noonanya.lucas

“Papi, Idan nggak mau difoto-foto sama Om itu, gak sukaaaa!” Aidan merengek tiba-tiba disaat kami baru tiba di Bandara Soekarno Hatta. Ricuhnya wartawan serta lampu-lampu yang terlalu bersinar rupanya membuat Aidan tak nyaman. Ia langsung bersembunyi di balik badan saya, mencari Mentari yang berjalan tepat di sebelah kami.

“Aidan, happy enggak Papi Mamahnya balikan?” Satu pertanyaan terlontar dari bibir seorang wartawan. Saya tentu langsung meminta wartawan itu untuk menjauh dari Aidan. Ia tersenyum sungkan kala saya menatapnya dingin.

“Mas Jordy, gimana tanggapan keluarga Kirana setelah tahu Mas Jordy rujuk dengan Mentari? Apa Bu Recha marah? Apa gimana?”

“Ngomong dong Mas Jordy!”

“Mbak Riri gendutan nih pulang dari Bali. Isi yah, Mbak?”

“Tapi Mbak kan belum menikah lagi dengan Mas Jordy?”

Pertanyaan itu membuat Mentari amat terkejut, wajahnya kesal seakan menahan marah. Dan, sama seperti Aidan, Mentari hanya membisu, berupaya menganggap ujaran wartawan cuma angin lalu.

“Saya rasa Mas dan Mbak di sini nggak punya kapasitas untuk bertanya hal yang sifatnya pribadi bagi saya dan keluarga,” ucap saya tegas. Tapi yang namanya wartawan infotainment, memang susah dilawan meski kami tetap bungkam.

“Mas Jordy sekarang berubah banget ya, jadi lebih kaku. Nggak fun kayak dulu pas masih sama Almarhumah,” cibir seorang wartawan perempuan yang wajahnya tak asing bagi saya.

Ah! Saya ingat betul dia siapa. Fenia, wartawan dari Majalah Moda Fashion yang sering mewawancara Kirana. Hubungan mereka cukup dekat karena Kirana sering pemotretan untuk majalah mereka. Waktu Kirana masih hidup, Fenia kerap bertanya tentang keseriusan hubungan kami, dan saya menjawabnya santai. Tapi saat ini, fokus saya berubah. Saya lebih mementingkan kenyamanan Mentari dan Aidan, terlebih ketika sadar bahwa mereka tak suka dengan hingar-bingar dunia kerja saya.

“Bukan kaku,” saya hanya menjawabnya singkat, kemudian menggiring Mentari dan masuk Aidan ke dalam mobil.

Sesampainya di sana, Aidan baru terlihat rileks, demikian juga Mentari.

“Idan nggak apa-apa? Tadi takut ya?” tanya saya memastikan.

“Enggak takut, tapi Idan gak suka sama lampu-lampunya bikin mata Idan sakit, Papi.” Ia mengadu sambil mengusak mata.

“Kamu, Ma?” “Nggak apa-apa.” Tapi saya tahu Mentari berdusta.

“Someone must've asked an uncomfortable question to you,” telisik saya yang membuatnya gamang.

“Apa, Ri. Bilang.” “Di rumah aja ya, Pi? Kamu tenang dulu, jangan emosian gitu.”

“Oke. But let me know dia nanya apa.”

“That's pretty offensive. Saya sejujurnya mau perkarain, but since kamu bilang jangan, saya kasih kelonggaran.”

“Mas, udah... biarin aja. Jangan dikit-dikit dimasukin ke penjara. Ini kan resiko dari pekerjaan mereka.”

“No, Babe. That's not a risk, emang mereka aja yang kehabisan bahan. Yang tadi yang Fenia itu, ngga ada ngomong hal nyakitin ke kamu?”

“Nggak ada, Sayang. Udah ah, jangan marah-marah terus, nanti kerutannya nambah.”

“Babe, kamu tuh udah direndahin kayak gitu, kok masih bisa santai-santai aja kayak gini?”

Kadang saya bingung dengan Mentari dengan segala sabarnya yang tiada batas. Jelas-jelas pertanyaan yang dilontarkan begitu menyinggungnya, tapi Mentari justru tak mau menggubris. Saya sih juga seperti Mentari, hanya saja kalau orangnya bertindak di luar nalar, tentu akan saya perkarakan. Siapapun dia.

“Ya karena menurutku... Kamu sama Idan lebih penting. Mereka kan cuma pengen tau, yang tau kebenarannya cuma kita berdua. Jadi ngapain aku tanggepin?”

“Make sense, good job, Ma.”

Ia tersenyum. “Anyway, habis pulang ini kamu mau tidur di kamar?”

“Iya...Sayang, boleh. Tapi inget, Idan harus bobo bertiga sama aku dan kamu.”

“Iya, siaaap.”

“Mamah, Idan mau bobo.” Aidan terlihat sibuk melepas safety-belt yang terkait di pinggangnya, lalu berpindah ke pangkuan Mentari.

“Dan, ini kursinya kan bisa dipanjangin. Bobo di sini aja, biar ga pegel kakinya.” Saya menimpali. Namun sepertinya Aidan begitu merindukan Mentari sampai tak rela berpisah sedikitpun dari ibunya. Anak itu membenamkan wajahnya pada Mentari, dan tak lama setelahnya dengkuran halus terdengar.

“Udah tidur dia, Mas. Capek banget kayaknya,” sahut Mentari, mengintip Aidan yang makin lelap dalam tidurnya.

“Dia cepet banget tidurnya kalo dipeluk kamu.” Saya mengusap punggung Aidan pelan, lalu beralih menatap Mentari.

“Kamu tidur juga gih, ini kakinya bisa diselonjorin kok. Jadi gak pegel walopun Idan tidurnya gitu.”

“Belum ngantuk, Pi. Aku tadi nyipin kopi kamu dikit, meleknya sampe sekarang. Padahal segini doang,” katanya.

“Ma, itu double shot,” beber saya enteng. Begitu tau fakta tersebut, daksa Mentari melebar.

“Kamu gak bilang...”

“Kan saya nggak tau kamu nyobain, Idan tadi minta ditemenin ambil makanan.”

“Hehe, Papi did a good job!” “Maksudnya good job?”

“Selama aku ga di rumah, kamu ngurus Idan sendiri... Idan juga nyaman banget sama kamu sekarang,” ujarnya sembari mengusap pipi saya.

“Thanks to you. Tapi jangan ada adegan balik Jogja part yang ke sekian ya.”

Tawanya meluap, mensinyalir rasa hangat untuk saya yang jarang sekali melihatnya tersenyum usai sekian lama kami terpisah.

“Nggak adaaa,” jawabnya penuh keyakinan. “Soalnya nggak ada yang sekuat kamu kalo aku kayak kemaren lagi.”

“Kalo yang itu... ada Bulik yang back-up,” jawab saya spontan.

“Tapi kamu nggak takut?” “Enggak sih, lebih ke panik aja nginget pertama kali baru ngeh kalo kamu kayak gitu dari sananya.”

“Hehehe, maaf deh kalo gitu.” “You don't have to.” Saya mengecup keningnya singkat.

“I love you,” bisik saya tepat di telinganya, dan secara tak terduga, Mentari memalingkan wajahnya lalu mencium bibir saya cepat

“Gak usah mancing...” Yang mengecup saya barusan hanya mengekeh dengan muka jahil, kemudian menggulirkan pandangannya ke sekat-sekat tempat duduk kami.

“Ini kan alesan kamu upgrade ke first class?”

“Now you know,” sahut saya sambil menowel pangkal hidungnya.

Nggak ada yang lebih membahagiakan selain melihat Jordy dan Aidan jalan berdua di depanku sambil gandengan tangan.

Setelah tadi Jordy sempat memberi kejutan dengan menaikkan kelas pesawat kami, kini dia sukses membuatku berkaca-kaca hanya dengan sikap lembutnya pada Aidan.

Dia bukan lagi Jordy yang tak memedulikan anaknya seperti yang selama ini kutakutkan pasca kami memutuskan untuk bercerai. Aku bersyukur, Jordy menepati omongannya; bahwa ia akan membesarkan Aidan dengan kasih sayang.

Pemandangan Aidan dan Jordy yang bercanda sampai tak mau saling melepas tangan, adalah kado terindah buatku. Dia tak lagi bersikap monoton dan tahu kapan ia harus memanjakan anaknya walau sesekali.

“Are you happy Aidan? Did you have a good vacation with Mamah and Papi?” tanya Jordy seraya mengusap puncak kepala Aidan.

“Yes!” Aidan menjawab penuh semangat. “Papi, tapi nanti Mamah bobo sama kita di rumah? Mamah enggak tuker pesawat terus bobo di rumah Eyang?”

Aku langsung menenangkan Aidan dengan peluk. “Mamah pulang sama Idan dan Papi.”

“Aaasikkkkk!!!!” “Kiss Mamah dulu,” pintaku dengan menunjuk pipi, dan tanpa malu-malu Aidan mengecup pipiku. “I love you, Anak Mamah.”

“I love you too Mamaaaaah!” “Papi gak diajak nih?”

“Idan gak sayang Papi?” tanya Jordy sambil tersenyum. “I love you tooo tooo tooo, Papiiii!”

Aidan menghamburkan dirinya pada pelukan Jordy. Dan yang makin membuatku takjub, Jordy yang sejarang itu menunjukkan rasa sayangnya pada Aidan, kini benar-benar melepas semuanya. Ia tak lagi malu memeluk ataupun mengecup kening dan pipi Aidan di depan umum.

Masha Allah, semoga keputusanku untuk kembali bersamanya adalah keputusan yang tepat.

“Ri!” Aliran darah saya terasa berhenti saat menemukan Mentari terkapar di lantai, memegangi perutnya. Ia menangis sesenggukkan, termasuk Aidan yang bersembunyi di belakang saya.

“Mas... sakit banget perut aku,” rintihnya. “Tolong...” Ia terus merintih sambil meremas perutnya. Kondisi itu spontan mengingatkan saya pada saat Mentari keguguran. Kejadian yang sama dan tentu sangat traumatis bagi kami berdua. Tanpa pikir panjang saya memindahkan tubuh Mentari ke pangkuan saya sendiri, dan dengan tergesa saya menelepon Bulik Ratih.

“Assalamualaikum Bulik,” sapa saya terburu-buru.

“Saya tau, Jordy. Saya juga sedang berbicara dengan sosok itu, tolong jaga Mentari sebisa kamu, supaya jangan sampe dia bisa menguasai Mentari.”

“Iya, Bulik. Makasih—”

“Nggon, wis tak enteni. Wedho kui... wedho kui...mesti kalah karo aku, hahaha.” Sebelum sempat saya menjalani amanah Bulik Ratih, sosok itu justru telah menguasai tubuhnya, Aidan menangis ketakutan, sementara saya terpaksa menenangkannya. Sambil terus menelepon Bulik Ratih, Mentari tertawa cekikikan tanpa sebab.

Satu-satunya yang bisa saya lakukan saat itu adalah membaca surat Al-Fatihah berkali-kali—yang sialnya—ditertawai oleh sosok itu.

“Jangan putus, hiraukan saja, Jor. Fokus.” Dari sambungan telepon Bulik bertitah.

“SAAAAKKIIIT!” Mentari kembali mengaungkan suaranya, dan tak cuma itu, penjaga villa saya, Bli Ketut sampai datang karena panik.

“Kenapa ini, Mas?” tanyanya dengan logat Bali yang amat kental. Namun tak lama, Bli Ketut terdiam beberapa saat, air mukanya yang barusan terlihat bingung berubah menjadi serius. Ia sama sekali tidak takut, dan justru mendekati Mentari.

Kemudian ia meminta izin pada saya untuk memegang tangan Mentari. Saya menganggukkan kepala, karena satu-satunya yang dapat menolong saya saat ini hanya Beliau.

Lima detik berselang, Bli Ketut dan Bulik Ratih saling berbicara via telepon. Dan usai percakapan mereka selesai, Bli Ketut kembali pada Mentari yang tiba-tiba saja menggeram. Ia menatap Mentari yang masih mendelik ke arahnya dalam Bahasa Bali.

Ajaibnya, sosok itu benar-benar tunduk di tangan Bli Ketut. Menurut Beliau, sosok ini bukanlah sosok yang sama dengan yang selalu mengganggu Mentari. Bli Ketut bilang sosok yang masuk ke dalam tubuh Mentari ini berwujud leak karena dukun yang dipakai Andini begitu sakti.

Saya lemas mendengarnya, sebab hal ini selalu menjadi perkara yang membuat Mentari ragu dan takut untuk kembali pada saya.

“Ibu Mentari ini peka orangnya. Saya dengar dari Bibi Ibu, Ibu lahir di hari yang sangat sakral. Manis darahnya, itulah mengapa mereka mendekat. Selain itu...” Bli Ketut menghela nafas sejenak. “Ada yang selalu berupaya mengganggu Ibu ya, Pak?”

“Betul, Bli.” “Jahat sekali ya orang itu. Tapi tenang, biar saya bersihkan sekali lagi.” Ia kemudian meminta salah satu asistennya untuk menemani Aidan sebentar. Lalu setelah itu, kami bertiga pun kembali ke villa.

“Dengan perlindungan ini, kondisi rahim Ibu akan pulih seperti sedia kala. Saya juga sudah memproteksi Ibu. Jadi Ibu dan Bapak boleh kembali ke Jakarta besok pagi dengan aman.”

Saya lega mendengarnya. Apalagi Mentari, yang begitu nelangsa saat teror dari Andini mulai menghantuinya lagi. Ia menangis usai Bli Ketut meninggalkan villa kami.

“Mas...” “Udah, jangan ngomong apa-apa dulu, Ri. Istirahat.”

“Denger dulu,” selanya. “Saya nggak mau denger kamu ngomong kayak tadi.”

“Mas, tapi kamu tau kondisiku. Aku makasih banget kamu sayang dan cinta tulus ke aku, tapi aku gak tega kalo kamu harus back and forth kayak gini...”

”...Kamu cari perempuan lain aja. Please, jangan sama aku.”

“Ri, saya serius,” bantah saya tegas. “Saya nggak akan mau sama siapapun. Kamu harus ngerti itu baik-baik.”

Ia terdiam dengan tampang penuh rasa bersalah.

“Mas, peluk...” Ia menyelipkan tangannya sendiri ke sela-sela lengan saya. Aroma cendana yang begitu menenangkan tercium mengelilingi saya. The scent of her yang selalu saya rindukan.

“Makasih banyak, Papi Sayang.” “I love you. Please kindly write that on your head.”

Dia tersenyum kecil, lalu mengecup bibir saya singkat.

“Yah kan, mancing,” kekeh saya jahil. “Diem.” Wajahnya merengut

“Lagi dong,” bujuk saya sambil tertawa-tawa. “Diem atau aku pukul dadanya.”

“Udah chest day kemaren sama Jordan, its safe.”

One kiss wouldn't be wrong, right?

“Udah. Gak usah nagih lagi!” “Tapi masih kurang.”

“Mas, aku pukul beneran ya. Aku masih lemes banget lho ini.”

“Hahaha, kidding, Babe.”

Kukira teror itu telah usai. Kukira aku bisa berdamai setelah menjalani proses ruqyah. Namun seakan tidak terima, Medusa kembali mengusikku. Usai semalam penuh ia mengganggu, sebelum sempat aku menghampiri Jordy, perutku kembali keram dan perih. Mulutku membisu, bagai direkatkan oleh sesuatu hingga sebait kata doapun tak dapat tersebut. Tanganku merogoh-rogoh lemari kecil di sebelah ranjang, tapi sebelum tergapai ponselku terjatuh lebih dulu. Hingga Aidan datang dan berteriak dengan suara gemetar.

“Maaah, Mamaaaah! Maaah, perut Mamah kenapa?”

Aku hanya bisa menangis karena saat itu tubuhku melemah seketika. Sekujur dahiku mulai berkeringat, dan tanganku gemetar hebat. Lamat-lamat pandanganku mulai samar dan dari arah jauh terdengar suara serak yang mengekeh.

Lirih, namun sangat jelas suara itu berkata, “kita belum selesai... Ini akibatnya kamu berani melawan saya. Tak pateni awakmu! Tak tuku' rahimmu! Kowe raiso nduwe anak!” (aku matiin kamu, kuambil rahimmu! Kamu gak akan bisa punya anak!)

Tangisku semakin menjadi-jadi, nafasku sesak dan dadaku tercekat. Aku sudah berusaha berteriak memanggil Aidan dan Jordy, tapi Aidan sepertinya ditutupi oleh sosok mengerikan itu.

Kulihat Aidan kebingungan, ia ketakutan tapi tak menyerah mencari bantuan. Aku benar-benar merasa sangat bersalah pada Jordy dan Aidan. Mereka akan tersiksa jika terus memedulikanku. Mereka juga akan kerepotan bila harus merawat dengan kondisiku yang bolak-balik diganggu makhluk tak kasat mata, bahkan di waktu yang tidak tepat. Aku ingin mereka hidup tenang dan tak perlu lagi memikirkan kondisiku.

“Idan mau bobo, Mah.” Aidan terlihat sibuk berpindah dari kursinya. Ia naik ke gendongan Mentari, lalu membenamkan wajahnya dalam peluk Mentari sambil memegang mobil-mobilan.

“Dan, nanti Mamah pegel kalo kayak gitu bobonya. Sama Papi aja sini, nanti kakinya dilurusin,” ujar saya sembari mengusap punggungnya.

“Gak apa-apa, Mas. Idan udah tidur ini, langsung, hehehe.” Benar apa yang Mentari katakan, karena tak lama berselang dengkuran halus terdengar. Kalo begini, beneran anak saya, sih karena kita punya kebiasaan yang sama. Saya menggenggam tangan Aidan sebentar, namun dalam gerakan reflek, anak itu menarik tangannya sendiri, lalu mempererat peluknya pada Mentari.

Mentari tertawa kecil memandang saya. “He missed you a lot, dipegang bapaknya udah gak mau,” keluh saya sesudahnya.

“Bapaknya nggak kangen emang?”

“I miss you so much, Ma,” jawab saya seraya menatap matanya dalam-dalam, dan mengarahkan tangannya untuk mengelus pipi saya sendiri.

“Iya...”

“Thank you for coming home with us. I really thankful for that.” Ia tersenyum dan menyenderkan kepalanya di bahu saya, dan tentu hal ini sangat saya syukuri, karena akhirnya perjuangan saya terbayar.

Kini saya menunjukkan rasa sayang pada Mentari di muka umum, justru ingin satu dunia tau bahwa saya sangat bahagia memiliki pasangan seperti Mentari.

Saya mengecup keningnya agak lama, lalu menarik tangannya untuk kembali mengelus pipi saya.

“Udah ih malu, Mas Jordy!” Ia menarik tangannya yang menjadi korban kecupan kecil saya. Seperti biasa, kedua pipi Mentari menampilkan semburat merah muda.

“You like it though, Babe,” canda saya sengaja.

“Sotoy! Udah Idan ntar bangun kalo kamu kayak gini, Mas Jordyyyy.”

“Ya kalau Aidan bangun tinggal ditaro aja di sebelah sini, lebih luas tempatnya. Dia bisa selonjoran.”

Matanya melotot, “terus?”

“Ya terus, gantian kamu nepuk-nepuk punggung saya kayak kamu ngelonin Aidan.”

“Please ya, Mas... kamu udah tuaaaaa!” Ia menghela nafas dengan wajah heran, didorongnya tubuh saya perlahan.

“Papi, ini di pesawat ya!” omelnya usai saya berhasil mendaratkan satu ciuman kecil di bibirnya.

Saya cuma tersenyum puas mendapati wajah Mentari semakin memerah setelah saya sukses beraksi.

Mimpi itu datang lagi. Dan sungguh, aku benar-benar kacau dibuatnya. Hari jalan-jalanku bersama Jordy sampai terganggu, namun aku berusaha menutupinya sebaik mungkin. Dalam tidurku, aku melihat seorang wanita tua datang, mencengkram wajahku. Pelan ia berkata dan tertawa mengejek.

“Kita belum selesai, Mentari...” Aku langsung terbangun. Tubuhku dipenuhi keringat, sedang wajahku memucat. Aku melirik Jordy yang terlelap nyenyak di sampingku, dan reflek aku mengingat masa-masa paling mencekam yang pernah kualami sewaktu kami masih bersama.

“Ingat... Saya tidak pernah main-main dengan apa yang saya ucapkan!” Suara itu mengalun di telingaku. Tak ingin berpikir jauh, aku segera bangkit dan mengambil air wudhu. Waktu saat itu menunjukkan pukul tiga subuh, dan tanpa berlama-lama aku mengusyukkan diri untuk berdoa.

Awalnya masih normal, hingga di rakaat terakhir, tiupan angin menderu dengan sangat kencang, mengelilingi aku. Bukan hanya itu, lamat-lamat kudengar gamelan bali bergaung di luar jendela. Aku diam sejenak, mengambil waktu untuk membaca surat-surat Al Fatihah dan Yasin, namun semakin aku perdalam...sebuah geraman terdengar sangat jelas di sebelah. Ia berbicara dalam bahasa Bali yang tak aku pahami.

Tanganku gemetar hebat, bahkan hampir tak sanggup meraih ponsel yang tergeletak di samping. Namun tekad bulatku serta berkat membaca surat Al Fatihah, aku berhasil mengambil ponsel, segera—kuhubungi Bulik Ratih di Yogya.

“Bu...Bulik...” “Ri, jangan tasbihmu di tangan? Jo' dilepaske, pake terus.”

“Bulik... dia mau apa... Perut Riri tiba-tiba sakit...” Aku merintih saat perutku tiba-tiba terasa nyeri bagai diremas dari belakang. Sama seperti saat aku mengalami keguguran.

“Ri! Denger Bulik, kamu baca Al-Fatihah lima kali. Denger Bulik, Ri! Bulik bantu dari sini!”

Dengan gemetar dan suara parau aku mengiyakan permintaan Bulik.

Akhirnya... setelah hampir setengah menit, sakit perutku hilang. Suasana kembali tenang. Tapi hanya satu yang Bulik pesan padaku, yakni untuk tidak berhenti beribadah. Sebab... Andini masih ingin menghancurkan aku dan Jordy.

Pagi harinya, berjalan seperti biasa—aku menyiapkan sarapan untuk Aidan; membuatkan kopi untuk Jordy, bahkan setelahnya aku menemani Aidan berenang di depan villa.

Tak ada satupun yang curiga mengenai hal yang kualami semalam. Mungkin Andini sengaja membuat semuanya terlelap agar jalannya mulus saat menggangguku. Tapi aku enggan berteman dengan situasi itu, sesuai kata Bulik, aku diharuskan berdzikir dan terus melafalkan Al-Fatihah. Alhamdulillah, perasaanku menjadi lebih tenang.

“Mamaaaah!” Aidan menghampiri, lalu mengulurkan tangan untuk menyalami punggung tanganku.

“Hai Sayang. Enak bobonya tadi malem?”

Aidan terdiam sesaat, menatapku dengan tampang bingung. “Mamah tadi malem enggak papa?”

“Maksud Idan?” “Idan liat Mamah kesakitan, megangin perut. Mamah nggak kayak waktu itu kan? Mamah berdarah?”

Astaga... Aidan...? Kupikir tidak ada yang tahu tentang hal ini. Aku segera mensejajarkan posisiku dengan Aidan, mengajak Aidan untuk memegang rahasia ini dari Jordy.

“Idan, Mamah tadi malem cuma sakit perut biasa, kok. Jangan kasih tau Papi ya?”

“Kenapa Papi nggak boleh tau, Mamah? Nanti kalo Mamah kenapa-napa, biar bisa langsung dibawa ke dokter. Mamah takut disuntik ya...hihihi.”

Aku hanya bisa tertawa pasrah mendengar keluguan Aidan. Nak, seandainya kamu tau alasannya kenapa...mungkin tawamu itu akan berubah menjadi tangis paling pilu yang pernah Mamah liat.

“Nggak, Mamah berani. Tapi Mamah minta tolong sama Idan, jangan bilang Papi. Oke?”

Aidan awalnya sempat ingin menggeleng, tapi syukurlah, Aidan menyetujui permintaanku.

“Mas,” panggilku pada Jordy yang masih sibuk menatap laptop. Benar kata Aidan, dia sama sekali tak tersenyum. Jangankan senyum, menengok ke arahku pun sepertinya dia alergi.

“Ini makanannya aku taro sebelah sini ya,” ujarku pelan. Kulihat rahangnya mengeras dan raut mukanya serius menatap laptop.

Jordy membisu bahkan disaat aku mendekat. Kurasa meninggalkannya sementara waktu akan membuat moodnya lebih baik, ketimbang harus melihat dia dengan tatapan seperti itu. Aku pun menjauh, berjalan menuju pintu kamar.

“Ri.” Dia tiba-tiba saja memanggil. “Ya?”

“Kamu denger kan tadi pagi saya bilang apa? Atau sengaja bikin saya marah?”

Aku berbalik menghadap Jordy. Ia menepikan semua kertas-kertas skenarionya yang berserakan dan cuma menatapku dengan pandangan dingin.

“Kamu tau kan kerjaan saya banyak? Aidan juga udah sekolah minggu depan.”

”...Kalau emang buat kamu liburan ini nggak ada artinya, lets back to Jakarta. Saya gak mau buang waktu. Kita bisa vidcallan kalau nanti ada perlu soal Aidan.”

Aku makin ciut mendengar nada bicara Jordy yang tegas. Kalau kayak begini, udah deh, lebih baik diam daripada apinya melebar. Ya kalau dipikir-pikir, aku memang salah sih...

“That's what you want, right?” Pandangannya turun ke skenario, sementara aku...mematung menatap Jordy yang mulai lelah denganku.

Aku tahu, tak semestinya aku bicara seperti tadi. Aku salah dan aku mengakui itu. Melihatnya berubah dingin, membaca keluh kesahnya tentang bagaimana dia menahan sabar padaku...aku merasa seperti orang bodoh, padahal aku tahu jelas apa yang kuinginkan.

Aku menghela nafas dalam-dalam sambil mendoakan keputusan besar yang akan kupilih bersama Jordy.

“Mas Jordy.” “Kenapa—” “...Kalo pulang ke Jakarta, aku boleh ikut?”

Air muka Jordy menghangat, terpancar jelas di wajahnya. Ia tersenyum perlahan, dengan tangan yang terlingkar pada pinggulku.

Tawa renyah Jordy mengalun di telingaku. Ia mendekat hingga tak lagi memberi celah bagiku untuk beranjak. Sejak berpisah darinya, aku belum pernah merasakan hari terbahagia seperti saat ini.

Kami benar-benar menikmati waktu berdua siang itu. Jordy sempat berkaca-kaca dan speechless usai mendengar jawabanku.

“Happy?” tanyaku seraya mengusap lembut wajahnya. Dia mengangguk kecil, kemudian tersenyum. Dan... melakukan tabiat bibirnya yang sulit diubah. Selalu mencuri kesempatan ditengah himpitan kehidupan.

“Beyond,” jawab Jordy dengan senyuman lebar usai menautkan satu kecupan di bibirku.

“Jangan marah-marah sama anak kantor lagi,” bujukku yang membuatnya sedikit kaget.

“Tau dari mana? Jenan?” “Ada deh.”

“Siapa?” “Adaaaaa...”

“Renjana?” Aku tak menjawab namun sengaja memasang tampang jahil.

“Btw, kamu gak pernah bilang kalo Renjana dulu mantan kamu. Kenapa?”

“Ngapain juga mesti bilang, orang udah lama banget.”

Jordy mencibir, “Pantes aja, Renjana mati-matian pengen kamu kerja di saya.”

“Nggak begitu, Mas. Emang dulu ditawarin karena katanya kamu butuh figuran,” kataku membeberkan alasan yang sebenarnya. Jordy melirikku sejenak, lalu mendekatkan dirinya padaku.

“Ma.” Bener-bener nih orang, dia paham akan titik lemahku.

“Hmm?”

“Let's married again.”

Percayalah dia kembali melamarku tanpa cincin, tapi untuk langsung menerima pinangannya... Aku belum bisa jawab sekarang. Banyak pertimbangan yang bersarang dalam kepalaku.

“Kenapa sih hobi banget gak pake baju?”

Bangun-bangun, bukannya disambut kecup, malah kena omel. Belum ada separuhnya jiwa ini berkumpul, daksa Mentari melirik saya curiga, seakan saya habis melakukan sesuatu diluar pernikahan.

“Gerah.” Satu jawaban singkat saya lontarkan, berharap amarah perempuan itu surut, namun sepertinya saya salah. Dia justru berdecak setelahnya.

“Pake baju, ntar demam lagi, aku gak mau ngurus!” Nadanya agak naik kali ini.

Saya paham dia marah begitu karena kesalahan saya sendiri, tapi entah mengapa mendengarnya mengomel justru membuat saya lega. Setidaknya saya tahu dia masih peduli terhadap saya.

“Iya, Babe.”

Matanya langsung mendelik pada saya yang beranjak dari kasur dan memakai kaus yang semalam terdampar di pojok meja kerja. Usai menuruti keinginan ibu negara, saya lantas bergabung kembali bersamanya.

Mata Mentari makin sembab setelah semalaman ia meluapkan segala perasaannya tentang saya.

Kami memang mantan pasangan yang sering cekcok sana-sini dan boleh dibilang jarang deep talk, maka sesekali saya manfaatkan momen kemarin untuk bicara empat mata dengannya.

Tentang Aidan ke depannya, dan bagaimana kami mengurus dia usai perceraian ini. Nampaknya untuk kembali bersama, Mentari masih mempertimbangkan. Dia bilang takut gagal lagi sama saya karena masalah yang kami lalui bukan hanya sekedar ketidak-cocokan, tapi juga hal lain yakni masa pemulihannya usai ruqyah.

“Katanya kamu benci saya sama saya,” ujar saya saat Mentari mulai tenang.

”...then proof it to me, biar saya ga kepikiran lagi.”

Ia memandang saya sejenak, tatapannya yang semula terlihat kesal, perlahan berubah sendu.

Helaan nafas melambung dari bibirnya. “...Kamu jahat.”

Saya hanya diam, memberinya kesempatan untuk mengeluarkan segala rasa sakitnya. “...Kamu egois, kamu gak sayang sama aku, kamu ngecewain aku, kamu—”

Air matanya perlahan mengalir. “Kamu gak pernah mau dengerin apa kata aku! Makanya sakit kan sekarang!”

“Ya udah sini, sekalian tampar, biar lega.”

“Nggak mau,” ia melepas genggaman tangan saya. “Nanti kamu kesakitan, sakit gak tadi aku pukulin? Maaf ya...”

“Nah. Saya pantes dapet hukuman dari kalian berdua, for not being responsible as a husband and father. Aidan waktu tau kamu gak ada di rumah, nggak mau ajak saya bicara. Dia mirip banget sama kamu, dibelikan barang gak mau, makanan kesukaannya aja gak di makan...”

”...And since his magnet was gone, dia jadi nakal lagi...”

Sebenarnya banyak yang saya lalui dengan Aidan sejak Mentari tak ada di rumah, namun saya memilih untuk tidak menceritakan sebagiannya lagi...Karena saya tak mau ia makin sakit hati mendengarnya.

“I'm so sorry. You know I was the worst husband ever, from the start.”

“Nggak, Mas Jordy... Aku juga ada salah sama kamu. Aku lagi-lagi lari dari masalah, aku takut kamu gak mau lagi sama aku, jadi daripada aku denger hal-hal yang kayak gitu, lebih baik aku pergi.”

”...And turns out malah makin gede masalahnya.”

Ia mengangguk setuju. Pandangannya kali ini akhirnya terangkat pada saya, dalam... dan dipenuhi rasa bersalah.

“Aku juga minta maaf karena gagal jadi istri yang baik buat kamu—”

“No, Babe. You never failed, saya yang bikin kamu merasa fail. No, promise me to never say that again. Gak suka dengernya...” Saya mendekat, mengecup kening dan bibirnya lembut.

Ia tertawa kecil setelahnya, “Kok kita jadi main salah-salahan gini, sih?”

“Ya artinya kita berdua salah,” simpul saya yang disambutnya dengan anggukkan kecil.

“Sini peluk dulu.” Saya merapatkan posisi ke sebelahnya, sekalian mengingat salah satu kebiasaannya di awal pernikahan kami, suka gak suka dia selalu memaksa saya untuk menerima peluknya.

“You're gonna be a great husband someday... buat yang lain.”

“Gak mau,” saya nenjawab spontan. “Saya cuma mau sama kamu, gak mau sama yang lain. Idan juga gitu. Malu nanti dia kalo besar, punya Bapak tukang kawin.”

Dia tertawa jahil, “jaga image banget?”

“Bukan gitu, Ri. Saya gak mau sama yang lain pokoknya. Maunya cuma kamu.”

“MAMAAAAAH!” “HUAAAA!!!”

Mentari dan Jordy saling menatap satu sama lain dengan pasrah.

Helaan nafas pun kompak terdengar dari keduanya. Mentari mengambil alih Kiori, sedangkan Jordy memeluk Aidan sambil mengusap kepalanya.

“Sakit, Dan? Mana Papi liat, takutnya merah. Berdarah nggak?” Raut wajah Jordy terlihat cemas.

“Enggak, Papi, tapi Adek nakal! Idan cuma mau peluk, Adek jambak Idan...” Ia mengadu pada sang ayah. Kiori yang usianya baru dua belas bulan itu ikut menangis lantaran kaget mendengar sang kakak terisak, ditambah sudah jam tidurnya, tapi sang ibu—Mentari, tak kunjung datang.

“Abang sini, Nak, sama Mamah.” Mentari tahu, sorot mata Aidan sungguh mengharapkan perhatian darinya, makanya Mentari sengaja memanggil Aidan dan mengusap kepala anak itu.

“Owi say sorry sama Abang ya...” Diayunkannya tangan bayi mungil itu ke arah Aidan, lalu tak perlu menunggu lama.. Aidan tersenyum, memaafkan Kiori yang belum paham itu.

“Abang sayang Owi, jangan jambak Abang lagi ya.”

Mentari tersenyum hangat, begitu juga dengan lelaki di seberangnya. Pijar daksanya memandang teduh kedua bocah itu. Rasa syukur di hatinya meluap lebar.

Sungguh, pernikahannya dengan Mentari akhirnya sebahagia ini.

Mentari juga tak henti membuatnya kagum lewat caranya mendamaikan Aidan dan Kiori. Aidan berhasil tumbuh menjadi anak yang penyayang dan berani mengungkapkan apa yang ia rasa. Dan Jordy sangat bangga akan hal itu, dia juga berterima kasih pada istri tercintanya.

Kalau bukan karena Mentari, hidupnya mungkin laksana kelabu di tengah hujan, kering tandus saat kemarau. Maka sebagai rasa terima kasihnya, Jordy mendekat, duduk di sebelah Mentari. Walau terbilang jenaka dan suka jahil, gitu-gitu Jordy tahu menempatkan diri, seperti sekarang.

“Ma.” “Hmm?”

“Mau nambah adik buat Kiori?” Mentari melotot sejadi-jadinya dan reflek, Kiori yang sedang disusui Mentari kaget hingga melukai sang ibu.

“MAS JORDY, sakit kan jadinya! Lecet lagi, padahal udah mau sembuh!” Jordy habis dipukul ringan oleh Mentari.

“Hahahah, enggak, Ma. I'm kidding, aku cuma mau say thanks doang.” Jordy mengecup dahi istrinya kemudian beranjak dari sana, mengajak Aidan main basket di halaman depan.