noonanya.lucas

tw // suicide

Suara ambulans yang mengiringi mobil kami cukup menyentak Aidan. Anak itu terdiam dan terus-terusan memegang tangan Mentari, tangisnya tak pecah, namun air mukanya jelas mengisyaratkan ketakutan mendalam.

Mungkin memori kecilnya terbuka, membawanya terbang pada rasa kehilangan ibu kandungnya yang telah menjadi seorang malaikat di atas sana. Aidan tidak menangis, dia hanya memusatkan daksanya pada Mentari yang terkulai di depannya dengan sendu.

Saya di sebelah Aidan, menggenggam tangan anak itu sekuat yang saya bisa—meyakinkannya bahwa Mentari akan selamat.

“Papi...” lirihnya sedih.

“Bang, Mamah will be safe. I promise.”

Dan tepat ketika saya menggenggam tangan Aidan, tangis anak itu akhirnya pecah, mengiringi perjalanan kami menuju rumah sakit.

Ia memeluk saya erat.

“Mamah and adek will be safe, Dan. I promise.” Saya mengulangi dengan perasaan tak menentu.

Mentari berada dalam ICU. Dokter mengatakan depresi yang Mentari alami membuatnya gelap mata.

Di luar kendali, ia melakukan percobaan bunuh diri hanya karena merasa payah dan tak dapat mengurus kedua buah hati kami dengan baik.

“Saya benar-benar menyarankan Bapak untuk mendampingi Ibu, karena kondisinya sangat mengkhawatirkan. Untung belum terlambat,” ucap Dokter tersebut begitu ia selesai memeriksa kondisi Mentari.

Kalimat “untung belum terlambat” sungguh menampar wajah saya yang kesekian kali. Hal itu persis yang dikatakan Ustad yang pernah menangani Mentari saat ia menjalani proses ruqyah.

“Baik, Dok.”

“Kalau bisa lebih aktif menanyakan kondisi Ibu, dan jauhin Ibu dari kalimat sensitif.”

Saya kemudian teringat akan pernyataan saya sendiri, tepat sebelum Mentari mencelakai dirinya sendiri.

Saya tidak seharusnya mengatakan itu. Semestinya saya sadar bahwa Mentari sedang membutuhkan perhatian khusus.

“Iya, Dok. Karena belakangan Riri terus-terusan hilang rasa percaya diri, sejak dia tau kalo dia hamil lagi.”

Dokter itu mengelus dagunya seraya mengetukkan telunjuk di meja. Tatapannya lalu terangkat pada saya, “Bisa jadi... Ibu belum siap dengan kehamilannya. Dia masih memikirkan Kiori yang usianya baru 6,5 bulan.”

“Bener, Dok. Tapi saya gak ekspektasi Mentari nekat ngelakuin ini...” Helaan nafas saya terdengar berat.

“Ibu begitu karena dia baby blues, Pak.”

“Bukannya baby blues itu cuma sebentar?”

“Belum tentu. Tergantung dari seberapa kuat mental ibunya. Dan perlu kita ingat, Ibu juga sedang hamil anak ketiga. Sensitifnya luar biasa. Kiori dalam masa pertumbuhan, sangat butuh ibunya. Hamil disaat anak masih bayi dan butuh perhatian itu gak mudah, Pak.”

“Iya, Dok.”

“Jadi saya minta untuk jangan sekali-kali tinggalin Mentari dalam kondisi apapun, kalau Bapak ingin anak dan istri Bapak selamat.”

tes

tw // suicide

Suara ambulans yang mengiringi mobil kami cukup menyentak Aidan. Anak itu terdiam dan terus-terusan memegang tangan Mentari, tangisnya tak pecah, namun air mukanya jelas mengisyaratkan ketakutan mendalam.

Mungkin memori kecilnya terbuka, membawanya terbang pada rasa kehilangan ibu kandungnya yang telah menjadi seorang malaikat di atas sana. Aidan tidak menangis, dia hanya memusatkan daksanya pada Mentari yang terkulai di depannya dengan sendu.

Saya di sebelah Aidan, menggenggam tangan anak itu sekuat yang saya bisa—meyakinkannya bahwa Mentari akan selamat.

“Papi...” lirihnya sedih.

“Bang, Mamah will be safe. I promise.”

Dan tepat ketika saya menggenggam tangan Aidan, tangis anak itu akhirnya pecah, mengiringi perjalanan kami menuju rumah sakit.

Ia memeluk saya erat.

“Mamah and adek will be safe, Dan. I promise.” Saya mengulangi dengan perasaan tak menentu.

Mentari berada dalam ICU. Dokter mengatakan depresi yang Mentari alami membuatnya gelap mata.

Di luar kendali, ia melakukan percobaan bunuh diri hanya karena merasa payah dan tak dapat mengurus kedua buah hati kami dengan baik.

“Saya benar-benar menyarankan Bapak untuk mendampingi Ibu, karena kondisinya sangat mengkhawatirkan. Untung belum terlambat,” ucap Dokter tersebut begitu ia selesai memeriksa kondisi Mentari.

Kalimat “untung belum terlambat” sungguh menampar wajah saya yang kesekian kali. Hal itu persis yang dikatakan Ustad yang pernah menangani Mentari saat ia menjalani proses ruqyah.

“Baik, Dok.”

“Kalau bisa lebih aktif menanyakan kondisi Ibu, dan jauhin Ibu dari kalimat sensitif.”

Saya kemudian teringat akan pernyataan saya sendiri, tepat sebelum Mentari mencelakai dirinya sendiri.

Saya tidak seharusnya mengatakan itu. Semestinya saya sadar bahwa Mentari sedang membutuhkan perhatian khusus.

“Iya, Dok. Karena belakangan Riri terus-terusan hilang rasa percaya diri, sejak dia tau kalo dia hamil lagi.”

Dokter itu mengelus dagunya seraya mengetukkan telunjuk di meja. Tatapannya lalu terangkat pada saya, “Bisa jadi... Ibu belum siap dengan kehamilannya. Dia masih memikirkan Kiori yang usianya baru 6,5 bulan.”

“Bener, Dok. Tapi saya gak ekspektasi Mentari nekat ngelakuin ini...” Helaan nafas saya terdengar berat.

“Ibu begitu karena dia baby blues, Pak.”

“Bukannya baby blues itu cuma sebentar?”

“Belum tentu. Tergantung dari seberapa kuat mental ibunya. Dan perlu kita ingat, Ibu juga sedang hamil anak ketiga. Sensitifnya luar biasa. Kiori dalam masa pertumbuhan, sangat butuh ibunya. Hamil disaat anak masih bayi dan butuh perhatian itu gak mudah, Pak.”

“Iya, Dok.”

“Jadi saya minta untuk jangan sekali-kali tinggalin Mentari dalam kondisi apapun, kalau Bapak ingin anak dan istri Bapak selamat.”

“Kiori udah dong, Nak... Makan ya? Sedikit aja. Ya?”

Aku bahkan tak punya tenaga untuk membujuk Kiori dari lima belas menit lalu. Dia benar-benar menolak semua sendokan bubur yang kubuat. Yang Kiori lakukan cuma menangis dan menangis.

“Kio, please... Makan sedikit ya, Sayang?” Anak perempuanku mengatupkan mulutnya. Tangannya ia celup ke dalam mangkuk makanan.

“KIORI!” Habis sudah kesabaranku.

“Mamah udah bilang, makanan jangan dimainin!” Nadaku tanpa sadar meninggi, membuat Kiori yang barusan tenang langsung menangis kencang.

Air mataku pun ikut luruh kala melihat Kiori menangis karena kumarahi. Dengan segenap rasa bersalah, aku memeluknya erat.

“Maaf, Sayang. Mamah gak mau marah... Maaf ya...Udah cup... Cup...”

“Mamah...”

Aidan di sebelahku lengkap dengan seragam sekolahnya bahkan sampai menjauh. Biasanya si sulung itu akan langsung berlari memelukku serta bermain dengan adiknya. Tapi kali ini, anak itu bergeming dan memandangku ketakutan.

“Bang...” “Mamah, Idan ke dalem dulu ya,” katanya sambil menunduk.

“Dan, Mamah ngga gitu kok. Bang...”

Kudengar pintunya tertutup pelan. Hatiku hancur saat Aidan tak mau mendengarkan omonganku untuk yang pertama kali. Ia menjauh, dan itu bagai mimpi buruk dalam hidupku.

Aku menatap nanar foto USG yang belum diletakkan Jordy di kamar, dan seketika rasa marah dalam diriku menguar, tapi aku tahu aku marah bukan pada anakku melainkan diriku sendiri.

“Idan mana?” Pertanyaan Jordy sukses membuatku menelan ludah dalam-dalam. Dia terbiasa melihat Aidan menyapanya di ruang makan atau sekedar baca buku di ruang tamu. Namun absennya Aidan dari ruang makan membuatnya menatapku dalam tatapan pasrah.

“Mas, aku minta maaf.” “Kenapa?”

“Aku marahin Kiori.” Jordy berhenti menyendok makanannya. Rahangnya mengeras dan tampangnya berubah dingin.

“Kenapa?” balasnya datar. “Aku udah bilang kan tadi, dia nggak mau makan. Dia mainin makanannya.”

Jordy tak menyahut, dan dalam heningnya ia meletakkan sendok garpu di sisi piring yang masih penuh dengan makanan. Melihatnya tak menghabiskan makanan yang sudah kusiapkan dari pagi, aku mulai mempertanyakan kelayakanku sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya.

Apakah aku pantas menjadi ibu dari mereka? Bagaimana kalau anak ketiga kami lahir? Apa dia akan bersikap sama dengan sekarang?

Aku kalut mendadak. Kususul suamiku yang sudah lebih dulu menyambangi kamar Kiori.

“Dia mau makan kok, Ri. Kenapa harus kamu marahin? Buktinya sama aku dia mau,” ujar Jordy sembari menyuapkan sesendok makanan pada Kiori. Anak itu tersenyum, begitupun Aidan yang sedang bermain dengannya. Ia mengacuhkan kedatanganku, lagi-lagi untuk yang pertama kalinya.

Kakiku membeku.

Kuharap aku mampu belajar lebih giat untuk menjadi ibu yang baik bagi ketiga anakku.

“Ibu mengalami depresi yang cukup parah, Pak Jordy. Perutnya keram karena stres berat.”

Pernyataan dari dokter spesialis kandungan kami amat menyentak saya siang itu.

“Tapi apa anak kami baik-baik saja, Dok?” Saya memastikan.

“Alhamdulillah, iya. Usianya masih sangat muda, sekitar semingguan. Jadi saya harap, Ibu benar-benar harus bed rest supaya kandungannya sehat,” ujar dokter itu lagi. Saya mengangguk, kemudian menggenggam lembut tangan Mentari.

”...Saya resepkan vitamin untuk Ibu ya, Pak. Nanti saya ke sini lagi untuk konsultasi di bulan berikutnya,” ujar dokter tersebut sebelum ia melangkah ke pintu keluar.

“Baik, Dok. Kalau Riri udah sadar, saya kabarin.”

“Oh boleh. Nanti perawat kita juga akan ngecek kondisi Ibu.”

“Baik, terima kasih banyak, Dok.”

Selepas dokter itu meninggalkan ruang rawat, saya termenung di sebelah Mentari sambil memandangi wajahnya yang pucat, kantung matanya yang gelap; juga pipinya yang terlihat lebih tirus.

She's literally exhausted. Dan saya sebagai suami lagi-lagi reckless dengan membiarkannya berjuang sendirian.

“Maafin aku, Ri,” bisik saya dengan suara yang amat pelan. Penyesalan mulai merambati benak saya saat Mentari di bawah alam sadarnya menitihkan air mata.

Saya bukan tak pernah tahu kalau dia sering menderita sejak pertama kami menikah, namun kali ini kondisinya jauh berbeda.

Dia butuh saya dan saya jarang ada buat dia—itu yang sejak tadi terus membuat saya dirundung sesal. Saya juga tak ingin ini terjadi, tetapi kecerobohan saya malam itu malah menjadi malapetaka untuknya.

“Mas, Kiori sama Idan udah makan belum? Aku lupa pumping lagi tadi. ASI-ku lagi seret kemaren.”

Saya langsung terbangun ketika Mentari melontarkan pertanyaan itu. Ia mungkin terlihat lelah, namun tanggung jawabnya sebagai ibu dari anak-anak saya tak pernah ia lupakan, bahkan ketika kondisinya sedang lemah sekalipun.

“Kiori udah makan tadi, Ma. Idan juga, stok ASI kamu masih ada di kulkas. Istirahat dulu ya, jangan mikirin yang lain. Inget, kamu juga lagi hamil, Ri.”

Tatapan Mentari berubah kosong, air mukanya sendu. Ia bergeming sesaat tanpa mengucap satu katapun.

“Mas...” “I know, I'm so sorry,” ujar saya penuh sesal. Ia membalas ucapan saya dengan menggenggam tangan saya pelan. “I love this kid tapi kenapa aku ngerasa sedih terus, Mas? Aku nggak suka ada perasaan gini.”

Saya berpindah, ikut duduk di sebelah Mentari yang tengah berjuang menahan air matanya.

“Dokter bilang kamu stres, Ma. Kamu harus istirahat yang cukup.”

“Aku? Stres?” Tawanya menyugar. Saya tahu dia sedang menyangkal kuat perasaannya.

“You are.” “Nggak, Mas. Aku baik-baik aja kok, aku marah sama kamu kemaren karena bawaan bayi aja. I'm all good.”

Sayangnya sudut mata Mentari tak bisa berbohong. Saya melihat jelas jika ia menitihkan air mata.

“Ri, it's okay. Yang salah aku. Kalo aja malem itu aku ga lepas, mungkin kamu ga perlu ada di sini—”

“Nggak, Mas. Kamu nggak salah. Aku yang seharusnya gak marah sama kamu kemaren, aku ini istri kamu, aku harus nurut sama kamu.”

“Ri... please jangan denial lagi.” “Denial apa, Mas? Dokter itu bukan Terry, pskiaterku. Dia cuma dokter kandungan aja.”

“Tenang dulu, Ma. Minum obat dulu ya? Ini vitamin, biar kamu sama adek sehat,” bujuk saya lembut. Mentari menatap butiran pill yang berada di tangan saya. Awalnya dia mengambilnya, tapi kemudian ia meletakkannya lagi.

“Babe... diminum dong...” Mentari menghela nafas dengan bulir air mata yang sedikit demi sedikit membasahi pipinya.

“Aku belum bisa jadi ibu yang baik buat anak-anak, Mas... Aku gak bisa ngebahagiain kamu. Aku ngerasa payah karena aku takut Idan dan Kiori ga kebagian kasih sayang kalau adiknya nanti lahir... Tapi aku juga sayang sama anak ini. Aku harus gimana, Mas...”

Tanpa banyak bicara, satu-satunya yang bisa saya lakukan hanyalah merengkuh Mentari dalam dekapan. Dia frustasi, bahkan lebih parah daripada kehamilan pertamanya.

“You're enough, Ri. You worked too hard for the kids. Idan dan Kiori bangga punya Mamah kayak kamu. Jangan berpikiran gitu, kalo ibunya sedih nanti Idan Kio kepikiran, adek di dalem juga ikutan sedih.”

“Kiori emang bisa pisah dari aku? Aku takut kalo dia ga bisa nerima adiknya... Aku juga gak bisa ngurus dia sendirian, Mas.”

“I'll be there. Aku janji, kan aku udah bilang kemaren, nanti kalo adeknya anak-anak udah lahir, aku ikut dampingin. Ya?”

“Bener...?” Saya mengangguk usai mendaratkan satu kecupan di dahinya. “Jangan kayak kemaren lagi ya, Pi. Aku bener-bener butuh kamu.”

“Iya, Sayang.”

Helaan nafas frustasi berembus bagai angin malam dari Jordy kala ia membuka pintu. Ia duduk di dekatku sembari mengusap wajahnya yang menyembunyikan sejuta luka.

Tak banyak kata terdengar dari mulutnya. Jordy hanya memusatkan tatapannya pada perutku.

“Aku harus gimana, Mas?” Dengan suara parau aku membuka obrolan.

Dia mendekat, menggenggam erat tanganku usai melepas kacamatanya. “I'm so so sorry for all I've done to you.”

“Aku gak butuh maaf dari kamu, Mas. Aku cuma minta solusi gimana kita hadapin ini semua. Aku udah bilang, aku belum siap untuk jadi ibu lagi.”

“Then what are you gonna do to this baby? Hurt him?”

Aku diam. Pikiranku mulai tertuju pada saat pertama kali aku mengandung. Kuretasi adalah hal yang paling kubenci. Selain menyakiti anakku, ia juga meninggalkan trauma yang begitu besar buatku.

Aku tak mau lagi merasakannya, aku tidak ingin ada sesuatu yang merusak tubuhku. Cukup.

“Hmm?”

Jordy kembali mengangkat tatapannya padaku seraya melonggarkan genggamannya.

“Aku sayang sama anak kita, Mas...”

“I know. Aku juga, Ri. The thing is I neglected you when you needed me the most. I was so sorry about that.”

”...Mungkin kita ga bisa ngulang lagi waktu-waktu sebelumnya. Aku gak mau kehilangan momen lagi kayak dulu. Just let me know if you need something,” katanya dengan suara gemetar. Setelah itu Jordy memelukku erat. “Don't leave me, Ri.”

Aku baru sanggup menatap matanya usai perasaanku sedikit lebih baik. “Aku gak ninggalin kamu...”

Brukkk!

Yang Mentari kira bahwa saya adalah laki-laki egois, tidak sepenuhnya benar. Hari dimana putri kami dinyatakan kuning oleh dokter, saya memang harus ke Bandung mendadak.

Sebab salah satu investor terbesar kami datang berkunjung, dan sebagai CEO, saya harus bertatap muka dengannya.

Saya juga coba menghubungi Mentari setelah kerja, tapi dia tak mengangkat tepat seusai saya melihat puluhan missed call berjatuhan di ponsel.

“Gimana, Pak?” tanya Devon dari bangku kemudi. “Saya telpon Erna juga sama e, Pak. Nggak diangkat sama sekali.”

Usaha saya tak main-main saat itu. Saya menelepon Idan dan Mama, tapi Mama sedang berada di luar kota dan tak tahu menahu soal keberadaan Riri.

Jangan kira saya tidak frustasi. Saya bahkan berencana pulang, namun Jenan dan Teza menahan lantaran investor kami masih ada.

Jadi bisa bayangkan betapa terhimpitnya saya malam itu. Dan perlu saya akui... saya salah terhadap Riri karena terlalu sibuk sampai lupa bahwa ia perlu pendampingan di masa nifasnya.

Pernah suatu malam saya melihatnya menyusui Kiori sambil mengusap mata. Saya pikir dia mengantuk, namun ketika saya cek melalui CCTV kamar anak kami, isakan kecilnya terdengar.

“Mamah gak kuat Kio kalau sendiri, Mamah butuh Papi... Kio jangan digigit, ini udah lecet semua... Nanti gimana besok kamu nyusu, Nak...”

Demi apapun tespek yang dia berikan pada saya kemarin siang betul-betul menjadi tamparan keras untuk saya.

Saya tidak seharusnya gegabah, seharusnya saya lebih bisa berpikir lebih matang. Melihatnya terus berjuang menyusui Kiori di tengah malam sambil merintih, membuat saya merasa payah.

Lagi-lagi saya yang tak pernah becus menjadi suami, serta kembali meretakkan rumah tangga kami.

“Babe.” Ketukan sepatu Jordy membuat mulutku tak berhenti merutuk dalam hati.

Emosiku bergulir sangat cepat bahkan saat ia datang di hadapanku dengan tampang bersalah.

“Babe, I'm sorry,” ujarnya dengan suara parau. Aku cuma bisa diam. Mulutku terlalu kelu untuk membalasnya.

“I should've realized from the start. Sorry, Sayang.” Peluk Jordy yang semestinya terasa hangat, bahkan tak berarti untukku.

“Aku salah... Aku tau,” katanya penuh sesal.

Lantas, bagaimana dengan rasa bersalahku pada Kiori dan Aidan?

Sampai detik ini, aku masih merasa mereka berdua sangat membutuhkan perhatianku lebih dari apapun. Sedang lelaki di depanku ini justru mengabaikannya setelah Kiori berusia 6 bulan.

Semua perhatiannya mulai luntur. Setiap aku memintanya pulang tepat waktu, ia kerap beralasan bahwa meetingnya diperpanjang.

Terus ia katakan begitu hingga aku muak dengan sendirinya.

“Kamu gak bakal ngapa-ngapain, kan...Ri?”

Nafasku terhela panjang. “Kamu pikir aku gila?”

“Sayang, I didn't mean to Aku cuma nany–”

“Aku pernah bilang sama kamu Mas, kalau mau nambah anak nanti, nggak sekarang. Tunggu Kiori umur dua tahun...”

“Aku juga pernah bilang kalau aku pengen fokus urus Idan dan Kiori... Aku belum siap. Karena berat waktu aku lewatin baby blues sendirian.”

”...Kenapa kamu diem aja dan gak bilang aku?” jawabnya usai satu dehaman.

“How many times do I have to tell you, that you can call me every single time, in case the baby needs something.”

Jawaban yang sangat pantas kuberi tepuk meriah ditengah gemuruh emosiku yang berkobar.

Bravo, Jordy Hanandian! You did a good job

Dengan suara parau serta sisa emosi yang mulai berganti air mata, kutunjukkan ponselku.

“Ini... INI YANG KAMU BILANG SELALU ADA BUAT AKU?!” Suaraku meninggi. Puluhan panggilan tak terjawab dariku untuknya sungguh membuatku lelah.

Hal itu terjadi saat Kiori berusia satu bulan lebih. Saat itu dia dinyatakan kuning oleh dokter anak, dan tepat ketika aku harus membawa Kiori ke rumah sakit, Jordy bilang dia harus ke Bandung bersama Devon.

Sementara kala itu waktu menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Aku terpaksa memanggil taksi lalu pergi bertiga dengan Aidan ke rumah sakit.

“Sayang...”

“Stop, Mas. Kamu gak pantes manggil aku begitu kalau kelakuanmu ga sama sekali nunjukin, kalo kamu sayang sama aku dan keluarga kita!”

Aku menjauh, benar-benar menjauhinya sebisaku. Dengan begitu aku merasa jauh lebih tenang dibandingkan saat aku bersamanya.

Untuk pertama kalinya aku benci mendengar suara tangis yang berasal dari kamar anakku. Sudah setengah menit ia meraung, dan selama itu pula aku menggendong Kiori dengan berganti-ganti posisi.

Aku sudah merasa cukup memberinya ASI, tapi baginya belum. Ia masih saja menangis kencang seolah mengejekku bahwa aku belum pantas menjadi seorang ibu.

Kalau ada yang bertanya ke mana perginya Jordy, lelaki itu sedang bekerja saat ini, fokus dalam proyek film yang ia bangga-banggakan padaku, di tengah aku yang sedang dirundung lelah usai seharian penuh mengurus dua anaknya.

“Ma, nanti yang main Tatjana Saphira.” Nada bangga yang terdengar dari bibirnya sungguh membuatku kesal. Bisakah dia sedikit saja peka bahwa aku sedang tak mau mendengar kabar soal karier cemerlangnya?

Bisakah Jordy sedikit perhatian pada Kiori yang menangis hampir satu menit lebih?

Aku memandangnya tanpa ekspresi. Seharusnya tatapanku ini dapat memberi jawaban, tapi kenyataannya lelaki itu justru makin larut dalam ceritanya. “From the start I knew that she's a good actress. Ga salah anak-anak jatuhin peran utama ke dia. Glaze dia pas cast jadi Lana beda banget, Ma.”

Aku cuma mengangguk sambil mengusap anak rambutku yang mulai patah satu per satu. Ya, aku mengalami kerontokan rambut yang cukup parah after partum, namun dokter mengatakan hal itu lumrah dialami ibu baru sepertiku.

Dengan susah payah kupungut rambutku sendiri, padahal Jordy melihatnya langsung. Tapi tak sedikit pun tangannya bergerak untuk membantu.

“Ma, you hear me? Kamu diem-diem aja. Sakit?” tanyanya pongah.

Aku kembali menggulirkan pandangan padanya. “Gak papa. Cuma rambutku rontoknya banyak.”

“Awas nanti botak,” guraunya cekikikan sendiri. Aku yang mendengarnya langsung berhenti mengangkut rambut-rambut itu.

Dia pikir lelucon itu amatlah lucu, tapi bagiku, dia menjatuhkan harga diriku setengah mati.

“Aduh, lucunya Kiori. Ini mah plek-ketiplek Jordy ya,” ujar beberapa tamu undangan yang hadir di acara besar Keluarga Hanandian pagi itu.

Semua perhatian tertuju pada bayi mungil yang baru berusia 40 hari itu, Kiori. Bayi perempuan dengan pipi gembul dan kulit putih itu sukses mengalirkan kebahagiaan bagi para hadirin yang datang.

Mereka begitu gemas dengan Kiori yang kerap disandingkan dengan Jordy. Sementara Aidan yang terus mengekor ibu sambungnya, bersembunyi di balik tubuh Mentari, menggenggam erat tangannya.

“Kenapa Idan?” tanya Mentari saat ia bergeser ke sebelah Jordy.

“Idan mau sama Mamah, gak mau sama orang-orang. Idan takut sama Oma.”

“Oma?” Dahi Mentari lantas mengerut dalam.

Ah, rupanya tamu tak diundang itu datang. Ia berdiri di ambang pintu, melambaikan tangan ke arah sang cucu.

“Mamah, Idan mau di sini. Enggak mau ke sanaaaa,” rengek Aidan hampir menangis. Mentari mengangguk cepat, netranya bergulir mencari keberadaan sang suami yang ternyata tengah menyapa dua mitra kerjanya, Jenan dan Teza.

“Sama Mamah sini, gak apa-apa. Nanti Idan ke sana sama Mamah ya,” bujuk Mentari supaya Aidan lebih tenang.

Nyatanya ketakutan Aidan makin mengerucut. Mungkin kejadian tempo dulu enggan pergi dari otaknya. Ia belum bisa lupa bagaimana sang nenek tega menahannya sendiri.

“Mamah, jangan ke sana. Jangan ke Oma, Idan gak mau.”

“Nggak Sayang, kita ke Papi dulu yuk,” ajak Mentari.

“Papiiii.” Aidan mengangkat tangan, meminta Jordy untuk menggendongnya.

“Ada Tante Recha di depan, Yang,” bisik Mentari. Sontak kabar itu membuat Jordy mengerut. Emosinya yang tadi tenang, tiba-tiba perlahan naik.

Ini bukan perkara ia tak sudi mantan mertuanya mengunjungi sang cuci, hanya saja ia tak mau Recha mengacaukan hari besar mereka.

Dalam gendongan Jordy, Aidan memejamkan mata dan membuang mukanya ke belakang, sedang lelaki itu berjalan ke arah Recha dengan wajah ketat.

“Ma.”

Lain lagi dengan Mentari. Perempuan itu membeku bukan main. Jari kakinya dingin mendadak, sebab mata ketiganya terpusat pada seorang wanita berbaju putih dan berwajah pucat.