44
Jika ada satu hal sederhana yang membuat Jordy bahagia, itu adalah momennya bersama Mentari dan Aidan.
Meski sang putra dalam keadaan sakit, tetapi setidaknya Jordy bisa berkumpul kembali dengan keluarganya.
Ini merupakan momen langka, dimana dia bisa tidur berdampingan dengan Mentari.
Dalam posisi puannya itu memeluk anak mereka erat.
Jordy mungkin tak paham apa yang baru saja menimpa Mentari, karena dia sempat mendengar mantan istrinya itu menangis sesaat.
“Ri, kenapa? Kamu masih khawatir soal Aidan? Kan dokter udah jelasin.”
Yang ditanya hanya terdiam sambil menatap Jordy sendu.
“Ri?” tanyanya sekali lagi. Dan tiba-tiba saja air mata puannya itu luruh, membasahi wajah cantiknya.
Biasanya Jordy akan sigap memeluk Mentari jika dia berada dalam kondisi rapuh begini. Tapi... keadaan mereka yang tak lagi menyatu, membuat lelaki itu ragu. Haruskah ia mendekap Mentari seperti sedia kala?
Jujur, Jordy cukup mengantisipasi sikap Mentari yang defensif semenjak keduanya memutuskan berpisah. Dia sadar betul ada kecewa yang masih mengerubungi perempuan itu.
“Maaf, aku emang lagi nggak baik-baik aja.” Mentari menjawab pelan. “Aku kebawa suasana...”
“It's okay,” sahut Jordy memaklumkan. “Anyway, saya tidur di sebelah sini ya. Takut kamu ngerasa keganggu.”
Jordy sengaja berbaring di posisi terpojok, memberi akses yang lebih nyaman untuk Mentari dan Aidan. Toh, Mentari juga bisa dengan mudah mengurus putranya jika sewaktu-waktu dia membutuhkan sesuatu.
“Jor, nanti kamu jatuh kalo terlalu pinggir gitu.”
“Ini biar kamu enak ngurus Idannya. Dia lebih butuh kamu daripada saya.”
Mentari terkesiap, dia hancur mendengarnya jawaban Jordy
“Jor, Aidan butuh kita berdua. Bukan cuma aku atau kamu.”
”...Kamu liat sendiri kan, dia lebih mau meluk kamu ketimbang saya.” Lelakinya itu ternyata menjadi tak percaya diri.
Mentari menggeleng cepat. “Sini deketan, peluk Aidan.”
Jordy mendekat seraya memeluk Aidan. Dan apa yang Mentari katakan rupanya menjadi magis bagi lelaki itu.
Melihat jari mungil Aidan menyelinap dibalik telapaknya sendiri, lelaki itu menitihkan air mata.
Karena, setelah selama tiga puluh lima tahun Jordy hidup, dia baru tahu bahwa Aidan, anak kesayangannya itu—begitu menyayangi dia.
Tak peduli sekeras atau setegas apa sikapnya pada bocah itu, yang dia tahu Jordy adalah sosok panutan yang harus dia hormati dan sayangi.
Jordy hanya bisa memanjat syukur dan berterimakasih pada Mentari—matahari yang paling bersinar dalam hidupnya.
Lantas Jordy memperdalam peluknya pada Aidan, mengusap dahi putranya yang masih sedikit hangat.
Kemudian Jordy beralih pada Mentari yang ia dapati tengah terlelap dalam wajah lelah. Tangannya otomatis terulur, ingin membelai lembut wajahnya, namun lelaki itu dengan cepat menarik tangannya kembali, karena takut Mentari menolak.