noonanya.lucas

Jika ada satu hal sederhana yang membuat Jordy bahagia, itu adalah momennya bersama Mentari dan Aidan.

Meski sang putra dalam keadaan sakit, tetapi setidaknya Jordy bisa berkumpul kembali dengan keluarganya.

Ini merupakan momen langka, dimana dia bisa tidur berdampingan dengan Mentari.

Dalam posisi puannya itu memeluk anak mereka erat.

Jordy mungkin tak paham apa yang baru saja menimpa Mentari, karena dia sempat mendengar mantan istrinya itu menangis sesaat.

“Ri, kenapa? Kamu masih khawatir soal Aidan? Kan dokter udah jelasin.”

Yang ditanya hanya terdiam sambil menatap Jordy sendu.

“Ri?” tanyanya sekali lagi. Dan tiba-tiba saja air mata puannya itu luruh, membasahi wajah cantiknya.

Biasanya Jordy akan sigap memeluk Mentari jika dia berada dalam kondisi rapuh begini. Tapi... keadaan mereka yang tak lagi menyatu, membuat lelaki itu ragu. Haruskah ia mendekap Mentari seperti sedia kala?

Jujur, Jordy cukup mengantisipasi sikap Mentari yang defensif semenjak keduanya memutuskan berpisah. Dia sadar betul ada kecewa yang masih mengerubungi perempuan itu.

“Maaf, aku emang lagi nggak baik-baik aja.” Mentari menjawab pelan. “Aku kebawa suasana...”

“It's okay,” sahut Jordy memaklumkan. “Anyway, saya tidur di sebelah sini ya. Takut kamu ngerasa keganggu.”

Jordy sengaja berbaring di posisi terpojok, memberi akses yang lebih nyaman untuk Mentari dan Aidan. Toh, Mentari juga bisa dengan mudah mengurus putranya jika sewaktu-waktu dia membutuhkan sesuatu.

“Jor, nanti kamu jatuh kalo terlalu pinggir gitu.”

“Ini biar kamu enak ngurus Idannya. Dia lebih butuh kamu daripada saya.”

Mentari terkesiap, dia hancur mendengarnya jawaban Jordy

“Jor, Aidan butuh kita berdua. Bukan cuma aku atau kamu.”

”...Kamu liat sendiri kan, dia lebih mau meluk kamu ketimbang saya.” Lelakinya itu ternyata menjadi tak percaya diri.

Mentari menggeleng cepat. “Sini deketan, peluk Aidan.”

Jordy mendekat seraya memeluk Aidan. Dan apa yang Mentari katakan rupanya menjadi magis bagi lelaki itu.

Melihat jari mungil Aidan menyelinap dibalik telapaknya sendiri, lelaki itu menitihkan air mata.

Karena, setelah selama tiga puluh lima tahun Jordy hidup, dia baru tahu bahwa Aidan, anak kesayangannya itu—begitu menyayangi dia.

Tak peduli sekeras atau setegas apa sikapnya pada bocah itu, yang dia tahu Jordy adalah sosok panutan yang harus dia hormati dan sayangi.

Jordy hanya bisa memanjat syukur dan berterimakasih pada Mentari—matahari yang paling bersinar dalam hidupnya.

Lantas Jordy memperdalam peluknya pada Aidan, mengusap dahi putranya yang masih sedikit hangat.

Kemudian Jordy beralih pada Mentari yang ia dapati tengah terlelap dalam wajah lelah. Tangannya otomatis terulur, ingin membelai lembut wajahnya, namun lelaki itu dengan cepat menarik tangannya kembali, karena takut Mentari menolak.

“MAMAAAAAAHHHHHH!” Tangis Aidan membuka percakapan Jordy dan Mentari yang saat itu tersambung via telepon video. Aidan, putra mereka terlihat meraung sambil memegangi lengannya yang habis divaksin.

Anak berpipi bulat itu duduk di car-seat didampingi pengasuhnya. “Idan... udah Nak, nangisnya... Sakitnya cuma sebentar kok.”

Mentari membujuk, dan perlahan tangis bocah itu pun berhenti.

“Mamaah, Idan disuntik sama Om Dokter, huhuhu, sakit Mamaaaah,” adunya sambil terisak.

“Kasiaan–” “Idan mau sama Mamaaaah, maunya dipeluk Mamaaaaahhhhhh!”

Mendengar racauan anaknya, Jordy reflek melirik spion dan memandang Aidan. Sejujurnya, dia tak bermaksud memberi tatapan tajam. Tapi tahu sendiri kan, Aidan selalu berprasangka buruk pada ayahnya sendiri.

“MAMAAAH PAPI PELOTOTIN IDAAAAN, Mamaaaaaah!” Tangisnya makin memecah suasana. Jordy yang tadinya masih bisa bersabar, lambat laun mulai emosi.

“Aidan Alvaro.”

Sekali ayahnya memanggil dengan nama lengkap, itu pertanda Aidan sedang berada dalam pengawasan. Begitupun Mentari yang terkadang ciut juga saat Jordy sudah memasang tampang tegas.

“Stop teleponannya, sambung lagi di rumah.”

“Jor—”

Terlambat, Jordy langsung mengakhiri sambungan telepon mereka.

Jordy terpekur. Nafasnya tercekat kala tak lagi mendapati cincin pernikahan Mentari terlingkar di jari manisnya.

Daksanya tanpa sadar mencari keberadaan cincin Mentari yang tak tampak di hadapannya.

Seandainya Jordy bisa menunjukkan betapa kecewa dan marahnya ia saat ini, mungkin ia sudah melakukannya. Tetapi Aidan, putra lelaki itu satu-satunya, berhasil meredam emosinya melalui wajah lugu serta jemari mungilnya yang mengait di genggaman Mentari.

Ya, Jordy tahu betul Aidan begitu menyayangi Mentari. Dan itu pula yang kini meluluhlantahkan hatinya.

Ia sungguh ingin bertanya mengapa Mentari melepas cincin pernikahan mereka, namun sayang kondisi perempuannya yang sedang lemah, membuat Jordy harus menahan rasa penasaran itu.

Jordy memutuskan memupuk kegetirannya dengan bermain game di ponsel, hingga ia tersadar bahwa wanitanya itu bergerak, memeluk tubuhnya erat.

Daksanya perlahan terbuka. “Kok kamu bisa di sini?”

“Nanya lagi.” Jordy menjawab ketus.

Perempuan itu lalu meraba dahinya, merasakan ada kain yang terletak di sana. “Aku udah enakan. Aku siapin dulu makan malemnya.”

“Nggak perlu.” Langkahnya terhenti. “Kenapa kamu lepas cincinnya?” Jordy kemudian langsung bertanya.

Mentari sempat diam beberapa detik, tatapannya resah. Jordy rasa dia ingin menghindar, tapi situasi menjebaknya.

“Jawab,” tuntut Jordy. “Aku kesel sama kamu.” Mentari menjawab meski suaranya nyaris tak terdengar.

“Terus kalau kesel langsung lepas aja?”

Wanitanya diam lagi. Tetapi Jordy sepertinya tak peduli, dia tetap mencecar Mentari. “Kamu tau Jenan nge-chat kamu terus? Dia nggak berhenti nanyain keadaan kamu.”

”...Aku kan gak megang hp, Mas. Hp-ku ada di atas meja terus. Berarti kamu baca-bacain notif-ku?”

“Nggak usah balikin pertanyaan. Jawab yang tadi saya tanya.”

Puannya itu menghela nafas. Dia sudah ingin menangis sebab Jordy tiada henti mencurigainya.

“Aku nggak tau Mas Jordy... kan aku udah bilang, dua jam lalu aku tidur, badanku lemes.”

Jordy akhirnya tak lagi bersuara namun tetap menatap puannya datar. Begitu pun Mentari yang berusaha bangun dari kasur untuk menghindari pertengkaran.

“Kamu mau ke mana?” “Pipis. Mau ikut?”

Jordy tak membalas. “Di kamar mandi dalem aja, jangan coba-coba keluar.”

“Posesif banget sih!” dumel Mentari. Tetapi Jordy yang sedang berada dalam mode 'galak' tak mau mengalah. Setelah puannya kembali dari toilet dan Aidan yang diam-diam Jordy pindahkan ke kamarnya, lelaki itu segera duduk di depan Mentari, seolah ingin kembali menyalurkan emosinya.

“Kamu mau aku ngapain?” tanya Mentari.

“Saya mau ngobrol berdua.” “Ngobrol dengan muka kamu yang asem kayak gitu? Bilang aja mau marah-marahin aku lagi. Tunggu aku sembuh dulu—”

Sebelum perempuan itu menyelesaikan ucapannya, Jordy langsung merengkuh Mentari dalam peluknya. “Saya nggak tau gimana ngobrolnya, kita awkward satu hari.”

“Terus?” “I'm sorry if I was mad at you, kemaren.”

Mentari tak menjawab apapun, dia diam tapi bukan berarti tidak mendengarkan perkataan suaminya. Ia justru sedang membiarkan Jordy memberi penjelasan. “Saya nggak suka Jenan masih deketin kamu.”

“Kapan sih tuh orang berhentinya?” Lelaki itu mendumal bahkan dengan posisi yang sama.

“Aku nggak tau. Tapi yang jelas aku udah bilang berkali-kali buat berhenti deketin aku.”

“I can't blame you because you're so pretty.”

“Gendut gini lho! Masa cantik?”

“Jenan suka yang chubby kayak kamu, saya denger sendiri waktu itu.”

“Terus besok-besok aku harus diet, gitu maksudnya?”

“Nggaklah, ngapain. Segini udah pas.”

Mentari tampak terkejut dengan pernyataan Jordy. Sebab setahunya, lelaki itu seharusnya menyukai perempuan bertubuh singset ketimbang dirinya yang berisi, bukan?

“Tapi nanti kamu dikira jalan sama angka 10. Gimana?”

“Angka sepuluh kan artinya sempurna, kecuali nilai matematika Aidan.”

Puannya terbahak mendengar ceplosan Jordy. Ya.. sebenarnya Jordy juga sengaja bercanda supaya hubungan mereka cair dan membaik.

“Jangan sakit lagi, Mamahnya Aidan.”

“Aku kecapekan kayaknya...deh, sama kemaren juga kan aku keluar seharian...”

“Makanya kalo saya bilang saya yang anterin tuh denger. Dari awal sebelum kita married juga saya kan bilang, ke mana-mana pake Devon or saya kalo lagi lowong.”

”...Ini malah pergi sendiri.”

Puannya cuma bisa menyengir kecil. “Ya udah, besok-besok kamu anter. Tapi harus seharian perginya sama aku dan Aidan, ya.”

Jordy mengangguk, mempererat pelukannya. “Aku udah gak panas deh. Kamu semaleman ngurusin aku ya?”

Jordy memasang wajah datar. “Terus mau siapa lagi?”

Memandangi wajah suaminya, Mentari tersenyum geli. “Dasaaar grumpy old man! Makasih ya udah gak marah lagi.”

“Hmm.” “Jangan gengsi gitu dooong.” Mentari menarik pelan pipi Jordy hingga lelaki itu pun menepis ego dalam dirinya.

“Peluk lagi dong, peluk.” “Nggak,” balas Jordy melonggarkan kaitannya.

“Saya mau peluk lagi tapi kamu harus janji, seberapa besar kita bertengkar ke depannya, jangan lepas cincin ini.”

“Iya, Mas.” Mentari menyodorkan jarinya pada sang suami, lalu setelah cincin itu kembali tersemat, Jordy segera membalas pelukan Mentari.

“Kenapa? Rambut aku bau ya? Aku belom keramas,” aku Mentari kala Jordy mengendus puncak kepala.

“Yah, mau gimana. Kamu sakit kemaren.” “Aku hari ini keramas deh.”

“Ya udah, nih.” Jordy menyodorkan black card-nya.

“Ini buat...?” “Katanya mau keramas.” Mentari langsung mengembalikan kartunya.

“Maksud aku keramas di rumah.” “Nggak boleh.”

“Aneeeh kamu ih!” “Kok aneh? Ya nggak anehlah, saya hari ini emang sekalian mau potong rambut.”

Mentari terperanjat, “Jadi kita nyalon bareng...?”

Jordy mengangguk tanpa mengucap sepatah kata yang membuat Mentari menggeleng heran.

Jordy sempat menyalahkan dirinya karena Mentari tiba-tiba saja mengunci diri. Segala usaha dia kerahkan agar perempuan itu mau membuka pintu, tapi tidak ada jawabnya.

Menyerah, Jordy akhirnya memanggil ahli kunci. Bodo amat pintunya rusak, yang penting Mentari ia temukan dalam keadaan selamat.

Ya, wanitanya memang selamat. Namun tidak dengan fisiknya. Wajah perempuannya memerah, suaranya parau bahkan beberapa kali dia mengiggau.

Tubuh Mentari berkeringat dingin, kaki serta semua buku jarinya memucat.

“Mamaaaaah!” Aidan langsung menangis lantaran ibu sambungnya tak merespon

“Ini kamu kenapa gini, Mentari?” Lain lagi dengan Jordy. Dia langsung meraba dahi dan tangan Mentari.

Jordy langsung terdiam saat menyadari tubuh Mentari panas tinggi. “Ini kamu demam.”

Digenggamnya tangan Mentari kuat-kuat. “kalo masih panas kita ke rumah sakit.”

Mentari bahkan tak punya tenaga untuk menjawab. Jordy segera memeriksa air putih yang biasa diletakkan di samping kasur, namun air putih itu bahkan tak berkurang sama sekali, pertanda jika Mentari semalaman menyiksa diri.

“Mentari biar saya yang urus, siapin keperluannya aja di sini.”

“Aidan mau di luar apa temenin Mamah?”

“Idan mau sama Mamah, Papiiii!”

Maka lelaki itu membiarkan putranya mendampingi. Siapa tahu dengan perhatian Aidan, keadaannya membaik. Sementara lelaki itu sibuk dengan segala upayanya mengurusi Mentari.

Mulai dari mengompresnya dengan air dingin, menyeka keringatnya, sampai mengukur suhu tubuhnya.

Jordy bahkan tak sadar jika dia belum makan siang. Pikirannya hanya fokus tentang Mentari serta hubungan mereka sebagai suami istri yang kian berjarak.

Ditambah masalah semalam yang belum usai.

“Papi, Mamah bisa sehat lagi kan?” tanya Aidan sambil menggenggam erat tangan ibunya.

“Iya, Dan. Bisa sehat, Idan gak usah nangis.”

“Tapi muka Mamah pucet, kayak Mami dulu.”

Usapan Jordy langsung terhenti seketika itu juga. Dia tahu betul kekhawatiran Aidan sama persis dengannya.

“Dan, trust me, Mamah's gonna be okay,” ujar Jordy menenangkan.

Setelahnya, lelaki itupun kembali mengurus Mentari. Menyuapkannya air putih, menggosokkan minyak kayu putih di dada serta kaki dan tangan puannya sampai akhirnya Jordy tersadar bahwa sesuatu di jemari manis Mentari terlepas.

Ikatan yang menyatukan mereka dalam mahligai cinta.

Bukan Jordy namanya kalau tidak sengit pada Mentari, apalagi kalau sudah menyangkut urusan pribadinya mengenai Kirana.

Datang-datang, ia menatap Mentari dingin.

“Saya tanya sama kamu,” ocehnya. Mentari diam saja, toh ia sadar apapun yang dia lakukan akan berujung salah di mata suaminya.

“Siapa yang suruh kamu pakai pakaian Kirana? Ke sekolah Aidan lagi! Mata kamu buta apa gimana? Gak baca WA saya.”

Mentari menahan air mata sebisanya. Hatinya langsung terluka saat Jordy bilang matanya buta. Meski ia tahu kalimat itu terlontar karena sedang emosi, tetapi bukankah itu makian kasar?

Apa nggak sekalian saja Jordy menamparnya karena lancang memakai pakaian mendiang. Jika saja dia sadar dengan apa yang ia lakukan sebelum pergi ke sekolah Aidan, toh dia tidak akan berpakaian seperti itu.

“Nggak ada. Aku juga nggak sadar kenapa make itu.” jawab Mentari jujur. Dan itu memang kejadian sebenarnya.

Senyum Jordy lantas menyeringai. “Nggak sadar? Dari mana nggak sadar? Jelas-jelas Erna lihat kamu masuk ke ruang wardrobe dan pilih sendiri pakaiannya! Mau ngelak apalagi?”

Amarah Jordy tampaknya makin tak keruan. Emosinya tak terbendung, begitupun Mentari yang sebenarnya saat itu sedang menggigil parah. Dia juga marah dan terlampau kecewa, tapi ia memilih diam dan tak mau berdebat seperti Jordy.

“Iya mungkin aku lagi kambuh, dan lupa minum obat.” Mentari menyahut lagi. Mendengarnya, Jordy mendengus pelan. Rasanya percuma juga dia membeli obat mahal, toh Mentari tidak pernah mengonsumsinya.

“Nggak taulah. Emang kamu cuma bisa ngerepotin saya.” Lelaki itu kemudian bangkit setelah meraup wajahnya kasar. Nada bicaranya tak lagi tinggi, tapi bantingan pintu saat dia keluar menjadi jawaban perasaannya.

Sepeninggal suaminya, Mentari terdiam beberapa saat, sebab kini kakinya mulai tak berwarna sementara tubuhya makin terasa dingin. Bibirnya pucat, demikian juga dengan matanya yang cekung.

Mentari sudah berusaha melawan dengan mengorek isi tasnya—mencari obat penurun panas, agar esok harinya dia lekas membaik.

Pukul dua malam, Jordy di kamar sebelah terlihat resah. Tak sedikitpun matanya bisa diajak kerja sama. Dia mengantuk, tetapi pikirannya terus tertuju pada wanita yang tidur di kamar tamu.

Ada rasa bersalah yang menjalar di hatinya. Pun keinginannya untuk meminta maaf.

Cuma yang membuat emosinya membuncah adalah Mentari yang selalu membela Aidan baik saat anaknya sedang melakukan kesalahan. Jordy tak ingin Aidan tumbuh menjadi anak yang manja, apalagi dia lelaki.

Lalu yang kedua, Jenan yang tak berhenti mencecarnya tentang Mentari. Bagaimana keadaannya; apakah dia baik-baik saja setelah mereka berdua menikah—Jordy rasa Jenan harus berhenti mengganggu Mentari. Dia bukannya cemburu, tapi setidaknya lelaki itu harus sadar diri jika kini Mentari sudah menjadi istri orang.

Lebih tepatnya istri sahabatnya sendiri.

Ah mungkin Jordy lupa satu hal. Jenan si buaya itu tidak mungkin terhalau hanya gara-gara Mentari sudah menikah. Karena Jenan bahkan bisa memesona perempuan yang sudah menjadi istri orang.

Mau bukti? Jenan pernah dekat dengan seorang kerabat mereka yang hampir cerai. Meski setelah cerai, Jenan dan perempuan itu berujung kandas, tapi siapapun pasti tahu bahwa Jenan bukanlah lelaki yang mudah dikalahkan.

Wajah tampan serta kulit putih mulusnya itu menjadi senjata utama.

Dan Jordy sangat getir karena ketampanan Jenan.

“That's why we need to talk, Mentari.”

Suara Jordy sukses membuat tangis dan rasa sakitku membuncah. Bahuku bergetar hebat kala lelaki itu memelukku dari belakang.

Iya, aku begitu marah terhadapnya hanya karena sebuah sepatu. Mungkin bagi sebagian orang sikapku ini akan dibilang lebay, tapi buatku Jordy seperti sedang menunjukkan siapa dia sebenarnya.

Jordy yang selalu dikelilingi wanita; Jordy yang dengan mudah memantik perhatian perempuan di sekitarnya. Dan Jordy yang membiarkan perempuan-perempuan itu menaruh harap padanya.

Pun, aku tidak apa-apa jika dia masih menaruh hati pada Mba Kirana. Berkali-kali aku mengikhlaskan hal itu, tapi tidak dengan pengkhianatan.

Untuk yang kedua kali kulihat tangan besar Jordy terlingkar di pinggulku. Kali ini ia sedikit memaksa hingga membuatku mau tidak mau bertatap muka dengannya.

Pandangan sendu Jordy jelas terarah padaku, jemarinya pun ikut membelai lembut wajahku.

Air mukanya redup, dan meski kami tak saling bicara, tergambar jelas rasa bersalah di wajah suamiku.

Dan pada akhirnya... Aku kalah. Egoku luruh, aku merindukan Jordy. Bahkan lebih dari itu, aku dengan sadar memilih Jordy dan sangat mencintainya.

Meski aku tak tahu siapa yang harus kupercaya saat ini, tapi aku benar-benar tenggelam pada aroma tubuh Jordy yang maskulin malam itu. Dia menarikku dalam dekapannya yang entah apa daya magisnya—mampu membuatku luluh.

“Ri, saya minta maaf.”

Itu pertama kalinya aku mendengar dia memanggilku dengan nama pendekku.

“Saya nggak pernah selingkuh sama Gaby.”

Lagi-lagi wajahku memanas saat nama Gaby keluar dari bibir Jordy.

“Saya nggak main-main sama pernikahan kita.”

Sedikit demi sedikit aku mulai menatap matanya.

“Saya kan udah bilang, jangan percaya sama gosip-gosip di internet.”

“Saya juga udah berapa kali jelasin ke kamu, saya dan Kirana udah selesai.”

“Terus kalo udah selesai?” cicitku pelan.

Jordy tidak menjawab, dia justru mengecup bibirku cukup lama.

“Ya saya pilihnya kamu,” ujarnya usai ciuman itu.

“Can we just stop arguing about that? Saya kangen sama kamu.” Dia mendusalkan wajahnya di bahuku.

Aku mengangguk seraya mengusap rambut belakangnya.

“Oke, Sayang. Sini.” Jordy tersenyum tipis. “Maafin aku juga segala ngeblok semua kontak kamu.”

“Kalo yang satu itu saya agak susah sih maafinnya.”

“Kata kamu tadi kita stop berantem? Kok akunya nggak dimaafin?”

Jordy tersenyum, “Karena kamu terlalu sering ngelakuin hal itu.”

“Ya makanya kamu jangan nyebelin,” balasku sambil menghujani cubitan ringan di perutnya.

“Hahaha okay, got it, Babe.” Gantian aku yang tersenyum lebar.

“Mas.” “Ya?” “Aku mau minta peluk yang erat lagi kayak tadi, karena aku kangen banget sama kamu. Nggak enak nggak dengerin kamu marah dan ngomel, aku pokoknya mau dipeluk.”

“Iya, tapi tidurnya jangan hadap belakang ya, Babe.” “Iya, enggak kok.” Aku membalas peluknya.

“I love you.” Jordy kembali mendaratkan kecupan hangat di bibirku, tapi yang kali ini... sedikit berbeda.

Dia memperdalam ciumannya hingga aku tak diberi celah untuk melawan.

Hahaha, this is what happens when Aquarius alpha man meets Gemini woman.

-FIN-

Jordy akui, dia memang bukan lelaki yang pandai merayu seperti Jenan atau Teza. Kelebihan yang dia miliki hanya ada di wajah maskulin dan tubuh tinggi. Dan biasanya, perempuan akan luluh pada Jordy dalam sekali tatap.

Tapi sayang ketampanan dan kesempurnaan Jordy tampaknya luruh begitu saja dihadapan perempuan bernama Mentari.

Sudah tiga hari wanita cantik itu tak menyapa, mengajaknya bicara, bahkan semua bantal dan gulingnya tidak Jordy temukan di kamar. Dia terpaksa tidur sendiri, mengawang memandang langit sambil memikirkan cara agar puannya itu bersedia memaafkannya.

Dan akhirnya saat yang dinanti-nanti Jordy tiba. Mentari mencabut semua akses blok-nya, centang biru yang lewat dari pandangan mata Jordy sukses membuatnya tersenyum.

Tapi ketika lelaki itu tiba di kamar, dia mengira bahwa Mentari telah memaafkannya. namun nyatanya, Mentari masih bersikeras pada pendiriannya dan termakan oleh gosip murahan itu.

Satu-satunya yang bisa Jordy perbuat hanyalah mendekap erat puannya, meski dalam sedetik Jordy sadar—dia sedang berada di ambang kehancuran.

Kepercayaan Mentari padanya hilang bak ditelan bumi. Bisa jadi wanitanya mati rasa hanya karena tahu bahwa Jordy masih menyimpan rasa pada mendiang istrinya.

Jordy tak bisa berbuat apapun selain membiarkan Mentari berkemelut dengan pikirannya sendiri. Percuma jika diajak bicara. Mentari pasti akan jauh lebih sengit.

Namun dari kejadian ini Jordy pun paham, jika wanitanya bukanlah seseorang yang mudah dirayu dengan gelimang harta.

“Saya udah tambah uang bulanan.” Jordy berucap beberapa saat lalu, namun Mentari tak menggubris. Dan dalam waktu lima menit, semua uang bulanan yang dia beri kembali ke rekening Jordy tanpa sisa.

“Terus kamu maunya saya gimana, Mentari? Saya ajak bicara kamu diem. Saya mau peluk kamu malah nepis, Tell me, then.”

Mentari tetap mengunci rapat mulutnya dan sengaja memunggungi Jordy.

Disaat-saat seperti ini lelaki itu bagai diterjunkan ke dasar bumi, sebab dia baru sadar betapa mahalnya arti sebuah maaf.

“I'll give you time, kalo udah mau liat dan bicara sama saya, just let me know.” Hanya itu yang bisa terucap dari bibir lelaki tampan ini. Selanjutnya, Jordy cuma menatap kosong punggung Mentari yang kian lama...bergetar hebat.

“PAPI, GANTIAN. Idan mau dipeluk Mamah!”

Datang-datang, Jordy langsung menerima protes besar dari sang putra.

Bocah 9 tahun itu turut membawa bantal, guling, serta boneka Mc Laren kesayangannya untuk bergabung dengan mereka.

Padahal Jordy ingin menghabiskan waktu berdua dengan Mentari usai mereka resmi tunangan.

Sebab selama ini, sepasang sejoli itu benar-benar belum mengenal satu sama lain.

“Papi boleh ngobrol berdua dulu sama Mamah?” Aidan menyilangkan tangannya.

“Sebentar aja, just thirty minutes.” Jawaban Aidan tetap sama.

“Gimana kalo habis Papi dan Mamah ngobrol, kita main PS? Udah lama nggak boys time kan?”

Sepertinya tawaran Jordy berhasil. Aidan yang tadinya bersikeras enggan meninggalkan Mentari, perlahan mulai mengangguk.

“Oke Papi! Idan mau main yang bola itu.”

“Siap, tanya Mamah dulu, Idan boleh main berapa lama.”

Mendengar aba-aba ayahnya, Aidan langsung bergerak mencari Mentari. “Mamah, Mamah.”

“Iya, Nak?” “Idan boleh main PS sama Papi berapa lama?”

Yang dikasih pertanyaan terkejut bukan main. Pasalnya Mentari tahu benar bahwa Jordy bukan tipikal ayah yang gemar mengajak anaknya bermain. Sepanjang Mentari mengenal tunangannya, baru kali ini ia mendengar Jordy mengajak anaknya main.

“Hmm... boleh tiga puluh menit?” “Oke, Mamah.” Aidan lalu berjinjit dan berbisik pelan, “Mamah, Mamah.”

“Iya?” Mentari turut memiringkan kepalanya.

“Tadi Idan liat, Papi lagi liatin foto Mamah yang pake kebaya kemaren, pasti karena Mamah cantik sekali.”

”...Terus Papi senyum-senyum sendiri. Papi nggak begini kan, Mah?”

Ingin rasanya Mentari tertawa sekeras mungkin saat Aidan menarik garis miring di dahi. Namun kalau sampai dia melakukan itu, yang ada harga diri Jordy terancam. Apalagi yang meledek anaknya sendiri.

“Hahaha, Idan. Kamu tuh ya adaaa aja kelakuannya. Dah sana, Papi kayaknya udah ga sabar mau main PS sama Idan.”

Telunjuk Mentari mengarah pada lelaki berkaus kutang yang tengah menyiapkan PS.

Namun sedetik setelahnya, Jordy tertangkap basah sedang termangu, menatap Mentari dalam-dalam.

“Mamah...”

“Iya?” Mentari yang lamunannya buyar, menoleh ke Aidan. “Idan seneng Mamah tinggal di sini, soalnya Papi jadi baik sama Idan. Papi juga jarang marahin Idan, terus, Papi juga keliatannya sayang sama Idan..”

“Aidan, Papi sayang sama Idan. Bukan cuma keliatannya...”

“Gitu ya, Mah? Papi beneran sayang Idan?”

“Iya, coba sana ke Papi, terus peluk sebentar.”

Aidan menuruti perkataan ibu sambungnya. Dan lihatlah bagaimana suara tawa itu pecah memenuhi ruangan, bahkan sepertinya Jordy lupa akan rencananya mengobrol berdua dengan Mentari terlebih dahulu.

Tapi buat Mentari, itu tak mengapa. Karena dia tahu Jordy menikahinya hanya untuk mewujudkan impian Aidan—memiliki keluarga cemara.

“Who said you can go?” Suara serak nan dalam itu sontak mengejutkan Mentari. Dia pikir lelaki di sebelahnya ini benar-benar tertidur, nyatanya dia hanya memejam mata. Dengan daksa yang mengerjap khas orang baru bangun, lelaki itu memajukan wajahnya.

“Sebatas peluk ya, Mas. Jangan cium-cium, awas!” Mentari mengultimatum, lalu menjauh dari Jordy.

“Siapa juga yang mau ciuman pas ada anak di pinggir gitu?” balas Jordy nyengir, kemudian menarik Mentari ke sisinya.

“Mas Jordy.” “Hmm?” “Aku... bukan Mbak Kirana.” “Iya, tau.” “Ya udah peluknya udahan.”

“Kamu kenapa sih? Anti banget sama saya kayaknya.”

Mendengar rajukan Jordy, Mentari mengerutkan alisnya.

Dia dibuat bingung dengan ketidak-terimaan Jordy barusan. Sebab setahunya, Jordy berkali-kali menegaskan bahwa Mentari tidak boleh terlalu dekat dengannya.

Namun sejak pagi, bahkan mungkin berminggu-minggu lalu, Jordy menunjukkan sikap yang berbeda. Kecuali gigauannya itu. Sampai detik ini Mentari tak bisa lupa bagaimana lelaki itu nyaris menangis sambil menyebut nama mendiang.

“Kenapa kamu anti banget sama saya? Kamu lebih mau sama Jenan? Kamu ngarepnya depan kamu sekarang nih Jenan. Iya gitu?” Suaranya dalam, namun penuh penekanan.

“Nggak gitu. Kenapa jadi bawa-bawa Pak Jenan sih? Sangkut pautnya apa?”

“Dia deketin kamu kan?” “Enggak.” “He clearly said that to me. Dia jelas-jelas naksir kamu, Mentari.”

“Orang kayak Pak Jenan naksir aku dari mana sih Mas Jordy?” Kali ini Mentari mulai kesal. “Dia tuh auranya se-pangeran itu, mana mungkin naksir perempuan gemblong kayak aku gini, dih.”

Jordy diam, tapi jelas dia tak menerima pembelaan Mentari. “Kalo ngobrol sama Teza dan Jenan, harus ada saya di sebelah kamu.”

“Iyaaa.” “Pake cincin tunangan kita, jangan dilepas.” “Iyaaaa, tapi kamu juga. Boleh nggak?” “Iya. Saya nggak bakal lepas kok.” Ia membenamkan wajahnya pada bahu Mentari. “Sanaan ah, ntar Idan liat!”

“Biarin aja.” “Jangan gitu lah, Mas Jordy. Anak kita masih kecil, masa kamu izinin dia liat yang enggak-enggak?”

“Babe, we're just hugging. Kan saya nepatin janji.” jawab Jordy tak mau kalah. Alhasil Mentari mengalah, membiarkan lelakinya memperdalam peluknya.

“Kayak udah cinta aja.” ceplosnya sepelan mungkin.

“Kalo enggak, ngapain saya tidur di sebelah kamu?”

Satu yang paling mencuri perhatian dari acara hari ini.

Adalah Mentari yang mengenakan kebaya bergradasi biru ungu dengan rambut yang disanggul modern. Aura gadis kemarin sore-nya lenyap dalam sekejap.

Di mata Jordy, perempuan itu justru memancarkan aura pengantin yang sangat dalam. Ia bahkan sampai sulit berkata-kata. Jordy jarang berpendapat seperti ini.

Namun bila ia sampai berpikiran begitu, artinya... Mentari memang memiliki daya pikatnya sendiri.

Diapit Bulik Ratih, Dhea dan Paklik, Mentari diantarkan pada Jordy yang kala itu menggandeng si kecil Aidan di sebelahnya.

Padahal Jordy sudah menjelaskan pada putranya untuk tidak heboh. Tapi dasar anaknya ekspresif, dengan penuh semangat Aidan menyapa ibu sambungnya.

“Mamah cantik sekaliiii! Idan mau ikut Mamah, Papiii! Idan mau sama Mamaaah!” Lihat saja bagaimana bocah itu melepas genggaman ayahnya. Dia berlari ke arah Mentari lalu memeluknya sebentar.

“Ganteng banget anak Mamah. Sini, nanti kita ke Papi, ya.”

Aidan mengangguk. Lalu pertemuan antar dua keluarga itupun berlangsung. Jordy dengan wibawa dan pesonanya, membius beberapa sanak keluarga Mentari yang baru pertama kali bertemu dengannya.

“Heyalah, kalo Dudanya modelan begini, tau gitu tak dului kenalan sama putriku.” Celetuk salah satu tante dari Mentari.

“He-eh ya, Mi. Riri nih beruntung dapet duda ganteng kayak gini. Wong sugih pula.”

Bisikan-bisikan itu mampir ke telinga Jordy. Tapi dia tahu, pun kalau dua dari perempuan itu mengenalkan anaknya, belum tentu dia bisa menerima Aidan seperti Mentari.

“Selamat siang semuanya, Sugeng Rawuh. Hari ini kita diundang hadir dalam acara pertunangan Jordy Hanandian dan Mentari Gaudina. Monggo, dari keluarga Nak Jordy, apakah ada yang ingin disampaikan?”

Pemandu acara itu mempersilakan. Jordy berdeham sebentar sebelum ia melangkah maju. Setelah menerima mic, Jordy mulai bersuara.

“Pertama-tama, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Bulik, Paklik, dan Dhea, serta keluarga besar Mentari yang sudah mengizinkan kami sekeluarga datang ke sini.”

”...Saya berharap acara ini dapat berlangsung dengan baik, dan lamaran saya diterima.”

Sorai suara bergema ketika Jordy mengumandangkan keinginannya. Mentari di sisi lain, menggaruk pelipisnya yang tak gatal sambil menggenggam erat tangan Aidan karena terlalu tegang.

“Bagaimana Nak Riri, apakah lamaran putra saya diterima?” Kali ini ayahanda Jordy gantian bertanya.

Mic itupun kini berpindah pada sang puan. “Diterima, Pa.”

Baik Bulik, Paklik, Dhea dan seluruh keluarga yang menghadiri lamaran itu bertepuk tangan meriah. Dengan jawaban Mentari, kini Jordy resmi menjadi calon suami dari Mentari.

Keduanya saling bertukar cincin, berjanji akan saling menjaga dan menyayangi satu dengan yang lain. Memadukan asmalibrasi yang menguar hebat diantara keduanya.

Saat cincin itu telah tersemat, Jordy lagi-lagi memberi kejutan. Dikecupnya kening Mentari pelan.

Ini sungguh bukan yang Mentari harapkan. Sebab sejak awal pikirannya telah terarah bahwa lelaki itu sama sekali tak mencintainya.