Jordy menghembuskan nafas lega saat Mentari duduk di sebelahnya, meski perempuan itu tak banyak bicara.
Matanya sembab, hanya itu yang dapat Jordy temukan ketika Mentari baru masuk ke mobilnya.
“Kamu sengaja gak mau baca WA atau gimana?” sergah Jordy tanpa ampun.
Yang ditanya tetap bungkam walau daksanya menatap Jordy di kaca spion.
“Jawab, Mentari,” desak Jordy tak mau kalah.
“Aku mau nenangin diri.” Perempuan itu berkata. Jordy mengernyit heran kala mendengar alasan Mentari.
“Nenangin diri apaan lagi? Kamu yang nyimpulin sendiri.” Ia menuding sarkas
Sedang perempuan dengan tatap sendu itu lagi-lagi cuma diam, membiarkan prianya berkemelut dengan pikirannya sendiri. Ia tak mau semakin tersiksa dengan terlalu percaya bahwa lelaki yang dalam waktu dekat akan resmi menjadi suaminya itu—benar-benar sungguh menyayanginya.
Prioritas perempuan ini justru jatuh pada sang putra sambung. Karena ini jugalah yang membuat sang puan bersedia pulang kembali bersama Jordy.
“Kamu ke sini sama siapa? Renjana?”
“Enggak. Sendiri.”
“Lain kali izin dulu sama saya, biar Aidan gak rewel. Ngerti?”
“Iya.”
Jordy membelokkan setirnya ke kiri lalu berhenti di depan sebuah restoran. Ia yakin Mentari belum makan sejak kemarin, sebab wajahnya pucat pasi.
“Kita makan dulu,” katanya usai memarkir. Mentari tak menyahut.
“Mentari, kamu denger saya apa enggak?” Tangan Jordy tiba-tiba meraih lengan puannya. Tatapnya sedikit intens, seolah tak sabar menunggu jawabnya.
“Denger.”
“Kenapa nggak nyahut? Gini deh ya. Jangan bikin saya harus negur kamu berkali-kali. Saya capek ngasih taunya dan males ribut sama kamu.”
“Iya sama, aku juga gak mau ribut sama kamu.”
“Ya udah, jangan diem-diem aja. Saya kan nggak nikah sama patung hidup,” ucap lelaki itu sebelum ia melangkah turun.
“Mas.”
“Apalagi?”
“Aku mau udahin semuanya.”
Jordy segera memutar tubuhnya seratus delapan puluh derajat menghadap Mentari. Sudah di luar sedang terik, Mentari tambah membakar emosi lelaki itu.
“Mentari!” Lelaki membentak hingga semua orang menoleh padanya. “Kamu mau ngapain lagi sih?!”
“Aku capek nangisin kamu. Capek sama semuanya. Capek pura-pura bisa terima kamu belum selesai sama masa lalumu,” kata Mentari tak gentar.
Yang diajak bicara tak lagi bisa membalas. Meski Mentari berbicara dengan lembut, namun air mukanya tampak begitu kecewa. Kelihatan jelas bahwa perempuan itu amat terpukul.
“Kasih saya waktu, Mentari. Please?”
“Nggak, Mas. Kasihan kamu nanti.”
“Kamu nggak kasian sama Idan? Dia sampe nangis nungguin kamu, pengennya sama kamu.”
“Aku sayang banget sama Aidan.”
“Nah, itu kamu sayang sama Idan. Jadi jangan tinggalin kita,” nada Jordy berubah rendah.
“Kita bisa kompak soal Aidan tanpa harus nikah kan, Mas?”
Dilucuti pertanyaan semacam itu, Jordy cuma bisa meringis masam. Dia sangat kaget mendengar ceplosan Mentari yang terdengar begitu menyakitkan.
“Nggak bisa, Mentari.”
“Jangan gini, Mas. Kasihan kamu, liat muka kamu babak belur gara-gara aku. Jangan deh, nanti bukan cuma muka kamu yang babak belur lagi.”
“Masalah dengan keluarga Kirana biar saya yang selesaikan. Tenang aja. I'll be fine.”
“I'll be fine dari mana? Muka masih biru-biru gitu! Gundulmu!” Mentari memaki Jordy tanpa sadar.
“Saya masih punya rambut, belum botak. Kamu ngedoain?” Lelaki itu buru-buru berpindah ke sebelah Mentari.
Tiba-tiba jarak keduanya menjadi sangat dekat. Daksa coklat susu Jordy menetap pada indahnya bola mata bulan sabit Mentari. Hanya sementara, namun magisnya tertinggal dalam waktu yang lama. Membuat dua insan itu tak sadar jika kini tangan mereka tengah saling merenda di dalam kantung celana Jordy.
“Nggak tau ah!” Mentari lebih dulu melepas genggaman Jordy.
“Tadi kamu bilang kepala saya botak, padahal belom.”
“Udah sana jangan deket-deket. Belum muhrim! Genit banget, Dasar om om!”
Semakin Mentari memarahinya, semakin Jordy tergoda untuk membuat sang puan marah. Dia tak peduli, asal kata “pisah” tak lahi terlontar dari bibir mungil perempuannya.