

“Wait. Did I miss something?” tanya Shaka panik, otaknya berputar, mencoba mengingat apa yang sempat Anya katakan. Menemukan tampang panik yang terpancar dari wajah Shaka, Anya tertawa kecil. Matanya terarah pada pintu apartnya sendiri, “The door is open. Just for you.” Shaka tersenyum lebar mendengar ucapan Anya yang tentu amat bermakna.

“Thank you, Love.” Shaka menarik Anya dalam peluknya. Kali ini ia mempererat dekapannya, meyakinkan Anya bahwa ia bersungguh-sungguh

mempersunting bidadarinya, Gyayunindia Pradnya Gayatri.*

“I should be the one who says that to you, Mr. Racer.” Gelak tawa Shaka menyambut ucapan Anya. Keduanya saling menderai tawa usai Shaka kembali memperkenalkan Anya kepada love language-nya yang lain.

Lips to lips.

End

Berada di dalam ruang persalinan selama kurang lebih satu hari adalah pengalaman terbaik bagi Anya dan Shaka.

Menegangkan buat Shaka, mengharukan buat Anya.

Untuk Shaka, ini adalah pengalaman pertamanya menyaksikan wanita bertaruh nyawa demi seorang anak. Dari perjuangan sang istri, Shaka sadar bahwa menjadi orang tua tidaklah mudah.

Bukan hanya kerja keras dan tanggung jawab, tetapi juga pengorbanan dan nyawa yang harus dipertahankan.

Saat Anya mengadu padanya karena kesakitan, sambil sesekali meringis, disitulah Shaka tegang sekaligus terharu, karena Anya mati-matian menahan rasa sakitnya sendirian. Shaka tidak tega melihat Anya menangis sambil berkata padanya, “Sakit, Ka..”

Shaka cuma bisa memberi Anya dukungan melalui affirmasi positif. Berusaha tenang agar Anya tidak panik, mengingat untuk Anya, ini adalah pengalaman pertamanya melahirkan normal.

“Iya, Sayang... kamu semangat ya, yang pinter nafasnya. Kamu punya aku disini. Kamu boleh nyakar, boleh cubit, boleh ngapa-ngapain aku, terserah. Ya?” Shaka mengusap kepala Anya dan tak lupa juga mengelus pundak istrinya.

Usai berkata demikian, sepertinya Anya baru bisa merasa tenang. Shaka tak pernah melepas genggamannya selama Anya melalui proses persalinan. Entah sudah berapa cakaran yang mampir pada lengan berurah Shaka, juga punggungnya, yang penting anak dan istrinya selamat.

Syukurlah, pada pukul tujuh lewat lima belas menit di pagi hari, pertarungan Anya tidak sia-sia.

Buah cinta Anya dan Shaka terlahir ke dunia dengan selamat. Tangis putri kecil mereka memenuhi ruangan, begitu kencang, seolah ingin segera dihangatkan dalam peluk ibunya.


Usai dibersihkan oleh sang dokter, bayi mungil yang wajahnya persis dengan Shaka itu segera diletakkan di dada sang ibu. Shaka di samping, menatap putrinya dalam rasa haru. Air matanya pun terjatuh. Masih membekas perjuangan dalam kepalanya. Untuk itu, Shaka mencium dahi Anya, menyalurkan terima kasihnya pada sang istri. “Makasih, Nya..”

Telunjuk Shaka kemudian terjulur untuk menggenggam tangan mungil anaknya. Dengan mata yang masih berkaca-kaca, Shaka menjatuhkan tatapan lekatnga pada sang putri yang ia beri nama,

Elaine Alethea Roserue Nareswara

“Mirip banget sama kamu, Ka,” gumam Anya, melirik sang suami yang masih berselimutkan haru. Tangan Anya yang masih dipenuhi selang infus menepuk-nepuk Baby Elaine karena tangisnya belum berhenti. Sementara tangan kirinya, mengusap sisa air mata Shaka di sudut matanya.

Anya sangat sadar jika tanpa Shaka di sampingnya, mungkin saja ia akan menyerah. Tetapi laki-laki di sebelahnya ini, rela mengorbankan waktu istirahatnya demi menjaga Anya dari semalam.

Oh, bukan hanya itu, Shaka juga sampai ngotot menyuapi Anya, mengelap lengan dan tubuhnya agar dia tidak gerah.

“Aku makan sendiri, Ka. Bisa kok. Ya?” rengek Anya. Ia tak biasa diperlakukan semanja itu oleh laki-laki. Ya walaupun suaminya sendiri.

“Nanti infusnya copot. Enggak,” balas Shaka. Wajahnya terpasang tegas, membuat Anya tak berkutik dan akhirnya ia mau disuapi Shaka.

Kalau boleh Anya katakan, Shaka-lah yang paling banyak berkorban untuk dirinya juga kedua anak mereka. Mulai dari menyempatkan diri untuk mengantar Nora ke sekolah, sehari sebelum Anya harus ke rumah sakit, sampai menenteng sendiri hospital bag Anya. Tanpa bantuan orang rumah ataupun supir pribadi mereka.

“Nya, kok malah nangis? Ada yang sakit? Kamu pendarahan?” tanya Shaka panik. Padahal Anya mau menggeleng, tetapi Shaka yang masih cemas lanjut berkata lagi, “kamu kena baby blues ya, Nya? Aku panggilin dokter ya? Kita konsul. Ya?”

“Aka...bukan gitu,” balas Anya usai beberapa detik bergeming.

“Terus kenapa...?”

“Mau dipeluk dulu,” pinta Anya.

“Nanti Elaine kegencet,” kata Shaka. Tadinya ia mau tertawa, namun sepertinya Anya masih diselimuti haru, jadi ada baiknya Shaka menahan diri.

“Ih, cepetaan,” rengek Anya. Shaka pun memeluk Anya walau tidak seerat biasanya. Lalu, perempuan itu berbisik di telinga Shaka, “Makasih ya, Ka, udah seharian jagain aku..”

“Sama-sama, Hon. Makasih juga udah ngasih aku anak sekaligus dua,” jawab Shaka, menderai tawa.

“Hehehe. Ka..” ujar Anya lembut sembari mengusak rambut Shaka, “Abis ini kamu tidur, ya?”

Dari kantung mata Shaka yang menghitam, Anya tahu betapa kejamnya lelah menghantam Shaka pada saat itu. Ini kali pertama Shaka menemani orang bersalin. Gugup dan cemas pasti hinggap dan masih tersisa dalam benaknya.

Namun tidak sedikitpun Shaka melayangkan keluh pada Anya. Yang ada, sepanjang Anya bersalin tadi, Shaka terus memeluk dirinya kuat-kuat, bahkan rela dirinya dicakar dan dicubit.

“Lah kok tidur?” sahut Shaka bingung. “Adik kan belum disusuin, Hon.”

“Ya maksud aku, kamu bobo, Sayang. Mata kamu udah lima watt banget itu.”

Alih-alih menuruti permintaan sang istri, Shaka justru tampak sibuk, mengeluarkan sesuatu dari kantung celananya, “aku udah bawa balsem, buat ngolesin mata. Kayak jaman aku SD dulu waktu belajar, supaya bisa nemenin kamu nyusuin adik.”

Anya tertawa, ia tahu Shaka hanya bercanda. Shaka pasti membawa balsem itu untuk mengurangi rasa pegalnya usai seharian menjaga Anya.

“Ngawur! Hahahaha, adik nanti ada jadwal nyusunya, Ka. Kayak waktu Nora dulu. Makanya kamu bobo, ya?” bujuk Anya.

Shaka terdiam, tapi pandangannya tak lepas dari manik mata indah Anya. Begitu kentara rasa sayang yang terpancar dari tatapan Shaka, sehingga sekali lagi rona merah di pipi Anya terlihat. “You know, this is why I love you so much, Nya.”

”...Kenapa emang?”

“Karena kamu Anya.”

“Hah? Aku abis lahiran, jangan disuruh mikir ya.”

Tawa Shaka meledak, “karena kamu Anya. Anya yang selalu perhatian, bahkan disaat kamu lagi capek-capeknya kayak gini. Kamu masih sempet merhatiin aku, ngurusin Nora. Entar lagi ngurusin adik.”

Shaka membelai kepala sang istri, sebelum ia daratkan satu kecupan di dahinya, “I love you not because you're an independent woman yang kayak orang-orang bilang.”

Anya yang baru melahirkan itu bisa-bisa terserang jantung kalau Shaka melontarkan kata-kata tak terduga seperti tadi.

“But I just love you.”

“Karena?”

“Emang cinta butuh alasan?” sahut Shaka dengan muka jahilnya hingga membuat Anya tergelak.

“Shakaaaa! Perut sakit masih nyeri, jangan dibikin ketawa duluuu!”

“Hah? Jangan-jangan kembaran adik ketinggalan di dalem? Tuh, perut kamu masih nyeri.”

“El Shaka, ya Tuhan. Kagak begitu konsepnya!”

“Hahahaha. I know, Hon. Kidding.”

Di setiap kesempatan, Anya sangat hafal dengan sang suami yang pintar cari celah untuk membuat dirinya bahagia.

Mulai dari perhatian kecil, sampai sentuhan-sentuhan dahsyat yang membuat Anya tak punya kekuatan untuk menolak Shaka.

Seperti yang barusan terjadi.

Shaka sempat-sempatnya mencuri satu kecupan di bibir Anya. Tak menuntut, lembut, seolah mengisyaratkan betapa lelaki itu amat berterimakasih dan bersyukur memiliki Anya dalam hidupnya.

Anya pun sama. Ia sangat bahagia memiliki El Shaka di hidupnya. Laki-laki yang tak pernah disangka-sangka menjadi tonggak dalam kehidupannya. He's the reason of her happiness and sadness, kalau Shaka sedang berjauhan dengannya.

“I love you, Suamiiiik,” ucap Anya, mengelus lembut pipi Shaka.

“I love you too, and the most, Wife.” Shaka menjawab, tersenyum hangat pada sang istri.

Tidak ada yang lebih membahagiakan bagi Anya setelah dipertemukan dengan sosok yang sepadan dengan dirinya. Her perfect match

El Shaka Nareswara.

Fin

“Nya, istirahat dulu di kamar, aku taro Nora sebentar ya,” kata Shaka sebelum ia masuk ke kamar putrinya.

Pelan-pelan Shaka menepuk punggung Nora beberapa kali agar tidurnya semakin lelap.

Mendapati sang suami yang tengah menepuk punggung putrinya, benak Anya dihampiri rasa hangat karena tindakan Shaka. Ia benar-benar terkesima dengan cara laki-laki itu menyayangi putrinya dengan tulus. Bahkan, Shaka selalu bilang ke orang-orang bahwa Nora adalah anaknya. Misalnya begini.

“Oh iya, anak saya sudah berusia empat tahun. Baru ulang tahun beberapa waktu lalu.”

Atau, jika ada yang bertanya bagaimana bisa ia memiliki anak, padahal tahu jika dulunya ia berstatus lajang, Shaka akan selalu menjawab tegas. “Anak Anya, anak saya. Nggak bisa diganggu gugat.”

Orang-orang yang mendengar jawaban Shaka langsung bungkam. Tidak satupun dari mereka berani bertanya lebih lanjut mengenai status Nora. Dan hal ini sangat membuat Anya tersentuh.

Shaka dan ketulusannya, tidak pernah bisa digantikan oleh siapapun.

Sambil berjalan pelan serta mengelus perut dan punggungnya, Anya masuk ke kamar. Berbaring di kasurnya dengan segera, karena kakinya langsung terasa sakit jika berdiri terlalu lama.

Tak lama kemudian ketika Anya sibuk menepuk-nepuk pinggangnya, Shaka pun muncul. Ia duduk di sebelah Anya, dan tanpa diminta, langsung mengusap pinggang Anya.

“Pegel ya?” tanya Shaka.

Anya mengangguk, sambil mengendus aroma koyo yang berasal dari punggung Shaka. Dalam sedetik ketika sadar sang suami juga sedang dalam keadaan lelah, air mata pun mengalir di wajah Anya.

“Anya...aku salah apalagi?”

Yang ditanya malah makin menangis. Shaka memandang istrinya dengan dahi mengerut, khawatir. “Sakit banget ya? Kita ke dokter aja ya?”

Anya menggeleng kuat, kemudian memukul pelan dada Shaka. “Kok aku malah di KDRT gini sih...” guraunya.

“Kamu gitu sih...” isak Anya.

“Gitu gimana sih, Sayang?”

“Kamu lagi pegel-pegel kan? Tuh, tengkuk leher kamu merah. Abis dikerok siapa?”

“Dea.”

“SHAKAAAAAA!”

“Hahahahah, Sadewa lah!”

“Dih nyebelin banget...kemaren ngomel-ngomel sama aku karena gak mau istirahat, sendirinya malah gitu,” gerutu Anya sambil memanyunkan bibir.

“Aku bukannya gak mau ngasih tau, Nya. Liat, kamu tau aku kerokan aja bibir udah memble gitu, langsung mewek.” Sambil berkata demikian, Shaka menarik Anya dalam peluknya.

“Kangen,” ucap Shaka pelan di telinga Anya. “Nggak pake nangis ya, Nya. Masa kalah sama Nora?”

“DIEM DEH!” tukas Anya cemberut, “aku kayak gini, gara-gara lagi bunting! Masa gak paham kalo bumil tuh sentimentil!” balas Anya dengan nada seriosa yang membuat Shaka menderai tawa.

“Hahahahaha, sorry, Hon.” Di gaspol oleh sang istri, Shaka makin tergelak, pasalnya Anya dan wajah cemberutnya itu begitu menggemaskan bagi Shaka. Akhirnya untuk mengembalikan mood Anya yang terlanjur anjlok akibat ulah usilnya, Shaka menandaskan senjata rahasia.

That passionate kiss yang selalu membuat semburat merah muda di wajah Anya tampil dengan sempurna.

“Astaga....abis ini watermelon seed mana lagi yang mau kamu beliin buat aku?” balas Anya menyinggung pembicaraan random Shaka, sambil mengusap bibir sang suami dengan ibu jarinya.

“Heh! Hahaha.” balas Shaka terpingkal-pingkal. “Hon, serius deh.”

“Hmm?” Shaka berpindah posisi dengan hati-hati agar tidak menindih perut Anya. “Aku kepikiran soal kamu nangis kemaren. Maaf banget kalau aku sampai se-marah itu. Do you mind to teach me?”

Anya terperanjat, menatap suaminya lekat-lekat. “Teach you...what?”

“Ya supaya aku nggak bikin kamu nangis lagi, atau kamu takut sama aku. What I mean was only to protect you and the baby. Kalau soal jealous, ada sih sedikit. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, kamu pasti lebih bucin sama aku.”

Anya hampir terharu dengan pengakuan sang suami, tapi ujungnya dia tertawa mendengar kepercayaan diri Shaka.

“Aku nggak mau ah ngajar-ngajarin kamu gitu, nanti kayak nyetir suami. Lagian kan emang udah seharusnya aku nurut sama kamu.”

”...I am really sorry if I misbehaved to you, kemarin. Neglecting my healthy, padahal buat Baby El juga... Maafin aku ya, Ka...”

Shaka tersenyum kecil, lalu mengangkat tatapannya pada Anya. “Aku maafin, jangan nakal lagi ya, Hon.”

“Mau peluuuuk,” ucap Anya manja, merentangkan tangannya lebar-lebar. Shaka langsung memeluk istrinya erat. “I love you,” ujar Shaka.

“I love you more, Papa Aka! Makasih aku udah dimaafin.”

“Sama-sama.”

Perjalanan dari SCBD menuju Plaza Indonesia Anya tidak pernah semenakutkan itu sebelumnya. Bahkan sampai didukung oleh langit Jakarta yang mendadak kelabu hingga membuat Anya meragu. Apakah ia harus membatalkan pertemuan ini karena ucapan suaminya tadi malam?

Hingga pagi menjelang, Shaka masih enggan mengajaknya bicara. Dan hal ini sungguh berbekas dalam hati Anya. Shaka jarang sekali sampai semarah ini pada Anya, walau lelaki itu sering menegur dirinya.

Gara-gara cekcok kemarin, Anya pun mempertanyakan kualitasnya sebagai seorang pendamping untuk Shaka. Apakah ia memang mumpuni, atau jangan-jangan takdir menuliskan ia menjadi ibu tunggal bagi dua orang putri? Anya sungguh tak dapat membayangkan, jika suatu saat ia harus merasakan pahitnya perpisahan. Anya tidak mau itu terjadi. Ia ingin Shaka menjadi pelabuhannya yang terakhir.

Anya tahu pasti Shaka sedang teramat kesal padanya. Yang diajaknya bicara hanya Nora, sedangkan ketika melihat Anya, Shaka menghindar. Ia langsung menyeruput kopi panas kesukaanya yang ia buat sendiri. Tak seperti biasa, Shaka pasti akan meminta Anya yang membuatkan kopi untuknya.

Pertengkaran itu bahkan mempengaruhi Anya. Ia jadi sulit konsentrasi, perutnya keram, dan pinggulnya pegal seperti ditimpa besi beton.

Tetapi Anya tak mau menunjukkannya pada Shaka. Ia menyimpannya sendiri. Saat tiba di kantor, Anya lekas-lekas menempelkan koyo pada pinggulnya, dan meminum vitamin yang diberikan dokter agar stamina Anya terjaga.

Anya...hanya tidak mau sang suami kepikiran akan kondisinya.

Ketika sampai di Plaza Indonesia, Anya langsung menuju Osteria Gia yang telah ditentukan oleh kliennya. Di sana, ternyata Harris sudah menunggu. Lelaki itu tampak gagah dalam balutan jas bermerk dan sabuk mahal yang mengikat pinggangnya. Namun dari semua pesona yang ditebar oleh Sang Don Juan, Anya justru terlihat was-was saat Harris datang dengan sebuket bunga mawar.

Nggak ada kapok-kapoknya nih orang... decak Anya dalam hati.

“Saya nggak tau alamat rumah kamu, Nya. Jadi saya kasih on the spot aja.” Dengan sekilas senyum menawannya, Harris menyodorkan bunga itu ke arah Anya.

“That's very beautiful.” Satu suara dari arah belakang, mengejutkan Anya dengan tiba-tiba. Bukan hanya Anya, tetapi juga laki-laki di depannya. Mata Harris membulat ketika bertukar pandang dengan sosok yang berdiri di belakang Anya.

Sosok itu mengulurkan tangan pada Harris. “Siang, Pak Harris. Kenalin, saya Shaka. CEO NCIT. Suaminya Anya.”

Tanpa ragu-ragu, Shaka langsung menerima bunga dari kliennya, dan mengecup pelipis Anya sambil tersenyum.

Astaga Aka...aku salah nilai kamu. You're the best husband ever. Anya melirik Shaka, hangat. Dan ketika tangan Shaka turun, lelaki itu dengan cepat mengisi jari-jari Anya dengan jarinya sendiri.

“Oh. Iya. Senang bertemu dengan Anda, Pak Shaka,” balas Harris, tersenyum kikuk.

Pemandangan itu membuat Anya hampir saja tidak bisa menahan tawa. Karena sekali Shaka melempar pandangan pada Harris, laki-laki itu terlihat tak nyaman. Sepertinya Shaka memang telah merencanakan ini sebelumnya. Bahkan dengan sengaja Shaka memperlihatkan PDA-nya di hadapan Harris. Mulai dari mengelus pundak, menggenggam tangan Anya, sampai elusan di perut Anya yang membuncit.

“Saya dengar dari istri, katanya Bapak sudah close deal ya? Saya terima kasih sekali atas ketersediaannya bekerja sama dengan kami,” ujar Shaka, menyeruput minuman hangat yang tersedia.

“Benar sekali, Pak Shaka. Saya baru saja membahas rencana berikutnya untuk investasi dan pencairan reksadana dengan Bu Anya,” kata Harris.

“Kalau gitu, bisa dibicarakan dengan saya, Pak. Sekalian aja,” sahut Shaka. “Karena istri saya beberapa bulan ke depan akan rehat di rumah. Persiapan lahiran,” ucap Shaka selanjutnya. Anya di samping Shaka, sangat kehilangan kata-kata tatkala menatap tatap getir yang terpancar dari netra Harris. Jelas tergambar jika lelaki itu sangat tidak nyaman dengan kehadiran Shaka.

“Oh iya, iya. Hahaha.” Bahkan dari suara tawanya, Anya bisa merasa jika Harris hanya tertawa untuk sekedar menutupi kegugupannya saat Shaka melirik mata lelaki itu.

Selanjutnya, Anya melihat tangan Shaka tergerak. Sang suami memberikan kartu nama pada Harris. “Bunganya yang kemarin cantik banget, Pak. Sayangnya istri saya lebih suka white rose, soalnya putih kayak dia.”

Mendengar ucapan yang keluar dari Shaka, Anya sampai memukul pelan paha suaminya. Sebab dalam sekejap, air muka Harris tampak tegang.

“Saya berterima kasih sekali, ada klien kami yang seperhatian Bapak. Saladnya juga enak. Kalau boleh, kapan-kapan makan bareng sama saya, Pak. Gimana?”

Saat disinggung terang-terangan, wajah Harris memerah detik itu juga. Kalut. namun berusaha tenang di depan Shaka. Anya di sebelah Shaka pun sama tegangnya kala mendengar ucapan sang suami.

“Saya tunggu undangannya ya, Pak,” kata Shaka, mengangkat gelas wine-nya dan mengajak Harris bersulang.

Sambil melonggarkan dasinya yang sangat menyekat lehernya, Harris mengangkat gelas wine itu, kemudian menerima ajakan Shaka. “Boleh, boleh, Pak. Untuk Bu Anya, semoga lancar lahirannya. Kalau saya boleh tau, jenis kelaminnya apa, Bu?”

“Perempuan, Pak.” Anya menjawab dengan senyum.

“Pasti cantik seperti ibunya,” puji Harris sambil melirik Anya sekilas. Ia tak berani menatap Anya lama-lama, saat Shaka menatapnya datar.

Situasi ini sungguh persis dengan Gavrel saat pertama berkenalan dengan Shaka. Bedanya, Harris tidak sampai ngompol seperti Gavrel.

Namun dari sini, Anya amat terpukau dengan pesona yakuza yang dimiliki Shaka. Laki-laki saja segan padanya, apalagi Anya yang dalam sepersekian detik langsung jatuh hati pada Shaka dalam dua kali pertemuan.

“Nora udah tidur, Sus?” tanya Shaka saat ia menemukan pengasuh putrinya baru saja keluar dari kamar sang anak.

“Iya, Pak. Baru aja,” sahut Chika. Setelah sang pengasuh berpamit diri, Shaka lantas menuju kamar Nora, membukanya sebentar. Anak itu sudah terlelap. Dan merupakan kebiasaan Shaka, jika pulang kerja usai bersih-bersih, menengok Nora dan mengusap kepala anaknya.

“Nowa,” ucap Shaka pelan. “Mamanya susah dikasih tau, Papa diambekin terus. Papa harus ngapain ya?”

“Pusing,” kata Shaka sambil tersenyum seraya memijat kepalanya. Tidak lupa, Shaka menggenggam tangan Nora sesaat, kemudian ia mengecup kening anak itu. “Papa mau sewa body guard tapi nanti malah naksir Mama, hahaha. Gampangan bujuk Nowa ya, kalo ngambek dikasih es krim sama dibacain cerita, juga udah selesai...”

“Semoga dedek El nggak kenapa-napa ya di dalem. Nowa doain ya, Nak.” Usai berucap demikian, Shaka bergegas meninggalkan kamar putrinya, kemudian menyusul Anya yang sudah di kamar lebih dulu.

———

Masih betah saling bungkam, baik Anya maupun Shaka sama-sama enggan bicara. Jangankan buka mulut, Anya membelakangi Shaka, begitupun sebaliknya. Dua-duanya berkemelut dengan pikiran sendiri.

Anya tidak bisa menerima perlakuan Shaka, yang mengajaknya bicara dengan intonasi layaknya memerintahkan anak buah. Sedangkan Shaka pusing sendiri menghadapi keras kepala Anya. Shaka berkali-kali menegaskan bila sikapnya ini hanyalah bentuk kekhawatirannya pada Anya, dan ia tak mau Anya kelelahan.

Tetapi Anya dengan kekeuh-nya menganggap tindakan suaminya berlebihan. Anya ingat betul bahwa Shaka dengar sendiri saat check up dengan dokter kandungannya. Tidak perlu terlalu khawatir tentang Anya dan bayinya. Semua baik-baik saja.

“Anya,” panggil Shaka pelan seraya mengelus punggung Anya dari belakang. Namun sang istri tetap tak mau menjawab.

“Aku tau kamu belum tidur, Anya,” kata Shaka lagi. Anya menggigit bibir bawahnya, yang berarti ia mengakui ucapan suaminya. Lagipula, siapa sih yang bisa tidur jika masih ada masalah seperti ini?

“Nya, dengerin.”

Anya bergeming. Helaan nafas berat yang terdengar dari perempuan itu, membuat Shaka mengerti jika malam ini tidak akan kondusif. Anya dan keacuhannya tentang kesehatan, kerap menjadi momok bagi Shaka.

“Anya...” panggil Shaka sekali lagi.

“Nya, what is it? What do you want?”

Nada ketus kembali terlambung dari bibir Shaka. Mendengarnya, batin Anya lama-lama tidak kuat. Bahunya mulai gemetar hebat.

“Kamu nggak sabar banget sama aku ya, Ka? Capek kan katanya?” balas Anya sambil menangis.

Shaka menghela nafasnya. Sungguh, dia sejujurnya tidak ingin melihat air mata mengalir dari Anya. Air mata Anya juga menampar keras Shaka, karena mungkin ia juga terlalu gusar pada Anya barusan.

“Aku khawatir, Anya,” balas Shaka berusaha meredam emosi.

“Kamu tau kan susah banget dapet close deal dari orang kayak Pak Harris?” sahut Anya tak peduli.

“Iya, aku tau, Nya. Emangnya nggak ada nasabah lain? Banyak kali yang mau invest. Kamu aja yang terlalu maksain diri kayak gitu,” sengit Shaka.

“Maksain apa sih, Ka? I did it for you. For the sake of the profit.”

Shaka mulai terpancing saat Anya masih saja tak mau mengerti maksudnya, ia memutar bola matanya. “For the sake of the profit? Then what about yourself?”

“Kenapa kamu tuh? Nggak bersyukur banget. Makasih kek, istrinya disayang kek, malah diomel-omelin gini,” dumel Anya.

“Enough, Anya. It's enough. Just do whatever you want. I don't think I can't handle you.” Shaka mendengus kesal, sampai tak sadar jika nada sengitnya meninggi.

“Iya! Emang susah nikah sama aku. Aku gak gampang kamu kasih tau, aku suka ngelawan suami. Apalagi, Ka? Sebut aja!”

“Astaga Anya...” geram Shaka berusaha sabar. “Nora udah tidur!”

Anya pun terdiam, namun terus menangis. Shaka tidak pernah semarah ini kepadanya. Tatap dingin tetapi menusuk yang Shaka perlihatkan kepadanya, menyentak batin Anya malam itu.

Ini kali pertama, Anya dan Shaka terlibat pertengkaran besar setelah satu setengah tahun bersama. Dan tentu saja Anya amat takut karenanya.

“I'm afraid, Ka...”

“What are you afraid for?

“I'm just repeating the same mistakes. I don't know how to be a good wife.”

Tidak ada balasan dari Shaka. Dan itu berarti, Shaka bisa saja mengiyakan ucapan Anya.

Sepertinya yang dikatakan mantan mertuanya tentang Anya... memang betul.

Anya memang terbilang beruntung dalam karier tapi tidak dalam percintaan. Just like any other independent women out there.