noonanya.lucas

Bisa dibilang ini... adalah usaha paling maksimal yang saya lakukan untuk meluluhkan hati Mentari.

Mengajaknya berdamai, bukan hanya demi Aidan tapi karena saya benar-benar menyayanginya. Ketika ia datang, netranya memandang saya dingin, namun dibalik parasnya yang ayu itu, Mentari menyimpan begitu banyak pedih dan kecewa terhadap saya.

“Haaai, Mamaaah!” Aidan menyapa seperti dengan penuh keceriaan, sedangkan saya menetap di mobil karena tahu Mentari pasti enggan keluar apabila saya ikut mendampingi Aidan.

Ia berjalan menggandeng tangan Aidan sambil masuk ke mobil. Dan ketika masuk canggung segera menyelimuti kami.

Ia tak banyak bicara pada saya, dan hanya mengobrol Aidan.

“Idan makan yang banyak, Mamah tadi masak banyak buat Idan.”

“Kok Papi nggak dikasih, Mah?” Yang ditanya hanya diam dan menunjukkan raut wajah masam.

“Buat Idan aja, nanti Papi makan yang lain. Abisin, Dan. Mamah udah capek masak buat Idan.”

“Tapi Papi belum sarapan apa-apa dari tadi. Papi cuma minum kopi doang sama jus—”

“Dan, makan aja, kan Papi udah bilang kalo lagi makan gak boleh banyak ngom—”

“Papi minum jus apa, Aidan?” Mentari akhirnya angkat suara, nadanya tegas membuat saya dan Aidan sama-sama mati kutu di tempat.

“Jus anggur, Mamah.” “Jus apa?” ulang Mentari sambil menghujani saya dengan delikan maut.

“Ri, itu maksudnya Idan—” “Dan, Mamah boleh minta sedikit makanan Idan?”

Aidan mengangguk, memberikan kotak makannya pada Mentari. Ia mengaduk makanannya sesaat lalu menyendokkannya ke mulut saya.

“Ri, saya lagi nyetir—” “Kalo gak makan, gak usah jalan ke Bali, ya.”

“PAPI SIH!” Aidan merajuk di belakang. Mau nggak mau saya membuka mulut lalu menerima suapan dari Mentari. Meski wajahnya tanpa senyum, namun buat saya ini adalah kebahagiaan kecil yang telah lama saya nantikan.

Setidaknya, saya tahu Mentari masih peduli pada saya.

“Makasih ya, Ri,” ucap saya sambil menghabiskan suapan terakhir dari Mentari.

Ia hanya memberikan jawaban melalui anggukan kepala.

“Welcome back, Mamanya Aidan.” Saya meraih tangan Mentari, mencuri kesempatan untuk mencium jemarinya. Dia kaget, lantas menarik tangannya secepat mungkin.

“Mau telat ke bandaranya?” sinisnya dingin. “Iya, Sayang. Ini udah mau jalan.. Marah mulu nih, Dan si Mamah.” Saya membelai lembut rambutnya.

“Mamah, Mamah gak ikut ke hotel?”

Adalah pertanyaan yang sangat menyakitkan bagiku. Aku tahu jika Aidan begitu ingin kedua orang tuanya bersatu, namun aku tak bisa mewujudkannya. Daksa anak itu membuatku lemah, sehingga aku terperangkap pada nestapa yang terlihat dari tatapnya.

Belum lagi ketika jemari mungil Aidan mengait di sela-sela jariku. Aku sungguh tak mampu menjawab semua pertanyaan yang sedari tadi ia lontarkan.

“Mamah pulangnya kapan?” “Mamah anter Idan sekolah, kan, Mah? Mamah dicari sama Nono, Mah.” “Mamah juga dicari sama Gallen, Mah. Sekarang Idan sama Gallen udah ce-es, Mah. Udah ga berantem pukul-pukulan lagi.” “Mamah, nanti yang temenin Idan belajar, Mba Erna ya? Mamah, masakan Mba Erna engga seenak masakan Mamah...”

Bibirku gemetar hebat kala Aidan menceritakan apapun yang ia rasa sejak aku tak lagi ada di rumah. Aku pun bingung harus bagaimana mengungkapkan yang sebenarnya terjadi pada Aidan. Kubilang best friend, tapi Jordy malah marah.

“Mamah..” “Ya?”

“Papi sejak Mamah enggak di rumah, suka minum jus anggur sendirian.” Kerongkonganku tercekat mendengarnya.

”...Papi juga gak pernah mau makan malem. Kalo pulang kerja cuma minta Idan bobo di sebelahnya.”

”...Terus, Idan liat Papi nangis setiap hari. Idan sebenernya denger, tapi Idan pura-pura bobo supaya Papi gak tau.”

Aku memandang Aidan pedih sekaligus merasa bersalah, tak sadar hingga air mataku pun ikut luruh bersama pengakuan Aidan.

”...Kenapa Idan ga nenangin Papi?” “Idan nggak tau harus ngapain... Idan kasian sama Papi, walaupun kata Papi, Papi yang salah sama Mamah...”

“Papi Idan enggak pernah nangis, Idan sedih liatnya,” tuturnya dengan raut muka menyedihkan. Aku segera mendekap Aidan erat, kulihat air matanya nyaris terjatuh hanya karena menceritakan kondisi Jordy pasca perpisahan kami.

Dan hal ini pula yang menggugah hatiku. Bagaimanapun, Aidan tak berhak menjadi korban keegoisan kami. Sudah sepatutnya aku menyingkirkan ego demi anakku satu-satunya ini.

“Idan katanya pengen makan bertiga sama Papi sama Mamah?” tanyaku sambil mengelus lembut punggung

“Iya! Idan mau, Mah.” “Oke, Idan tunggu sebentar di sini ya, Sayang.”

“Assalamualaikum Paklik, Bulik.” Aku menyapa Paklik dan Bulik pagi itu di kediaman mereka.

Kediaman yang selalu membawa damai dan tentram bagiku. Kediaman yang bagiku bukan sekedar tempat tinggal, melainkan rumah untukku. Kehadiran Bulik, Paklik dan adikku Dhea membuatku lebih bersemangat menjalani hidup pasca bercerai dari Jordy. Walau baru sebentar kembali ke Yogya, namun bahagiaku jauh lebih terasa di sini, dibanding saat aku berada di Jakarta.

Aku mendapati Bulik dan Paklik sudah berpakaian rapi, sepertinya mereka akan menginap di sebuah tempat. Pikirku saat itu, mereka pasti akan mengunjungi sanak keluarga Paklik di Surakarta, mengingat keluarga besar Beliau menetap di sana.

“Mau ke Solo ya, Bulik?” tanyaku kemudian sembari melangkah mendekati Bulik dan membantunya membereskan koper.

“Ng...” Bulik tersenyum sesaat. “Yang kali ini enggak, Ri. Mau jalan-jalan aja sebentar.” Ia tersenyum lembut.

“Kemana, Bulik?” “Ah, kalo yang itu... rahasia dong.” Dari ruang makan, Paklik berceletuk. Aku mengekeh lalu menatap Paklik dan menyalami punggung tangannya sopan.

“Segala pake rahasia-rahasiaan sama Riri,” kataku berpura-pura merajuk.

“Biar lebih privat, kapan lagi Bulikmu mau diajak dolan,” ujarnya sambil sembunyi-sembunyi melirik Bulik.

“Hahahah, Paklik. Ada-ada aja. Tapi masa gak mau kasih tau Riri?” bujukku sekali lagi dengan tampang memelas.

“Kamu kayak Idan aja, penasaraaanan banget.” Senyumku lenyap dalam sesaat, sebab setiap kali membahas Aidan, otomatis pikiranku akan tertuju padanya juga Jordy yang semalaman tadi memintaku untuk tidak mematikan telepon

Paklik menatapku sejenak, air mukanya terlihat khawatir. “Ri, maaf ya? Paklik gak maksud...”

“Nggak apa-apa, Paklik,” kataku memaklumkan. “Riri pesenin grab/gojek ya?” Aku mengalihkan pembicaraan.

“Gak usah Ri, nanti ada yang jemput.”

“Oh...” tanggapku sambil mengangguk. “Kalau gitu, Riri bawain sekalian koper Paklik ke depan ya.”

“Iya, Nduk. Makasih ya.”

Mobil jemputan yang akan mengantar Paklik dan Bulik tiba tepat waktu. Aku yang sedang sibuk membereskan koper sampai sedikit terkejut lantaran pengemudi mobil itu turun dan memanggil namaku.

“Mbak Riri, sehat Mbak? Lha, malah ketemu di sini...”

Aku memandang supir tersebut keheranan. Wajahnya tampak tidak asing, namun entah mengapa aku justru tak mampu mengingat siapa lelaki yang menyapaku itu.

“Ah, lupa dia...” kekehnya. “Iya, maaf ya, Pak. Tapi apa kita pernah kete—”

“Mas, ini tas saya.. Tolong dibantu naikin ya. Makasih, Mas.” Sayang sekali aku tak sempat mengetahui nama supir tersebut. Tapi rasanya kok aku pernah melihat dia sebelumnya ya? Sepertinya aku sering melihatnya mondar-mandir di ruang ekspedisi kantor. Tapi aku lupa siapa namanya.

“Bulik duluan ya, Ri. Hati-hati di rumah. Ingat, shalat jangan ditinggal. Tahajud-nya juga.”

“Iya Bulik, hati-hati juga ya, Bulik. Berkabar kalau sudah sampai tujuan.”

“Iya.” Aku menyalami punggung tangan Bulik kemudian mengantarnya sampai ke mobil.

Tunggu. Mobil ini juga pernah kulihat di kantor sebelumnya. Aku pernah melihat mobil Xtrail ini...mengantarkan equiptment ke lokasi syuting. Tapi kok, platnya sudah sesuai dengan plat Yogyakarta ya?

Ah, mungkin saja aku hanya berhalusinasi. Syukurnya sih, tidak ada yang mengataiku gila sekarang.'

Dua subuh dan saya masih menunggu balasan Jenan tentang Mentari. Ponsel yang terletak di meja kerja sama sekali belum membunyikan denting notifikasi. Karena tak sabar, saya mencoba menghubungi Mentari.

“Glad that you pick up the phone.”

“Idan masih panas? Obatnya jangan sampe kelewat. Harusnya jam sembilan dia minum. Udah apa belum?”

“I told you to quit the job.”

“Saya nanya tentang Aidan, bukan tentang pekerjaan. Kalo mau bahas itu, mending kamu gak usah telepon.”

“Ri, can you turunin ego sedikit?”

“Ngaca.”

“Saya tau salah saya memang fatal sama kamu, tapi bukan berarti kamu cari pelarian yang gak ben—”

“Kamu kira aku perempuan apaan, Jor?”

“Ya makanya! Keluar dari kerjaan kamu yang sekarang.” Kepala saya mendidih.

“Emang gila kamu, Jor. Fuck you!” Mentari kembali memutus sambungan telepon saya.

Ya, saya se-fuck up bukan tanpa alasan yang jelas. Jika seandainya pekerjaan yang Mentari ambil normal dan layak, saya mungkin akan tenang-tenang saja. Tapi saat mendengar bahwa ia bekerja di sebuah bar, tentu pikiran saya akan mengarah pada tempat yang dipenuhi hawa nafsu. Saya paham, saat ini bukan ranah saya lagi untuk ikut campur, tapi saya tak mau Aidan kecewa pada Mentari. Sebab kami berdua sudah begitu menyakiti dia.

“Ri, please?” “Apalagi sih Jor? Apalagi yang mau kamu hancurin dari hidupku? Apa nggak cukup? Kamu mau babak belurin aku apa gimana?!”

Raungan Mentari di seberang sana membuat saya tenggelam dalam rasa bersalah. Seandainya saja kondisi tubuh saya fit, saya akan langsung terbang ke Yogya malam ini. Sayangnya tubuh saya juga berontak sama seperti Mentari.

“Ri, maaf... I'm messed up here. Saya kangen sama kamu. Jadi saya panik. Ditambah...”

“Kamu juga jangan gak minum obat. Ada di lemari. Aku selalu taro disitu, in case kamu drop,” Ia menurunkan nada bicaranya.

“Iya nanti saya minum.” “Sekarang.”

“Kita lagi teleponan.” “Gak punya tangan buat ngambil? Jangan manja!”

“Iya.” “Makan dulu. Ada bubur instan di kamar. Seduh sendiri, jangan bangunin orang malem-malem. Kebiasaan.”

Mentari dan omelan khasnya membuat keadaan saya membaik hari ini. Mendengarnya marah terasa jauh lebih baik ketimbang melihatnya melakukan aksi mogok ngomong. Kalau sudah gitu, berarti saya melakukan kesalahan besar.

“Temenin makan ya, Ri?” “Aku mau tidur. Matiin teleponnya.”

Saya mengaktifkan mode video call. Gak peduli Mentari akan marah lebih besar pada saya setelah ini, saya cuma ingin melihat wajahnya sesekali.

“Hahahaha!” Tawa Jenan melambung saat air muka Mentari terlihat kesal. Diliriknya perempuan itu sesaat.

“Penyakit emang nih orang!” gerutu Mentari sebal.

“Tapi yang gue aneh, sama Kirana dulu, dia gak se-posesif ini. Santai aja dia waktu sama Kirana,” lelaki itu bertutur usai menenggak satu shot Jack Daniels.

”...Ya karena mereka ngerti kerjaan masing-masing, Mbak Kirana kan artis. Temen Bapak sutradara, sama-sama dari entertain. Ya udah biasa pasti,” sahut Mentari sesuai nalar.

“Bener, that's the most logical thought I've ever heard soal Jordy dan Kirana.”

”...Tapi Jordy, setau gue bukan tipikal yang se-eager itu kalo jealous. I mean, as a man, cemburu wajar kok. Gue aja jealous waktu Jordy nikahin lo,” ledek lelaki itu dengan tampang jahil.

“Pak, jangan macem-macem ya.”

“Hahahaha, galak amat, pantes aja lo berdua suami istri. Wong sama-sama galaknya.”

Mentari mendelik, “Serius gak, Pak? Mau saya panggilin satpam buat nge-kick Bapak dari sini?”

Mendengar ancaman Mentari, gelak tawa Jenan malah menjadi-jadi hingga para pengunjung yang hadir menoleh ke arahnya.

Tahu sendiri kan, tawa Jenan mirip seperti bapak-bapak berusia empat puluh tahunan yang selalu main catur sambil ngeronda.

“Iya, Ri. Ampun dah gue. Di Jakarta kena omel Jordy, di sini didamprat sama lo,” keluhnya pura-pura bersedih. Sementara Mentari masih sibuk berdecak kesal lantaran Bulik membocorkannya pada Jordy.

“Bulik juga sih, pake acara ngomong sama Jordy. Saya juga kena marah.”

“Lah, masih takut ae, kan udah bukan suami istri,” ujar Jenan ala-ala komentator. Lengkap dengan alisnya yang naik.

“Bukan takut sih, Pak. Lebih ke...nahan sabar aja sama tuh orang. Ribet banget.”

“Dia kayak gitu karena dia cinta sama lo, Ri. Trust me. Gue sama Teza udah lama temenan sama Jordy. Paham betul sama sifat dia yang takut kehilangan. Secara, dia pernah kehilangan Kirana, mungkin dia begitu karena gak mau lo pergi juga.”

Mentari tertawa pahit mendengar ucapan Jenan. Apa katanya? Takut kehilangan? Sepertinya Jenan ini tidak paham kalau yang Jordy takutkan bukanlah kehilangan Mentari, tapi kehilangan sosok ibu buat Aidan.

“Ri.” “Ya, Pak Jenan?”

Lelaki itu mengalihkan pandangannya dari Mentari ke beberapa botol minuman yang terpajang. Sambil menyentil ujung rokoknya, Jenan kemudian menghela nafas.

“You did a great job.”

“Kenapa...?”

“You've made two men completely messed up at the same time,” kekeh Jenan pelan.

Mentari juga tak ingin dianggap seperti itu oleh Jenan dan Jordy. Baginya sepenggal kalimat itu lebih terdengar seperti sebuah kesalahan dibanding pujian. Karena Mentari lebih suka dua sahabat ini akur.

“Tapi sekarang harusnya Bapak dan Jordy baik-baik aja dong? Kan saya udah left out kehidupan kalian. Jangan ribut terus, Pak. Inget umur.”

“Lo kalo mau ngomong gitu ke mantan lo aja deh, jangan ke gue. Gue aslinya gak mau ribut sama dia, tapi dia bikin emosi mulu.”

“Iya emang!” “Katain aja sih Ri sekali-kali, orangnya juga di Jakarta. Cursing coba. Misalnya, 'Anjing lo Jordy!'”

Mentari menarik nafas dalam-dalam, mencoba menuruti saran Jenan dengan meluapkan unek-uneknya tentang Jordy. Namun alih-alih berhasil memaki mantan suaminya, ia justru menangis sesenggukkan.

Ia kira akan sebentar, tapi ternyata segala kekesalan yang bersarang di kepalanya tanpa disangka berakhir dalam waktu tiga jam.

Ya, Mentari membuang air matanya yang tak seberapa itu dalam waktu yang tidak sebentar.

Pertanda bahwa sampai saat ini, Jenan tidak pernah menang dari Jordy.

Air mataku tiada henti merebak saat membalas pesan dari Aidan. Rinduku pada anak itu kian menggebu lantaran mendengarnya terisak, menginginkanku ada di sisinya.

Namun ucapan Jordy yang selalu menudingku meninggalkan Aidan tanpa tanggung jawab, akhirnya membuatku tertahan. Sebenarnya, bisa saja aku kembali ke rumah, tetapi aku tak sanggu bila harus bertatap muka dengan mantan suamiku.

Bukan karena gengsi, kok. Tapi rasa sakit yang ia tinggalkan masih mengakar di hati. Aku juga tak mau bila harus adu mulut di depan Aidan.

Aku ingin Aidan mengerti perlahan bahwa ada hal-hal baik yang tak dapat dipersatukan, seperti aku... dan papinya.

Meski Aidan mengaku bahwa Jordy sangat menyesal, aku tak yakin itu adalah kebenarannya. Barusan, Jordy membalasku dengan ucapan yang menyakitkan—khas dia sekali jika mengomeli orang tanpa pandang bulu. Aku sadar mungkin dari perkataanku ada yang salah, tapi lelaki yang sekarang sudah berubah status menjadi mantan suamiku itu... tidak mau tahu bagaimana sulitnya menjadi aku. Hal inilah yang membuatku enggan menjawab pertanyaan Aidan di baris terakhir percakapan kami.

Aku belum bisa.

“Akhire... dendamku terwujud!” Mentari melipat kedua tangannya di depan dada sambil tertawa menggelegar.

“Bayaranku!!! Endi bayaranku!!! Aku njaluk mangan!! Darahhh! Aku njaluk bayiiii, pitik ireng!!!”

Beberapa santri serta dua orang ustad yang salah satunya mengawal proses ruqyah Mentari berada di sekelilingnya. Dua santri perempuan memegangi tangan Mentari, sementara dua ustad yang lain membacakan ayat-ayat Al-Quran. Mendengarnya tubuh Mentari langsung menggelepar di tanah.

“OJO MOCO! Awakku kepanasen! Berenti rak kowe!!!!” Mentari merampas buku kecil berisikan ayat suci tersebut, dilemparnya sejauh mungkin. Lalu sekali lagi, Mentari tertawa. Namun tidak seperti tadi, kali ini ia cekikikan.

“Hihihi, kamu gak akan bisa mengusir aku dari tubuh perempuan ini! Hihihihi!”

“Sukmanya sudah aku canangkan di alamku! Dia tidak akan bisa balik ke badannya lagi!”

“Siapkan tahlilan untuk perempuan ini...” Usai berkata demikian, tubuh Mentari lunglai seketika. Dipegangi dua santri perempuan di belakangnya, Mentari sempat tenang dan melirik kanan-kiri.

“Dilawan, Mentari. Jangan diikutin, kalo kamunya ngizinin mereka masuk, bakal kayak gini terus. Dilawan, Ri. Kalo capek istirahat dulu...”

Mentari mengangguk lemah kemudian mengistirahatkan diri sebentar dengan meneguk air putih yang telah dibacakan doa. Namun selesai meneguk air tersebut, badannya kembali bereaksi. Seketika itu lantunan ayat sucipun mulai berkumandang, sementara Mentari menggeram dan menatap Pak Ustad penuh dendam.

“Jangan gagalkan rencanaku!!! Separuhnya sudah berhasil!” Mentari menghentakkan tangannya pada sebuah meja kayu hingga beberapa santri yang menahan tubuhnya terpental jauh. Sebagian dari mereka sampai terluka.

“Anak ini nggak ada salah sama kamu, ayahnya juga gak berbuat salah. Hentikan permainan kamu, Andini!” Ustad tersebut kemudian menempelkan ibu jarinya pada dahi Mentari hingga manik mata hitamnya naik ke atas. Semua santri yang menyaksikan perubahan itu sontak berteriak ketakutan. Bibir mereka bagai terkunci dan tak bisa membacakan ayat suci.

“Aku tidak akan membiarkan dia hidup! Dia akan mati di tanganku! Siapapun yang berani menghalangi jalanku menukarkan jiwa anak ini, akan kubunuh!!!!”

Teriakan histeris Mentari terdengar sampai ke teras rumah Pak Ustad ketika Jordy baru saja tiba. Diantar oleh Renjana, Jordy tak lupa mengucapkan terima kasih pada karyawannya itu.

“Thanks, Ren. Hati-hati baliknya.”

“Sama-sama, Pak Jordy.” Usai Renjana menjauh dari pandangan, Jordy segera masuk ke ruangan khusus tempat Mentari menjalani prosesi ruqyah. Ia duduk di belakang Mentari, memegang tubuhnya...yang lagi-lagi sama seperti pagi mencekam waktu itu. Berat sekali.

“Anak menantuku yang manis... ternyata sudah datang... mau mengantar jenazah anak pembawa sial ini ya? Gimana... kamu jauh lebih happy kan setelah bercerai dari anak ini?”

Jordy memilih acuh pada pertanyaan si iblis itu. Ia hanya fokus dan membaca ayat-ayat suci untuk kesembuhan Mentari. Lima detik pertama, Mentari sempat kondusif, namun tak berapa lama kemudian, Mentari justru tak sadarkan diri. Ustad yang bertugas menangani proses ruqyah itu bergegas mengecek detak jantung Mentari yang sempat tak terdeteksi.

“Gimana ini Pak Ustad?” tanya salah seorang santri lelaki. Sementara Jordy di belakang Mentari, tiada henti membisikkan ayat-ayat Al Quran sebisanya.

“Ri.. Riri, pulang. Pulang, Sayang. Pulang...” bisiknya terus menerus sambil mengusap kepala dan punggung tangan Mentari.

“Kamu ditunggu Aidan di rumah, Ma.”

Tak disangka ucapan Jordy yang terakhir ini berhasil memutus perangkap Andini. Tubuh Mentari yang semula terasa dingin dan kaku, lamat-lamat terasa hangat. Kedua pipinya kembali bersemu, dan helaan nafasnya pun berangsur normal. Mentari perlahan-lahan membuka matanya, mendapati Jordy sedang memeluk tubuhnya dari belakang.

“Ngapain kamu?” “Saya udah bilang saya mau dampingin kamu ruqyah.”

“Pergi.” “Ri...”

“Aku gak mau liat kamu!” bentak Mentari dengan linang air mata.

“Ri, saya cuma mau nemenin kamu–”

“Aku yang gak mau, Mas!” “Aku kan udah bilang, aku bisa kok ngadepin ini sendirian.”

“Jangan gitu, Ri.. Ini bentuk tanggung jawab say—”

“Kita udah cerai. Kalo mau kontakan, cuma boleh yang menyangkut Idan. Kayak gini ganggu privasi aku.”

Jordy terpaksa mengiyakan keinginan Mentari. Ia pergi tanpa pamit pada perempuan itu.

211

“Astaghfirullahaladzim Pak Jordy!”

Erna terkaget-kaget mendapati tuannya dibopong oleh Devon dengan wajah babak belur. Tapi bukan cuma itu. Di sebelah Devon, ada juga Jenan dan Teza yang menemani.

“Langsung taro di kamar aja, Mbak Erna. Saya kasih pelajaran dikit bapaknya, gak apa-apa ya,” kata Jenan. Erna mengangguk cepat dan cuma bisa menuruti perkataan dua sohib tuannya. Ia mempersilakan Jenan dan Teza masuk ke kamar Jordy.

“Hape Jordy ada di ruang tamu ya, Mbak. Tolong simpenin,” gumam Teza dengan suara yang agak menjauh.

Mereka berdua sibuk mengurus Jordy yang terkapar, dan Erna sibuk memasakkan air hangat untuk membasuhkan luka pada jidat dan bibir Jordy. Karena semua orang sibuk dengan Jordy, Aidan yang berdiri di pojokan dengan baju piyama Pororo-nya, mengendap-endap dan mengambil ponsel ayahnya. Diam-diam anak cerdik itu juga memfoto seluruh rangkaian ayahnya yang babak belur tadi. Lalu ia kembali ke kamar dan mengunci pintu.

.

Tangan Aidan bergerak cepat mencari kontak ibu sambungnya. Dikiriminya pesan tiga kata.

'Mah.' Kemudian ia keluar dengan sangat pelan dan kembali meletakkan ponsel ayahnya di tempat semula.

“Papi...”

Aidan mengunjungi kamar saya setelah dua hari lamanya dia berada di rumah sakit. Kala itu tubuh saya memang sedang drop. Panas tinggi disertai gerd yang kambuh tiba-tiba.

Bukan saya nggak makan hari itu, namun karena jadwal saya begitu padat. Pertama, saya harus ke pengadilan sendirian dan menjalani sidang perceraian hanya dengan kuasa hukum Mentari. Saya sudah tak bertenaga karena sejak Mentari memutuskan berpisah, saya benar-benar tak punya nafsu makan. Waktu luang saya cuma diisi dengan merokok dan minum kopi. Saya merasa tenang setelah itu meski hanya sebentar. Setiap malam adalah saat-saat saya hancur. Saya menangis berhari-hari penuh penyesalan, menyembunyikan semuanya ketika Aidan sudah terlelap.

Hingga hari ini, anak itu datang ke kamar saya dan menemukan ayahnya sedang menangis sendirian.

“Papi... Mamah marah sama kita ya?” tanyanya polos. “Idan buat Mamah sedih ya? Tapi nilai Idan bagus, Papi, kenapa Mamah pergi?”

Saya berusaha menegakkan kepala lalu memandang Aidan. “Bukan Aidan yang salah. Papi yang jahat sama Mamah.”

“Papi jahat kenapa? Papi udah enggak pernah marah sama Mamah....kan?” Nada Aidan turun meragu.

“Aidan, kalau nanti udah besar gak boleh kayak Papi, ya? Harus jadi anak baik, jangan sakitin perempuan. Oke?” Saya mengajukan tos fist bump padanya.

“Iya, Papi. Tapi Mamah pasti pulang kan, Pi? Idan kangen sama Mamah...”

“Mamah... mungkin cuma bisa ditelepon aja, Dan. Mamah sibuk, kalau pulang ke sininya... Papi harus ngobrol lagi sama Mamah.”

“Tapi Papi—” “Sini, tidur sama Papi ya malam ini?”

Hebatnya, Aidan langsung setuju. Saya selalu ingat satu pesan dari Mentari tentang Aidan, yakni Aidan yang sebenarnya sangat baik dan penurut. Ngobrol dengan dia empat mata dan dari hati ke hati, serta menghabiskan waktu berdua dengannya adalah jalan terbaik agar Aidan tidak melawan.

Hari ini saya melakukannya. Saya meliburkan diri dari kantor, merehatkan pikiran dari pekerjaan juga masalah perceraian kami. Saya menghabiskan waktu berdua dengan Aidan. Kami ke Timezone, lalu makan ice cream berdua di toko gelato favorit Aidan dan Mentari.

“Idan mau makan es krim kesukaan Mamah,” katanya tadi.

“Mamah suka rasa apa emang?”

“Mamah suka rasa coklat kaya Idan. Kata Mamah rasanya manis-manis pahit kayak Papi, hihihi.”

Suapan saya terhenti tepat ketika Aidan tertawa kecil. Air mata saya nyaris terjatuh seiring pedih menjalar dalam hati. Mentari adalah orang yang jujur. Dia benar, saya adalah pahit untuknya. Saya tidak pernah menjadi penawar bagi rasa sakitnya. Bersama saya, Mentari selalu sesak dan sakit. Demikian juga dengan saya.

“Idan mau makan lagi?” “Mau, Mamah suka Bakerzin. Spaghetti-nya.”

“Emang Idan suka?” “Enggak, Pi. Tapi Mamah suka, Idan seneng liat Mamah seneng.”

“Kenapa gak makan yang Idan suka aja?”

“Kalo kita gak pernah coba rasa yang lain, kita ga akan pernah tau, Pi rasanya enak apa enggak... Kata Mamah.”

Saya mengacak rambut Aidan pelan dan lagi-lagi kagum terhadap mantan istri saya. Mentari memang punya cara yang unik dalam mendidik Aidan, yang selama ini saya coba jalankan tapi gak pernah berhasil. Their bond are more stronger than mine. Indeed, a mom and son.

— “Papi...” “Ya?”

“Idan gak mau minta Mamah baru lagi...Mamahnya Idan cuma satu.”

“Papi juga gak mau, Dan. Mamah Idan cuma satu, kok.”

“Papi...” “Ya?”

“Idan kangen Mamaaaaah.” Tangisnya luruh. Saya segera memeluknya erat, membiarkan pedih yang sedang saya rasakan sepertinya segera berakhir. Saya juga menangis, hanya saja saya tidak sampai banjir seperti Aidan.

“Papi...” “Ya, Dan?”

“Mamah gak akan pulang ke sini lagi?”

Saya hanya bisa terdiam dan mengeratkan peluk saya padanya.

“Ri...” Aku menghambur peluk pada Chanting yang ternyata memintaku datang di rumah saudaranya. Karena kebetulan hari itu adalah weekend, Chanting selalu berkunjung ke rumah sepupunya, Adel. Ia diminta oleh keluarga Adel untuk menjaga warung milik mereka.

“Astaga sampe kusut begini temen gua, bener-bener monyet si Jordy ya!” Chanting memaki penuh emosi. “Masuk Ri, kamar tamu di depan udah gue bersihin. Maap tapi ya, cuma pake kipas angin.”

Aku mengangguk lemah lalu langsung menuju kamar yang Chanting maksud. Sahabatku itu sampai meninggalkan warungnya sejenak demi membuatkanku secangkir teh hangat dan beberapa camilan agar aku dapat mengisi perut.

“Aidan gimana Ri?” Aku terdiam. Aku tahu apa yang akan terjadi bila Aidan tak melihatku sehari ini, sebab perasaanku sejak kemarin tak menentu.

“Gue gak tau, Ting. Gue sakit hati ada di rumah itu terus, gue ga mikir panjang tadi. Kebawa emosi.”

Chanting menepuk bahuku pelan, “sabar ya, Ri... Gue baru sempet pegang hape pribadi, missed call dari Renjana sekebon rame banget. Kata dia Jordy kelabakan nyariin lo.”

Aku menghela nafas pelan. “Gue blok nomernya Jordy.”

“Anjing,” umpat Chanting kesal. “Ya lo istirahat aja dulu Ri disini..”

Aku mengangguk, “kalo Jordy nelepon lo jangan diangkat. Biarin aja.”

”...Gue tadi udah minta temen gue kontakin Pak Rudolf.”

“Rudolf bos lo yang di tempat sebelumnya itu? Yang kuasa hukum?”

Aku mengangguk. “Gue udah daftar ke pengadilan agama, Ting.”

“Wah...” Chanting menggelengkan kepala. Walau dia terlihat heran aku tahu dia mengerti perasaan dan sakit hatiku saat ini.

“Senin gue berkas perceraiannya udah mampir di rumah kata temen gue.” Suaraku gemetar saat menyampaikannya, Chanting menarikku dalam peluknya. Ia turut menangis saat aku menuturkan semua kalimat Jordy di laman chat.

“Ri, dengerin gue. Lo cakep Ri, mumpung lo belom punya anak juga sama si Duda Gila itu, lo puas-puasin diri lo. Yang nunggu lo cere banyak. Jangan salah! Satu, Jenan. Dua Renjana, Tiga Omar, pemuda Balai Desa sebelah. Siapa lagi...ya?”

Aku terbahak mendengar perkataan Chanting. “Everybody knew that you're worth to be waited. Sumpah. Lepasin tuh Duda Sinting.”

“Thank you, Ting.” “Sama sama, Ri.