noonanya.lucas

“Bagus?” Mentari mengangguk. “Tapi kamu jadi kayak pejabat.” Sekilas Mentari melirik kerah batik Jordy yang ternyata belum terlipat sempurna. Ia mendekat, lalu membenahi kerah milik Jordy tersebut.

Sedang lelaki yang tengah ditatapnya itu terus mengikuti gerak-gerik Mentari. Sediktpun tak terlepas, bahkan kalau boleh dibilang Jordy begitu terpikat oleh kecantikan Mentari tanpa polsesan bedak.

Lagi-lagi aroma kayu cendana milik Mentari membuatnya tak berkutik. Tangan lelaki itu mulai terangkat untuk memperdalam peluknya pada sang puan.

“Kamu nggak nyampe ya?” Dia tertawa, tapi tidak dengan Mentari yang belum apa-apa sudah menunjukkan taringnya.

“Iya aku tau aku pendek.” “Ya ini saya bantuin biar gampang benerin kerahnya.”

“Udah.” Mentari melangkah mundur. “Rambut saya? Gak sekalian?” “Kamu kan bukan Aidan.” “Tapi saya juga mau kayak Aidan.”

“Issssssshhhhh!!!!” Mentari mengulur tangan, menarik sehelai rambut Jordy untuk dirapihkan.

“Udah Mas. Ganteng pokoknya, Insha Allah besok kamu dinilai baik sama keluargaku. Rating A plus tanpa bimbingan orang tua.”

Jordy tertawa kecil, “apa sih, bawel.”

Sekaligus mengacak rambut Mentari hingga membuat kedua pipinya memerah

“Aku kangen banget sama kamu, Na...”

Lenguhan parau itu terdengar jelas oleh Mentari. Dia segera menoleh pada sosok yang mengucapkan kalimat itu dalam tidurnya.

Tangan yang siap mengelus pipi sosok tersebut seketika terhenti. Andai saja dia berani menyudahi keputusan ini, dia tak perlu menyiksa hati.

Namun apalah daya Mentari, calon putra sambungnya selalu memegangi tangannya setiap ia tidur. Tak pernah sedikitpun jari mungilnya lepas dari genggaman.

Wajah lugunya selalu membayangi Mentari. Sebab setiap hari sudah, Aidan menghabiskan waktu bersamanya.

Perempuan itu lantas kembali menatap pria yang sebentar lagi akan menikahinya. Air matanya perlahan mengalir, meluruhkan segala pedih yang tertahan dalam dada.

Begitu saja Mentari sudah sangat terluka, lalu bagaimana selanjutnya?

Dengan amat pelan, Mentari melepaskan diri dari pelukan sang Tuan. Tangan besar yang terlingkar pada pinggangnya kini hanya memeluk guling yang sengaja Mentari letakkan sebelum ia pergi.

Sayang, Mentari tidak menyadari bahwa putra kecil yang sejak tadi menggenggam tangannya, menyaksikan perempuan itu menangis sesenggukkan di belakang pintu.

“Mamah, Idan mau bobo sama Mama—”

Belum sempat Aidan melanjutkan pembicaraannya, Jordy membuka pintu. Sontak anak itu menoleh ke sang pembuat suara.

“Papiiii!” “Ya?” jawab Jordy kaku. “Papi mau bobo di sini juga?” tanya Aidan dengan senyum sumringah. Jordy mengangguk, membuat perempuan di sebelahnya spontan menggeleng.

“Kok Mamah ngegeleng? Emangnya enggak boleh ya, Mah?” Tatap penuh harap itu sukses membungkam Mentari, dan seolah tahu bahwa Aidan tengah berpihak padanya, Jordy mengambil alih situasi.

“Tau nih Mamah, Dan. Masa gak boleh ya? Padahal Papi kan lagi sakit, lagi lebam-lebam tuh,” ujar Jordy menambah bumbu, bahkan ia sengaja menyikut pelan anaknya.

“Ng... Dan, tapi kan gini ya... Papi sama Mamah... hmm emang–”

“Idan mau bobok bertiga sama Papi sama Mamah!”

Senyum lelaki itu semakin sumringah. Ia merasa menang bagai di atas awan.

Setelah mendengar cetusan putranya, Jordy langsung membaringkan diri di kasur, menepuk sisi sebelahnya agar Aidan lekas bergabung.

“Mamah, ayo bobok. Tapi Idan mau nonton Spiderman dulu sama Papi, ayoooook,” rengek Aidan tanpa henti.

Mentari yang tetap berada dalam posisinya cuma bisa termangu menatap sepasang anak-ayah itu. Bukan apa-apa, Jordy yang dia kenal tak pernah bersikap seperti ini.

Jangankan bersedia menemani anaknya nonton, mendampingi Aidan belajar saja dia bisa ngeluh seharian karena diburu pekerjaan.

“Ngapain bengong di situ? Ini anakmu udah manggil, bukannya ke sini,” tegur Jordy.

Mentari akhirnya melangkah pelan menuju kasur, ikut bergabung bersama Jordy dan Aidan yang sibuk mengunyah popcorn.

“Kamu nggak mau?” tawar Jordy padanya.

“Nggak, Mas. Idan sama kamu aja,” sahut Mentari. Namun meski Mentari sudah menolak, Jordy tetap mengarahkan popcorn itu padanya.

“Bener nggak mau? Kenapa sih kalo saya yang ngasih selalu nolak?” Nada Jordy tiba-tiba terdengar sedih.

Mentari mau tak mau mencomot satu butiran popcorn-nya. Aidan yang berada ditengah keduanya ikut melirik, dengan tangan mungilnya yang berada di genggaman Mentari, anak kecil itu meletakkan tangan ibu sambungnya di atas telapak Jordy yang terbuka.

“Dan...” Mentari yang terlihat syok dengan perlakuan Aidan sontak melepas tangannya kembali, namun Jordy yang Mentari kenal enggan menyentuh dirinya sama sekali—hari itu—berbuat sebaliknya.

“Kenapa dilepas?” tanya Jordy. Tatapan lelaki itu entah mengapa membius Mentari, menjeratnya untuk yang kesekian kali.

“Ya udah nih.” Mentari berserah diri. Aidan tersenyum setelah melihat kedua orang tuanya menyatukan tangan.

“Asik, Idan sekarang punya keluarga utuh! Makasih Papi, Makasih Mamaaah. Idan sayang banyak-banyak!!”

Jordy menghembuskan nafas lega saat Mentari duduk di sebelahnya, meski perempuan itu tak banyak bicara.

Matanya sembab, hanya itu yang dapat Jordy temukan ketika Mentari baru masuk ke mobilnya.

“Kamu sengaja gak mau baca WA atau gimana?” sergah Jordy tanpa ampun.

Yang ditanya tetap bungkam walau daksanya menatap Jordy di kaca spion.

“Jawab, Mentari,” desak Jordy tak mau kalah.

“Aku mau nenangin diri.” Perempuan itu berkata. Jordy mengernyit heran kala mendengar alasan Mentari.

“Nenangin diri apaan lagi? Kamu yang nyimpulin sendiri.” Ia menuding sarkas

Sedang perempuan dengan tatap sendu itu lagi-lagi cuma diam, membiarkan prianya berkemelut dengan pikirannya sendiri. Ia tak mau semakin tersiksa dengan terlalu percaya bahwa lelaki yang dalam waktu dekat akan resmi menjadi suaminya itu—benar-benar sungguh menyayanginya.

Prioritas perempuan ini justru jatuh pada sang putra sambung. Karena ini jugalah yang membuat sang puan bersedia pulang kembali bersama Jordy.

“Kamu ke sini sama siapa? Renjana?”

“Enggak. Sendiri.”

“Lain kali izin dulu sama saya, biar Aidan gak rewel. Ngerti?”

“Iya.”

Jordy membelokkan setirnya ke kiri lalu berhenti di depan sebuah restoran. Ia yakin Mentari belum makan sejak kemarin, sebab wajahnya pucat pasi.

“Kita makan dulu,” katanya usai memarkir. Mentari tak menyahut.

“Mentari, kamu denger saya apa enggak?” Tangan Jordy tiba-tiba meraih lengan puannya. Tatapnya sedikit intens, seolah tak sabar menunggu jawabnya.

“Denger.” “Kenapa nggak nyahut? Gini deh ya. Jangan bikin saya harus negur kamu berkali-kali. Saya capek ngasih taunya dan males ribut sama kamu.”

“Iya sama, aku juga gak mau ribut sama kamu.”

“Ya udah, jangan diem-diem aja. Saya kan nggak nikah sama patung hidup,” ucap lelaki itu sebelum ia melangkah turun.

“Mas.” “Apalagi?”

“Aku mau udahin semuanya.”

Jordy segera memutar tubuhnya seratus delapan puluh derajat menghadap Mentari. Sudah di luar sedang terik, Mentari tambah membakar emosi lelaki itu.

“Mentari!” Lelaki membentak hingga semua orang menoleh padanya. “Kamu mau ngapain lagi sih?!”

“Aku capek nangisin kamu. Capek sama semuanya. Capek pura-pura bisa terima kamu belum selesai sama masa lalumu,” kata Mentari tak gentar.

Yang diajak bicara tak lagi bisa membalas. Meski Mentari berbicara dengan lembut, namun air mukanya tampak begitu kecewa. Kelihatan jelas bahwa perempuan itu amat terpukul.

“Kasih saya waktu, Mentari. Please?”

“Nggak, Mas. Kasihan kamu nanti.”

“Kamu nggak kasian sama Idan? Dia sampe nangis nungguin kamu, pengennya sama kamu.”

“Aku sayang banget sama Aidan.”

“Nah, itu kamu sayang sama Idan. Jadi jangan tinggalin kita,” nada Jordy berubah rendah.

“Kita bisa kompak soal Aidan tanpa harus nikah kan, Mas?”

Dilucuti pertanyaan semacam itu, Jordy cuma bisa meringis masam. Dia sangat kaget mendengar ceplosan Mentari yang terdengar begitu menyakitkan.

“Nggak bisa, Mentari.”

“Jangan gini, Mas. Kasihan kamu, liat muka kamu babak belur gara-gara aku. Jangan deh, nanti bukan cuma muka kamu yang babak belur lagi.”

“Masalah dengan keluarga Kirana biar saya yang selesaikan. Tenang aja. I'll be fine.”

“I'll be fine dari mana? Muka masih biru-biru gitu! Gundulmu!” Mentari memaki Jordy tanpa sadar.

“Saya masih punya rambut, belum botak. Kamu ngedoain?” Lelaki itu buru-buru berpindah ke sebelah Mentari.

Tiba-tiba jarak keduanya menjadi sangat dekat. Daksa coklat susu Jordy menetap pada indahnya bola mata bulan sabit Mentari. Hanya sementara, namun magisnya tertinggal dalam waktu yang lama. Membuat dua insan itu tak sadar jika kini tangan mereka tengah saling merenda di dalam kantung celana Jordy.

“Nggak tau ah!” Mentari lebih dulu melepas genggaman Jordy.

“Tadi kamu bilang kepala saya botak, padahal belom.”

“Udah sana jangan deket-deket. Belum muhrim! Genit banget, Dasar om om!”

Semakin Mentari memarahinya, semakin Jordy tergoda untuk membuat sang puan marah. Dia tak peduli, asal kata “pisah” tak lahi terlontar dari bibir mungil perempuannya.

Aroma cendana terang-terangan membius Jordy ketika Mentari datang. Maksudnya, dia belum terbiasa dengan harum dari kayu-kayuan itu, namun entah bagaimana caranya; wewangian itu amat ramah menyambut dirinya.

Padahal Mentari cuma mengenakan kaus t-shirt putih polos biasa, celananya panjang oversize berwarna hitam, tapi pandangan Jordy tak terlepas dari make-up tipis yang menghiasi wajah perempuan itu. Rona merah muda di pipinya, membuat pikiran lelaki itu berpencar kemana-mana. Hingga ia pun mengajukan pertanyaan yang mengejutkan.

“Make up tipis gitu buat siapa?”

“Idan tunggu di situ sebentar ya, Mamah mau ngurus Papi dulu.”

“Iya, Mamah. Nanti kita bisa makan bubur kapan-kapan kok.”

“Oke, Sayang. Atau kamu ke kamar dulu, gih. Nanti Mamah pesenin aja.”

Dalam sekali bujukan, Aidan berhasil menuruti kata-kata Mentari. Dan Jordy yang menyaksikan hal itu memandang perempuannya dalam hening. Tak banyak kata yang terucap dari bibir tipisnya. Ia hanya menyimpan kagum rapat-rapat dalam hati.

Ekor matanya membuntuti Mentari ke manapun perempuan itu melangkah. Di dapur, di kamar, bahkan depan pintu kamar mandi pun, tak mampu membuat Jordy berpaling.

Padahal dia sadar kalau saat ini tubuh dan wajahnya sedang ngilu abis-abisan. Tak ada ampun dari ayah Kirana saat Jordy bersimpuh di depan pria tua itu

Sekali Jordy mengutarakan keinginannya untuk melepas diri dari bagian keluarga Kirana, amarah ayahanda mantan istrinya itu bertabuh buas.

Ia melampiaskan semua jumawa-nya pada Jordy, mengungkit kembali peristiwa naas yang menimpa Kirana, menuntut balas budi.

Jordy masih ingat betul kejadian persisnya.

“Dasar kamu bajingan!”

Bugh! Tendangan salah seorang bodyguard keluarga Kirana mengenai dadanya. Dapat ia pastikan bahwa sekujur dada hingga bahunya melemah dan lebam seketika.

Dan itu pula yang semalam membuat Mentari menahan diri untuk tidak histeris.

Tapi Jordy dalam keadaan setengah sadar, tahu—jika calon ibu sambung dari anaknya ini nyaris menjerit usai menemukan beberapa luka di tubuh kokohnya.

“Pelan-pelan,” ucap Mentari usai ia melepas sling-bagnya. Perhatiannya tersita pada Jordy yang mengusap wajah dan punggungnya.

“Abis ke toilet, perbannya aku ganti ya. Sarapannya udah dimakan belum?”

“Belum.” “Kenapa belum?”

Netra lelaki itu lalu beralih pada tangannya sendiri, mengisyaratkan jika saat ini dia sedang tak berdaya.

Namun respon Mentari sukses membuat Jordy tergguncang.

“Memar doang itu, masih bisa buat makan sendiri.”

“Kenapa?” tanya Mentari saat Jordy baru mau masuk toilet.

“Kamu heartless.” Jordy mengeluh.

“Yang penting udah aku siapin semuanya.”

“Kamu pikir saya nih cuma demam?” Nada Jordy sedikit naik.

“Kata kamu aku tukang ngatur, daripada aku ngomong ntar salah, mending diem aja.”

Entah mengapa jawaban acuh tak acuh itu sangat mengganggunya.

“Ya terserah kamu deh, yang penting saya diurusin juga.”

“Minta tolong Mbak Erna aja.”

“Kok Erna?” Dahi Jordy berkerut dalam.

“Kalo sama Mbak Erna kamu nggak bakalan ngata-ngatain dia.”

Mentari langsung berjalan menjauhi Jordy usai ia berkata demikian, meninggalkan perdebatan hebat dalam batin lelaki tiga puluh lima tahun itu.

“Mas?!” Mentari tak dapat menahan cemasnya saat ia melihat Jordy kembali dengan wajah lebam dan biru. Tubuh besar lelaki itu sempat goyah, terhuyung. Nyaris menimpa Mentari begitu saja. Namun untung Devon menemani tuannya pulang. Lelaki itu yang membantu Jordy untuk duduk di sofa.

“Mas Devon, kenapa Mas Jordy bisa sebabak belur ini?”

Pengabdi Jordy itu bungkam, tapi jelas gurat wajahnya menyimpan sejuta kekhawatiran. Mulutnya terkunci rapat. Tapi justru itu yang menggelitik rasa penasaran Mentari.

“Siapa yang nonjok Mas Jordy sampe begini?” ulangnya tegas.

“Mantan mertuanya Bapak, Mbak, bersama orang-orang suruhannya.” Jeda kalimat yang terlontar dari bibir Devon membuat Mentari menjengit ngeri.

Siapa sebenarnya orang tua Kirana hingga seenaknya saja menggebuk orang? Bukankah semestinya pertemuan itu diwarnai haru?

Kenapa malah jadi pilu membiru?

“Mas Devon, boleh jelasin ngga detailnya? Saya janji ga akan bilang sama Mas Jordy,” desak Mentari dengan nada memohon.

Lelaki itu kemudian menghela nafas gusar. “Bapak cuma minta izin untuk menikah lagi dengan Mba Riri.”

”...Terus mantan mertua Bapak marah besar. Langsung minta orang-orangnya untuk mukulin Bapak.”

Mentari tercengang bukan main. Jordy ini bukan pernah menikah dengan mantan mafia kan? Mengapa ia harus menerima perlakuan sekeji ini hanya karena menikah lagi?

“Astaghfirullah... Gitu ceritanya. Tapi untung Mas Jordy masih selamet walaupun bengep gini, ih. Minta tolong ambilin air panas ya, Mas Devon. Saya mau basuh lukanya Mas Jordy.”

Devon mengangguk dalam heningnya, ia melangkah jauh dari sofa lalu memutar tubuhnya sendiri. Pelan lelaki itu bergumam, “Ya Allah, Pak Jordy. Kenapa nggak dari dulu ketemu sama Mba Riri? Mana cantik begini...”

“Halo, Ri.” Lelaki yang dulu pernah menjadi teman baik-ku datang lagi. Senyumnya sama, cara bicaranya yang selalu bikin nyaman juga belum berubah. Ia berdiri di depanku dalam busana kasual, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya membuatnya terkesan seperti seorang dokter.

Kalau sekarang dengan gaya flamboyan itu, tak ada yang bisa menebak jika dia seorang psikiater.

“Uhm, Hai Ri. Long time no see.”

Aku tersenyum, “Hai.”

Kemudian Terry menarik salah satu kursi dan mulai mengajukan beberapa pertanyaan padaku, salah satunya tentang perlakuan Jordy setelah kami memutuskan kembali bersama.

“Mas Jordy baik,” jawabku apa adanya tanpa senyum.

Terry mengerutkan alis, “tapi ada yang buat lo marah gak sama dia, coba cerita sama gue?”

Pertanyaan itu cukup mengejutkanku. Kupikir Jordy sudah menganggapku waras tapi nyatanya di belakangku, dia masih berpikir aku adalah Riri yang dulu—Riri si orang gila

Aku memandang Jordy yang berdiri tepat di sebelah Terry sambil menggenggam tanganku, namun dengan cepat aku menepisnya. Kulihat dahinya berkerut bingung sebelum tatapannya jatuh padaku.

“Jadi gue dateng ke sini, ngejenguk sekalian ngobrol aja sih, Ri,” tandas Terry dengan senyum yang membuatku curiga.

Tafsiranku terbukti.

Dibalik kedatangannya, Jordy sudah merencanakannya dengan Terry.

“Tumben gak bawa alat-alat kayak dulu,” sarkasku tajam. Perubahan ekspresi tampak begitu kentara pada wajah Jordy. Ia terlihat tegang, ditambah

Terry langsung meliriknya kaget.

“Ma, tenang dulu. Terry ke sini cuma mau ngobrol aja kok.” Jordy menyapu pundakku.

“Ngobrol sama aku terus ujung-ujungnya dia bakal ngerujuk aku ke RSJ. Itu kan yang kamu mau, Mas?”

Emosiku entah kenapa langsung meledak di sana. Bayang betapa mengerikannya aku sendirian di ruang hampa dengan dinding putih, membuatku benar-benar cemas.

Ini bukan pertama kali Jordy membujukku, jadi tentu aku sangat hapal dengan modusnya.

“Ri, beneran deh. Gue personally mau deep talk aja, lo liat di tangan gue? Gak ada sama sekali surat rujukan ke rumah sakit. It's empty,” ujar Terry berusaha meyakinkanku.

“Oke,” sahutku cepat. “Aku mau ngobrol sama Mas Terry, berdua aja.”

Jordy tampak kecewa lantaran aku tak mengizinkannya menemaniku. Namun kurasa ini akan lebih baik, ketimbang dia harus mendengar apa yang sebenarnya sedang kualami.

Toh, Jordy mungkin tak akan peduli.

Saya sempat mengira ujian rumah tangga kami usai setelah Kiori lahir. Ternyata Tuhan belum puas dengan membuat Mentari nyaris mengakhiri hidupnya beberapa saat lalu.

Kini dia terbaring lemah di ICU dengan wajah pucat dan pandangan redup. Ia menatap saya penuh rasa bersalah, pun pada perutnya—mempertanyakan apakah anak kami masih selamat atau tidak.

“She's here.” Saya menjawab pelan diiringi tangisnya yang kemudian pecah.

“Aku gak tau aku kenapa, Mas... Aku bukan gak bisa nerima anak ini, tapi aku belum siap... Bener-bener takut Kiori masih butuh aku,” bebernya sambil terisak.

Raungannya membuat saya tak lagi sanggup berucap dan hanya menenangkannya lewat sebuah pelukan erat.

“Pertanyaanku cuma satu, Ri... Kenapa kamu bisa sampe nekat begitu?”

Ia bungkam kemudian melirik saya putus asa. Tangannya membelai punggung tangan saya.

“Jawab,” desak saya.

“Aku udah berkali-kali bilang sama kamu, Mas.. Aku ini belum siap jadi ibu lagi...”

“Terus, kayak gitu cara nyeleseinnya? Kamu sadar nggak, kamu udah ngebahayain dua orang?”

Ia tercenung saat nada saya meninggi. “JAWAB, RI!”

“Maaf, Mas... Aku takut aku gak bisa jadi ibu yang bertanggung jawab, istri yang gak baik buat kamu...”

Entah karena kekhawatiran dan kecewa yang bertubi-tubi, saya mendadak lepas kendali hingga membuat Mentari gemetar takut.

“I was sorry for making you miserable, too. Harusnya aku gak bablas malem itu.”

Ia melepas genggaman tangannya dengan wajah pedih. “Soal yang itu...”

“Aku juga salah, Ri. Maaf tadi I'm out control...” Mentari mengangguk tanpa memberi jawaban.

“Aku keluar sebentar aja,” ucap saya dan mengecup keningnya cepat.

Hello