“Ri, thank you udah mau dinner sama gue.”
Aku tersenyum tipis menatap Jenan di depanku. Dia terlihat sangat tampan malam ini, begitu juga dengan ketulusannya padaku.
“Sama-sama, Pak Jenan,” kataku kemudian. “You're insanely gorgeous.”
Pujiannya sontak membuat kerongkonganku gatal, seakan sangat membenci kata-kata itu. Aku yang sedari tadi berusaha melupakan postingan Jordy, akhirnya luruh. Amarah mulai memenuhi benakku saat mengingat lagi postingan itu.
“Muka lo merah amat? Kita kan gak minum...”
“Nggak apa-apa, Pak. Cuma muka saya agak merah karena panas.”
Bohong, aku hanya berusaha untuk terlihat kuat di depan Jenan. Aku tak ingin dia tahu kalau saat ini aku sedang sakit hati karena sahabatnya.
Jordy, laki-laki yang dua minggu lalu dengan gagah dan terlihat serius memintaku menjadi istrinya.
Tapi apa yang dia lakukan? Dia malah melukaiku dengan sikapnya; dengan segala tindakannya yang sesuka hati.
Aku terpaksa melipir ke kamar mandi untuk menangis agar semua sedihku selesai.
Namun nama lelaki sialan itu muncul mengganggu, memintaku keluar restoran hanya karena dia menjemputku.
“Keluar sekarang. Aidan di rumah, inget itu.”
“Saya udah bilang, saya bisa diantar Pak Jenan. Bapak ngapain di luar? Pulang!” Aku merasa menang saat berani menentangnya.
“Saya nggak akan pulang sebelum kamu keluar. Kamu nantang saya, gini akibatnya.” Dia mengancam lebih galak.
“Mau Bapak nantang kek, mau Bapak tunggu di situ kek, saya nggak akan mau pulang sama Bapak.”
“Berhenti kayak anak kecil, Mentari.”
“Dan berhenti juga nyakitin saya...” pintaku dalam hati.
“Keluar, saya mau kita pulang bareng.”
🖤
Perasaanku makin tak karuan saat Jordy dan Jenan berada di titik yang sama.
Namun Jenan menanggapi Jordy santai, tidak seperti dia yang memandang Jenan bagai buronan. Jordy sinting itu justru melirikku kesal, lalu bersikap sok perhatian padaku dengan menyampirkan jaketnya.
“Wuaduh, sejak kapan Jordy Hanandian mau minjemin jaket? Mana yang paling mahal pula,” Jenan mengomentari.
Aku paham komentar itu bukan bermaksud mengejek Jordy, tapi pria tua menyebalkan itu menangkap maksud yang berbeda.
“Bukan urusan lo,” sahutnya kaku dingin, lalu membukakan pintu mobil untukku tanpa membiarkan aku mengucap terima kasih pada Jenan.
“Jor, kesambet apa sih lo? Anyway, happy anniversary! Gue inget banget hari ini hari jadian lo sama dia, lo juga kesenengan banget diterima cintanya sama Kirana.”
Penjelasan Jenan yang menggema di telingaku sebelum pintu tertutup sangat menjelaskan bahwa Jordy memang tak pernah sungguh-sungguh.
🖤
Dalam perjalanan, Jordy sama sekali tak mengajakku bicara.
Ia hanya terus menyetir mobil dalam kecepatan normal tapi dengan wajah dingin dan arogan.
Rahangnya mengeras, seperti sedang menahan amarah. Padahal semestinya aku yang begitu, eh ini yang terjadi justru sebaliknya.
“Saya cuma mau kamu lebih berpikir ke depan pas ngelakuin sesuatu, Mentari.”
“Ngelakuin apa?” sahutku berusaha sabar. Itupun setelah aku menarik satu napas panjang.
“Izin sama saya kalau ke mana-mana. Dan, jangan pernah pergi berdua laki-laki lain.”
Aku tentu saja tertawa lalu memandangnya miris. “Bapak tau nggak, saya ngobrolin apa sama Pak Jenan?”
“Apa?” tanyanya langsung menoleh.
“Ngobrolin Bapak.”
“Jangan kurang ajar kamu sama saya.”
“Lah? Lagian yang saya bahas emang beneran tentang Bapak dan web series yang selanjutnya, keperluannya apa, kebutuhan ekspedisinya apa. Kok malah marah? Aneh banget,” decihku sebal.
“Bisa nggak kamu manggilnya jangan “Bapak?”
“Waktu saya tanda tangan kontrak, saya dibayar Bapak untuk profesional. Ya saya jalanin aja yang ada di kontrak,” jawabku santai, tapi kuperhatikan tangan Jordy mengepal hebat.
“Sekali ini aja ya Mentari, kamu bikin saya semarah ini. Saya nggak pernah sekesal ini sama perempuan. Baru kamu aja.”
Entah aku yang salah atau dia, tapi jawaban yang mengalun dari bibirnya itu sungguh membuatku puas. Bukan aku senang mengerjainya, tapi dia harus tau kalau dari sekarang, kalau dia sungguh-sungguh padaku atau keluargaku, dia tidak bisa macam-macam.
Aku juga tak akan mengusik wanita manapun yang pernah dia tiduri atau kencani, tapi dia perlu tahu bahwa komitmennya-lah yang kini menjadi peganganku.