noonanya.lucas

⛔️21+ tw//mature content

Pemandangan siang hari seorang Jordy Hanandian yang semula hanya gedung pencakar langit yang membosankan, kini mendadak berubah menjadi sesuatu yang mengagumkan.

Netra lelaki lurus-lurus tertuju pada pakaian transparan yang sedang dikenakan tunangannya. Saliva Jordy-pun terasa kelu untuk ditelan.

Pikirannya berisik, hatinya meracau heran. Dia tak pernah menduga bahwa seorang Mentari akan mengenakan pakaian seberani itu di hadapannya.

Kadang dia berpikir, ke mana perginya Mentari yang lugu dan selalu berpakaian sopan itu?

Apa mungkin ini adalah siasatnya untuk memenangkan hati Jordy yang dingin?

Entahlah. Jordy sendiri tidak punya cara untuk menemukan jawabannya.

Yang jelas pakaian Mentari itu membawa masalah baru bagi Jordy.

Helaan nafas sampai-sampai berhembus cukup kencang beberapa kali saat Mentari melangkah dihadapannya.

“Nih sekalian minumnya.” Perempuan itu meletakkan segelas air putih untuk mengisi dahaga kerongkongan Jordy yang kering. Sekali lagi, Jordy bahkan tak berani menatap langsung Mentari lantaran tidak ingin ada sesuatu yang terjadi diantara mereka.

“Mas, kamu kenapa? Kok keringetan gitu? Gerah?”

Jordy perlahan mengangkat pandangannya pada Mentari, lalu tanpa bicara, lelaki itu mengangguk. Setelah mendapat jawaban dari Jordy, perempuan itu kemudian bergegas bangkit meninggalkan bangku makannya. Dia menarik sehelai tisu kemudian memberikannya pada Jordy.

“Lap dulu, keringetan banget kamu, Mas.”

Seandainya Jordy bisa dengan lugas membeberkan alasan dia berkeringat tanpa berolahraga pagi ini, rasanya mungkin akan jauh lebih baik. Tetapi Jordy ingat Mentari selalu menolak ketika dia ingin melangkah lebih jauh dengan wanitanya.

Karena itu Jordy berusaha keras untuk bungkam, walau ia tahu usahanya pun tak main-main dalam menahan gejolak yang tidak ia inginkan.

“Kamu nggak kedinginan pake baju itu?” tanya Jordy, mengalihkan perhatiannya dengan memotong sepotong daging di piringnya.

“Nggak sih.” Jawaban itu sontak membuat Jordy tersedak. Melihatnya, Mentari langsung berpindah ke sebelah Jordy, menepuk punggungnya supaya sedakan itu lekas terhenti.

Tapi yang terjadi bukan hanya sedakan yang reda, namun hal lain yang tidak pernah direncanakan Jordy sebelumnya.

“Mas...” Bahkan Mentari sendiri juga cukup terkejut saat ia menerima kecupan kecil dari Jordy di bahunya. Tangan lelaki itu mulai berani menyusup ke area yang begitu ingin Mentari jaga, dia bermain di sana.

“Mas Jordy!” “Sorry, Mentari. Sorry sekali lagi...” Jordy berdeham pelan usai lelaki itu melumat lembut bibir plumpy tunangannya.

“Kamu...” Mentari cuma bisa menatapnya heran.

“I'm trying hard to hold it, you know?” jawabnya dengan suara serak, kemudian kembali menjejaki leher Mentari yang mulus dan putih bersih. Kali ini Jordy tak lagi menahan dirinya untuk mulai bereksplorasi. Dia menurunkan tali baju puannya, lalu bermain di area bahu serta tulang selangka Mentari yang begitu indah.

Bahkan, lelaki itu kini mengizinkan Mentari untuk duduk di pangkuannya. Matanya setengah terpejam, menikmati setiap jengkal tubuh indah puannya yang sangat memukau.

“You're beautiful than ever, Ri.”

Sedang sang puan yang sejak tadi menerima sentuhan dari Jordy sedikit ragu untuk membalas. Ini adalah kali pertamanya menjadi sedikit lebih nakal. Meski berbekal omongan Chanting yang selalu mengarah ke selangkangan, namun Mentari tidak berani untuk melangkah ke sana.

Dosa, ia tahu itu dengan jelas. Tetapi bersama Jordy, entah mengapa rasa penasaran itu terbongkar bagai misteri yang terpecahkan begitu saja.

Mentari perlahan mulai menyentuh rahang tegas nan maskulin milik calon suaminya, juga menghadiahkan pagutan panas yang sama seperti Jordy.

Yang tadinya hanya bibir ke bibir, kini Mentari juga ikut bereksplorasi dengan lidahnya. Mungkin dia masih pemula, tapi melihat Jordy yang tersenyum puas saat dia bisa menyeimbangkan keinginannya, Mentari merasa bahagia.

“Thats kinda surprise me,” puji Jordy seraya membelai rambut gelombang Mentari. Dia sangat menyukainya.

“Saya suka rambut kamu begini, Ri. Jangan di-hair dryer ya?” pintanya dengan tatapan dalam.

Oh siapapun yang ditatap seperti itu oleh Jordy pasti akan menyetujui permintaannya. Bagi Mentari, mata coklat susu Jordy sangat indah.

“Aku nggak hair-dryer tapi pas sama kamu aja, kalo di luar harus deh.”

“Jangan, Ri. I would not allow that,” tegas Jordy dengan alis bertaut.

“Kamuuu nih yaaa!” Mentari mengangguk, kemudian mengecup bibir Jordy sekali lagi. “Okeee, tapi liat occasion ya.”

Lelaki itu menyambut senang. Dia memeluk puannya erat, menyesap baik-baik aroma bunga yang khas dari Mentari.

Dia mulai mengenali wanginya, dan bila sudah demikian... artinya Jordy akan menyimpannya baik-baik dalam kepala.

Keduanya bahkan begitu terlena satu sama lain, sampai lupa sarapannya masih tersisa cukup banyak

“Kamu nggak mau abisin sarapannya.”

“I ate my breakfast already, Sayang,” jawab Jordy lantang sembari menenggelamkan wajahnya pada bahu Mentari.

“Apa sih? Itu dihabisin dulu, Mas. Ntar kamu laper sampe kantor. Aku suapin aja ya? Asal harus habis.”

“Saya WFH hari ini, Ri.”

Jordy? Work From Home? Ini adalah sebuah keputusan yang benar-benar sangat mencengangkan. Mentari sangat hapal dengan Jordy yang workaholic, sehingga saat mendengar Jordy ingin kerja dari rumah, perempuan itu membelalak tak percaya.

“Kok kamu kaget gitu?” “Ya siapa yang ga kaget, kamu kan kalo bisa mindahin ranjang ke kantor.”

“Ck, mulai deh sarkasnya,” dengus Jordy sambil menarik pelan pipi Mentari.

“Kalo ada yang cari kamu di kantor gimana?”

“Well, I got more than 100 staffs in the office. Toh, ada Teza Jenan juga yang masih bisa kirim report. Ngapain repot. Hari ini saya pengen chill di rumah.”

”...With you,” sambung Jordy kembali menautkan lumatan panas pada bibir Mentari. Untung saja sang puan tidak protes bibirnya kebas setelah itu.

“IDAN MAU SAMA MAMAAAH! IDAN ENGGAK MAU SEKOLAH KALO NGGAK DIANTER SAMA MAMAAAAH!”

Ini adalah tantrum terparah Aidan yang pernah Jordy alami. Sebelumnya, Aidan tidak pernah ngambek hingga mogok sekolah.

Dia akan tetap berangkat walau dengan wajah cembetut meski ditemani Erna. Namun sejak Mentari ada, anak itu hanya mau berangkat bila sudah berpamitan dan diantar olehnya.

Tapi kalau Mentari tidak datang, ya beginilah kelakuan Aidan.

Dia akan kembali nakal dan tidak mau mendengar perkataan auahnya.

Bahkan semalam, Aidan menangis karena calon ibu sambungnya tak kunjung datang.

“Aidan!” tegur Jordy yang kala itu emosinya memuncak.

Ia membentak Aidan dengan harap bocah 9 tahun itu akan patuh tapi ternyata..

Aidan justru semakin menjadi-jadi. Dia berlari lalu masuk kamar dan mengunci pintu.

“Gimana ya, Pak...” Erna bertanya cemas, mendapati tuannya terlihat shock.

“Saya takut Den Idan panas lagi kayak waktu itu, kalau dia teriak-teriak dan mogok makan,” ucap Erna.

“Dari semalem Mentari nggak ada yang hubungin kamu atau Devon?” Jordy memastikan. Raut wajahnya tampak begitu cemas.

Sayang kedua asisten rumah tangganya kompak menggeleng.

“Ya sudah. Biarin aja Aidan dulu di kamar.” Jordy melirik jam tangan Audemars Piguet miliknya. “Saya coba hubungin Mentari dulu.”

Tepat di waktu yang sama, intercom Jordy berbunyi.

“Pak, maaf ini ada tamu, Mbak Mentari.”

“Langsung suruh naik aja,” jawab Jordy dengan nafas lega. Lelaki itu segera mengakhiri teleponnya lalu bergegas menyambangi Aidan di kamarnya.

“Aidan, Mamah kamu udah dateng,” ujar Jordy dengan suara dalam. Mendengarnya, Aidan segera loncat dari kasur, kemudian bertanya antusias, “YANG BENER PI?”

“Cepetan, berangkat! Papi juga kerja,” tegur Jordy menahan kesal.

Tanpa menanggapi omelan ayahnya, Aidan segera berlari menuju daun pintu, menyambut Mentari.

“Mamaaaaah!” sapanya. “Hai, Sayang,” sahut Mentari.

“Mamah kemaren ke manaaaaa? Idan mau sekolah, ayo anterin Idan!” rengeknya sambil menggandeng tangannya.

“Iya, tapi Mamah boleh minum sebentar?” “Boleh, Mamah.” Aidan menggeser kakinya, mempersilakan Mentari untuk masuk ke apart.

Namun ada yang aneh dari perempuan itu. Ia sama sekali tidak menyapa Jordy, dan hanya fokus mengurus Aidan hingga anak itu siap berangkat sekolah.

“Dan, Mamah tinggal dulu di rumah. Besok baru anter Idan.” Jordy sengaja mencetuskan ide tersebut agar dia bisa bicara empat mata dengannya.

Aidan sontak menoleh, “GAK BOLEEEEH! Idan mau sama Mamaaaah! HUAAAAAAAAAA!” tangis Aidan pecah seketika.

“Aidan, denger Papi sekali! Bisa nggak!” bentak Jordy. Mendengar Aidan digertak, Mentari langsung melirik sengit Jordy.

“Kalau mau marah ke aku aja, Mas. Jangan sama Aidan,” ujar perempuan itu tak kalah dingin darinya.

Nyali lelaki itu sontak menciut. Dia terdiam sambil terengah-engah karena harus pandai mengolah emosinya.

“Dan, Mamah besok yang anter Idan ya... Mamah harus bicara dulu sama Papi kamu.” Mentari membujuk Aidan dengan nada lembut seraya mengarahkan kelingkingnya pada anak itu.

“Iya, Mamah,” jawab Aidan gemetar. Kepalanya menunduk, sama sekali tak berani memandang ayahnya. Usai menyalami punggung tangan Mentari, bocah kecil itu segera mengekor pengasuhnya.

“Dadah Mamah!” Tangannya melambai ke arah Mentari namun tidak pada Jordy.

“Jangan diketawaiiiin!” Mentari menutupi wajahnya dengan siku begitu dia keluar dari toilet lansia.

“Iya, enggak,” jawab Jordy mengalah. Padahal sebenarnya lelaki itu cukup effort untuk menahan tawa jahilnya. Wajah Mentari menjadi semakin lucu ketika pipinya merah.

“Udah, ayo, balik ke kantor,” ujar Mentari seraya bersembunyi di balik tubuh tegap Jordy.

“Nggak mau makan dulu? Abis nangis biasanya butuh tenaga,” ledek Jordy dengan tampang datar.

Yang diledek langsung melirik dengan tatapan tajam. “Aku mau makan di pantry kantor aja. Kamu kan ada meeting, aku baru inget di buku tamu. Nanti telat. Yuk.”

Mentari memburu-buru, dia berlari kecil menuju lapangan parkir yang kebetulan dekat dengan toilet, lalu dengan sendirinya mendekat ke mobil tanpa menunggu Jordy.

Akibatnya dia yang tak mengetahui jika pintunya masih terkunci, tak sengaja membenturkan kepalanya ke kaca jendela.

“Aduh!” “Astaga, Mentari...” Jordy berdecak pelan. Fokusnya pada barang-barang belanja pun buyar dan tersita pada sang puan.

“Duh, benjol nggak ya? Malu banget kalo benjol!” Mentari meracau sendiri sambil mengelus dahinya.

“Mana coba sini liat?” Jordy ikutan mengusap dahi Mentari pelan. “Merah sih, tapi nggak sampe benjol.”

“Duh, ya udah deh, ayo buruan masuk,” ajak Mentari cepat karena dia ingin menyembunyikan rasa malunya usai tak sengaja terbentur.

“Itu barangnya, mau kamu tinggal aja di sini?” Tatapan Jordy mengarah pada bagian bagasi.

“Oh... iya,” jawab Mentari. Bahunya merosot lantaran harus menunggu Jordy menyelesaikan penataan barang di mobil. Dia tampak gelisah, sebab malu itu terus mengintai dirinya.

“Aku masuk duluan boleh nggak?” “Ya, masuk aja. Pintunya barusan saya buka. Pelan aja jalannya, kalo kejedot lagi saya gak tanggung jawab.”

“Hhhhhhh!” sergah Mentari yang diiringi dengan seringai tawa Jordy di belakang.

Jordy melirik Mentari yang tahu-tahu ia temukan sudah menyelimuti dirinya sendiri dengan jaket berwarna abu miliknya. Tanpa ada kata permisi, Mentari langsung menutupi wajahnya dengan jaket yang biasa Jordy bawa ketika harus syuting di tempat dingin.

“Mentari, kamu ngapain sih nutupin muka begitu?” tanyanya.

Dengan suara yang tak terlalu jelas, Jordy berusaha memahami ucapan Mentari. “Aku maluuuuu! Mata aku bengkak gara-gara dompet kamuuuuu!”

“Cuma karena foto itu doang?”

Mentari menganggukkan kepala. “Terus ngapain segala pake nangis? Udah kayak Idan aja, cengeng.”

“Biarin, aku maluuu!” “Malu apa terharu?”

Mentari enggan menjawab. Makin Mentari diam, semakin semangat pula lelaki itu iseng padanya.

“Terharu apa malu?” Mentari masih tetap merapatkan bibirnya. “APA BEDANYA! Mas, kamu sengaja ya dari tadi? Soalnya mobilnya kok gak gerak.”

“Enggak, kok,” jawab Jordy bohong. “Jalan ini, cuma macet aja. Liat aja sendiri.”

Mentari termakan tipuan rayu Jordy. Lelaki itu memang sengaja menunggu Mentari membuka jaket yang menutupi wajah dan kepalanya.

“MAS JORDY! Kamu kenapa sih dari kemareeeeen!” jerit perempuan itu sambil langsung menutup dahinya dengan tangan.

“Nggak benjol, Mentari. You'll be fine.” Jordy berujar sebelum dia benar-benar melajukan mobilnya.

Siang itu menjadi perjalanan paling seru bagi Jordy.

Sepanjang hidupnya, dia belum pernah bertemu dengan perempuan seperti Mentari—yang pemalunya bahkan lebih daripada tanaman putri malu yang sering Jordy temui di dekat rumahnya yang terdahulu.

“Ada lagi yang mau kamu beli?” tanya Jordy begitu mereka sudah tiba di depan kasir. Ia mendapati Mentari masih menyapukan pandangannya ke area tanaman-tanaman kecil, juga bunga di depannya.

“Itu aja kali ya, biar kamar kamu ada hiasannya.” Mentari menunjuk pada seikat bunga berwarna kuning.

“Ya udah. Saya aja yang ngambil.” Lelaki itu kemudian berjalan lurus dan mengambil apa yang Mentari inginkan. Begitu sudah tiba kembali di sebelahnya, perempuan cantik itu tersenyum sumringah.

“Makasih, Mas,” jawab Mentari setelah menerima bunga itu di tangan. Detik selanjutnya, tanpa disangka Jordy justru menyerahkan dompetnya pada Mentari. Dia mengambil kembali bunga dari Mentari dan diletakkannya di dalam keranjang belanja.

“Tolong bayarin dulu. Kartunya ada di dalem, saya mau nyusun barang belanjaan.”

“Oke, Mas.” Mentari segera melakukan titah Jordy. Dibukanya dompet berbahan dasar kulit dengan logo 'H' di depannya. Dan ketika dompet itu telah terbuka, Mentari terdiam sejenak. Wajahnya memanas dan pelupuk matanya seakan siap mengeluarkan bulir-bulir kristal.

Dia melihat sebuah foto di sana dan cukup terkejut karenanya.

“Mas, arah tol ke kantor kan ke Rasuna Said, kok kita tol to tol?”

“Iya, biarin aja. Saya mau belanja sebentar ke IKEA.”

Mentari cuma bisa mengerjapkan mata karena tak percaya dengan kelakuan lelaki di sebelahnya ini. Sudah sedari pagi calon Nyonya Hanandian itu menerima laporan dari Devon dan Erna tentang Jordy.

Katanya;

“Bu, Bapak ngasih bonus hari ini.. tapi biasanya enggak segini banyak. Apa Bapak salah transfer ya, Bu?”

Mentari yang ditanya justru tak bisa memberi kepastian. Dia belum resmi menjadi istri dari sutradara kondang tersebut, jadi dia tak punya hak untuk mengurus kondisi finansial tunangannya, walau Jordy memberinya Unlimited Black Card serta uang bulanan yang jumlahnya fantastis.

Dia hanya menggunakan uang itu jika Aidan membutuhkan dan bukan untuk keperluan pribadi.

“Belanja di IKEA, emang lemari kamu ada yang rusak?” tanya Mentari.

“Nggak ada sih, cuma ada koleksi baru aja di sana. Siapa tau kamu suka, kita bisa beli.”

Mentari terperangah mendengar ucapan Jordy. Ini sudah hari kedua Jordy bersikap tidak seperti yang biasa-biasanya, dan bagi Mentari itu sangat janggal. Dia bukan bermaksud mencurigai Jordy menutupi kesalahannya, hanya saja, Mentari terlalu terbiasa dengan sikap dingin yang Jordy tunjukkan. Jangankan Mentari, bahkan dua pekerja rumah tangganya pun mengakui hal yang sama.

“Mas—” “Kalo kamu ngira saya sakit lagi, awas aja.” Ultimatum pertama telah digaungkan oleh lelaki itu. Mentari sontak membungkam mulut, dan membiarkan Jordy melakukan apa yang dia mau.

Jalan Tol yang mengarah ke Tangerang pagi itu sedikit tersendat. Meski demikian, lelaki itu tetap tenang mengendarai mobil mewahnya. Satu tangannya menetap di perseneling, sedang yang satu lagi memegang setir. Dia tampak begitu gagah ketika sedang fokus menatap jalan raya.

Bahkan kalau bisa Mentari bilang, Jordy sepertinya sangat menikmati perjalanannya pagi itu. Tidak ada rautan kening; juga omelan yang biasa terucap dari mulutnya. Yang ada Jordy hanya bergumam-gumam kecil melantunkan sebuah lagu yang Mentari baru dengar sekali.

Kalau tidak salah judulnya Until I Found You.

“Kamu tau lagu itu nggak?” tanya Jordy tiba-tiba.

“Tau, tapi nggak terlalu ngerti soalnya itu bahasa Inggris.” Mentari menjawab malu-malu. “Lagi suka lagu itu ya?” tanyanya kemudian.

“Ya, lumayan.” Wajar Jordy menyukai lagu itu, bisa saja arti dari lirik lagu itu menggambarkan kerinduannya pada Almarhumah Kirana. Mentari sama sekali tak berani mencari arti lirik lagu itu karena dia tak ingin bersedih.

“Lagu yang kemaren apa tuh, yang kamu jadiin backsound di IG Story?”

“Duhai Sayang?” “Nah, iya.” Jordy menjentikkan jarinya. “Lagunya bikin ngantuk, ngebosenin.”

“Ya udah, nggak usah didengerin,” ucap Mentari.

“Kamu tetep pake lagu itu?” Mentari mengangguk. “Iya, itu kan lagu favorit aku.”

“Padahal lagu Indo yang lain banyak yang lebih bagus,” cibir Jordy. Mentari langsung memicing, “Ya emang kenapa sih? Aku aja nggak protes sama lagu kesukaan kamu.”

“Kok jadi marah sih?” tanya Jordy menoleh.

“Aku nggak marah,” kilah Mentari dengan wajah tertekuk.

“Nggak usah ngambek gitu, nanti diputerin lagunya.”

“Nggak usah!” Rajukan Mentari rupanya menjadi-jadi. Untung kala itu belokan menuju IKEA sedang sedikit ramai sehingga Jordy harus sedikit-dikit memperlambat laju mobilnya. Dia memanfaatkan situasi dengan memutarkan lagu kesukaan Mentari. Tapi sepertinya bujukan Jordy kala itu kurang berhasil, Mentari tetap memasang wajah cemberut, persis Aidan jika sedang merajuk.

“Itu lagunya udah diputerin.” Jordy menggunakan telunjuknya untuk menusuk pipi chubby Mentari.

“Iyaaa ih, sana ah. Nggak usah megang-megang gitu jugaaaa.” Mentari mendorong pelan telunjuk Jordy, kemudian mengalihkan fokusnya pada pintu mobil, tempat ia seharusnya meletakkan sebotol air putih.

“Yah, aku lupa bawa minum lagi,” keluhnya.

“Nih, saya ada.” Jordy menyodorkan botol minumnya sendiri. Setahu Mentari, Jordy adalah lelaki yang sangat higienis. Selama dia mengenal pria itu, Jordy tidak pernah berbagi minum dengan yang lain, kecuali Aidan.

“Mau minum kan?” Jordy bahkan tutup untuk Mentari.

“Aku beli aja deh nanti di dalem.” “Nggak papa, diminum aja.”

Mentari kembali terperanjat. Akhirnya ia menerima tawaran Jordy untuk minum dari botol yang sama. Namun karena sungkan dan takut Jordy merasa dirinya kurang higienis, Mentari tidak langsung minum dari mulut botol tersebut.

UHUK!

Dia akui dia tidak terbiasa dengan cara minum seperti itu. Biasanya kalau dengan Chanting, Mentari akan langsung meminumnya dari mulut botol yang sama. Tapi masalahnya... dia Jordy Hanandian.

“Minum aja dari botolnya langsung.” Begitu Jordy bicara, Mentari makin tersedak.

“Uhuk– maaf-maaf, nanti aku lap bangkunya—”

Belum sempat Mentari menyelesaikan ucapannya, Jordy telah lebih dulu mengambil secarik tisu lalu menepukkan tisu tersebut ke bagian bangku mobil yang basah, serta celana Mentari yang terciprat air.

“Mas, aku bisa bersihin sendiri. Jangan ngotorin tangan kamu—”

“Can you let me do it for you?” tanyanya dengan suara rendah.

Mentari bersumpah ratusan kupu-kupu di perutnya langsung menari riang. Wajahnya memerah bahkan dua kali lipat dibanding waktu Jordy datang menemui keluarganya.

“Udah,” ujarnya pelan. Ia mengakhiri perkataannya itu dengan sebuah usapan lembut di ujung bibir Mentari.

“M-makasih.” Mentari sampai gelagapan menyaksikan tindak tanduk Jordy barusan.

“Ya, sama-sama.” Lelaki itu membalas dengan posisi tangan yang berada di atas jari Mentari.

Bukan Jordy namanya kalau tidak memberi pandangan sengit pada Mentari. Dia melirik perempuan itu dari ujung kaki hingga kepala, seolah menuduh Mentari sedang melakukan kesalahan.

“Ada apa?” tanya Mentari dengan tenangnya.

Yang ditanya kemudian menarik tangan Mentari sambil memasang cincin pertunangan mereka di jari manis kiri perempuan itu.

Tatapannya datar tanpa senyum. “Katanya mau bicara, aku tanya nggak disahutin. Susah ya buat ngehargain aku sedikit?”

Mentari tidak bermaksud menyindir, tapi dia cuma kesal, karena semestinya oseng daging untuk Aidan bisa matang dalam waktu lima menit, tapi lelaki ini justru membuang waktunya hanya untuk berdiam diri.

“Saya minta maaf soal itu.” “Mas, kamu sakit kah?” Mentari sontak meraba dahi tunangannya.

“Pusing dikit.” “Aku belum mandi sih emang, terus bau bawang soalnya tadi aku cincang baput—”

“Jadi saya gak penyayang dan judes di mata kamu?” Lelaki itu memotong ucapan Mentari. Dia melipat tangannya di depan dada dengan pandangan yang sedikit cemas.

“Kalau penyayang sih... sedikit? Kalo judes... jujur... Iya.”

“Gitu ya.” Nada Jordy tiba-tiba menjadi lebih lembut.

“Mas, serius deh. Kamu boleh cerita aja nggak, kamu sebenernya kenapa?”

“Nggak apa-apa. Saya cuma lagi capek doang. Anyway, besok kalo ke kantor berangkatnya bareng ya.”

“Boleh?”

“Boleh,” sahutnya yakin.

“Thank you, Mas. Aku ke dapur dulu ya. Takut gosong—”

“Saya boleh minta sesuatu nggak?” tanyanya sebelum Mentari bergegas pergi.

“Apa?” “Kalau Jenan nembak kamu, ditolak aja ya.”

Mentari sontak terbahak mendengar permintaan Jordy yang aneh itu.

“Kenapa ketawa? Jadi kamu lebih mau sama Jenan dibandingkan saya?”

“Eh, enggak gitu. Aku maunya sama kamu.”

“Jadi kalo besok-besok Jenan ajak pergi, kamu jangan mau ya?” katanya lagi.

“Iyaaaaa. Udah ah. Nggak perlu cemas gitu, aku nggak kemana-mana kok, Pak Jordy.”

Begitu Mentari menyebutnya dengan sebutan formal, entah mengapa Jordy langsung berdiri. Tinggi tubuhnya yang seperti mercusuar itu menghalangi Mentari untuk meraih ponselnya yang barusan berdering. Dan tanpa permisi, Jordy yang membuka notifikasi ponsel itu.

Jenan.

Yang lebih gilanya lagi, Jordy sampai menelepon Jenan dan menegurnya dengan keras.

“Lah, Ri? Lo lagi sama siapa anjir? Kok cowok? Ri!”

“Saya minta jangan genit sama calon istri saya.”

Setelah puas menelepon Jenan, Jordy baru memberikan ponsel itu pada pemiliknya.

Mentari kira Jordy akan berhenti mengoceh usai menegur Jenan. Rupanya lelaki itu kembali angkat bicara.

“Rules pertama, saya nggak suka ada orang ketiga dalam pernikahan. Rules kedua, saya juga nggak mau kita bertengkar karena hal sepele. Rules ketiga—”

“Mas, lain kali kalo tidur jangan pas maghrib ya. Kayaknya kamu mimpi buruk. Nanti aku yasinan deh biar kamu gak diganggu.” Mentari menenangkan Jordy lewat sapuan pundak.

Nyalinya belum ada untuk memeluk lelaki bertubuh tegap itu.

“Maksudnya?” “Udah, sekarang kamu bangun dan mandi. Kita makan sama-sama, Idan baru selesai les ngaji.”

“Dia les ngaji... buat apa?” tanya Jordy heran.

“Biar ayahnya gak diganggu jin!” ceplos Mentari asal.

“Mana ada sih yang kayak gitu, aneh-aneh aja kamu.” Dia berkilah, tapi lagi-lagi mimpi buruknya melintas dalam kepala. Akhirnya Jordy bungkam dan membiarkan Mentari melanjutkan omongannya.

“Lah kok malah bengong? Mandi sekarang, cuci mukaaa!” suruhnya kemudian.

“Hmm.”

“Gitu dong!” Mentari membalik tubuhnya menghadap pintu dan berjalan ke arahnya, namun belum ada satu detik ia melangkah, Jordy menyusul dan menahan pintunya.

“K-kamu mau ngapain?!” Mentari sontak menutup mata, dipikirnya Jordy sudah bertelanjang dada.

“Denger saya baik-baik, karena saya ngomong cuma sekali.”

“A-apa, Mas?”

“Saya nggak tau ke depannya kita kayak gimana, saya juga punya kekurangan. Kalau selama ini saya kurang menghargai kamu dan kamu ngerasa saya bohongin, saya minta maaf untuk itu.”

Mentari benar-benar tidak berani membuka mata, namun dia menyadari bahwa Jordy sedang mengalami sesuatu yang buruk sehingga kepercayaan dirinya menurun.

Mentari jarang sekali melihat Jordy berbicara dengan suara yang se-gemetar ini.

Dia juga tahu bahwa pernikahan yang nanti mereka jalani tidak akan berlandaskan cinta.

“Saya... juga minta maaf kalau saya selalu bersikap keras sama kamu.”

“Oh, kalau yang itu... jujur aku udah biasa. Tapi tolong dikurangin ya ke depannya... untuk Aidan. Kalau ke aku nggak apa-apa, karena mungkin emang watak kamu begitu.”

”...Tapi coba sekali aja ngomong dengan nada lembut kayak gitu ke Idan. Dia pasti seneng.”

“Terus ke kamunya gimana?”

“Ya jadi diri kamu sendiri aja,” jawab Mentari tanpa beban. Sedang Jordy begitu sadar bahwa dirinya sendiri adalah lelaki yang sangat dingin dan menyebalkan.

“Nanti kata kamu saya judes.”

“Judes sih emang, tapi... kalau kamu nadanya lembut kayak tadi, berasa ngegodain cewek. Aku nggak suka.”

”...Aku udah terbiasa sama kamu yang ngomongnya tegas dan to the point.”

“Oke.”

“Aku boleh ke dapur ya sekarang? Udahan kan ngomongnya?”

“Udah,” jawab lelaki itu singkat padat dan jelas.

“Kalo udah selesai mandi, langsung makan di depan.”

“Hmm.” Mentari tersenyum kecil memandangi Jordy dengan wajah dinginnya. Bagi dia, itu daya tariknya.

Sayang dia tak memiliki nyali untuk mengecup pipi Jordy.

Dalam sejarahnya saya, Jordy Radjasa Hanandian, yang selalu jalan dengan tubuh tegap dan langkah yakin—terpaksa keluar rumah dengan langkah gontai.

Hari itu adalah hari terburuk dalam hidup saya. Dimulai dari Aidan yang bertanya ke mana perginya Mentari, hingga rentetan pertanyaan menyudutkan yang paling tidak mau saya dengar.

“Lo gagal nikah?”

Sebenarnya bukan rasa malu yang menyambar saya hari itu, melainkan sebuah penyesalan yang tak lagi bisa saya lukiskan dengan kata-kata.

Seharusnya menjadi kata yang terus berputar dalam kepala.

Seharusnya saya tidak mengecewakan Mentari.

Seharusnya saya tidak membohonginya.

Seharusnya saya tidak meninggalkan dia dalam keadaan apapun.

Seharusnya saya percaya dengan penuturan yang dia ceritakan pada saya. Mungkin saja itu benar. Bahwa dia bukan menderita gangguan jiwa, tetapi dia memang bisa melihat sesuatu yang tak kasat mata.

Dan ratusan seharusnya yang lain.

Tapi semua itu percuma. Pagi itu saya datang ke kantor disambut oleh Jenan yang bersiul-siul ria ke arah saya. Tatapannya sih biasa saja, tapi saya tahu dia sedang mengejek dan memberitahu kepada dunia.

Dia pemenangnya.

“Udah, sabar aja, Jor. Riri yang lain masih banyak kok. Lo bisa dapet yang lebih baik dari Riri.”

Kalimat itu meluncur dari bibir Teza, kawan saya satu-satunya. Dia merangkul pundak saya, sambil menepuknya—memberi kekuatan.

“Ya, thanks.” Saya cuma menjawab singkat, lalu dia mengajak saya untuk pergi merokok bersama.

Dua bungkus Malboro dalam sehari ternyata belum cukup untik mengusir rasa sakit saya.

Masih ada rasa sedih yang tersisa. Biasanya saya enggan terlalu lama bersedih, namun kali ini semuanya beda.

Rumah saya tidak lagi ada sentuhan Mentari. Perempuan biasa-biasa saja yang hadirnya begitu berarti setelah dia pergi meninggalkan saya dan Aidan.

Di sana, tepatnya... Di dapur adalah tempat Mentari menyalurkan bakat memasaknya. Walau saya tidak meminta, tapi Mentari selalu berusaha menjadi calon istri dan ibu yang pantas untuk Aidan.

Namun sekarang... saya tidak lagi melihat itu... karena saya gagal mempertahankannya.

tes

Raung tangis Aidan kembali memecah suasana. Rupanya, dia sangat trauma dengan kedatangan nenek kandungnya, Recha. Kepalanya masih menyimpan memori pahit itu hingga membuat bocah sembilan tahun itu langsung memberontak dalam gendongan ayahnya.

“Enggak mauuu, Papiii! Oma jahaaat, Oma kurung Idan! Idan mau sama Eyang Ratih ajaaaa, enggak mau sama Omaaaa!”

Begitu aduannya pada sang ayah. Jordy yang tadinya tenang-tenang saja, akhirnya kewalahan lantaran Aidan menjadi tontonan.

Bagaimana tidak, mereka semua berpikir Mentarilah racunnya. Mentarilah yang membuat Aidan berpikir demikian. Padahal kenyataannya tidak. Dia juga tahu seperti apa perilaku mantan mertuanya pada sang istri.

Untung Erna sudah sigap di sebelah Sang Tuan. Aidan pun dipindahtangankan padanya agar situasi lebih terkendali. Peluh di dahi lelaki berusia 35 tahun itu sampai bercucuran karena tak kuasa menahan panas yang membara.

Sedangkan sang istri yang tengah menggendong putri mereka yang baru lahir itu termangu. Tatapnya kosong, tapi jelas tertuju ke antara Recha dan suaminya.

Mentari tak lagi bisa berkata-kata ketika mata ketiganya menangkap bayang seorang perempuan dengan pakaian serba putih dan rambut panjang.

Wanita itu memiliki ciri khas yang sangat ia kenali—batang hidung yang bertahi lalat. Dia tersenyum dingin, namun lama kelamaan senyumnya mulai berganti menjadi hangat.

Air matanya mengalir membasahi pipi. Mulutnya terbuka lebar dan mengucapkan sepatah kata.

“Terima kasih...”

Mentari terkesiap. Dalam sekejap bayang wanita itu lenyap tak lagi terlihat oleh kasat mata. Namun tiba-tiba aroma jasmine menyapa hidungnya. Pekat.

Mentari menundukkan kepalanya dan dalam hati dia membalas, “Sama-sama Mbak Kirana...”

“Saya ikhlaskan kalian berdua, maafkan perbuatan saya di masa lalu. Saya menyesal bersekutu dengan ibu tiri kamu... Saya cuma ingin pergi dengan tenang... Tolong rawat dan jaga Aidan sampai dia dewasa begitupun Jordy sampai maut memisahkan kalian berdua...Maafkan kedua orang tua saya juga... Saya harap kamu dan Jordy selalu bahagia..”

Usai berucap demikian wangi jasmine itupun hilang seutuhnya, demikian juga tangis Aidan yang berhenti.

Mentari dalam batinnya melihat jelas jika Kirana memeluk Aidan untuk terakhir kalinya.

Dia sadar bahwa itulah yang membuat Aidan tak nyaman hingga ia menangis kencang.

Sedang Kiori... Mentari lihat dengan kemampuannya, Kirana menatap putrinya dengan senyum lembut dan penuh keibuan.

Sesudahnya, perempuan berbaju putih itu pun pergi dari hadapannya.

  • Fin –

Sewaktu Jordy masih berstatus duda, ia ingat betul bahwa dia sangat kurang dalam mengurus anak. Semuanya ia serahkan pada Erna, pengasuh Aidan.

Tetapi sejak kembali menikah dengan Mentari, Jordy bagai ditampar realita—jika menjadi orang tua adalah sebuah keputusan dengan tanggung jawab besar. Dia tak mungkin membiarkan Mentari mengurus kedua anaknya sendirian.

Ditambah lagi, Mentari sempat melewati masa kritis karena kembali mengandung anak ketiganya disaat Kiori baru berusia 6 bulan.

Di situ Jordy dihadapkan dua pilihan sulit, ia tetap menjadi Jordy yang cuek atau berubah menjadi Jordy yang penuh kasih sayang.

Dengan dibayangi ketakutan-ketakutannya tentang tumbuh kembang dua anak mereka yang kemungkinan membenci ayahnya, Jordy membuat keputusan.

Dia tak mau lagi menjadi sosok lelaki pengecut yang hanya bisa meminta jatah.

“Udah, Dan.” Jordy memberitahu usai membersihkan bokong anaknya.

“Makasih Papi,” sahut Aidan. Setelah bebersih dan mencuci tangan, anak sulungnya itu segera berbalik badan.

“Kalau udah bersih, jangan mainan pasir lagi ya. Nanti Mamah marah kalo Idan kotor lagi.”

“Iya, Papi. Tapi sekarang Idan laper, mau makan pop mie. Boleh enggak?”

Jordy menatap anaknya dengan tampang berpikir, dia sedang menyusun kembali ingatannya mengenai Aidan yang terakhir kali makan mie instan.

“Bukannya dua hari lalu Idan udah makan indomie?” tanyanya memastikan. Aidan menunduk, seolah mengiyakan pertanyaan ayahnya.

“Kalau gitu jangan dulu, Dan. Nanti pesen makan aja. Mamah kan kemaren udah izinin Idan makan mie.”

“Ya udah...” Aidan dengan tampang sedihnya terpaksa menurut.

Jordy sadar jika setelah mendengar larangannya, ada kecewa yang bersarang dalam benak putranya. Ia pun memutuskan untuk membujuk Aidan baik-baik, sesuai arahan dan cara Mentari jika Aidan sedang susah dikasih tahu.

“Dan, Papi tau Idan bete nggak boleh makan mie, tapi nanti kalo Idan sakit.. yang sedih Mamah sama Papi. Terus, Idan nanti gak boleh main sama Adek. Jadi kita pesen yang lain dulu ya? Ada pasta, Idan kan suka.. Pesen itu aja dulu ya?”

“Iya Papi! Idan mau pasta aja. Idan mau pake cumi, udang sama mussels. Seafood pasta, Papi!”

“Iya, boleh.” Jordy bernafas lega setelah Aidan berhasil menurut padanya.

Merekapun keluar dari toilet khusus anak-anak dengan jemari Aidan yang terselip di balik tangan besar ayahnya.

Sepasang anak dan ayah itu spontan mencuri perhatian beberapa ibu muda yang lewat. Tak segan mereka melirik genit ke arah Jordy karena tak kuat dengan pesonanya yang sungguh tampan.

Tapi sayang ibu-ibu muda itu cuma bertahan sedetik, karena dari jauh Mentari memberi tatapan galak pada mereka.

“Udah sih, Babe. Nggak usah dipelototin gitu,” peringat Jordy. Tatapannya sesudah itu langsung jatuh pada perut buncit istrinya. Disentuhnya pelan, “kalo kamu emosi nanti yang kena si Dedek. Tensi kamu naik.”

“Iyaaaaa.” Mentari lantas memeluk suaminya erat beserta kedua anak mereka, Aidan dan Kiori.