noonanya.lucas

Sejak mendiami apartemen baru, Restu nyaris tak punya waktu untuk merapihkan pakaian yang baru ia bawa dari rumah. Semua baju kerja serta kaus-kausnya masih terdampar di sofa.

Kesibukannya setelah resmi dilantik menjadi Direktur Keuangan di NCIT membuat lelaki tampan itu sering kali langsung membuang tubuhnya di ranjang. Bangun pagi, ia hanya mengambil pakaian yang tersedia. Namun hari ini, karena ditugaskan Shaka untuk hadir di Business Summit Entrepreneur yang diadakan oleh CNN, mau tidak mau Restu harus menyingkirkan rasa malas.

Ia membongkar kembali beberapa kemeja yang dibawakan. Daksanya lantas tertuju pada satu kemeja putih yang dulu pernah dihadiahkan Shea ketika mereka sedang berlibur di Lake Como, tepat sehari sebelum ia memutuskan pertunangan mereka.

“Ini bagus buat kamu, Tu. Aku yang pilih,” kata Shea saat itu. Restu tak menanggapi, meski matanya bergulir mengikuti gerak-gerik Shea. Gadis itu tersenyum, kedua pipinya merona merah hanya karena dapat memakaikan kemeja tersebut pada Restu.

“Ya, bagus. Udah ya, udah gue pake kan?” Lepas lagi deh, gue gak nyaman. Sempit ini, ukurannya salah,” keluh Restu. Shea balas menatap Restu dengan bibir melengkung, “Maaf ya, aku kan nggak tau ukuran baju apa.” Restu langsung mengembalikan kemejanya pada Shea. Tanpa memikirkan bagaimana hancurnya Shea, dia meninggalkan perempuan itu sendirian, membiarkannya merapikan dan membungkus kemeja kembali. Kemudian saat Shea meninggalkan kamarnya, Restu tak lagi melihat kemeja itu berada di sana.

Tetapi siapa sangka kemeja itu malah terbawa Restu, entah kapan Shea memberikan kemeja itu pada keluarganya. Yang jelas, Restu tak lagi ragu memakainya untuk menghadiri acara penting hari ini.

Benar apa yang dikatakan Teza, Mentari sangat memprioritaskan Aidan diatas segalanya, dan Jordy uring-uringan karena itu.

Dia bukan bermaksud cemburu, tetapi Idan kerap membuatnya merasa tersingkirkan, apalagi saat sedang bertengkar hebat seperti sekarang. Mentari seakan-akan menghindari pertengkaran itu, dan memilih tidak membahasnya karena takut Aidan dengar atau tahu kalau kedua orang tuanya akan berpisah.

Selama menyetir, Jordy berusaha tenang dan fokus, tapi tetap diiringi gundah, cemas dan penasaran yang membuncah. Ia tak sabar Mentari membatalkan gugatan perceraian mereka. Maka sesampainya ia di rumah, Aidan yang untungnya masih terlelap segera ditaruh Erna di kamarnya, sedang ia menuju kamar tamu, mencari keberadaan Mentari.

“Ibu kemana?”

“Di kamarnya, Pak.”

“Kosong gitu loh, nggak ada orang. Barang-barangnya ga ada di kamar.”

“Waduh, Pak, maaf saya gak ngeuh, tadi saya diminta Ibu beresin kamar Bapak. Saya bersihin pas ada Ibu, Pak.” Rahang Jordy mengeras.

“Kamu ini gimana sih, Erna? Masa Ibu kabur aja kamu nggak tau!”

“Maaf Pak, saya bener-bener nggak ngeuh.” Menghardik seribu alasan Erna, Jordy yang tengah gusar mencoba menghubungi istrinya dan naasnya tidak diangkat.

“Tez, tolong.” “Nape?” “Mentari pergi, kabur dari rumah.” “Njing. Sabar ya.” “Bantu cariin Tez, gue pinjem orang-orang lo ya.” “Sip.”

Lantunan musik jedag-jedug yang lantang terdengar saat Jordy memijakkan kakinya ke dalam apart.

Tapi dia sama sekali tidak menemukan siapapun di sana. Bahkan berbagai botol-botol kaca pun tak tampak di hadapannya.

Sampai akhirnya Jordy membuka pintu kamar tamu, mendengar suara seorang perempuan dari kamar mandi.

Dengan tergesa lelaki itu langsung menyusul ke dalam, menemukan sang puan sedang bertumpu pada bibir toilet dan menundukkan kepala. Jordy lantas mengusap punggung sang puan perlahan.

“Mentari.”

“Duh diem deh lo anjing! Gue kayak gini juga gara-gara lo. Bangsat!” Perempuan itu menepis kencang tangan Jordy.

Mendengar makian yang terlontar dari bibirnya, Jordy cuma bisa diam. Di sisi lain, entah mengapa Jordy merasa puas dan menang satu poin dibanding Jenan.

Karena Jenan tak akan mungkin bisa melihat sisi manis Mentari yang seperti ini.

Jordy sengaja tidak melakukan perlawanan, membiarkan Mentari terus memarahinya agar perempuan itu merasa lebih baik.

“Terus apalagi?” balas Jordy penuh kesabaran.

“Ya pokoknya semua gara-gara lo, monyet!” sahut Mentari sembari memukul pelan pundak bertato Jordy

“Terus?” “MUAL GUE SEKARANG!”

“Yang suruh kamu minum siapa?” “Nggak ada.”

“Udah tau nggak kuat alkohol, ngapain minum? Bukannya kita obrolin aja.”

“Ya suka-suka gue dong! Emang lo bakal dengerin maunya gue? Diajak kompromi aja gak mau, malah barang-barang gue lo simpen! Gue nih calon istri lo bukan tawanan rumahan! Setan!”

“Ngapain lo ketawa-tawa! Gue capek seharian harus nahan nangis depan Idan! JANCUKKKK!”

Mendengar omelan puannya, Jordy makin terbahak. Dia terlalu gembira karena momen yang ia tunggu akhirnya tiba—maksudnya, bisa seharian melihat Mentari membagikan perasaannya, ya walau dia harus menerima umpatan kasar dari perempuan itu.

“Ya udah nangis aja dulu.” Jordy melebarkan tangannya, kemudian mendekap Mentari erat. Namun ketika tubuh mereka saling mengikat satu dengan yang lain, tangis Mentari justru terhenti. Dia terlelap di pundak Jordy.

“Saya anter ke kamar aja, ya.”

Usai berucap demikian lelaki itu pun segera mengangkat tubuh Mentari kemudian membaringkannya di ranjang, di sebuah kamar bernuansa abu dan sedikit remang.

Berbeda dengan kamar yang biasa menjadi tempat Mentari beristirahat, persis di sebelah kamar Aidan.

Ingat Apa Tukang Parkir.

Mungkin bagi Chanting cuitannya hanya sebuah lelucon. Tetapi tidak bagiku.

Buatku apa yang Chanting ketik adalah sebuah refleksi atas hubunganku yang baru dimulai.

Baru dimulai dan sebelum terlambat, aku harus cepat-cepat mengakhiri semuanya.

Tapi ketika tekad bulatku telah melingkar sempurna, tangan mungil yang mencoba meraih jemariku menggagalkan rencanaku.

Sepasang mata bundar nan lugunya itu mengoyakkan pendirianku. Dia berada di sebelahku sambil menarik kain bajuku.

Di sana dia bertanya, “Tante Kibow enggak mau jadi Mamahnya Aidan?”

Sudut matanya menyipit, yang disertai senyum hangat tergambar di wajah anak itu, menjadi tamparan keras untukku. “Tante Kibow, kenapa menangis?”

“Idan salah ngomong ya? Tante Kibow, wait. I got you this, Tante. Ini sunflower mungkin bisa bikin Tante happy.”

Demi Tuhan ucapan anak sekecil Aidan bisa-bisanya membuatku luluh lantah. Dia... seperti Papa dalam bentuk yang lebih mungil.

Mungkin Papa tidak memberikan bunga seperti yang Aidan lakukan, tetapi dia selalu menemukan cara unik untuk mengusir sedihku.

Aku balas menatap Aidan seraya menyibak surai hitamnya, “Makasih ya Idan..” Kemudian kuambil bunga matahari di tangannya.

Lelaki di sebelahku melirik kami berdua tanpa ekspresi. “Ya, Dan. Dia bakal jadi mamahmu.”

“Tapi Papi, Papi pernah bilang sama Idan, mami Idan cuma satu... Enggak boleh dua.”

Jordy sontak melirik Aidan, terlihat jelas jika dia sedikit panik. Padahal aku biasa saja, karena aku memaklumkannya.

Toh menikah denganku bukanlah sesuatu yang pernah ia rencanakan.

“Dan, mau makan es krim nggak? Beli sendiri ya, ini Papi kasih duitnya.” Jordy segera mengeluarkan selembar uang dan diberikan pada Aidan, kemudian menoleh padaku kikuk.

Setelah memastikan Aidan menjauh dari kami, Jordy baru menjelaskan. “Saya emang pernah ngomong gitu ke Aidan—”

“Nggak perlu dibahas juga sih, saya ngerti kok,” balasku lalu bergeser dari sisinya.

“Kamu dari kemaren kenapa ya pake saya, saya terus?” Jordy melayangkan protes padaku.

“Ya kan profesional. Bapak yang nulis kok di kontrak kerja,” sahutku realistis.

“Sekarang kita lagi ga kerja, lagi di acara sekolah Aidan,” balasnya enggan mengalah.

“Iya saya paham, Pak,” kataku lalu meninggalkannya untuk menghampiri Aidan yang berjalan ke arahku sambil memegang dua es krim.

“Kok Aidan beli dua?” tanyaku. “Satunya buat Tante Kibow,” jawab Aidan seraya menyodorkan es krim itu ke arahku. “Tante, jangan nangis lagi ya.”

“Enggak kok. Tante udah nggak sedih lagi dong! Kan udah dibeliin es krim sama Idan. Makasih ya, Nak.” Aku sengaja berjongkok, mensejajarkan posisiku dengan Aidan.

Sedang Jordy yang berdiri di belakang kami cuma bergeming.

“Dan, tadi Om Devon ke sini. Abis acara, Idan pulang sama Om Devon ya...”

“Nggak mau. Idan maunya sama Tante,” jawab Aidan sengit. Helaan nafas berhembus pelan dari bibir Jordy. Aku tahu dia berusaha keras untuk memperbaiki hubungan kami.

Tapi apakah karena dia mulai menyayangiku..? Atau hanya sekedar karena ingin mewujudkan mimpi Aidan yang mendamba keluarga utuh?

“C'mon, Dan. Don't be late.” Kedatangan Jordy diiringi dengan wajah kaget dari Mentari juga anaknya sendiri. Dia melangkah gagah menuju mobil dan membukakan pintu bagi Aidan yang ingin duduk di pangkuan Mentari.

“Papi anter Idan ke sekolah?!” tanya Aidan girang.

“Ya.” Lelaki itu menjawab singkat seraya menarik safety-belt setelah ia memanaskan mesin mobil.

Berbeda dengan Mentari yang sibuk mengunci mulutnya rapat-rapat. Rencana yang telah ia susun semalam hancur berantakan karena lelaki arogan di sebelahnya ini.

Padahal Mentari sudah membayangkan betapa damainya dia ketika nanti bisa melepas diri dari Jordy Hanandian.

“Papi, Papi.” “Apa, Dan?”

“Ini, Papi...” Aidan menyodorkan sepucuk surat pada ayahnya.

Jordy lekas membuka amplop yang berlogo lambang sekolah Aidan tersebut. Degup jantungnya berdebar, mencemaskan Aidan kembali berbuat ulah.

Tapi syukurlah semua itu hanya ada dalam bayangan Jordy. Sebab di lembaran surat itu, tertulis bahwa...

“Parents Day?” tanya Jordy. Aidan mengangguk. “Tadinya Tante Kibow yang mau dateng, tapi kalo Papi mau ikut boleh juga sih,” sahut Aidan sedikit takut.

“Boleh. Papi juga hadir.”

Kini giliran Mentari yang cemas karena dia takut orang-orang, terutama para orang tua menilainya aneh. Pasalnya seluruh teman-teman Aidan mungkin sudah tahu bahwa Jordy seorang single parent.

Lalu jika tiba-tiba Mentari ikut bergabung, lantas apa dia tidak akan dicibir oleh orang tua teman-teman Aidan?

“Dan...” “Tante mesti pulang sebentar ke rumah hari—”

“Hari ini Parents Day, Mentari. Artinya kamu juga harus hadir.” Jordy menyela pembicaraan Mentari dengan ekspresi datar.

“Ya, terus?” sahutnya acuh. Lirikan Jordy padanya berubah tajam saat seakan Mentari menolak permintaannya.

“Tante Kibow, kenapa enggak mau ke sekolah Idan? Sekolah Idan bagus kok, ada perosotannya!”

Mentari tersenyum kelu sambil memikirkan jawaban apa yang harus dia sampaikan pada Aidan. Dia pun tak menolak datang jika Jordy tidak ikutan.

“Iya, Dan. Tante ikut kok,” begitulah jawaban yang akhirnya meluncur dari bibir Mentari. Sementara pria arogan di sebelahnya itu fokus menatap jalan raya dengan senyum tipis tersungging di bibirnya.

“Kenapa pulangnya ke rumah Bapak?” Aku patut memprotes karena sebelum mobil Jordy berhenti di basement apart-nya, aku sudah memintanya untuk mengantarku ke rumah. Sayangnya, aku terlalu lelah untuk hari ini dan sialnya, aku tertidur dalam perjalanan.

“Banyak yang harus kita beresin. Besok aja baliknya.”

“Pak, kalau Bapak minta saya untuk nurut sama Bapak, saya iyain. Kenapa kalau saya yang minta, gak pernah Bapak dengerin?”

“Jangan berantem sekarang, saya lagi capek, Mentari.”

“Bapak pikir saya nggak capek kah?”

“Mentari.” Nada Jordy mulai berubah, tapi aku tak peduli. Aku juga butuh sehari penuh untuk berpikir ulang mengenai hubunganku dengannya yang selalu diwarnai pertengkaran. Dia tidak mau berkompromi, sedang aku dipaksa olehnya.

“Saya cukup sekali ngomong sama kamu.”

“Saya juga cukup sekali kenal Bapak. Saya capek, Pak. Saya nggak pernah dianggap sama Bapak, saya juga nggak pernah didengerin sama Bapak.”

Jordy menatapku datar, sedang aku yang tadinya tak ingin menangis, akhirnya menumpahkan kesedihanku di depannya. “Kalau Bapak gak mau sama saya, bilang dari sekarang. Jangan diteruskan, Pak. Saya nanti jelasin ke Paklik dan Bulik.”

Kurasa dia cukup kaget dengan keputusanku. Tangannya mencegatku untuk turun, tapi aku berhasil melepas genggamannya.

“Kamu mau bilang apa sama Paklik Bulik?” tanyanya panik.

“Ya bilang aja kita nggak cocok.” “Saya harus bilang apa sama Aidan kalau kamu pergi?”

“Bilang aja Tante Kibow udah resign dari kantor, jadi nggak ke sini lagi.”

Aku berjalan menjauh darinya, tapi sial—aku lupa, Jordy selalu bisa maju selangkah dariku. Kaki jenjang dan tubuh tingginya itu menjadi akses untuk menjangkau tanganku.

“Mentari, masalah kita simple. Cuma komunikasi.”

“Nggak, lebih complicated dari itu.”

“Please lah, Mentari...”

“Saya sayang sama Aidan, Pak. Tapi saya pikir itu nggak cukup buat Bapak. Jadi mending gini aja... Saya bakal tetep urus Aidan. Saya nggak butuh uang atau materi dari Bapak. Saya cuma mau Bapak janji sama saya untuk perhatiin dia sebaik mungkin.”

”...Bahkan Bapak nggak perlu buang waktu nikah sama saya kalau Bapak sadar dari awal.”

”...Udah ya, Pak? Hari ini, anggep aja terakhir kali kita saling kenal, dan terakhir juga saya 'pacaran' sama Bapak. Besok, Bapak bebas mau ngapain, mau janjian sama siapa dan pacaran sama siapa tanpa harus delete foto.”

”...Tenang, Pak. Saya nggak akan bocor ke siapapun kalau kita pernah deket, termasuk sama Pak Jenan dan Pak Teza.”

”...Nama Bapak akan selalu baik di depan keluarga saya.”

Jordy benar-benar hanya diam dan mendengarkan semua perkataanku. Dia memandangku nanar, tapi dapat kulihat netranya meredup, nafasnya memburu. Binarnya seakan memintaku untuk menetap.

“Jangan panggil saya 'Bapak,' kan tadi saya udah bilang.”

“Ya suka suka sayalah mau manggil Bapak kek! Om kek! Mulut, mulut saya, kok Bapak ngatur melulu!” kesalku, kemudian meninggalkannya. “Lepasin tangan saya atau saya teriak di sini!” ancamku dengan pelototan.

“Kamu nggak akan bisa pulang, Mentari. Akses apart ada di saya, kamu kan ga punya akses.”

”...Kalau mau, minta Erna aja. Tapi paling dia udah tidur, nemenin Aidan.”

Aku meliriknya dingin sambil dengan sangat terpaksa mengikutinya dari belakang.

🖤

“Ri, thank you udah mau dinner sama gue.”

Aku tersenyum tipis menatap Jenan di depanku. Dia terlihat sangat tampan malam ini, begitu juga dengan ketulusannya padaku.

“Sama-sama, Pak Jenan,” kataku kemudian. “You're insanely gorgeous.”

Pujiannya sontak membuat kerongkonganku gatal, seakan sangat membenci kata-kata itu. Aku yang sedari tadi berusaha melupakan postingan Jordy, akhirnya luruh. Amarah mulai memenuhi benakku saat mengingat lagi postingan itu.

“Muka lo merah amat? Kita kan gak minum...”

“Nggak apa-apa, Pak. Cuma muka saya agak merah karena panas.”

Bohong, aku hanya berusaha untuk terlihat kuat di depan Jenan. Aku tak ingin dia tahu kalau saat ini aku sedang sakit hati karena sahabatnya.

Jordy, laki-laki yang dua minggu lalu dengan gagah dan terlihat serius memintaku menjadi istrinya.

Tapi apa yang dia lakukan? Dia malah melukaiku dengan sikapnya; dengan segala tindakannya yang sesuka hati.

Aku terpaksa melipir ke kamar mandi untuk menangis agar semua sedihku selesai.

Namun nama lelaki sialan itu muncul mengganggu, memintaku keluar restoran hanya karena dia menjemputku.

“Keluar sekarang. Aidan di rumah, inget itu.”

“Saya udah bilang, saya bisa diantar Pak Jenan. Bapak ngapain di luar? Pulang!” Aku merasa menang saat berani menentangnya.

“Saya nggak akan pulang sebelum kamu keluar. Kamu nantang saya, gini akibatnya.” Dia mengancam lebih galak.

“Mau Bapak nantang kek, mau Bapak tunggu di situ kek, saya nggak akan mau pulang sama Bapak.”

“Berhenti kayak anak kecil, Mentari.”

“Dan berhenti juga nyakitin saya...” pintaku dalam hati.

“Keluar, saya mau kita pulang bareng.”

🖤

Perasaanku makin tak karuan saat Jordy dan Jenan berada di titik yang sama.

Namun Jenan menanggapi Jordy santai, tidak seperti dia yang memandang Jenan bagai buronan. Jordy sinting itu justru melirikku kesal, lalu bersikap sok perhatian padaku dengan menyampirkan jaketnya.

“Wuaduh, sejak kapan Jordy Hanandian mau minjemin jaket? Mana yang paling mahal pula,” Jenan mengomentari.

Aku paham komentar itu bukan bermaksud mengejek Jordy, tapi pria tua menyebalkan itu menangkap maksud yang berbeda.

“Bukan urusan lo,” sahutnya kaku dingin, lalu membukakan pintu mobil untukku tanpa membiarkan aku mengucap terima kasih pada Jenan.

“Jor, kesambet apa sih lo? Anyway, happy anniversary! Gue inget banget hari ini hari jadian lo sama dia, lo juga kesenengan banget diterima cintanya sama Kirana.”

Penjelasan Jenan yang menggema di telingaku sebelum pintu tertutup sangat menjelaskan bahwa Jordy memang tak pernah sungguh-sungguh.

🖤

Dalam perjalanan, Jordy sama sekali tak mengajakku bicara.

Ia hanya terus menyetir mobil dalam kecepatan normal tapi dengan wajah dingin dan arogan.

Rahangnya mengeras, seperti sedang menahan amarah. Padahal semestinya aku yang begitu, eh ini yang terjadi justru sebaliknya.

“Saya cuma mau kamu lebih berpikir ke depan pas ngelakuin sesuatu, Mentari.”

“Ngelakuin apa?” sahutku berusaha sabar. Itupun setelah aku menarik satu napas panjang.

“Izin sama saya kalau ke mana-mana. Dan, jangan pernah pergi berdua laki-laki lain.”

Aku tentu saja tertawa lalu memandangnya miris. “Bapak tau nggak, saya ngobrolin apa sama Pak Jenan?”

“Apa?” tanyanya langsung menoleh.

“Ngobrolin Bapak.” “Jangan kurang ajar kamu sama saya.”

“Lah? Lagian yang saya bahas emang beneran tentang Bapak dan web series yang selanjutnya, keperluannya apa, kebutuhan ekspedisinya apa. Kok malah marah? Aneh banget,” decihku sebal.

“Bisa nggak kamu manggilnya jangan “Bapak?”

“Waktu saya tanda tangan kontrak, saya dibayar Bapak untuk profesional. Ya saya jalanin aja yang ada di kontrak,” jawabku santai, tapi kuperhatikan tangan Jordy mengepal hebat.

“Sekali ini aja ya Mentari, kamu bikin saya semarah ini. Saya nggak pernah sekesal ini sama perempuan. Baru kamu aja.”

Entah aku yang salah atau dia, tapi jawaban yang mengalun dari bibirnya itu sungguh membuatku puas. Bukan aku senang mengerjainya, tapi dia harus tau kalau dari sekarang, kalau dia sungguh-sungguh padaku atau keluargaku, dia tidak bisa macam-macam.

Aku juga tak akan mengusik wanita manapun yang pernah dia tiduri atau kencani, tapi dia perlu tahu bahwa komitmennya-lah yang kini menjadi peganganku.

“Halo Idan, ini Oma.”

Bagi Aidan, sebenarnya suara itu tidak asing di telinga, namun mendengar nada serius yang terdengar dari bibir sang nenek, Aidan sedikit cemas.

Dia hapal betul bahwa nenek dari pihak ibu kandungnya ini sangatlah berkebalikan dengan nenek dari ayahnya yang santai dan penyayang.

Memori kecil dalam kepala anak itu sontak memutar ingatannya seminggu lalu, ketika ia harus mengikuti les musik tanpa persetujuannya.

Aidan tidak menyukai itu. Baginya, musik memang seru, tapi sampai detik ini, dia masih penasaran dengan bidang pekerjaan ayahnya.

Aidan kemudian menjauhkan ponselnya dari jangkauan, mengambil nafas dalam-dalam sebelum ia mendengar kalimat berikut dari sang nenek.

“Dan, ada satu hal yang perlu Oma kasih tau ke kamu.”

”...Jangan deket-deket sama calon Mamah barumu itu. Dia sakit, Dan. Nanti kamu ketularan. Dia nggak normal.”

Tanpa sepatah kata terucap, air mata Aidan langsung jatuh. Tangisnya pecah, hingga membuat pengasuh yang bertugas menjaganya di rumah ibu Jordy terkejut.

“Eh, Den Idan? Kenapa? Aduh, jangan nangis atuh...” Sang Pengasuh membujuk lembut.

“IDAN MAU PULANG! IDAN MAU SAMA MAMAAAAH! OMA RECHA JAHAT EMBAAAAAK!” Adunya sambil menangis terisak-isak. Sang Pengasuh pun langsung menelepon tuannya agar menenangkan bocah itu.

Syukur diangkat, dan Aidan lekas dijemput oleh ayahnya.

“Apa kamu nggak bisa sedikit menghargai Papa dan Mama?”

Dengusan berhembus pelan dari bibir Jordy ketika dia baru saja mengangkat telepon dari mantan mertuanya.

Dengan problematika yang sama, Recha—ibu kandung Kirana—terus mengusik Jordy, bahkan saat lelaki itu perlahan ingin melepas diri dari keluarga tersebut.

“Sorry ya Dy, Mama mungkin sempat bersikap keras sama kamu beberapa waktu lalu, dan Mama juga menemukan banyak bon terselip di meja kamu. Kamu ke pusat rehabilitasi untuk orang-orang yang kena gangguan jiwa. Kalau ada apa-apa, kenapa nggak cerita sama kami?”

Jordy hening sejenak. Sebenarnya dia tidak merasa perlu menceritakan hal ini pada Recha, namun entah mengapa wanita itu tak bosan-bosan mengulik hidup Jordy saat ini.

“Itu bukan punya Ody, Ma.” “Aidan cucu Mama? Ini pasti gara-gara perempuan itu! Kamu harus jauhin dia dari Aidan!”

“Ma...” Lagi-lagi Jordy mengembuskan nafas, sembari ia memijat dahi karena mulai tertekan dengan segala tindak tanduk mantan mertuanya.

“Ya Mama nggak mungkin izinin perempuan itu ngurus Aidan kalo kondisinya begitu! Bilang, Dy. Mama akan carikan psikiater terbaik untuk Idan.”

”...Aidan nggak kenapa-napa, Ma. Tenang. Mentari memang ada kondisi khusus, jadi harus terapi ke pusat rehab—”

“Kamu ni gimana sih, Dy?” Belum sempat Jordy melanjutkan ucapannya, Recha di ujung sana memotong dengan tergesa.

”...Kamu biarin Aidan diurus perempuan sakit jiwa kayak Mentari? Itu nggak main-main lho penyakitnya, Dissociative Identity Disorder! Yang bener aja kamu Dy, kamu mau kalau Aidan kenapa-napa diurus dia?”

“Ma, Mentari udah jalanin perawatan.. sekarang keadaannya membaik,” terang Jordy penuh kesabaran.

“Nggak bisa, Ody. Mama ga rela ya, kalau cucu Mama diurus perempuan gila. Mending kamu cari pengasuh baru daripada diurus sama Mentari!”

Sayang sebelum Jordy kembali menjelaskan argumennya, Recha lebih dulu mematikan telepon. Jordy terduduk lemas di bangkunya, tampangnya berubah kalut, khawatir bila Recha buka mulut perihal ini kepada Aidan.

“SAYAAAANG, SORIIIIIII...”

Mentari menghampiri Jordy yang sedang mengkalibrasi kopinya. Aroma kopi tersebut lantas membuat perempuan cantik itu lekas menghampiri tunangannya. Dengan cepat, Mentari menyelipkan tangannya di balik lengan Jordy dari belakang.

“Kamu dapet?” tanya Jordy menengok ke arahnya. Mentari mengangguk. “Maaf ya tadi aku marah-marah.”

“That's fine,” jawab lelaki itu, lalu menarik secangkir gelas untuk menuangkan kopi. “Mau gak?”

“Aku gak bisa kalo kopinya terlalu strong, Mas.” “Really?” Sudut mata Jordy meliriknya. Sang puan lekas mengangguk. “Sayang.”

“Hmm?” “Hahaha, gak jadi deh. Malu nanyanya.” “Mau nanya apa?”

“Gak papa, tapi beneran disayang kamu rasanya kayak mimpi.”

Sontak Jordy berhenti menenggak kopinya. Dia mendekati sang puan hanya untuk mengelus kepalanya, “Love you, okay?”

Ucapan itu tak pelak membuat Mentari begitu bahagia, senyum di wajah manisnya mengembang seiring Jordy mencium keningnya.