Ungkapan learn from mistakes ternyata berat bagi saya untuk dijalani. Namanya juga manusia, punya dosa, bisa lupa dan khilaf.
Baru sehari saya dan Mentari kembali ke rumah, kami sempat cekcok hanya karena ia masih menemukan sprei pink yang sering dipakai Kirana.
Dia menangis lagi dan begitu seterusnya. Tapi kali ini, saya memang salah, karena lalai dan belum terlalu mengenalnya. Sekian lama kami berpisah dan mencoba menyatukan pribadi yang terlalu beda, bohong rasanya kalau bilang hal itu mudah.
Buktinya adalah Mentari yang sempat menolak sekamar dengan saya. Ia merasa bahwa saya tidak serius dengannya. Saya cuma memintanya kembali karena ingin Aidan mempunyai sosok ibu sempurna.
Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Saya mencintai Mentari dengan segala lebih dan kurangnya. Cuma saja karena terlalu memikirkan cara agar dia mau menerima saya lagi, ya—saya akui—fokus saya pecah. Ditambah Mentari memang sering memasang sprei itu setiap ia tidur di kamar.
Dan ternyata alasannya sangat menyakitkan untuk dia.
“Waktu kita baru nikah, kamu bilang kamu pengen sprei itu dipasang terus supaya kamu ngerasa mendiang ada di sebelah kamu.”
Saya cukup terkejut saat Mentari melontarkan kalimat itu. Sialnya, saya tidak sadar karena saya mengatakan padanya dalam kondisi mabuk.
Kala itu memang benar, saya masih begitu dihantui rasa bersalah pada Kirana. Saya juga ingin melepas semua perasaan saya dari Almarhumah, namun rasanya saat itu saya tak mampu. Banyak yang mesti saya sesuaikan, dan saya sadar kalau saya begitu melukai Mentari karena hal ini.
“Ri, maafin saya,” ujar saya sebisa mungkin. Dengan muka yang memerah dan mata sembab, Mentari meninggalkan saya di kamar. Ia tidur bersama Aidan di sebelah.
Namun ketika malam, saya menyusul, memeluknya dari belakang.
Sisa air matanya masih merebak. Saya bisa pastikan bahwa hari itu dia sangat kecewa terhadap saya. Merasa dibohongi, sudah pasti. Ia bahkan mengusir dan memaksa saya untuk keluar kamar.
“Keluar, Mas. Kita jangan liat muka dulu deh, aku ga mau Idan bangun. Aku butuh waktu,” katanya.
Saya hanya bisa berpasrah saat Mentari kembali berkeras diri. Dengan mengenyam nasihat Bulik Ratih, saya membujuk Mentari walau sangat sulit.
Hari-hari rapat dengan karyawan baru menjadi tak fokus, bahkan ketika kembali ke rumah, Mentari mengunci mulutnya. Dia cuma mau mengajak Aidan bicara.
Sampai Renjana membocorkan rahasia pada Mentari. Ia membeberkan alasan saya selalu pulang larut dan makan sembarangan.
Dia membuka pintu dengan tangis yang lebih keras dibanding waktu kami bertengkar. Beribu maaf ia sampaikan. Sambil terisak, Mentari bilang bahwa ia tak pernah tahu soal fakta ini. Dan memang saya sengaja menyembunyikan posisi saya yang sekarang, karena takut kecemasan Mentari meningkat.
Gara-gara red bulls itu.
“Pokoknya kamu harus janji sama aku, jangan pernah minum red bulls sebanyak itu lagi. Ngopimu kuat, Mas. Kamu sayang gak sih sama Idan dan aku? Sayang nggak?”
“Sayang, Ri... Sayang banget. Saya sayang dan cinta sama kalian berdua.”
“Ya udah, tapi jangan begini lagi, Mas... Aku nggak mau kamu kenapa-napa. Kerjaan kamu bakalan lebih capek daripada di PH?”
“Ya... Chairmain, pasti agak sedikit lebih berat, walaupun gak berat-berat amat.”
“Mas... tuh kan kamu mah,” dengusnya. Saya cuma bisa tertawa pasrah, “Ri, I'm doing this karena cita-cita saya emang mendirikan PH. Dan kenapa PH itu akhirnya saya kasih ke Jenan, cause he is trusted. Bukan berarti saya melepas semua impian saya. I give it to the right person. Dia jadinya sister company gitu, masih dibawah kepemilikan saya. Tapi yang pegang Jenan.”
“Kamu nggak usah ngerasa bersalah semua karena kamu, saya gini gara-gara kamu. No. Saya justru emang pengen lebarin PH yang kecil itu,” terang saya panjang lebar. Mentari akhirnya mengangguk paham lalu memeluk saya erat.
“Maaf ya, aku cengeng terus.”
“Udah dari sananya. Nangis berapa lama?”
“Satu setengah jam,” katanya mengaku.
“Nangis tuh ga nyelesein masalah, Ma. Kalo diobrolin begini lebih enak, plong.”
Ia mengangguk lagi. “Makasih ya, Pap.”
“Iya, sama-sama, Ma,” balas saya seraya memeluknya erat.
“I love you, Papi.”
“Remarried?”
“Baca dong surat dari aku,” ia menyerahkan sepucuk surat pada saya.
Begitu membacanya, saya tiada henti tersenyum. Jangan kira saya tidak memerhatikan betapa Mentari berusaha keras belajar bahasa Inggris. Saya selalu menemukan kamus saya tidak pada tempatnya, juga catatan kecil yang bertuliskan vocabulary.
“Nyontek google nih?”
“Bisa nggak sihhh sehari aja kita nggak ribut?” protesnya.
“Tapi serius,” ujar saya menatapnya lekat. “You did a good job, Ma.”
“Thank you,” sahutnya. Saya menarik sebuah kertas dari kantung celana, menunjukkan padanya sebuah catatan kecil yang Mentari tulis.
“Kamu dapet dari mana?!” Kagetnya.
“Saya selalu merhatiin kamu belajar di situ, di dapur, di ruang belajar Idan. Tuh kepala sampe benjol kepentok ujung meja..”
“Duh, maluuuuu! Abis kan kamu tau, semua orang tua temen-temen Idan pada cas cis cus, aku doang planga plongo. Mereka mainnya di Senopati. Beda sama aku yang tongkrongan BKT berdua Chanting, hahahaha.”
“Kamu nih, bisaan aja. Anyway, you did a good job. After married, saya tes lagi ya...”
“Diiiihh?”
“Hahahah, anyway, saya pengen rebahan.”
“Sinilah.” Ia menepuk sisi kasur saya yang kosong.
“Bukan disitu...”
“Terus di mana?”
“Let me tell you...” Saya membaringkan Mentari di ranjang, menciumnya sebentar mungkin akan sedikit mengejutkannya, tapi buat saya, hal itu seperti mengisi ulang daya baterai semangat saya dalam bekerja.
“Here.”
“MAS?”
“Udah lama, ga jadi Aidan. Pengen lah sesekali aku kayak gini.”
“Aku?” Ia tampak terkejut
“Kenapa emang?” balas saya bingung.
“No, kayak bukan kamu. Aku udah kebiasaan denger kamu pake “saya” jadinya aneh.”
“Malah makin aneh pas kita lagi ehem, aku rasanya kayak lagi begituan sama murid, padahal dosen juga bukan,” kata saya bercanda.
“Iya sih, hahaha. Tapi please—” Ya namanya juga saya, kalau sekali diizinkan, tangan ini tidak bisa diam.
“Jangan gitu, Papi...” Suara Mentari mengecil.
“Babe, you miss this huh?”
“Abis married, baru boleh begini lagi!” Mentari cepat-cepat mengancing pakaiannya.
“Hahaha, okay Ma'am.” Saya menjawab dengan muka tenang, padahal aslinya frustasi.