257
“Udah suapan terakhir, Ri. Kenyang banget...” Jordy mengusap-usap perutnya di depanku, pipi tirusnya tak pelak langsung membuatku khawatir. Belum lagi, dia tampak seperti orang yang hidup segan mati tak mau, lantaran rambut serta kumisnya yang belum dicukur rapi. Bukan Jordy yang mampu menyihir wanita-wanita di luar sana dengan pesona flamboyannya.
“Ya udah, segitu aja,” kataku padanya seraya mengangkat piring kotornya.
“Laptopnya gak boleh dibalikin?” Tanpa peduli rengekannya sedari tadi, kutunjukkan aplikasi pemesan tiket pesawat online padanya. Air muka Jordy langsung panik sejadi-jadinya.
“Iya, iya. Gak kerja hari ini. Apalagi, saya harus ngapain, hari ini biar kamu gak marah lagi?”
Aku diam sejenak lalu kembali duduk di hadapannya. Menarik nafas dalam agar emosiku tak meletup seperti tadi.
“Istirahat,” kataku singkat. “Di kamar saya?”
“Ya bagus kalo kamu tau.” “Tapi saya nggak mau tidur sendiri.”
“Mas, kamu sadar nggak sih kita udah bukan suami-istri? Gak bisa kamu kayak gini terus, harus mandiri. Kalo aku balik ke Jogja siapa yang mau liatin kamu...” Agak sesak nafasku saat mengatakannya, dan entah kenapa rasanya aku ingin menangis untuk yang kesekian kali.
Jordy tak menjawab dan hanya mengangkat bahu. “Saya ke dalem dulu, ya.” Lelaki itu bangkit dari kursi, tanpa sepatah kata mesra atau terima kasih, ia bergegas masuk ke kamarnya. Secepat itu...Jordy mengubah keputusannya?
Hari-hariku di Bali menjadi mimpi buruk meski Jordy menamainya liburan. Semakin ke sini, aku sadar ada banyak ketidak-cocokan diantara kami, dimulai dari hal sederhana.
Kuperhatikan wajah Jordy juga semakin redup setiap kali kami habis bertengkar. Ia terlihat sangat lelah denganku hingga lebih banyak diam, dan menyendiri.
Sementara aku...yang biasanya bisa menahan sabar padanya, jadi meledak-ledak setiap saat. Padahal, aku tak ingin terus memarahinya seperti dua hari ini.
Aku termenung di ruang makan sendirian, meratapi kepedihanku sepulang kami dari “liburan” ini.
Apa... Jordy dan Aidan bakal baik-baik saja? Selalu keadaan mereka yang terus mengunci pikiranku. Sekesal apapun aku pada Jordy, sebenci-bencinya aku pada mantan suamiku...setiap kali ia menyendiri, aku selalu diliputi rasa bersalah. Mungkin ia mulai jera akan sikapku yang meledak-ledak, atau bisa juga... Jordy mulai menemukan penyesalan karena pernah menikah denganku.
—