19
tw // suicide
Suara ambulans yang mengiringi mobil kami cukup menyentak Aidan. Anak itu terdiam dan terus-terusan memegang tangan Mentari, tangisnya tak pecah, namun air mukanya jelas mengisyaratkan ketakutan mendalam.
Mungkin memori kecilnya terbuka, membawanya terbang pada rasa kehilangan ibu kandungnya yang telah menjadi seorang malaikat di atas sana. Aidan tidak menangis, dia hanya memusatkan daksanya pada Mentari yang terkulai di depannya dengan sendu.
Saya di sebelah Aidan, menggenggam tangan anak itu sekuat yang saya bisa—meyakinkannya bahwa Mentari akan selamat.
“Papi...” lirihnya sedih.
“Bang, Mamah will be safe. I promise.”
Dan tepat ketika saya menggenggam tangan Aidan, tangis anak itu akhirnya pecah, mengiringi perjalanan kami menuju rumah sakit.
Ia memeluk saya erat.
“Mamah and adek will be safe, Dan. I promise.” Saya mengulangi dengan perasaan tak menentu.
—
Mentari berada dalam ICU. Dokter mengatakan depresi yang Mentari alami membuatnya gelap mata.
Di luar kendali, ia melakukan percobaan bunuh diri hanya karena merasa payah dan tak dapat mengurus kedua buah hati kami dengan baik.
“Saya benar-benar menyarankan Bapak untuk mendampingi Ibu, karena kondisinya sangat mengkhawatirkan. Untung belum terlambat,” ucap Dokter tersebut begitu ia selesai memeriksa kondisi Mentari.
Kalimat “untung belum terlambat” sungguh menampar wajah saya yang kesekian kali. Hal itu persis yang dikatakan Ustad yang pernah menangani Mentari saat ia menjalani proses ruqyah.
“Baik, Dok.”
“Kalau bisa lebih aktif menanyakan kondisi Ibu, dan jauhin Ibu dari kalimat sensitif.”
Saya kemudian teringat akan pernyataan saya sendiri, tepat sebelum Mentari mencelakai dirinya sendiri.
Saya tidak seharusnya mengatakan itu. Semestinya saya sadar bahwa Mentari sedang membutuhkan perhatian khusus.
“Iya, Dok. Karena belakangan Riri terus-terusan hilang rasa percaya diri, sejak dia tau kalo dia hamil lagi.”
Dokter itu mengelus dagunya seraya mengetukkan telunjuk di meja. Tatapannya lalu terangkat pada saya, “Bisa jadi... Ibu belum siap dengan kehamilannya. Dia masih memikirkan Kiori yang usianya baru 6,5 bulan.”
“Bener, Dok. Tapi saya gak ekspektasi Mentari nekat ngelakuin ini...” Helaan nafas saya terdengar berat.
“Ibu begitu karena dia baby blues, Pak.”
“Bukannya baby blues itu cuma sebentar?”
“Belum tentu. Tergantung dari seberapa kuat mental ibunya. Dan perlu kita ingat, Ibu juga sedang hamil anak ketiga. Sensitifnya luar biasa. Kiori dalam masa pertumbuhan, sangat butuh ibunya. Hamil disaat anak masih bayi dan butuh perhatian itu gak mudah, Pak.”
“Iya, Dok.”
“Jadi saya minta untuk jangan sekali-kali tinggalin Mentari dalam kondisi apapun, kalau Bapak ingin anak dan istri Bapak selamat.”
—