noonanya.lucas

“Udah suapan terakhir, Ri. Kenyang banget...” Jordy mengusap-usap perutnya di depanku, pipi tirusnya tak pelak langsung membuatku khawatir. Belum lagi, dia tampak seperti orang yang hidup segan mati tak mau, lantaran rambut serta kumisnya yang belum dicukur rapi. Bukan Jordy yang mampu menyihir wanita-wanita di luar sana dengan pesona flamboyannya.

“Ya udah, segitu aja,” kataku padanya seraya mengangkat piring kotornya.

“Laptopnya gak boleh dibalikin?” Tanpa peduli rengekannya sedari tadi, kutunjukkan aplikasi pemesan tiket pesawat online padanya. Air muka Jordy langsung panik sejadi-jadinya.

“Iya, iya. Gak kerja hari ini. Apalagi, saya harus ngapain, hari ini biar kamu gak marah lagi?”

Aku diam sejenak lalu kembali duduk di hadapannya. Menarik nafas dalam agar emosiku tak meletup seperti tadi.

“Istirahat,” kataku singkat. “Di kamar saya?”

“Ya bagus kalo kamu tau.” “Tapi saya nggak mau tidur sendiri.”

“Mas, kamu sadar nggak sih kita udah bukan suami-istri? Gak bisa kamu kayak gini terus, harus mandiri. Kalo aku balik ke Jogja siapa yang mau liatin kamu...” Agak sesak nafasku saat mengatakannya, dan entah kenapa rasanya aku ingin menangis untuk yang kesekian kali.

Jordy tak menjawab dan hanya mengangkat bahu. “Saya ke dalem dulu, ya.” Lelaki itu bangkit dari kursi, tanpa sepatah kata mesra atau terima kasih, ia bergegas masuk ke kamarnya. Secepat itu...Jordy mengubah keputusannya?

Hari-hariku di Bali menjadi mimpi buruk meski Jordy menamainya liburan. Semakin ke sini, aku sadar ada banyak ketidak-cocokan diantara kami, dimulai dari hal sederhana.

Kuperhatikan wajah Jordy juga semakin redup setiap kali kami habis bertengkar. Ia terlihat sangat lelah denganku hingga lebih banyak diam, dan menyendiri.

Sementara aku...yang biasanya bisa menahan sabar padanya, jadi meledak-ledak setiap saat. Padahal, aku tak ingin terus memarahinya seperti dua hari ini.

Aku termenung di ruang makan sendirian, meratapi kepedihanku sepulang kami dari “liburan” ini.

Apa... Jordy dan Aidan bakal baik-baik saja? Selalu keadaan mereka yang terus mengunci pikiranku. Sekesal apapun aku pada Jordy, sebenci-bencinya aku pada mantan suamiku...setiap kali ia menyendiri, aku selalu diliputi rasa bersalah. Mungkin ia mulai jera akan sikapku yang meledak-ledak, atau bisa juga... Jordy mulai menemukan penyesalan karena pernah menikah denganku.

Firasatku benar. Jordy tiba-tiba demam hingga suhu tubuhnya naik hingga 38,2. Kurasa ia telah menahannya dari lama, dan akhirnya tumbang karena terus diforsir.

Hancur hatiku kala harus melihat Jordy berbaring lemah di ranjang.

Sebab, ini pertama kali aku Jordy yang yang jarang sakit itu terkapar lemah begitu saja. Apalagi ia cukup menjaga makanannya.

“Jangan kemana-mana...” lirihnya sambil terus menggengam tanganku.

“Aku mau bikin bubur dulu, Mas.Nanti aku kesini lagi.”

Ia menggeleng, memberi isyarat agar aku tetap berada di sebelahnya. “Bentar doang, kamu kan harus minum obat.”

“Sebentar doang?” “Iya, Mas Jordy.” “Kamu... nggak akan diem-diem pergi ke Jogja kan?”

Astaga, pertanyaan itu adalah pertanyaan yang sama yang Aidan lontarkan padaku saat ia berada di rumah Bulik.

“Nggak, Mas Jordy.” Aku mengusap dahinya agar dia lebih tenang. “Sebentar ya..”

“Ri...” “Apalagi, aku pergi cuma bentar—”

“Maafin saya...” tangisnya tiba-tiba pecah. “Maafin... saya salah sama kamu..”

Aku menghela nafas pelan, sadar bahwa mungkin ada sikapku yang salah kepada Jordy hingga membuatnya drop seperti ini.

“Aku udah maafin kamu, Mas Jordy.” “So we can be back together?” tanyanya dengan wajah penuh harap.

“Nggak bisa, Mas. Kita lebih baik begini, gak saling nyakitin.” Aku melepas genggamannya.

“I love you so much, Ri... Please...” mohonnya seraya mengecup seluruh tangan hingga telapakku.

“Mas Jordy.” Aku memeluknya erat. “Kamu istirahat aja dulu ya, gak usah mikir yang lain-lain. Aku masakin sebentar.”

“Pesen aja. Saya maunya kamu disini. Gak tau kapan lagi bisa kayak gini, ya, Ri, ya?” lirihnya.

“Ya udah, aku pesenin dulu. Tapi harus dihabisin, gak boleh sisa makanannya.”

“Suapin kayak waktu mau berangkat ke Bali,” pintanya masih dengan nada memohon. Sungguh persis seperti Aidan jika sedang sakit. Kalau kujawab, dia sudah bangkotan dengan kondisinya yang menyedihkan ini... bisa-bisa aku kena marah lagi. Jadi, biarlah sesekali ia bersikap seperti anaknya.

Asal jangan keterusan, kalau suatu saat Jordy memutuskan menikah lagi...Belum tentu pacar barunya bersedia menyuapinya.

“Suapin...” Genggam Jordy pada tanganku.

“hhhhhhh, iya—”

Jordy tersenyum lebar, mengelus puncak kepalaku dengan tangan satunya.

Ternyata firasatku benar.

Jordy demam hingga subuh tubuhnya mencapai 38,2 derajat. Badannya gemetar, bibirnya pecah-pecah dan memucat Hancur hatiku kala harus melihat Jordy berbaring lemah di ranjang.

Pasalnya, dalam sejarah aku mengenal Jordy, ini pertama kali aku melihatnya sakit.

Dia tergolong orang yang jarang drop, apalagi makanannya selalu terjaga, karena Jordy hanya mengonsumsi makanan sehat.

“Jangan kemana-mana...” lirihnya sambil terus menggengam tanganku.

“Aku mau bikin bubur dulu, Mas. Nanti aku kesini lagi.”

Dia tersenyum kecil, “sekarang panggil saya 'Mas' lagi? Udah gak marah, ya?”

Aku menghela nafas, mengiyakannya. Lagipula, siapa yang tega marah kalau Jordy dalam kondisi seperti ini. “Sebentar doang Mas Jordy, kamu kan harus minum obat.”

“Bener? Kamu gak akan diem-diem kabur dari villa terus langsung terbang ke Yogya kan?” Pertanyaan yang sama yang selalu dilontarkan Aidan saat ia tidur di sebelahku waktu itu. Aidan memang nurun Jordy banget, sih.

“Nggak, Mas Jordy.” Aku mengusap dahinya agar dia lebih tenang.

“Ri...” “Apalagi, aku pergi cuma bentar—”

“Maafin saya...” tangisnya tiba-tiba pecah. “Maafin... saya salah sama kamu..”

Aku menghela nafas pelan, sadar bahwa mungkin ada sikapku yang salah kepada Jordy hingga membuatnya drop seperti ini.

“Aku udah maafin kamu, Mas Jordy.” “And so we can be back together?” tanyanya dengan wajah penuh harap.

“Nggak bisa, Mas. Kita lebih baik begini, gak saling nyakitin.” Aku melepas genggamannya.

“I love you so much, Ri... Please...” mohonnya seraya mengecup seluruh tangan hingga telapakku.

“Mas Jordy.” Aku memeluknya erat. “Kamu istirahat aja dulu ya, gak usah mikir yang lain-lain. Aku masakin sebentar.”

“Pesen aja. Saya maunya kamu disini. Gak tau kapan lagi bisa kayak gini. Please, Ri...” lirihnya.

“Ya udah, aku pesenin dulu. Tapi harus dihabisin, gak boleh sisa makanannya.”

“Suapin kayak waktu berangkat ke Bali,” pintanya dengan nada memohon. Aku berdecak heran karena tingkahnya tiba-tiba persis sekali dengan Aidan.

Bener-bener gak buang. Kalau Aidan, aku masih bisa maklum. Tapi buat Jordy yang usianya lima tahun mendatang akan berada di kepala 4, aku cukup surprise, saking jarangnya melihat ia menjadi dua kali lebih manja kayak gini.

“Suapin...” “hhhhhhh, iya—”

Jordy tersenyum, mengelus kepalaku.

“Kok muka kamu merah gitu ya?” Keluar dari kamar, kulihat wajah dan telinga Jordy memerah tanpa sebab. Apa mungkin dia ada alergi terhadap sesuatu?

“Nggak apa-apa, tadi di dalem belum nyalain AC. Tau sendiri kan, Bali.”

Alasannya memang cukup bisa kuterima dengan akal sehat, namun entah mengapa aku merasa Jordy sedang menutupi sesuatu, karena aroma nafas yang tercium olehku tidak sesuai dengan alasan yang ia sampaikan.

“Jangan bilang kamu nge-wine ya di kamar,” tudingku saking hapal dengan kebiasaannya.

Ia mengelak, dan langsung menyantap makanannya, tanpa cuci tangan, membuatku tak tahan diri dan segera menarik tangannya dari makanan di meja.

“Tangan kamu kok panas gini?” “Panas gimana?”

“Kamu demam?” Ia hanya menatapku sesaat tanpa menjawab pertanyaanku. “Jor, aku nanya. Kamu sakit?”

“Enggak, cuma capek aja.” Cuma capek aja, menurutku adalah jawaban tersirat yang ingin Jordy katakan padaku. Ia pasti sedang sakit, namun tak berani bilang padaku dengan alasan yang bisa kubilang cukup cliche—tidak ingin mengacaukan hari ulang tahunku.

Tapi kalau kondisinya begini, Jordy bukannya mengacaukan hari bahagiaku, namun membuatku kembali dihujami rasa bersalah karena memforsirnya terlalu jauh.

“Makan di kamar aja kalo gitu,” kataku.

“Kok di kamar? Ngapain? Di sini aja.”

“Aku mau ngukur suhu tubuh kamu, ini kamu demam. Masa gak berasa? Atau emang kamu pura-pura nggak tau?” tandasku tanpa ampun.

“Ke kamar dulu, nanti aku ambilin makanannya. Laptop tinggal di sini, biar aku beresin.”

“Nggak usahlah, ngapain sih kamu beres-beresin ginian? Biar saya bawa aja ke kamar sendiri,” kekeuhnya. Terserah deh ya, jika dia protes besar-besaran tentang aku yang keras kepala, apa dia nggak ngaca? Dia jauh lebih keras kepala dibanding aku. Sudah sakit, masih memaksa diri.

“Terserah kamu aja deh enaknya gimana. Sekarang ke kamar dulu, istirahat. Gak usah mainan laptop atau buka kerjaan.”

Ia mengangguk sambil berjalan ke kamar...ku?

“Kamar kamu di depan, jangan di kamarku—”

Slap! Jordy memang akan selalu menjadi Jordy yang bertindak sesuka hati dan hobi menguras emosiku. Ia dengan santainya masuk ke kamar, tanpa izin.

Sayangnya aku sudah tak punya tenaga lagi untuk beradu mulut dengannya setelah sehari penuh dia cari perkara.

“Bener ga liat apa-apa?” Belum ada sedetik Mentari duduk, saya langsung bertanya.

Bukan apa-apa, setelah mendengar penjelasan Jordan, saya langsung khawatir. Takut Mentari melihat sesuatu yang tidak seharusnya ia lihat.

“Nggak ada,” jawabnya sambil menatap jalan raya.

“Kalo diajak ngomong tuh liat orangnya langsung, jangan liat jalan raya,” tegur saya tegas.

“Aku beneran gak liat apapun, kamu aja khawatiran,” jelasnya acuh.

“Kamu nutup-nutupin terus.” “Apa yang mau aku tutupin? Orang ga ada apa-apa di rumah Kak Jordan,” jawabnya tak mau kalah.

“Tapi seenggaknya kasih tau, jangan diem-diem aja, Ri.” “Kamu gak percayaan banget deh,” gerutunya sebal.

Mungkin benar...saya hanya terlalu mencemaskan Mentari. Karena semenjak kejadian mengerikan itu, saya jadi punya ketakutan sendiri mengenai Mentari yang sering mengalami gangguan.

“Kamu ga denger apa-apa juga?”

Ia lantas menggeleng, lalu fokus mengetik sesuatu di ponselnya. Apa dia sedang mengadu pada Jenan kalau sikap saya menyebalkan? Atau ke Renjana?

“Jenan? Renjana?” Ia langsung menoleh, menunjukkan ponselnya. “Chanting.”

“Dia bilang apa sama kamu? Komennya di IG saya bikin followers rusuh. Lain kali bilang sama temen kamu, gak usah ikut campur urusan kita.”

“Aku barusan minta dia take down komennya di IG kamu. Aku tau dia kalo bercanda emang agak nyeleneh. Sebelum kamu makin marah, dia udah take down duluan, ga sampe sedetik.”

Saya geleng kepala heran. “Temen dari mana sih dia itu? Celamitan banget.”

“Bahkan sampe temenan sama siapa, kamu harus urus juga?” decihnya sarkas.

“Ya bukan gitu maksud saya, tapi seenggaknya kamu kalo cari temen tuh yang baik.” “Dia baik banget. Kalau nggak ada dia, mungkin kamu gak akan liat aku sekarang.”

“Maksud kamu ngomong gitu apa ya?” “Kalo ga ada Chanting, bisa-bisa kamu ketemu aku di kuburan.”

Rahang saya mengeras seketika. Sengaja saya hentikan mobil di pinggir jalan untuk mengajaknya bicara empat mata.

“Sengaja ngomong kayak gitu?” sengit saya. “Apa sih—”

“JAWAB!” Untuk kali ini, saya benar-benar lepas kendali.

Nada saya meninggi dengan sendirinya, dan begitu intonasi saya naik, Mentari langsung menangis gemetar. I could loss her again, but this time...She's just too much.

“Aku cuma gak mau kamu ngatur sampe sebegininya, Jordy. Aku temenan sama siapa aja, harus kamu bilang kayak gitu? Dan emang bener.. setelah pisah dari kamu dan aku di ruqyah, cuma Chanting sama Renjana yang dampingin aku. Chanting bahkan sampe libur jaga warung tantenya buat nemenin aku ruqyah. Kalo ga ada dia, aku gak bakal sanggup lagi. Sakit, capek, jadi satu. Terus kamu...”

”...Kamu bisa-bisanya bilang dia nggak baik? Apa karena temen-temenku ga sekelas sama circle kamu? Aku harus nyesuaiin diri kayak gimana lagi?!” isaknya tersedu-sedu.

Racauannya membuat saya kembali terperosok dalam lubang kesalahan. Maksud saya menegurnya, karena kesal dengan jawaban yang ia lontarkan, dan sama sekali bukan mau menghina Chanting, sahabatnya.

“Ri, I'm sorry, okay? I'm really sorry. I'm sorry, Sayang. Maaf...” Saya melepas seatbelt dan mencoba untuk memeluknya, namun ia mendorong tubuh saya sekuat tenaganya.

“Ri...saya cuma gak mau kamu ngomong kayak tadi. Saya gak suka jawaban kamu. Kamu kan tau saya juga ada trauma sama kehilangan, you should know that.”

Ia tak memberi jawaban apapun, dan hanya terus mengusap air mata yang berjatuhan. Sementara saya cuma bisa merutuki kebodohan yang lagi-lagi saya lakukan di hari ulang tahunnya.

Acara yang saya tunggu-tunggu, boleh dibilang berhasil hanya sembilan puluh persen, karena sesampainya di rumah Jordan, saya dan Mentari hanya berkemelut dengan pikiran masing-masing.

Ia langsung menyapa istri Jordan dan mengajak Putra, anak Jordan bermain bersama Aidan.

Sisanya kami berjauhan. Mungkin Mentari sengaja mengambil jarak dari saya pasca keributan kecil kami di mobil.

Kue yang saya pesan melalui Jordan sukses diberikan pada Mentari. Ia menerimanya dengan senyum tulus, entah itu untuk kuenya atau saya sebagai orang yang menghadiahkan kue itu padanya.

Yang jelas, di hari bahagia Mentari, setidaknya saya sedikit berhasil membuatnya tersenyum.

“Happy birthday, Mamaaaaah!” Aidan memeluk Mentari erat dan langsung disambutnya dengan pelukan yang sama.

“Makasih anak Mamah yang soleh, ganteng dan baik,” sahut Mentari seraya mengusap rambut legam Aidan. Satu per satu, mulai dari Jordan, istrinya dan Putra, menyalami Mentari, sementara saya berada di pojok ruangan sambil memerhatikan Mentari dari jauh.

“Ody! Sini lah, masa dipojokan?” Jordan memanggil tanpa tahu situasi. Saya pun maju perlahan, namun tak berani berdiri di sebelah Mentari, karena tahu kami masih sama-sama diliputi emosi.

“Foto bertiga dulu dong, Jordy, Idan sama Mentari,” usul istri Jordan yang telah siap dengan ponselnya.

“Nggak usah, biar Idan sama Riri aja—” “Papiii, ayo foto bareng, pleaseeeee.” Mendengar bujukan Aidan, saya segera memastikan pada Mentari melalui tatap mata dan syukurnya, ia mengangguk cepat dan langsung foto bersama.

“Idan mau potong kue, Mamah, terus suapin Mamah abis itu Papi suapin Mamah!” cetus Aidan tak ingin dibantah.

“Nggak usah, Dan. Kuenya Idan suapin ke Mamah aja, gak usah ke Papi,” tolak saya.

“Nggak mauuu, Papi harus suapin Mamah!” Jordan dan istrinya yang menatap Aidan, melirik saya, mengisyaratkan agar saya mau mengabulkan permintaan Aidan.

“Boleh?” tanya saya pada yang sedang bertambah usia. Ia memandang saya sesaat dan kembali memberi jawaban lewat anggukkan.

Lantas, ketika Mentari memberi lampu hijau, kue yang sudah Aidan potong, separuhnya saya suapkan pada Mentari. Jarak kami mendekat, dan saya tak mau melewatkan momen tersebut begitu saja.

“Happy birthday, Matahari,” bisik saya di telinganya. Dalam hitungan detik, saya mengecup puncak kepalanya, hingga Mentari tampak terkejut ketika saya berani melakukan hal itu. Namun syukurlah, Mentari tidak menghempas tangan saya lekas-lekas.

“Makasih, Mas Jordy.” Ia membalas dengan sangat cepat, tapi saya masih bisa mendengar dengan sangat jelas bahwa Mentari kembali memanggil saya dengan sebutan sayangnya. Setelah satu sebutan itu, senyum di wajah saya tiada henti merekah. Walau ke depannya, saya tidak tahu apa keputusan Mentari, tapi bagi saya hal ini adalah kemajuan yang baik.

“Mamah, Idan pengen bobo bertiga.” Aku cukup terkejut ketika Aidan mengatakan keinginannya. Selama dua hari di sini, Aidan selalu ingin tidur denganku, bak paham kalau ada sesuatu yang terjadi diantara aku dan Jordy. Tapi sebelum berangkat ke acara Jordan, Aidan berkata pelan seraya menatapku dengan pandangan memohon.

“Yah, Mah, yah?” Ia menggerakkan tanganku. Jordy yang sedang menyetir lantas melirikku dan Aidan.

“Dan, katanya udah gede, masa masih minta bobo bertiga?”

“Ya abis, Idan kangen dipeluk Papi Mamah kalo tidur di tengah. Bobo sendiri enggak enak, ga ada yang bacain buku cerita,” sahut Aidan sambil melipat tangan.

“Kan bacanya bisa kapan-kapan, Dan...” “Ya nanti Papi bacain deh.”

“Papi bacain ga seru, ga ada intonasinya. Muka Papi juga gitu-gitu aja, huh.”

“Mamah, besok abis nginep di rumah Putra, bobo bertiga ya, Maaah... Pleaseeeee...” Aidan kembali mengeluarkan jurus andalannya. Merengek dengan muka menggemaskan.

“Dan, jangan aneh-aneh deh, ya. Papi udah bilang berapa kali sama Aidan? Udah besar, udah mau kelas empat, harus berani tidur sendiri.” Usai mengomel, dari kaca spion, Jordy melirikku sesaat dengan daksanya yang seolah berkata Idan kayak gini karena kamu terlalu manjain dia

“Tapi, Idan maunya bobo bertiga!!!” Suara lantang Aidan membuat Jordy kembali menatapnya sengit. Tak usah lama menunggu, Aidan langsung mengadu padaku sambil terisak.

“Mamaaaaaaah! Papi, Maaaaah!” “Dan, udah.. udah... Jangan nangis. Nanti Mamah temenin bobo, ya? Mau baca buku apa hari ini?” bujukku padanya. Tapi yang namanya Jordy Hanandian dan segala kekukuhannya melarang Aidan tidur bersama, membuat anak ini kian menangis.

“Terusin ya, Idan. Terusin,” ancamnya. “Bisa nggak sih, kamu gak usah ngomong gitu ke anaknya?” Aku angkat bicara.

Ia tersenyum remeh kemudian menjawab, “biar dia belajar tentang situasi kita, Ri. Pelan-pelan dia mesti ngerti kalo kita udah gak sama-sama.”

Air mataku lantas terjatuh detik itu. Jordy membuatku dihujam rasa bersalah pada Aidan. Aku ngerti, aku paham akan maksud Jordy. Tapi haruskah ia membuat anaknya menangis saat sedang libur begini?

“Kamu minta saya jelasin. Ya ini, I do it my way.” Gantian aku yang meliriknya kesal. “Harus banget pas lagi liburan gini, Jor? Liat, Idan sampe sedih kayak gitu.”

“You said you want it, saya lakuin sekarang gantian kamu marah-marah sama saya.”

“Gak gitu caranya, Jordy...” “Terus? Kamu mau kita bohongin dia terus? Gak bisa gitu, Ri.”

Aku tak lagi menjawab debatannya karena terlalu lelah dengan semua pertahanan yang ia lakukan. Kami sama-sama diam setelah itu. Memang sejak pagi, mood Jordy entah mengapa sedang tidak baik, kecuali saat ia memberikan kue ulang tahun padaku. Sesudah itu, ia kembali menjadi Jordy yang kukenal di awal perkenalan kami.

Jordy yang dingin dan hobi marah. Aku tahu, sebagian besar mungkin karena aku yang berkali-kali menolak ajakannya untuk kembali. Dan mungkin juga, Jordy sedang ada di titik terendah dalam hidupnya. Antara ingin memberikan yang terbaik untuk Aidan, namun kita sama-sama gagal dalam hal itu.

“Mamah, Idan pengen bobo bertiga.” Aku cukup terkejut ketika Aidan mengatakan keinginannya. Selama dua hari di sini, Aidan selalu ingin tidur denganku, bak paham kalau ada sesuatu yang terjadi diantara aku dan Jordy. Tapi sebelum berangkat ke acara Jordan, Aidan berkata pelan seraya menatapku dengan pandangan memohon.

“Yah, Mah, yah?” Ia menggerakkan tanganku. Jordy yang sedang menyetir lantas melirikku dan Aidan.

“Dan, katanya udah gede, masa masih minta bobo bertiga?”

“Ya abis, Idan kangen dipeluk Papi Mamah kalo tidur di tengah. Bobo sendiri enggak enak, ga ada yang bacain buku cerita,” sahut Aidan sambil melipat tangan.

“Kan bacanya bisa kapan-kapan, Dan...” “Ya nanti Papi bacain deh.”

“Papi bacain ga seru, ga ada intonasinya. Muka Papi juga gitu-gitu aja, huh.”

“Mamah, besok abis nginep di rumah Putra, bobo bertiga ya, Maaah... Pleaseeeee...” Aidan kembali mengeluarkan jurus andalannya. Merengek dengan muka menggemaskan.

“Dan, jangan aneh-aneh deh, ya. Papi udah bilang berapa kali sama Aidan? Udah besar, udah mau kelas empat, harus berani tidur sendiri.” Usai mengomel, dari kaca spion, Jordy melirikku sesaat dengan daksanya yang seolah berkata Idan kayak gini karena kamu terlalu manjain dia

“Tapi, Idan maunya bobo bertiga!!!” Suara lantang Aidan membuat Jordy kembali menatapnya sengit. Tak usah lama menunggu, Aidan langsung mengadu padaku sambil terisak.

“Mamaaaaaaah! Papi, Maaaaah!” “Dan, udah.. udah... Jangan nangis. Nanti Mamah temenin bobo, ya? Mau baca buku apa hari ini?” bujukku padanya. Tapi yang namanya Jordy Hanandian dan segala kekukuhannya melarang Aidan tidur bersama, membuat anak ini kian menangis.

“Terusin ya, Idan. Terusin,” ancamnya. “Bisa nggak sih, kamu gak usah ngomong gitu ke anaknya?” Aku angkat bicara.

Ia tersenyum remeh kemudian menjawab, “biar dia belajar tentang situasi kita, Ri. Pelan-pelan dia mesti ngerti kalo kita udah gak sama-sama.”

Air mataku lantas terjatuh detik itu. Jordy membuatku dihujam rasa bersalah pada Aidan. Aku ngerti, aku paham akan maksud Jordy. Tapi haruskah ia membuat anaknya menangis saat sedang libur begini?

“Kamu minta saya jelasin. Ya ini, I do it my way.” Gantian aku yang meliriknya kesal. “Harus banget pas lagi liburan gini, Jor? Liat, Idan sampe sedih kayak gitu.”

“You said you want it, saya lakuin sekarang gantian kamu marah-marah sama saya.”

“Gak gitu caranya, Jordy...” “Terus? Kamu mau kita bohongin dia terus? Gak bisa gitu, Ri.”

Aku tak lagi menjawab debatannya karena terlalu lelah dengan semua pertahanan yang ia lakukan. Kami sama-sama diam setelah itu. Memang sejak pagi, mood Jordy entah mengapa sedang tidak baik, kecuali saat ia memberikan kue ulang tahun padaku. Sesudah itu, ia kembali menjadi Jordy yang kukenal di awal perkenalan kami.

Jordy yang dingin dan hobi marah. Aku tahu, sebagian besar mungkin karena aku yang berkali-kali menolak ajakannya untuk kembali. Dan mungkin juga, Jordy sedang ada di titik terendah dalam hidupnya. Antara ingin memberikan yang terbaik untuk Aidan, namun kamu gagal dalam hal itu.

Sebenarnya sejak semalam, saya sudah merasa tidak enak badan. Namun karena hari ini adalah hari ulang tahun Mentari, saya bertahan—menenggak minuman berenergi agar saya bisa memberikan kejutan untuknya.

Saya harap, Mentari benar-benar memaafkan saya setelah ini, walau butuh waktu yang cukup lama, setidaknya hubungan kami tak lagi hambar dan dingin seperti saat baru bercerai.

Mungkin hari ini adalah ambang batasnya, tapi demi mengembalikan kepercayaan Mentari, lebih baik saya menyembunyikan hal ini dari dia.

“Happy birthday, Ma,” ucap saya dengan tatapan tulus, tapi alih-alih mendapat respon, saya justru menemukan sisa air mata di wajahnya yang sembab itu.

“You okay? Abis nangis?” Saya mendekati Mentari, namun ia menjauh. “Makasih kuenya. Buruan, mandi. Nanti telat ketemu Kak Jordan.”

“Ri, entar dulu. Jawab pertanyaan saya yang tadi,” cecar saya.

“Enggak. Udah deh, kamu kan orangnya paling anti telat. Mendingan sekarang mandi, ganti baju or apa deh, terserah kamu. Gak enak sama Kak Jordan sama istrinya.”

“Ri.” Nada saya sangat serius kali ini.

“Please?” Ia melepas genggaman saya. Dan perlakuan Mentari tersebut, untuk yang kesekian kali membuat saya merasa payah.

I mean... saya sudah mengerahkan berbagai cara untuk mendapat kepercayaannya lagi, tapi entah mengapa Mentari selalu menganggap sepele semua usaha saya.

“Mukanya ga usah ditekuk gitu dong.” Kudengar Jordy bergumam saat kubuka pintu. Aidan tertidur dalam gendongannya dengan wajah yang begitu damai, bahkan ketika aku ingin menggendongnya, Aidan tetap bersikeras ingin didekapan ayahnya.

Ini pertanda bagus. Karena mungkin Allah memberi jawaban untukku dan tugasku sebagai ibu sambung Aidan harus selesai sampai di sini.

Sedihnya, aku mendapat jawaban itu tepat di hari ulang tahunku yang ke dua puluh enam. Sesak segera menyambut hangat relungku kala melihat Aidan sama sekali tak mau berpindah ke sisiku.

Seberapa besar pertengkaranku dengan Jordy, Aidan tetap menjadi alasan mengapa aku bersedia berlibur dengan Jordy. Kupikir, tak ada salahnya juga aku menyenangkan putraku.

Setidaknya di akhir pertemuan kami, Aidan sungguh merasakan betapa bahagianya memiliki keluarga yang utuh.

“Saya ke dalam dulu,” pamit Jordy usai ia meletakkan Aidan di kamarku. Ia lalu beranjak ke kamar sebelah yang lebih kecil.

Air muka lelaki itu masih seperti biasa. Sendu dan suram terpancar di sana. Dan bahkan... aku sempat merasa tubuh Jordy sedikit hangat, tidak seperti biasanya.

Apa dia sedang sakit? Tapi wajahnya sama sekali tidak terlihat pucat. Aku memutuskan untuk tak lagi memikirkan hal itu, dan fokus pada Aidan.

Aku lebih ingin menghabiskan waktu dengannya, sebelum nanti aku bertemu lagi saat ia beranjak remaja.