noonanya.lucas

“Idaaaan gak mau!!!!!”

Suara Aidan membelah seisi rumah. Wajahnya merengut dengan kedua pipi bulatnya yang merah. Bersembunyi di belakang Mentari yang tengah menggendong Kiori.

“Mamaaah, Idan takut, gak mau disunat...”

Dan setelah itu raungannya terdengar. “Idan, Sayang... Nggak apa-apa, sakitnya sebentar aja, kok. Kan udah besar...”

“No, Mamaah. Nooooo!” Ia berlari ke belakang lemari.

“Aidan Alvaro.” Kali ini saya yang bersuara, tubuh anak itu langsung membungkuk takut.

“HUAAAAAAAAA.” Dengan cepat saya menggendong Aidan serta menyeka air matanya. “Nanti sama Papi, Papi temenin.”

Isakannya sempat terhenti, namun lima detik kemudian, Aidan kembali berteriak.

Mentari yang sedang menggendong Kiori, mengusap punggung Aidan lembut. “Idan, kalo anak Allah kan harus disunat, Sayang.”

“Idan mau disunat tapi Mamah harus ikut ke dalem!”

“Terus kalo adek nangis gimana Idan?” tanya saya lembut.

“Papi temenin Adek sampe bobok! Idan mau sama Mamaaaaah!” teriaknya di telinga saya.

Saya sontak melirik istri yang juga menatap saya pasrah. Dengan lirikan mata yang mengisyaratkan saya untuk memberinya waktu berdua dengan Aidan, saya pun mengambil alih Kiori dari tangannya. Untung saja Kiori tertidur cukup pulas usai menyusu setengah botol.

“Sama Mamah sini yuk, Bang. Kita ngobrol sebentar ya. Mau?” bujuk Mentari sembari mengusap sisa air mata di wajah Aidan.

“Iya, Mamah.” Anak mengangguk, lalu mengekor Mentari dari belakang.

“You did a good job, Ma...Thank you.” Hal itu tepat saya sampaikan pada Mentari, sesaat bayi perempuan kami dibaringkan di dadanya. Melihat anak kami lahir dengan selamat, rasanya seluruh lelah dan pegat saya terbayar.

Mentari mungkin terlihat lelah, apalagi ia harus berjaga menahan sakit kontraksi dan mengejan beberapa kali, namun semangatnya tak kunjung patah. Ia terus berjuang agar Kiori lahir dengan selamat, bahkan

ia tetap menyalami punggung tangan saya sebagai rasa hormatnya pada saya usai

Dengan suara lirih Mentari berbisik, “Makasih Mas, udah nemenin aku lahiran. Istirahat ya..”

Saya pun segera membalas lewat peluk dan cium di keningnya. Serta tak lupa membasuh peluh yang masih tersisa di sana.

“Terus jangan lupa jemput Idan.. Aku kangen sama dia.”

Astaga, bahkan usai bertaruh nyawa, Mentari tetap memikirkan orang lain. Saya lagi-lagi hanya sanggup mengiyakan sambil menahan haru.

“Idan di depan sama Mamah, tadi dianter Devon ke sini,” ujar saya se-stabil mungkin agar Mentari tenang.

“Ya udah nanti kalo aku sama Kiori udah dipindahin ke ruang perawatan, Idan sama Mama masuk ya.”

“Iya, Sayang.”

Ia mengangguk tanpa sepatah kata, dengan tangan yang masih menggenggam erat jemari saya.

“MAMAAAAAH.”

Tak banyak yang bisa saya ungkapkan ketika melihat Aidan memeluk Mentari erat. Tangis mereka pecah bersamaan.

“Anak Mamah...” ujar Mentari lembut. “Sini bobo sama Mamah dan Adik.”

Aidan lantas mengangguk, menaiki anak tangga kecil untuk melihat adik perempuannya yang pertama kali.

“Sayang adeknya, Dan.” “Mamah, Adek merah banget kayak ultraman,” katanya kagum sembari mengelus lembut dahi Kiori.

Saya dan Mentari sontak saling bertatapan, lalu tertawa mendengar ucapan spontan Aidan.

“Adek bobo terus, Mah. Eh, tapi jari Idan dipegangin!” serunya senang, mendapati telunjuknya digenggam oleh Kiori.

“Iya, Nak. Idan kalo mau narik jarinya pelan-pelan ya.”

“Be gentle okay, Son?” saya turut membimbingnya. Anak itu kemudian menarik telunjuknya perlahan. Namun tanpa disangka, Kiori langsung histeris, tak terima bila sang kakak melepas jarinya. “Adek gak mau jauh dari Idan, maunya dipegang sama abangnya terus,”

Mendengar ucapan Mentari, Idan segera menyelipkan tangannya kembali ke jari Kiori. Dan betul saja, tangisnya terhenti saat Aidan mengusap dahinya.

Saya tersenyum bangga memandang Aidan di belakang My first born yang saya kira akan terus-terusan bersikap manja pada ibunya, kini justru menjadi magnet bagi adiknya.

Just like his mom, Mentari.

“Mamaaaaah....” Senggukkan kecil Aidan menemani langkahnya menuju kasurku. Kalau sudah begini, jatah Papi-nya habis, sih. Karena Aidan pasti akan menyelip dan tidur di tengah bersama kami.

“Kenapa nangis, Sayangnya Mamah?” sapaku sembari membelai surai hitamnya.

“Adek bikin Mamah sakit,” adunya. Aku dan Jordy kompak saling melirik dengan pandangan pasrah.

“Adek gak bikin Mamah sakit, Nak...”

“Tapi Mamah tadi muntah-muntah,” katanya sambil mendusal di bahuku. Kutatap raut wajah sedihnya, kemudian kupeluk erat agar dia merasa tenang.

“Mamah tadi telat makan, bukan karena Adek, Dan...” Ia kembali mengangkat pandangan, “Oh... gitu. Tapi Mamah tadi sampe pusing terus gak bisa bacain Idan story book.”

“Mamah lagi capek aja, Dan. Sekarang Mamah udah sehat kok, udah strong lagi!” Kali ini manusia tinggi besar di belakangku bersuara. Namun bukan hanya mulutnya yang bergerak, tapi juga tangannya yang menjalar, mengelus perutku.

Dan, seperti biasa Aidan tidak segan menegur ayahnya jika aku sedang tidak enak badan. Ia menggeser pelan tangan Jordy dari perutku. “Jangan Papiiiii! Tangan Papi gede kaya armagedon! Nanti Adik Idan kenapa-napa, Papiiiiiii!”

Jordy lantas terpingkal-pingkal mendengar celotehan putranya. “Okay. Sorry, Nak. Tapi kan adik sama kaya Idan, sama-sama anak Papi. Masa gak boleh disayang?”

“Humm... Boleh sih...” Muka Aidan langsung merasa bersalah. Aku yang terhimpit di tengah cuma bisa tertawa mendengar pertengkaran kecil mereka. Apalagi, dua-duanya punya cara yang sama dalam menunjukkan rasa sayang pada si adik. Sama-sama posesif, hahaha.

“Udah, Idan, Papi. Gak usah pada berantem, kalian boleh sayang sama adik. Sini Mamah peluk dua-duanya,” leraiku.

“Idan's first!!!!” Tanpa memberi celah pada Jordy, Aidan langsung menghamburkan dirinya di pelukku. “Adek, halo. Kenalin namaku Idan, Abang Idan!”

Mendengar Aidan memanggil dirinya sendiri dengan sebutan “Abang” membuatku diliputi haru. Air mataku luruh detik itu. Kupikir dia cemburu mengingat sebentar lagi kasih sayangnya akan terbagi, tapi nyatanya dia mengkhawatirkanku dan adiknya.

“Adik makan yang banyak ya, kalo enggak nanti adik kurus kayak Nono, temen Abang. Tapi jangan kebanyakan, nanti gede kayak Papi...”

Yang disinggung langsung mencubit pipi Aidan pelan. “Idaaaaan,” tegur Jordy namun setelahnya keduanya tertawa.

“Abis kan, nanti kalo adek kegedean di perut, Mamah kasian. Jadi bombombom!”

Aku memandang Aidan yang sedari tadi tak kehilangan senyum. Ia tampak begitu bahagia dengan rujuknya kami, dan alhamdulillah-nya, Jordy sudah tak semenyebalkan dan sekaku dulu. Dia sama seperti Aidan, senang bergurau, saling meledek, tapi bagusnya sepasang ayah dan anak ini tak ada yang tersinggung satu sama lain. Justru keduanya malah semakin akrab karena sering bercanda.

Kalau aku menimpali, malah ditegur Aidan, katanya aku mengganggu boys time mereka. Gemas!

Fin

Bulir air mata tanpa terasa membasahi pelupuk saya. Heran, padahal saya pernah mengalami hal ini sebelumnya, tapi kenapa ketika dokter menunjukkan letak buah hati kami dalam rahim Mentari, saya terbawa suasana?

“Selamat ya, Pak, Bu. Ada dedeknya nih.” Dokter berucap, membuat perempuan yang saya genggam jarinya menangis haru.

“Maklum ya, Pak. Namanya lagi hamil, sensitif jadinya,” kekeh sang dokter menatap Mentari.

Saya hanya tertawa, begitu juga Mentari. Ia melirik alat monitor USG dalam tatapan kagum, kemudian menatap saya kembali.

“See? We did it, Babe,” puji saya lembut. Lagi-lagi senyum di wajahnya merekah.

“Tapi Pak, Bu... tolong dijaga baik-baik ya, mengingat Ibu pernah keguguran. Jangan treadmill lagi ya, Bu.”

Kami berdua kompak mengangguk. “Dan, banyakin makan sayur. Mungkin di trimester pertama ini, Ibu bakal sering ngerasa mual, gak nafsu makan, tapi ini saya udah resepin obat penahan mual ya, Bu.”

“Thank you, Dok.” Mentari menyahut ramah, sambil mengeratkan genggamannya pada jemari saya.

Sepulangnya dari dokter, kami tak langsung pulang ke rumah. Saya ada hadiah kecil untuknya. Meski sedikit random, rasanya sesekali nge-date berdua tanpa arah begini, asyik juga.

Saya memutar setir dari arah Pakubuwono menuju HR Rasuna Said, mencari restoran private yang kira-kira memiliki pemandangan romantis.

Untungnya dapat. Sebuah restoran Jepang dengan desain minimalis dengan pemandangan city light yang cantik.

“Kamu ngidam?” tanyanya bingung.

“Nggak, lagi kepengen aja. Udah lama nggak makan masakan Jepang.”

“Tapi aku gak boleh makan yang mentah, Pi.”

“Di sini nggak cuma sashimi,” Ma. Ada ramen, tempura, you name it.

Yang saya ajak bicara mengangguk sembari membuka menu.

Ah, makin kesini, Mentari terlihat sangat menggemaskan. Pipinya menggembul, membuatnya mirip dengan Aidan waktu masih kecil. Kadang kalau dipikir-pikir, lucu juga, ya.

Mentari dan Aidan tidak terikat hubungan darah, tapi hampir setiap orang yang bertemu mereka, selalu bilang kalau Aidan adalah duplikat Mentari.

“Kenapa ngeliatin aku kayak gitu?” Ternyata si pemilik mata bulan sabit itu sadar kalau sedari tadi saya termangu menatapnya.

“Nggak papa. Coba liat keluar, the moon is beautiful isn't it?

“Perasaan nggak keliatan bulannya. Bukan bulan kali, tuh. Kabut. Orang mendung gitu,” balasnya lugu.

Aduh, entahlah mungkin gombalan om-om paruh baya ala saya ini, kurang masuk dengan umurnya. Yang ada saya cuma bisa tertawa menyaksikan reaksinya.

“Kenapa sih? Kan bagus buat kesehatan.” Mentari membuka percakapan kami dengan dumelan. Netranya memandang saya dingin, serta bibirnya mengerucut.

Ya karena siang itu, saya langsung membopongnya turun dari lintasan treadmill. Alasannya pun cukup jelas, tapi Mentari belum ngerti-ngerti.

“Kamu liat nih, Mas, aku buncit banget,” katanya sembari mengusap perut.

“Ya nggak papa, lucu kayak panda,” daksanya langsung membelalak, kemudian menurun dari atas kepala hingga kaki.

“Kamu mau aku jadi bahan ketawaan orang-orang? Kamunya kece gini, terus aku gak boleh glow up?” Nadanya sedikit meninggi. Aduh, meski mimik muka Mentari terlihat menggemaskan, tapi saya tidak suka dengan penilaiannya. Dan yang sampai sekarang membuat saya heran, masa sih dia nggak paham kalau sedang berbadan dua?

“Kita ke dokter aja,” putus saya tiba-tiba.

“Dokter gizi?” “Dokter cinta!” sarkas saya dengan wajah datar.

“Yang bener ih, Mas Jordy!” “Lagian kamu, pake nanya-nanya.”

“Ya terus mau ke dokter mana.” “Kandungan.”

Mendengar jawaban saya, kopi di tangannya langsung tumpah di meja.

“Mas...” Tatapan Mentari tampak pedih. “Aku...” “Belum dicoba kan, Ma? Emosi kamu udah beberapa minggu ini naik turun, ditambah kamu nggak dapet hampir 4 mingguan.”

“Mungkin aku kecapekan, Mas.” Ia mengilah. Saya tahu jawaban itu terlontar karena dia masih dilingkupi trauma pasca kehilangan anak kami dulu.

“Nggak, Ri. Kita ke dokter aja ya?” bujuk saya lembut.

“Kalo hasilnya negatif kamu nanti kecewa lho, Mas. Aku juga gak mau Idan sedih...”

“Kalo misalnya negatif, ya berarti belum rejeki. Masalah Idan, gak usah khawatir. Sepengen-pengennya dia punya adek, kalo belum ada juga dia malah seneng, kali. Kamu kayak gak tau Idan aja.”

Ia terdiam beberapa saat masih dalam tatap sendu yang sama.

“Babe...” Saya mendekat, memeluknya sebentar. Dan tebak, dari mana saya begitu yakin bahwa dia memang sedang mengandung?

“Tuh kan Mas... aku jadi nangis...” isaknya.

“Ya siapa tau kamu nangis bahagia nanti pas di dokter. Udah sana, ganti baju. Aku tunggu di mobil ya, Ma.”

Unholy Warning: +21

Singapura menjadi tempat pertama aku menginjakkan kaki di luar negeri.

Memanjakan mata dengan indahnya gedung-gedung tinggi serta ramainya pejalan kaki yang tertata, rupanya tak juga memuaskan dahagaku siang ini. Di bawah cuaca terik yang menderu, Jordy membawaku ke sebuah hotel berbintang lima di pusat Ibu Kota. Ia memesan kamar paling mewah, katanya agar kami dapat beristirahat dengan nyaman.

Begitu menjejaki lobby hotel, aku sungguh terpukau dengan desain interiornya yang didominasi dengan warna krem pada temboknya. Lantai marbel putih, hitam dan ornamen emas mirip seperti lantai kantor Jordy sebelum ia melepas PH kesayangannya.

Tak lupa dengan condiment mahal seperti mesin kopi dengan harga selangit, terpampang nyata di atas meja di depan ranjang berukuran besar yang nanti malam akan menjadi tempat tidurku.

Itupun kalau Jordy mengizinkanku beristirahat. Kalau tidak, ceritanya beda lagi.

“Yang.” Suara dalam Jordy membuatku berhenti meracau, pandanganku seketika dibius oleh dia yang tak lagi mengenakan kaus putih kesayangannya—alias—bertelanjang dada.

Jordy mendekat. Langkahnya pelan namun berbanding terbalik dengan degup jantungku yang berdetak cepat. Kini ia berhenti tepat di depanku.

“Ntar, ntar dulu. Aku mau mandi,” tahanku yang menuai hembusan nafas kecil sebagai protes darinya.

“Ya udah sana.” Tangannya tidak tinggal diam, dengan satu gerakan Jordy meremas bokongku pelan. Aku tertawa kecil seraya menghilang ke kamar mandi.

“Idan udah makan belum ya?” gumamku sambil memandangi layar ponsel, berbeda dengan ayahanda dari Aidan ini yang memelukku erat sambil memasukkan tangannya ke dalam pakaian tidurku.

“Kamu nih! Entar dulu kenapa sih, Mas? Aku mau telepon Idan.” Wajar dong aku berdecak gemas, karena Om Yahud malah cengar-cengir setelah puas memainkan pucuk payudaraku dengan jarinya. Aku segera menyingkirkan tangannya agar ia bisa berhenti sebentar. Tapi ya..namanya juga Jordy, makin dilarang, pasti dia akan lakukan.

“Hhhh...Mas Jordy, bisa nanti nggak sih?”

“Enggak,” ia membantah dengan tampang jahil.

“Kalo diliat Idan gimana?” Aku melotot.

“Bilang aja papi lagi main game console.”

“Gila.” Aku memutar bola mata. Jordy kalau udah mode seperti ini, tak akan menggubris perkataanku. Ia bertindak sesukanya, sampai kadang-kadang aku yang harus bertindak sebelum ia memainkannya terlalu keras.

“Ga bakal keliatan, aku belum pake lidah,” tambah Jordy dengan seringai menggoda.

“Ah—stop, Mas! Geli ih!” Akhirmya agendaku untuk mengobrol sama Aidan terpaksa batal karena Jordy si bandel ini sudah tak tahan. Pergerakannya pesat, hingga membuatku agak sesak.

Jordy menurunkan kepala, kemudian langsung mencumbuku lembut. Ibu jarinya bergerak, mengusap bibirku yang sedikit basah usai kami berciuman. Satu tangannya merogoh lingerie yang kukenakan dan membuka celana dalamku.

“Kalo sakit bilang ya,” bisiknya dengan suara dalam. Dan benar saja, aku mengerang saat dua jarinya merangsek ke dalam bagian sensitifku. Sontak kulingkarkan tanganku pada leher jenjangnya sambil meliuk-liukkan badan saking aku dibuat tak berdaya oleh Jordy yang subuh itu sangat menjaga staminanya. Pucuk payudarakupun tak luput dari bibirnya. Dia benar-benar lihai membuatku tunduk padanya. Setelah puas menguasai bagian-bagian tubuhku, kini gilirannya untuk mengoyak ranjang.

“Ri,” panggilnya dengan suara

“Sayang,” ujarku ditengah-tengah kami saling mengatur nafas. Dahinya masih penuh keringat, tapi tampaknya Jordy sangat puas kali ini. Ia tersenyum hangat seraya mengangkat kepalaku untuk bersandar di lengannya yang kokoh.

“Hmm?” jawabnya dengan memberi kecupan di dahiku.

”...kamu inget gak, pas keguguran beberapa bulan lalu...aku sempet dibilang gak akan bisa punya anak.”

Jordy memandangku sejenak, air mukanya terlihat tegar. “Itu kan pas sebelum kamu dibersihin, Yang.”

“Kalo masih berlaku gimana, Mas?” tanyaku cemas, aku masih pterpukul saat tahu bahwa aku harus kehilangan bayiku dengan cara yang tak wajar.

“No... jangan underestimate, Ri.” Jordy menarikku dalam dekapnya. Saat itu tangisku pecah, pelupuk mataku sudah basah. Kilatan memori tentang bagaimana anakku raib begitu saja langsung memenuhi kepala. Aku takut...aku takut tidak bisa membahagiakan Jordy dan Aidan.

“Ssshhh... masa nangis, Babe?” Aku tersenyum kelu. “Aku gak mau kamu sedih.” “Aku tambah sedih kalo liat kamu nangis gini, we haven't try it though. Baru hari ini cobanya, hahaha.”

Aku tertawa kecil mendengar guyonan ambigu khas bapak-bapak milik Jordy. Dengan candaanya itu aku tahu ia sedang menenangkanku.

“Babe, soal yang kemaren mungkin bakalan susah kamu lupain. Aku tau, aku juga sama. Tapi kita gak boleh pesimis, kalaupun kita cuma bertiga doang, I would be okay with that...” tatap teduhnya menepis segala ketakutanku.

“kamu abis baca komen di IG ya?”

Aku geleng kepala, enggan mengakui hal itu, tapi Jordy tahu bahwa aku hanya berkilah. Ia mencium keningku, lalu berucap. “Gak usah dipikirin, Babe. Kita punya anak lagi juga gak bakal pengaruh buat mereka. Aku ngajak staycation ke Spore gini juga untuk quality time.”

“Makasih ya, Mas Jordy.” Aku mengecup bibirnya kilat.

“Dan, udahan nangisnya...” bujukku begitu Aidan berbaring di sebelah. Beberapa kali ia menarik cairan di hidungnya, pipi gembulnya membulat, matanya sembab. Kalau sudah begini, pasti Jordy buat ulah. Anak itu mendekatkan diri padaku sambil memainkan jari-jariku. “Mamah, jangan pergi berdua Papi, nanti Mamah enggak kesini lagi. Nanti Mamah pulang ke Yogya, terus nggak bobo sama Idan,” isaknya pilu.

Astaga... Jadi ini sumber masalahnya. Aidan mengira aku akan dipulangkan ke Yogya. Saat itu kupikir perginya aku dari rumah tidak akan berimbas apapun pada anak sekecil Aidan. Namun rupanya perceraian kami benar-benar melukai hatinya. Sebab sudah hampir lima menit Aidan menangis, menceritakan bagaimana pedihnya ia saat aku berbulan-bulan di Yogya.

“Mamah, huhuhu.” Aku mengusap rambut hitamnya sejenak, “sini sama Mamah,” kataku sambil memeluknya.

Ia mengangguk. “Mamah gak boleh pergi sama Papi, nanti Papi nggak jemput Mamah lagi!”

“Mamah cuma sebentar doang dan enggak pergi ke Yogya. Mamah sama Papi ada urusan sebentar, harus temenin Papi kerja.”

Tangisnya berangsur-angsur mereda. Perlahan Aidan memandangku, “Mamah nanti pulang ke rumah? Mamah nanti bobo disini sama Idan? Di rumah sini lagi? Iya?”

Aku mengangguk. “Iya ini kan rumah Mamah, Papi sama Idan. Kalau gak kesini, Mamah mau tidur di mana dong?” Gantian aku yang melengkungkan bibir ke bawah.

Aidan mengangguk paham dengan cengiran lebar. “Jadi Mamah enggak pergi lama-lama kan?”

“Iya.” “Cuma sebentar doang kan?” Ia memastikannya lagi. Alah, insecure-an amat, haha.

“Iya, Sayang.” “Kalo gitu Mamah boleh pergi sama Papi!” “Oke, makasih ya, Nak. Tapi Idan denger Mba Erna di rumah ya. Nanti weekend main ke rumah Oma, Putra ke Jakarta.”

“Asiiiik! Idan boleh main game berapa lama, Mah?”

“Satu jam tiga puluh menit.” “Oke!” Ia menyahut penuh semangat. “Dan, satu lagi.”

“Apa, Mah?” “Masih ngambek sama Papi nggak? Kasian Papi kan pulang kerja, mau istirahat, kangen sama Idan.”

“Hmm...” Aidan mengetukkan telunjuknya di bibir. “Sebenernya Idan udah enggak marah, cuma Idan takut Papi bohongin Idan. Jadi tadi Idan nangis terus ngambek sama Papi.”

“Berarti sekarang, Papi udah boleh bobo disini?” Aidan mengangguk, “Tapi Papi bobonya di sebelah sini, nanti Idan kejepit kalo Papi ditengah. Soalnya Papi kaya beruang, badannya gede.”

“Heeeey, gak boleh gitu Idan.” Aku tak dapat menahan tawa kala Aidan meledek Jordy. Tapi ternyata suamiku mendengar pembicaraan kami. ia berdiri di ambang kasur, lalu membanting tubuhnya di sebelah Aidan kemudian menggelitik perutnya sampai anak itu terpingkal-pingkal.

“Mana yang tadi ngambek sama Papiiiii? Mana anaknya? Mau Papi hap hap hap!” canda Jordy sambil membunyikan perut Aidan. Aku di sebelah mereka tertawa kecil sekaligus menahan haru menyaksikan Jordy si kaku ternyata bisa berubah menjadi sosok ayah yang hangat nan penyayang seperti ini.

“Maaaah, Papiii Maah,” adu Aidan padaku.

“Stop, Mas Jordy, nanti Idan muntah.” Aku mengingatkan.

“Dan, Papi sama Mamah boleh jalan jalan berdua nggak?”

Pertanyaan itu langsung mengerucutkan bibir Aidan. Daksanya menatap saya datar. “Kenapa Idan nggak boleh ikut?”

Saya nyaris tertawa ketika anak itu melipat kedua tangannya di dada, seakan saya adalah bawahan yang sedang minta izin cuti pada bos. Mukanya tengil sekali, persis sama saya kalau sedang menjahili Mentari.

“Bukan gak boleh ikut, tapi Papi ada kerjaan yang mengharuskan Mamah ikut, nemenin Papi.”

“Kerjaannya megang-megang kamera itu?” interogasinya. Saya mengangguk. “Iiiiiih, Idan mau ikut, Papiiii! Mauuuuu!”

“Nak, kan kamu sekolah.” “Ya udah Idan izin sama Mr. Egi, mau nemenin Papi kerja juga.”

“Nanti kamu dimarahin sama Pak Guru.” “Tapi Idan mau ikut, Papiiii.”

“Kalau udah gede baru boleh megang kamera.” Anak itu tiba-tiba tersenyum, seakan mendapatkan ide cemerlang. Ia mendekat ke saya, kemudian memelankan suaranya. “Papi, adek udah ada belum di perut Mamah?”

Saya termangu, “Tumben.”

Teringat apa yang Mentari sampaikan pada saya tentang Aidan yang mendadak menanyakan adiknya, seperti orang menagih hutang.

“Belum ada, Dan.” “Aaaah,” ia merengut kecewa. “Kenapa?” tanya saya lebih lanjut.

“Idan mau cepet gede, Papi. Kata Nono, punya adik bikin kita jadi cepet gede. Kita jadi urusin adek, terus kasih susu adek, bikinin adek minum. Jagain adek sampe tidur. Kayak Mamah kalo lagi nemenin Idan belajar sampe Idan ketiduran. Kayak orang gede kan Pi?”

Sontak saya menggaruk pelipis yang tak gatal. Dari mana anak sekecil Aidan berpikiran seperti ini? Ya, memang sih kegiatan itu akan dilakukan ketika nanti Mentari sudah mewujudkan keinginan Aidan untuk memiliki adik. Tapi bukan berarti tugas itu membuatnya menjadi dewasa.

Sayapun hanya tertawa mendengar ocehan Aidan, lalu duduk di sebelahnya. “Ya...itu namanya Aidan bantu Papi dan Mamah jagain adik, bukan bikin Idan jadi orang dewasa. Ada prosesnya. Sekarang Idan udah bisa dibilang gede kok. Apa-apa nyiapin sendiri kan? Mamah hanya ngawasin Idan. Gak kaya dulu apa-apa maunya disiapin Mamah?”

Aidan mengangguk. “Jadi Idan udah gede, Pi? Idan udah boleh megang kamera?”

“Udah lumayan gede, tapi belum seperti Papi ataupun Mamah.”

“Kalo kayak Papi sama Mamah, nanti bisa kayak dulu lagi gak Pi?”

Saya mengernyit bingung. “Maksudnya?”

“Mamah pergi dari rumah, terus nggak bobo sama Idan sama Papi.”

“Eh, nggak. Nggak gitu. Mamah sama kita, Dan. Yang itu gak usah diinget ya?”

“Jadi Papi sama Mamah mau pergi berdua karena bakal anter Mamah ke Yogya, terus Papi pulang kesini sendiri tanpa Mamah?” Air mukanya tiba-tiba kecewa. Pelupuk air di matanya tumpah.

“PAPI NAKAAAAL! Gak boleh tidur sama Mamahnya Idan!!!!” Ia berlari sambil meraung dan membuka pintu. Astaga masih usia sembilan tahun, anak ini ternyata begitu terluka dengan perpisahan kami. Maafkan Papi, kalau sempat membuat Aidan kecewa.

“Kenapa Aidan? Kok nangis gitu?” tanyaku ketika membuka pintu. Anak itu langsung berlari dan langsung memelukku,

“Maamaaaah, Idan diajakin nonton sama Papi, terus... terus... ceritanya sedih. Mamahnya pergi, ga pulang lagi, huaaaaaaaaaaa...” adunya

Usut punya usut, ternyata Jordy memilihkan film kartun untuk Aidan.

Bener sih kartun, namun Jordy lupa kalo film yang diputarnya ternyata begitu tragis dan menyedihkan. Tentang sepasang kakak beradik yang terpaksa melindungi diri dari perang dunia kedua. Orang tua mereka telah tiada karena menjadi korban jarahan.

“Kartun, Yang. Kartun.” Tatapan Jordy terarah padaku, berharap aku membelanya.

“Apa?” “Studio Ghilbi, Grave of Lies.” Hembusan nafasku terhela saat kubaca cerita menyayat hati itu. Pantesan aja Aidan sampe mewek begini.

“Udah, sini-sini sama Mamah. Jangan nangis ya... Mamah ga kemana-mana, Mamah sama Idan dan Papi.”

“Dan,” ujar Jordy di sebelahku. “Papi sama Mamah kan sama-sama terus. Mamah gak balik Jogja, Mamah sama kita di sini. Idan udahan dong, Nak, nangisnya..”

Anak itu cuma memandang aku dan papinya secara bergantian sambil terisak. Namun jelas binar di matanya meredup, seolah dihimpit rasa takut dan cemas tentangku yang mungkin saja akan pergi.

“Mamah sayang Idan, oke? Mamah is here.” Ia memelukku erat.

“Idan apa yang masih dirasa? Sedih?” Aidan mengangguk. “Idan nggak mau bobo sendiri, Idan mau bobo tapi dipeluk Mamah.”

Aku terpaksa menahan tawa sambil menenangkan Aidan, kulihat Jordy cuma bisa memandang kami pasrah, membiarkan Aidan sekali lagi menjadi penguasa ranjang.

“Ya udah, ayo. Sini bobo sama Mamah.” “Papi juga.” Aidan menyelipkan tangannya sendiri di balik telapak sang ayah.

“Iya... Hari ini Idan mau dibacain buku cerita sama Mamah, atau Papi?”

“Papiiii!” “Oke.”

Ungkapan learn from mistakes ternyata berat bagi saya untuk dijalani. Namanya juga manusia, punya dosa, bisa lupa dan khilaf.

Baru sehari saya dan Mentari kembali ke rumah, kami sempat cekcok hanya karena ia masih menemukan sprei pink yang sering dipakai Kirana.

Dia menangis lagi dan begitu seterusnya. Tapi kali ini, saya memang salah, karena lalai dan belum terlalu mengenalnya. Sekian lama kami berpisah dan mencoba menyatukan pribadi yang terlalu beda, bohong rasanya kalau bilang hal itu mudah.

Buktinya adalah Mentari yang sempat menolak sekamar dengan saya. Ia merasa bahwa saya tidak serius dengannya. Saya cuma memintanya kembali karena ingin Aidan mempunyai sosok ibu sempurna.

Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Saya mencintai Mentari dengan segala lebih dan kurangnya. Cuma saja karena terlalu memikirkan cara agar dia mau menerima saya lagi, ya—saya akui—fokus saya pecah. Ditambah Mentari memang sering memasang sprei itu setiap ia tidur di kamar.

Dan ternyata alasannya sangat menyakitkan untuk dia.

“Waktu kita baru nikah, kamu bilang kamu pengen sprei itu dipasang terus supaya kamu ngerasa mendiang ada di sebelah kamu.”

Saya cukup terkejut saat Mentari melontarkan kalimat itu. Sialnya, saya tidak sadar karena saya mengatakan padanya dalam kondisi mabuk.

Kala itu memang benar, saya masih begitu dihantui rasa bersalah pada Kirana. Saya juga ingin melepas semua perasaan saya dari Almarhumah, namun rasanya saat itu saya tak mampu. Banyak yang mesti saya sesuaikan, dan saya sadar kalau saya begitu melukai Mentari karena hal ini.

“Ri, maafin saya,” ujar saya sebisa mungkin. Dengan muka yang memerah dan mata sembab, Mentari meninggalkan saya di kamar. Ia tidur bersama Aidan di sebelah.

Namun ketika malam, saya menyusul, memeluknya dari belakang.

Sisa air matanya masih merebak. Saya bisa pastikan bahwa hari itu dia sangat kecewa terhadap saya. Merasa dibohongi, sudah pasti. Ia bahkan mengusir dan memaksa saya untuk keluar kamar.

“Keluar, Mas. Kita jangan liat muka dulu deh, aku ga mau Idan bangun. Aku butuh waktu,” katanya.

Saya hanya bisa berpasrah saat Mentari kembali berkeras diri. Dengan mengenyam nasihat Bulik Ratih, saya membujuk Mentari walau sangat sulit.

Hari-hari rapat dengan karyawan baru menjadi tak fokus, bahkan ketika kembali ke rumah, Mentari mengunci mulutnya. Dia cuma mau mengajak Aidan bicara.

Sampai Renjana membocorkan rahasia pada Mentari. Ia membeberkan alasan saya selalu pulang larut dan makan sembarangan.

Dia membuka pintu dengan tangis yang lebih keras dibanding waktu kami bertengkar. Beribu maaf ia sampaikan. Sambil terisak, Mentari bilang bahwa ia tak pernah tahu soal fakta ini. Dan memang saya sengaja menyembunyikan posisi saya yang sekarang, karena takut kecemasan Mentari meningkat.

Gara-gara red bulls itu.

“Pokoknya kamu harus janji sama aku, jangan pernah minum red bulls sebanyak itu lagi. Ngopimu kuat, Mas. Kamu sayang gak sih sama Idan dan aku? Sayang nggak?”

“Sayang, Ri... Sayang banget. Saya sayang dan cinta sama kalian berdua.”

“Ya udah, tapi jangan begini lagi, Mas... Aku nggak mau kamu kenapa-napa. Kerjaan kamu bakalan lebih capek daripada di PH?”

“Ya... Chairmain, pasti agak sedikit lebih berat, walaupun gak berat-berat amat.”

“Mas... tuh kan kamu mah,” dengusnya. Saya cuma bisa tertawa pasrah, “Ri, I'm doing this karena cita-cita saya emang mendirikan PH. Dan kenapa PH itu akhirnya saya kasih ke Jenan, cause he is trusted. Bukan berarti saya melepas semua impian saya. I give it to the right person. Dia jadinya sister company gitu, masih dibawah kepemilikan saya. Tapi yang pegang Jenan.”

“Kamu nggak usah ngerasa bersalah semua karena kamu, saya gini gara-gara kamu. No. Saya justru emang pengen lebarin PH yang kecil itu,” terang saya panjang lebar. Mentari akhirnya mengangguk paham lalu memeluk saya erat.

“Maaf ya, aku cengeng terus.” “Udah dari sananya. Nangis berapa lama?”

“Satu setengah jam,” katanya mengaku.

“Nangis tuh ga nyelesein masalah, Ma. Kalo diobrolin begini lebih enak, plong.”

Ia mengangguk lagi. “Makasih ya, Pap.”

“Iya, sama-sama, Ma,” balas saya seraya memeluknya erat.

“I love you, Papi.” “Remarried?”

“Baca dong surat dari aku,” ia menyerahkan sepucuk surat pada saya.

Begitu membacanya, saya tiada henti tersenyum. Jangan kira saya tidak memerhatikan betapa Mentari berusaha keras belajar bahasa Inggris. Saya selalu menemukan kamus saya tidak pada tempatnya, juga catatan kecil yang bertuliskan vocabulary.

“Nyontek google nih?” “Bisa nggak sihhh sehari aja kita nggak ribut?” protesnya.

“Tapi serius,” ujar saya menatapnya lekat. “You did a good job, Ma.”

“Thank you,” sahutnya. Saya menarik sebuah kertas dari kantung celana, menunjukkan padanya sebuah catatan kecil yang Mentari tulis.

“Kamu dapet dari mana?!” Kagetnya.

“Saya selalu merhatiin kamu belajar di situ, di dapur, di ruang belajar Idan. Tuh kepala sampe benjol kepentok ujung meja..”

“Duh, maluuuuu! Abis kan kamu tau, semua orang tua temen-temen Idan pada cas cis cus, aku doang planga plongo. Mereka mainnya di Senopati. Beda sama aku yang tongkrongan BKT berdua Chanting, hahahaha.”

“Kamu nih, bisaan aja. Anyway, you did a good job. After married, saya tes lagi ya...”

“Diiiihh?”

“Hahahah, anyway, saya pengen rebahan.”

“Sinilah.” Ia menepuk sisi kasur saya yang kosong.

“Bukan disitu...” “Terus di mana?”

“Let me tell you...” Saya membaringkan Mentari di ranjang, menciumnya sebentar mungkin akan sedikit mengejutkannya, tapi buat saya, hal itu seperti mengisi ulang daya baterai semangat saya dalam bekerja.

“Here.” “MAS?”

“Udah lama, ga jadi Aidan. Pengen lah sesekali aku kayak gini.”

“Aku?” Ia tampak terkejut “Kenapa emang?” balas saya bingung.

“No, kayak bukan kamu. Aku udah kebiasaan denger kamu pake “saya” jadinya aneh.”

“Malah makin aneh pas kita lagi ehem, aku rasanya kayak lagi begituan sama murid, padahal dosen juga bukan,” kata saya bercanda.

“Iya sih, hahaha. Tapi please—” Ya namanya juga saya, kalau sekali diizinkan, tangan ini tidak bisa diam.

“Jangan gitu, Papi...” Suara Mentari mengecil.

“Babe, you miss this huh?” “Abis married, baru boleh begini lagi!” Mentari cepat-cepat mengancing pakaiannya.

“Hahaha, okay Ma'am.” Saya menjawab dengan muka tenang, padahal aslinya frustasi.