noonanya.lucas

Jangan tanyakan betapa pusing dan kagetnya saya saat mendapati Aidan menangis kejar secara tiba-tiba. Saya pikir ia jatuh dan terkilir, ternyata alasannya cukup sederhana.

“Mamah dibilang jahat sama orang-orang!” lantangnya begitu saya menghampiri. Mentari memang pernah cerita sejak insiden foto Kirana disobek oleh teman-teman sekolahnya, segala yang berhubungan dengan ibunya membuat Aidan menjadi lebih sensitif.

Ia tak pernah suka jika orang tuanya dihina, termasuk Mentari—surganya.

Dalam dekapan saya Aidan masih berkeluh, sementara saya dalam diam berpikir keras mengapa Mentari tutup mulut perihal ini.

Padahal kalau saya baca, kata-kata yang dilontarkan fans Kirana dan saya begitu menyakitkan. Wajar bila Aidan sampai menangis, tapi Mentari begitu rapat menyembunyikan hal ini dari saya, entah apa alasannya.

Ia kembali dari toilet setenang biasa, malah jauh lebih mengkhawatirkan Aidan daripada anggapan-anggapan buruk tersebut.

“Mamaaaaah, Mamah bukan orang jahat...Mamah orang baik, Idan nggak jadi minta mekdi lagi...” isak Aidan sembari mendusalkan kepala ke perut Mentari.

“Idan, Idan kenapa?” tanya Mentari heran. Namun jelas air mukanya sangat terharu, ia tampak menahan air matanya.

“Kamu tau kan, Aidan nggak suka ibunya dihina-hina,” jawab saya, mengembalikan ponsel itu pada Mentari. Pada saat yang sama, air mukanya terlihat sedikit kalut dan panik, tak mau saya tahu tentang hal ini.

Mentari sengaja mengalihkan perhatian saya dengan usapan punggung pada Aidan. Namun sayang, semakin ia berusaha melakukannya, saya semakin yakin bahan omongan tidak mengenakan itu benar-benar menghancurkan mentalnya.

Tapi yang namanya Mentari, selalu berusaha menyembunyikan sedihnya dari saya.

“Dan, Mamah nggak kenapa-napa kok. Udah, jangan nangis lagi ya? Makasih udah belain Mamah. Mamah sayang Idan.”

Makasih udah belain Mamah.

Tepat tiga kali Aidan memberi tamparan keras untuk saya.

Selama menjadi suami Mentari, tak ada satupun pembelaan saya lakukan untuk Mentari.

Malah saya yang melukainya lewat jebakan Gabriella dan momen penghargaan Sutradara Terbaik itu.

“Idan kalau gini, nanti Mamah sedih. Nggak apa-apa, Mamah kan kuat kayak Idan,” bujuknya terus-menerus.

“Nih, Mamah senyum. Iiiiii.” Ia memperlihatkan barisan gigi putih berserinya. Sayang, semakin Mentari berpura-pura seperti itu, saya makin paham betapa hancur perasaannya karena omongan pecinta gosip tersebut.

“Sini sama Mamah,” katanya, merentangkan tangan. Dan tentu, Mentari yang seperti magnet untuk Aidan, dengan mudah menyurutkan sedih dalam benak anak itu. Ia kembali ceria, kemudian berpindah gendongan ke Mentari.

“Idan makan ya?” ujarnya. Aidan mengangguk. “Mau makan apa?” tanya Mentari selanjutnya.

“Bubur ayam, gak jadi mekdi.” Mentari melirik saya sungkan, mengingat ini sudah jam sepuluh malam, ia yakin tak akan ada yang jualan bubur ayam selarut ini.

“Kalau kita makan yang lain aja—” katanya menawarkan makanan lain pada Aidan.

Gosh, kenapa Mentari selalu mengalah terhadap saya?

“Ada, Ri. Deket rumah kok bubur ayamnya. Kita makan di sana aja.” Saya memotong ucapannya cepat, sekaligus memberi kecupan di puncak kepala Mentari sebagai rasa terima kasih saya selama ini telah menjaga dan mengurus Aidan dengan sangat baik.

She literally deserves this.

Dan mulai saat ini dan seterusnya, saya tidak akan akan membiarkan Mentari mengalah, harus saya sebagai suami dan kepala keluarga.

“Ap-apa ini, Dan?” Satu pertanyaan terdengar dari Mentari ketika saya berdiri di ambang pintu. Ia terlihat heran dan bingung saat wajah saya tak terlihat, karena tertutup oleh buket bunga matahari yang besar.

“Dari Papi sama Idan biar Mamah enggak sedih dan gak pergi-pergi lagi,” jawab Aidan spontan. Ia tersenyum kecil, lalu meraih bunga matahari yang masih saya genggam.

“Makasi—” Ucapannya terhenti sejenak karena saya sengaja mengecup bibirnya kilat. Pipinya langsung bersemu merah, mukanya panik takut terlihat oleh Aidan. Sementara anak itu langsung bersorak ketika dia melihat apa yang saya hadiahkan pada ibunya.

“Bukan buat ditiru ya, Aidan.” Saya mengingatkan sambil menggenggam tangan Mentari dan menariknya ke sisi saya.

“Iyaaaaaaaa, Idan tutup mata kok tadi, kan Idan masih kecil enggak boleh liat,” sahutnya sambil menutup mata dengan tangan.

“Good, that's my son.” Saya mengusap rambut Aidan sebelum ia menghilang ke kamarnya. Anak itu langsung lari karena sejak di mobil ia sudah tak sabar ingin bermain game kesayangannya. Mumpung hari ini hari libur, saya mengizinkan Aidan bermain game sepuasnya. Hitung-hitung, hal itu adalah hadiah untuknya karena telah membantu saya seharian ini.

“Mas Jordy,” panggil Mentari sepelan mungkin. Dia kira saya tidak mendengarnya, tapi untung, pendengaran saya masih berfungsi dengan sangat baik sehingga meski Mentari sengaja mengecilkan suaranya, saya masih dapat menangkapnya begitu jelas.

“Hmm.”

“Jawabnya judes banget,” gumamnya. “Maaf ya kemaren pergi nggak izin sama kamu, main kabur-kabur aja.”

“Ya,” sahut saya, mengacak puncak kepalanya pelan.

“Saya juga minta maaf karena ngomong yang nyakitin ke kamu.”

Ia tersenyum lalu mengangguk. “Kan kemaren aku udah maafin, jangan mabok-mabokan lagi ya.”

Gantian saya yang mengangguk. “Kebablasan kalau yang itu.”

“Kamu inget nggak kamu ngapain?” tanyanya. Saya menggeleng. Karena setiap mabuk saya tidak pernah mengingat apa yang saya lakukan. “Saya ngelakuin hal-hal aneh ke kamu? Ehm...”

“I mean, did we make love without my concern?”

Dia menggeleng. “Alhamdulillah, enggak.”

Jika bukan itu jawabnya, saya seharusnya lega. Tapi kenapa saya malah gelisah begini, ya?

“Terus saya ngapain?”

Mentari tersenyum sambil membuka ponselnya dan memutarkan pesan suara yang ia terima entah dari siapa.

“Ri, ampun, Ri...jangan tinggalin aku, Ri...Yang...pulang...”

“Inget?” tanyanya dengan muka jahil, menahan cengiran lebar.

“Kerjaan siapa itu?” Saya berusaha meraih ponsel itu dari tangannya, tapi tubuhnya yang mungil serta gerakan tangan Mentari yang cekatan, membuat saya gagal merebut ponselnya.

“Kerjaan siapa, Ri?” tanya saya sekali lagi.

“Ada deh!” balasnya dengan wajah puas.

“Kasih tau siapa yang ngerekam.” Tepat ketika Mentari lengah, ponsel itu akhirnya berhasil pindah ke tangan saya, di sana tertulis jelas nama Teza sebagai pengirimnya.

Jadi dia biang keroknya...

“Mas Jordy...” Suara Mentari terdengar parau, ia tiba-tiba saja menitihkan air mata usai menemukan sebuah kertas putih kecil yang berisi tulisan saya.

To: Aidan's Best Mom From: Jordy. R Hanandian

Mentari, saya ingin meminta maaf sebesar-besarnya sama kamu atas semua perilaku saya sama kamu.

Banyak hal-hal dalam diri saya yang mungkin sangat membingungkan buat kamu. Seperti yang kamu bilang—saya nyebelin. Saya jahat, saya gak sayang sama kamu. Saya selalu nyakitin kamu dengan kata-kata dan sikap arogan saya.

Saya sadar kalau semua kelakuan saya buat kamu ga nyaman dan akhirnya kamu pergi ninggalin saya dan Aidan.

Awalnya, saya berpikir kalau hal itu akan baik-baik aja. Tapi setelah satu hari penuh saya gak lihat muka kamu, dan di rumah ini gak ada kamu, saya gak bisa tidur. Aidan juga. Kita berdua kebingungan sendiri.

Saya bahkan ngga tau dimana pakaian dalam dan pakaian kerja saya ada di mana. Saya tanya Erna, dia bilang kalau pakaian kerja saya kamu yang simpen. Dan saya ga nemuin itu semua. Saya frustasi.

Buku-buku Aidan berantakan, saat saya mau susunin jadwal pelajaran dia, saya bingung sendiri. Saya gak paham mana buku cetaknya, mana buku catatannya. Semua cuma kamu yang tau.

Dari situ saya sadar kalau kehadiran kamu dalam hidup saya sama berartinya seperti Aidan.

Tanpa kamu saya nggak bisa apa-apa. Nggak ada kamu, hidup saya hancur berantakan. Entah karena saya terlalu acuh sama Idan dan kamu atau memang gak pernah mengerti apa arti keluarga yang sebenarnya.

Saya malu karena saya harus diperingatkan Aidan. Dia yang saya kira cuma anak kecil polos yang gak ngerti apa-apa, justru jadi laki-laki paling hebat, jauh lebih hebat daripada saya, papinya.

Kamu mendidik Aidan dengan sangat baik. Dia jadi laki-laki yang luar biasa tanggung jawab, punya manner. Dia yang mengajarkan saya apa arti keluarga dan kehangatan yang sesungguhnya.

Seharusnya saya yang mengajarkan dia, dan semestinya juga saya yang provide kehangatan untuk kalian berdua, tapi justru saya yang ngehancurin semuanya.

Saya minta maaf. I'm truly sorry for all the trouble I made and caused for you two.

Terima kasih sudah menjadi istri yang baik dan ibu yang luar biasa untuk Aidan. Remember, kalau kamu bukan pajangan di hidup saya. Kamu bukan pengganti atau sekedar ibu sambung Aidan.

You are Aidan's best Mom.

Aidan sangat bangga punya Mamah seperti kamu.

And I am too, I am a proud husband ever.

Jangan kabur-kaburan lagi, kalau malem ke tempat Chanting macet. Mau jemput tapi nyampenya besok pagi.

Love you.

You're Worst Husband and terrible Dad Ever,

Jordy Radjasa Hanandian

“Idan, jangan bilang Mamah kalau kita mau bikin surprise buat Mamah, ya.”

Pagi itu pukul tujuh lewat lima belas menit, saya menghampiri Aidan ke kamarnya. Membangunkan anak itu pelan-pelan sambil mengajaknya bicara baik-baik.

“Mamah ulang tahun?” tanyanya sambil mengusak mata. Saya menggeleng, “Nggak. Mamah udah beberapa hari ini sedih terus kata Idan, kita masakin Mamah sarapan, mau nggak?”

“Mau!” Ia menjawab penuh semangat. “Emang Papi bisa masak?”

“Bisa,” jawab saya. “Pelan-pelan jalannya, jangan sampe kedengeran Mamah, nanti bangun.”

Aidan mengangguk, mengekor saya keluar dari belakang sambil mindik-mindik. Ia pastikan sandal pororo miliknya tidak mengeluarkan suara sedikitpun.

“Papi, Papi,” panggil Aidan. Saya menoleh kepadanya, “Ya?”

“Papi sama Mamah kemaren berantem ya?”

Langkah saya terhenti, menatapnya heran sekaligus sedikit bersalah. “Salah paham aja, Dan. Itu mah biasa.”

“Tapi Papi bikin Mamah pergi dan nangis.” Saya menggaruk pelipis yang sebenarnya tak gatal, mencari kalimat yang tepat untuk memberi pengertian kepada Aidan agar ia tidak perlu meresahkan permasalahan saya dan ibunya.

”...Papi memang ngelakuin kesalahan ke Mamah, Dan.” Tadinya saya pikir saya enggan mengakuinya, tapi Aidan cukup pandai menerka situasi yang terjadi diantara kami. Jadi percuma kalau saya membohongi Aidan.

“Apa?” tanyanya ingin tahu. Saya mengusap rambutnya pelan, dan ini merupakan yang pertama kalinya setelah bertahun-tahun Kirana pergi dari hidup kami.

“Banyak, tapi biar Papi sama Mamah aja yang tau. Yang penting Idan...”

”...Kalau Papi lagi kerja jangan nakal sama Mamah. Gak boleh pukul temennya lagi.”

“Iya Pi,” sahutnya dengan senyuman. “Mamah juga bilang sama Idan,” lanjutnya.

“Apa?”

“Doain Mami yang udah di surga, baca surat Al-Fatihah dan Yasin buat Mami biar Mami bobonya enak.”

Saya diam seribu bahasa ketika Aidan berkata demikian. Butuh beberapa detik bagi saya mencerna kalimat itu, sebab setahu saya, Mentari sangat sakit hati karena tahu saya masih mencintai Kirana sejak awal kami menikah.

”...Mamah bilang gitu?” tanya saya dengan suara parau. Aidan mengangguk, merogoh kantung celananya. Ia mengeluarkan sebuah buku kecil dari sana dan menyerahkannya pada saya.

“Ini apa, Dan?” tanya saya bingung.

“Surat Al-Fatihah buat Mami. Kata Mamah, kalau lagi senggang Idan harus baca itu. Sama kalau Idan kangen Mami, bacain itu juga.”

Saya terguncang hebat saat meraih buku itu dari tangan Aidan. Satu helaan nafas saya hempaskan pelan, “Dan, kamu sayang Mamah dan Mami?”

“Sayang dua-duanya,” Aidan menyahut tanpa keraguan. Saya sangat amat malu pada diri sendiri. Aidan, yang bahkan belum mencapai usia dewasa bahkan lebih mengerti apa arti kasih sayang dan cinta yang sesungguhnya.

“Papi sayang dua-duanya?”

“Sayang dua-duanya.”

“Tapi Mami udah pergi,” kata Aidan. “Adanya Mamah.”

Kepala saya bagai dihantam kuat oleh palu mendengar ucapan Aidan. Dua kali. Dua kali Aidan menampar saya dengan begitu keras. “Idan sayang Mami, karena Idan anaknya Mami. Idan sayang Mamah, karena Mamah surganya Idan sekarang.”

Mentari, kamu berhasil mendidik Aidan dengan baik, dibandingkan saya, ayahnya.

Maafin saya kalau saya selalu mengusir kamu dari hidup saya, saya selalu menyakiti kamu tanpa saya tahu kalau kamu berjuang begitu keras membuat Aidan sebahagia ini.

Sekarang giliran saya yang membahagiakan kamu dan Aidan, anak kita.

“Ri, pindah ke kamar aja, ya? Kita ngomong baik-baik di dalem.” Pelan suara saya memohon pada Mentari malam itu. Hampir sepuluh menit ia menelungkupkan mukanya di meja, dan terus menggigau—memanggil mendiang ayahnya sambil menangis.

“Papa... Riri mau ikut Papa... Riri mau sama Papa,” lirih parau.

“Ri.” Saya berbisik, “Maaf kalau saya cuma bisa nyakitin kamu, saya salah. Kata-kata saya selalu ngelukain kamu, maafin saya, Ri.”

”...Jangan pergi, Ri. Please?” bujuk saya seraya membelai puncak kepalanya.

“Riri mau ketemu Papa...” Tangisnya kembali pecah, bahkan terdengar sangat memilukan. Saya jarang sekali melihatnya mengiggau sampai tak sadarkan diri seperti ini. Kata Erna, seharian penuh Mentari mengerjakan semuanya sendirian begitu ia tiba di rumah. Saat Erna ingin membantu, Mentari justru menyuruhnya beristirahat. Aidan juga berpendapat yang sama. Dia benar-benar mengurus saya sendirian tanpa meminta Erna membuatkan ini-itu untuk saya.

“Ri, saya gendong aja ke kamar ya, tidur di sebelah saya, biar belakangnya gak sakit,” ucap saya sambil perlahan-lahan menggendongnya ke kamar.

Setibanya di sana, saya langsung membaringkan Mentari di kasur dan ikut rebahan di sampingnya. Wajah Mentari tampak begitu pucat, garis matanya menghitam. Mungkin karena ia lelah menghadapi saya. Dan tentu hal itu membuat saya benar-benar dilingkupi rasa bersalah. Telapak tangannya yang semula sangat lembut, mulai terkelupas dan terasa kasar. Lagi-lagi pasti karena ia menenggelamkan kesedihannya lewat pekerjaan rumah. Padahal sudah saya bilang, dia tidak boleh mengerjakan pekerjaan Erna. Tapi Mentari si keras kepala ini akan tetap melakukannya meski saya melarang.

“Papa...” racaunya tiba-tiba, tubuhnya memutar menghadap saya dan tanpa sadar ia menyelipkan tangannya sendiri ke sela-sela lengan saya. Entah apa yang ia sedang mimpikan hingga berkali-kali menyebut ayahnya. Yang saya tahu dari Dhea, Mentari memang sangat dekat dengan mendiang ayahnya. Dan mungkin hal ini menjadi alasan utama Mentari mengapa ia ingin saya memperbaiki hubungan saya dengan Aidan.

“Jangan gitu sama Idan, Mas Jordy. Dia sayang banget sama kamu, role modenya dia tuh kamu. Kalau kamu keras sama dia, nanti besarnya dia jauh sama kamu. Dia cuma mau diperhatiin sama kamu.”

Selalu kata-kata itu yang muncul dalam kepala setiap saya selesai menegur Aidan dengan keras. Hari ketika Aidan dipanggil oleh Kepala Sekolah, Mentari menjelaskan semuanya pada saya. Apa yang membuat Aidan begitu marah pada Gallen dan teman-teman nakalnya itu. Mentari tidak marah sama sekali, walau saya bisa melihat ada kecewa serta rasa sakit yang terpancar dari binar matanya, ia tetap menjelaskannya pada saya dengan tenang dan lembut.

Meski waktu itu kami bertengkar hebat, Mentari mengetuk pintu kamar saya saat dini hari. Ia mengajak saya berbicara empat mata—mengenai hal itu. Tutur bicaranya yang lembut serta ketulusannya dalam mengurus Aidan membuat saya mengerti kenapa Jenan mati-matian menantang saya. Dia tidak menyerah untuk memenangkan hati Mentari. Tapi saya tahu meski Jenan berusaha keras, Mentari tidak akan pergi dari saya.

Saya dengar sendiri Mentari meminta Jenan untuk berhenti mengirimkannya pesan-pesan penuh perhatian. Dia bilang bilang dia sudah menjadi istri saya, dicintai saya atau tidak, biarlah dia yang menghadapi semuanya sendirian.

Gosh. Kenapa saya begitu bodoh dan malah menyianyiakan perempuan setulus Mentari? Kenapa saya malah memanfaatkan dia? Rasanya saya ingin menampar wajah sendiri sekeras mungkin.

Seandainya saya tidak mengalami banyak masalah dengannya, mungkin hingga saat ini saya akan terus memanfaatkan Mentari. Tapi untung Aidan menampar pipi saya dengan keras barusan.

Papi sayang Idan, tapi Papi sayang Mamah nggak?

Dan jawabannya, Nak, Ya. Papi sayang sama Mamah. It's all about us, now and forever.

Mentari bilang saya menyebalkan saat mabuk. Tapi sayang, saya tak ingat apapun apa yang saya perbuat padanya.

Yang jelas, Mentari berkali-kali menekankan bahwa saya membuatnya begitu menderita.

Saya sadar kalau perbuatan saya sejak beberapa hari lalu telah menyakitinya. Sikap arogan saya padany, emosi yang membuncah kala itu, membuat saya tak dapat berpikir jernih.

Pikiran saya terbutakan oleh amarah yang membelenggu. Bayang tentang Jenan yang lancang menggenggam erat tangan Mentari betul-betul menghancurkan nadir dalam diri saya.

Malam sebelumnya saya dan tim diajak makan untuk merayakan award yang kami terima, dan tanpa sadar saya kebablasan minum hingga merepotkan semua orang di sana.

Kata Mentari saya sampai dibopong oleh enam orang dan ambruk begitu saja ketika bertemu kasur.

Saat pagi hari, saya segera menyusul Mentari ke kamar mandi untuk segera meminta maaf padanya. Tapi ia justru tak berada di kamar mandi kami.

Apa dia belum pulang? Apa dia bohong pada saya dan diantar Jenan?

Dengan perasaan tak menentu saya berusaha bangkit berdiri dan berjalan meski sempoyongan.

And there she is, sedang menggosok gigi di kamar mandi luar.

“Jangan peluk-peluk aku,” tandasnya ketus.

“Saya mau minta maaf.” Saya tak peduli dengan permintaannya.

“Minta maaf terus juga percuma, Mas Jordy. Besok-besok paling kamu ngulangin.” Ia melangkah meninggalkan wastafel.

“Sebentar dulu, kamu juga salah sama saya. Kamu kabur—”

“Masih pagi harus banget nyari-nyari kesalahan orang lain?” protesnya sambil berkacak pinggang.

“Kita sama-sama ngelakuin kesalahan, akuin aja, Ri. Yang dewasa kalau nyelesein masalah,” sambar saya memberi nasihat. Dia berdecak, “udah sana ah!”

“Ntar dulu,” cegat saya cepat. “Kita bicara dulu sebentar.”

“Apa? Minta dimaafin? Apa mau ngapain lagi?”

“Salah satunya itu, saya mau minta maaf.”

“Ya, udah aku maafin. Minggir, aku mau nyiapin sarapan anak kamu.”

“Eh, kok gitu ngomongnya?” tanya saya panik. “Anak saya anak kamu juga, Ri.”

Ia hanya diam kemudian meninggalkan saya ke dapur.

“Ri,” panggil saya.

“Saya—”

Kalimat permohonan maaf yang seharusnya terucap, terpaksa saya simpan terlebih dahulu ketika saya menemukan Mentari tertidur di meja makan, disela-sela makanan yang telah tersaji. Rambut ikal miliknya terurai panjang dan sedikit acak, membuat saya ingin segera menyugar rambutnya. Saya...selalu suka dengan rambut ikal alami Mentari. Bagi saya rambutnya begitu sesuai dengan Mentari. Malah ia semakin cantik karenanya.

Sayapun berjalan pelan dan duduk di sebelah Mentari. Tangan saya terangkat untuk mengelus punggungnya, namun mengingat sikap-sikap saya semalam—ragu itu mulai menghantui. Akhirnya saya putuskan untuk tidak melakukannya. Tapi sebagai ganti, saya meminta Erna untuk mengambilkan salah satu mantel berbahan wool yang biasa saya kenakan kalau sedang syuting di tempat dingin.

Saya mengusap puncak kepala Mentari lembut sebagai tebusan rasa bersalah saya padanya, juga atas sikap-sikap arogan saya padanya. Walau tahu Mentari tak akan semudah itu memaafkan saya, setidaknya saya ingin ia paham kalau saya juga tidak ingin ia pergi. Bukan cuma saya, tapi Aidan juga.

“Mamah belum tidur dari tadi malem karena jagain Papi abis muntah. Badan Papi panas,” beritahu Aidan yang datang untuk meletakkan segelas teh hangat untuk Mentari.

My son... Kadang-kadang punya cara sendiri untuk menegur saya. Usia dia memang masih kecil tapi lihat bagaimana ia menjaga Mentari, saya sampai takjub dan malu sendiri, karena seharusnya sayalah yang berjaga untuk Mentari. Tapi selama ini... Aidan malah menggantikan saya. Kalau kadang saya tidak ingin Aidan berada di tengah-tengah saya dan Mentari, bukan berarti saya tidak menyayangi Aidan. Saya ingin memerhatikan Mentari seperti yang Aidan lakukan padanya.

“Papa...Riri kangen Papa...Riri pengen pulang...Riri nggak kuat lagi sama Mas Jordy, Pa...”

Mendengar itu, tatapan Aidan terhadap saya langsung berubah datar. “Dan, Papi sama Mamah emang kadang-kadang suka berantem tapi bukan berarti, kita berdua nggak sayang sama kamu—”

“Papi sayang Idan, tapi sayang nggak sama Mamah?”

Saya sontak membisu ketika Aidan melontarkan pertanyaan itu. Saya tak pernah menduga bahwa Aidan bisa sedikit membaca situasi yang terjadi antara kami berdua.

“Dan, kamu ke kamar dulu ya. Papi mau bicara sama Mamah.”

Aidan hanya diam dan mengangguk, ia melangkah meninggalkan saya dan Mentari yang tertidur dalam sunyi.

tes

Tak Lagi Sama (Jordy's Version)

Belum sirna dari ingatan saya tentang mimpi tempo hari. Mimpi yang terasa begitu nyata dan sungguh menyiksa. Mimpi yang mengembalikan saya pada trauma tiga tahun lalu.

Caranya mungkin tidak sama. Tapi rintihan serta tangisan mengerikan itu selalu terbayang di kepala saya.

Sejak saya memimpikan itu, saya mulai melangkah meninggalkan masa lalu. Saya tak lagi mencari jawaban pasti tentang bagaimana mungkin Mentari memiliki sifat yang sedikit mirip dengan Kirana.

Justru setiap kali persona itu muncul, saya otomatis dipenuhi kekalutan. Saya takut bila Mentari yang sedang menjadi Kirana bertindak di luar nalar, persis yang terjadi di dalam mimpi.

Makanya, mulai hari ini saya memutuskan untuk pulang lebih awal, agar dapat memantau kondisi Mentari di rumah, juga untuk Aidan yang belakangan ini mengalami perubahan yang cukup signifikan, terutama setiap saya pulang kantor.

Dia berhenti merengek.

Dia tidak lagi melimpahkan kekesalannya pada pengasuhnya, Erna.

Dia tidak lagi menjadi sosok menyebalkan buat saya.

Dia selalu menunggu saya setiap pulang kantor.

Anak itu akan berdiri di balik pintu, merentangkan tangannya ke arah saya untuk meminta peluk.

“Papiiiii!” Anak itu bersorak senang saat saya baru saja melangkah masuk. Senyumnya merekah dengan sempurna.

“Hai,” sapa saya sembari mensejajarkan diri dengan Aidan.

“Papi hari ini pulangnya cepet!” Dari teriakannya yang mungkin terdengar hingga ke ujung ruangan, saya bisa menebak jika hal sesederhana ini adalah hadiah yang Aidan tunggu-tunggu.

“Iya,” sahut saya pelan. “Are you happy?” Anak itu mengangguk kuat dengan cengiran. Tak lama setelahnya, tangan saya sudah digandengnya menuju dapur, mempertemukan saya kepada sosok perempuan bercelemek putih, bersurai coklat muda dan bergelombang.

Sepertinya ia tak menyadari bahwa saya sudah di rumah. Ia hanya sibuk bergelut dengan sutil dan panci masaknya.

“Mamah!” Aidan menepuk belakangnya hingga membuat bahunya terangkat.

“Dan, astaghfirullahaladzim. Kaget Mam—”

“Papi pulang jam enam tiga puluh lewat satu detik, ini hari pertama Papi pulang cepet, yeaaay!” Aidan menyerocos disaat saya dan Mentari hanya saling termangu, memandang satu sama lain dan tenggelam dalam tatapan itu.

“Tumben,” ia tersenyum kecil. “Makasih, Mas. Udah mau pulang cepet.”

Saya tersenyum kikuk karena tak pandai merangkai kalimat pemuja atas apresiasi kecil tersebut. Tapi untuk menggantikannya, saya memilih melangkah maju, mengusap punggung belakangnya pelan.

“Cie Papi....” Aidan di belakang menatap saya dengan muka jahil dan lugunya. “Ih, Papi! Telinganya merah.”

“Kenapa? Kamu sakit?” Mentari langsung berbalik menghadap saya, dia terlihat panik.

“Nggak, Mah. Papi selalu kayak gitu kalau malu. Telinganya pasti merah.”

Sial, Aidan membuka kartu As saya.

// CW // Suicide

// TW // Blood

Tiga jam lamanya Mentari mengurung diri, dan selama itupula cemas tiada henti menghinggapi benak saya.

Sudah segala cara saya kerahkan. Menggertak pintu dari luar, meneleponnya berkali-kali, tapi Mentari tak kunjung merespon. Mentari yang saya kenal tidak mungkin bersikap seperti ini, mau sebesar apa masalah kami, ia pasti masih bersedia menjawab telepon saya.

Namun tidak dengan kali ini.

Saat tadi kami masih di mobil, Mentari memandang saya kosong, putus asa. Ia lebih banyak bergeming sepanjang jalan. Dan dalam waktu singkat, Mentari saya yang selalu bersinar itu, melangkah pergi tanpa tujuan dan arah.

Ditambah saya yang tanpa sengaja memakinya, semakin parahlah kondisi Mentari. Ketika kami sampai di rumah, ia langsung menuju kamar tamu dalam hening. Rambut yang terikat rapi terlihat acak-acakan, atasan blouse serta bajunyapun tampak begitu berantakan.

Mentari bahkan tidak membiarkan saya memegang tangannya sedikitpun. Yang ia lakukan hanyalah menyusuri lorong apart dan mengunci pintu kamar.

“Mamah—” Aidan terbata. Saya lihat anak itu sama seperti saya, khawatir namun juga dilingkupi ketakutan yang luar biasa.

“Idan, malam ini Idan tidur sama Mbak Erna. Denger Papi. Sekali ini aja.” Jauh sebelum Aidan membuka mulut dan bertanya pada saya mengenai kondisi ibunya, saya lebih dulu mengantisipasinya.

Untungnya, Aidan sedang bisa diajak bekerja sama. Anak itu patuh tanpa protes. Ia mengekor Erna dan masuk ke kamarnya.

Sedangkan saya di depan pintu kamar tamu, bolak-balik menghubungi Terry. Sayangnya, ponsel teman saya itu sibuk terus-menerus hingga terpaksa saya mengontaknya melalui pesan WA.

Lima detik berselang, Terry membalas. Ia menegur saya habis-habisan karena saya tak bisa mengontrol emosi. Memang, saya akui itu salah saya.

“Gimana?” tanya Terry khawatir. “Pintu udah dibuka?”

“Belum, Ter. Gue lagi minta Devon ke atas untuk bantu,” kata saya.

“Jor, please. Lo sama Devon badan gedean lo anjrit!” Dia malah tambah memanas-manasi.

“Ya gue mau gimana? Gue pake tang gak bisa, ga kebuka. Gue gak tau Mentari tahan pake apa di dalem.” Suara saya mulai melemah. Terry sampai berdecak dan menarik napas dalam-dalam.

“Jor,” suaranya terdengar serius.

“Hmm?” jawab saya cepat.

“I've been considering this for a long time...” Nada bicara Terry makin parau dari yang biasanya.

“Kenapa?”

“Gue udah gak bisa lagi nanganin kasus Mentari.”

Keputusan tersebut sebenarnya tidak terlalu mengagetkan bagi saya. Karena sudah hampir beberapa minggu ini, Terry jarang menanyakan kondisi Mentari. Ia lebih banyak menangani pasien lain di tempat prakteknya dan lebih fokus mengurus mereka. Namun di titik tertentu, saya masih memerlukan Terry ketika Mentari dalam kondisi gawat seperti ini.

Maka itu, saya tidak ingin menyerah. Saya akan melakukan apapun asal gangguan mental Mentari membaik.

“Ter, tunggu dulu. Gue bayar dua kali lipat—”

“Jor, trust me, even lo minta bantuan sama yang lain, mereka bakal jawab yang sama. Kasus Mentari ini one in a million. Sangat langka dan sangat sulit dipecahkan. Okelah, melalui rekam medis, Mentari memang mengalami depresi berat dan gak punya hubungan baik dengan ibu tirinya. Tapi yang bikin fishy dari sekian banyak identitas atau personaliti yang ada dalam diri dia, kenapa harus mirip Kirana? Dia pernah kenal Kirana sebelumnya? Atau, Kirana pernah bikin masalah sama dia? Gak mungkin kan, Jor?”

“Lo ngomong apa sih anjing? Kalo emang gak bisa bantu dari awal, bilang. Muter-muter aja omongan lo!”

“Jordy, dengerin gue. Kalau sampe medis udah angkat tangan, berarti ada sesuatu yang gak masuk nalar. Mungkin buat lo aneh dan gak akan bisa masuk di otak rasional lo itu, tapi, lo harus ingat. Kita hidup berdampingan, Jor.”

Klik!

Percuma, orang seperti Terry tak akan mungkin mengubah keputusannya. Saya akan membuang waktu bila terus memohon pada Terry. Makanya, saya langsung mematikan sambungan telepon tersebut, dan kembali menyiapkan diri untuk menghadapi Mentari.

Parasnya...semakin jauh dari Mentari yang saya kenal. Ia tak lagi bersinar seperti hari-hari sebelumnya.

Lingkar hitam di kantung mata Mentari, memberi jawaban kepada saya—betapa lelahnya ia mempunyai suami payah seperti saya.

“Ri,” panggil saya pelan. Perempuan itu saya dapati tengah duduk menghadap jendela di tepi kasur.

“Sayang...” sahutnya dengan suara parau.

“Ya?” Saya berpindah ke sisi kasur sebelahnya, dan seketika itu juga mata saya membelalak saat melihat tetesan darah yang jatuh sempurna di lantai.

“Ri! What the hell are you doing?!” Tangan saya gemetar hebat, begitupun dengan teriakan saya yang mungkin akan membangunkan Aidan dari tidurnya. Tapi siapapun yang menyaksikan hal ini, pasti tak akan luput dari jeritan.

“Mas Jordy...” “PUT IT DOWN!” suruh saya padanya, tapi semakin saya memintanya untuk menurunkan cutter itu, Mentari semakin memperdalam goresannya di lengan. Tangis perempuan itupun pecah. Penuh raungan dan sesak dalam dada. “Maaf Mas Jordy... Aku bener-bener menyulitkan kamu dan Idan. Bahkan psikater seperti Terry aja menyerah dengan kondisiku. Kamu harus berhenti nyusahin diri sendiri kayak gini.”

“No...” Saya meraih tubuh Mentari. Dan seperti dugaan saya, hawa tubuhnya terasa amat dingin. “Ri, please, don't leave me. Inget Aidan, Ri...”

Sambil meringis menahan perih di lengannya dan dalam rengkuhan saya, perempuan itu melirih pelan, “aku nggak ninggalin kamu Mas Jordy. Tapi perempuan itu terus meminta aku untuk pergi dari kamu. Aku takut, Mas Jordy.”

“Perempuan? Perempuan siapa?” tanya saya menangkap sesuatu yang salah dari kata-kata Mentari. Telunjuknya pun segera terarah keluar jendela.

“Mbak Kirana...Dia ada di depan pintu itu. Dia minta aku untuk pergi sama dia...katanya aku menggagalkan rencana kalian...Katanya aku merusak hubungan kalian.”

Saya menghela napas dalam-dalam. Ternyata gangguan mental Mentari sudah semakin parah, delusinya kian meningkat tanpa saya ketahui.

“Ri, she's died.” “Dia memang sudah meninggal...tapi raganya tetap disini. Selalu datang ke aku...”

”...Dia bilang dia mau pinjam tubuhku, dia pengen lihat Aidan dan kamu. Dia pengen kamu nepatin janjinya ke dia...” Tangan Mentari kembali bergerak menyusuri celana berkantung saya dan dengan gerakan cepat, cutter yang tadi berhasil saya rebut sudah ada di tangannya.

“Dia bilang aku harus mati... Supaya dia bisa pinjam tubuhku...”

“Mentari! Look at me! Jangan dengerin apa yang ada di kepala kamu!” Saya menangkup wajahnya, dan berusaha mengalihkan pikirannya agar terpusat pada saya.

Ia menggeleng lemah, “Aku cinta sama kamu, Mas Jordy... Tapi kamu lebih cinta sama Mbak Kirana. Kupikir aku bisa menggantikan posisi Beliau, tapi nyatanya enggak. Beliau bilang, kamu selalu tidur sambil meluk pakaian Beliau. Dia bisikin aku...telingaku sakit...”

“Ri, enggak. Gak! Gak bener. Saya nggak ada tidur sambil meluk pakaian dia. Nggak, Ri. Please? Cepet sadar, Ri!” Saya tepuk pelan pipinya, namun yang terjadi Mentari memejam mata dan kembali melirih di telinga saya, “Aku cinta sama kamu, Mas Jordy...Makasih udah bersedia menjadi suamiku. Aku pamit...”

“RI!”

Dan seketika kepala saya terasa pusing, langit-langit di kamar seakan berputar mengelilingi saya. Pandangan mata saya pun memburam, entah apa yang membuat saya sulit membuka mata. Yang saya rasa, ada sebuah tangah yang mengelus lengan dan sekitar bahu saya.

Suaranya mendayu, sungguh pelan. “Mas Jordy...”

Agenda memindahkan data Mentari terpaksa saya tunda.

Karena sesampainya saya di kamar sebelah, saya menemukan Mentari tertidur di sofa, memegang perutnya terus-terusan sambil sesekali meringis. Aidan? Untungnya, anak itu terlelap di kasur, sehingga saya tidak harus membuang tenaga mengurus dua orang.

Ketika saya menghampiri Mentari, rupanya ia tengah meringis kesakitan.

“Kamu PMS?” Saya ingat betul peristiwa yang sama pernah dialami Kirana semasa ia masih hidup. Tentu sebagai orang yang sudah berpengalaman, saya yakin betul kalau hari ini adalah hari Mentari kedatangan tamu.

“Nggak...” jawabnya lemah. Alis saya kontak mengerut bingung, “Maag aku...kambuh.”

“Makanya saya bilang jangan tunggu saya selesai kerja. Salah sendiri,” jawab saya acuh. Ini bukan bermaksud menghukum Mentari karena pilihannya, tapi seharusnya dia lebih aware dengan dirinya sendiri. Jika hal-hal sepele seperti ini saja tidak ia pedulikan, lalu bagaimana nasib Aidan? Apa ia mampu mengurus Aidan dengan baik?

“Maaf ya, Mas,” sesalnya. Saya diam memandang wajahnya yang memucat. “Aku ngerepotin.”

“Tuh, tau.” Ia semakin bungkam mendengar balasan saya. “Pindahin datanya masih mau sekarang?” Sambil terus mengaduh-aduh, Mentari justru membahas hal yang tidak perlu.

Dan hal itu membuat saya semakin jengkel padanya. “Kamu ini, kayak gitu emang penting?”

“Tapi kan tadi kamu marah, nuduh aku sama Pak Jenan yang enggak-enggak.”

“Saya nggak nuduh.” “Kamu ngebentak aku tadi di depan pintu gara-gara message Pak Jenan,” muka Mentari yang terlihat pedih membuat saya dirundung sesal seketika. Saya tahu mungkin sikap saya juga salah lantaran langsung menggertaknya. Tapi amarah itu entah mengapa selalu timbul setiap kali ada Jenan di sekeliling kami.

Saya tidak dapat mengontrolnya hingga saya kewalahan sendiri.

“Aku nggak mau berantem lagi gara-gara Pak Jenan,” katanya dengan volume suara yang nyaris tak terdengar. Tatapan Mentari terangkat ke saya, seakan memohon untuk tidak lagi marah padanya.

“Maaf sekali lagi kalo kamu masih marah, aku nyari obat dulu ya. Biasanya aku selalu bawa dalem tas, tapi kayaknya ketinggalan deh di kosan.”

“Mentari,” panggil saya. “Bentar, Mas. Aku mau cari obat dulu.”

“Denger saya dulu.” “Aku nggak bisa kayak gini terus, nyusahin kamu terus, bikin marah, nanti Idan ga keurus kalo aku sakit.” Ia tetap kekeuh ingin beranjak dari sofa.

“Bisa liat saya sebentar?” “Mas, kamu istirahat aja dulu. Aku bisa ngurus diri sendiri kok. Tenang, gak perlu repot. Kemaren kamu udah cukup menyedihkan sampe minum banyak, sekali lagi aku minta maaf ya. Maaf banget aku bukan orang yang kamu mau. Maaf banget aku–”

“Berapa gelas yang kamu minum?”

Dia diam dan menghindari tatapan saya. “Berapa?”

“Satu...” “Siapa yang suruh kamu minum?”

“Nggak ada. Lagi kepengen aja.” “Jangan minum-minum lagi.” Saya sengaja mempertegas ucapan saya.

“Kok gitu? Kamu aja boleh minum, kemaren kamu minum sampe ngigo Mbak Kirana. Kenapa aku gak boleh? Kenapa cuma kamu yang boleh? Aku nggak boleh ngelampiasin sedihku juga? Yang sedih patah hati bukan cuma kamu Mas Jordy, tapi aku juga sama. Nggak. Kita sama. Sama-sama menyedihkan. Kamu sedih karena belum nemuin pengganti Mbak Kirana, dan aku sedih karena aku nggak akan pernah ada di posisi dia,” ujarnya sambil menangis terisak-isak. Saya tahu saya salah di bagian itu, maka untuk menebus kesalahan, saya biarkan ia berkeluh tentang apa yang ia rasa, saya biarkan sesekali saya yang menjadi sandarannya.

Karena sampai kapanpun saya menginginkan Kirana, dia tak akan pernah kembali ke saya.

Yang ada hanya perempuan yang kini sedang saya peluk erat dalam dekapan.

Saya tidak mau Jenan yang memeluknya. Saya mau hanya saya yang mendekapnya seperti ini.

Saya cemburu

Hari itu saya terbangun karena sakit kepala yang hebat. Kepala ini bagai dihantam oleh sebilah palu besi, meninggalkan rasa sakit yang begitu mencekam baik fisik maupun mental. Tubuh saya dibuat tak mampu bergerak, mata ini seakan direkatkan oleh lem kuat sehingga saya dibuat tak berdaya di ranjang. Entah siapa tersangkanya, tapi jelas saya tidak nyaman berada dalam posisi ini.

Bahkan untuk memanggil saja, mulut saya benar-benar dikunci rapat, dan hal yang bisa saya lakukan hanya mendengar suara bising dari arah ruang makan, jejakan-jejakan kaki yang mendekat ke arah saya, juga sebuah sentuhan di telapak tangan.

Hangat, tapi saya tahu bahwa kehangatan ini bukan milik Kirana, melainkan perempuan yang saya jadikan tempat pelindung untuk Aidan.

Bukan saya tentunya.

Saya juga mendengar ringisan kecil darinya ketika suara pecahan gelas kaca menderu hebat di sekitar saya.

Tapi hal itu tidak menggoyahkan saya untuk melihatnya barang sebentar.

Detik berikutnya, gemercik air mulai terdengar dari arah dapur, begitu juga dengan air panas yang mengepul dari mesin pemanas. Semuanya berlomba seakan meminta saya untuk membuka mata.

Saya tetap berteguh dalam pendirian, membiarkan dia mengerjakan semua sendiri, walau dalam hati timbul sedikit kekhawatiran karena dia sempat meringis kesakitan.

“Halo?” Suaranya terdengar. “Oh, Pak Jenan.”

Mata saya terbuka usai mendengar nama Jenan terlontar dari bibirnya. “Ah, iya, Pak. Saya baik-baik aja,” katanya lagi. Dia menjauh dari jangkauan saya, seolah berkata bahwa dia dan Jenan memang punya waktu berdua.

Saya kontan berdiri di tengah rasa kesal yang menggebu. Untung dia tidak sadar bahwa saya sudah bangun. Dia seketika menghilang dari pandangan, dan membuat rasa kalut itu semakin bertambah menguasai benak saya.

Bibir saya sudah penuh dengan sumpah serapah, padahal seharusnya saya tidak usah memedulikan apa yang Jenan katakan pada dia. Namun senyum yang sering merekah ketika Jenan berada di sisinya membangkitkan murka. Ditambah, dia—si teledor— meninggalkan ponselnya yang satu lagi di kamar.

Tanpa peduli apapun lagi, saya putuskan untuk menyusul, mencari validasi dari firasat saya beberapa bulan ini.

Ia saya temukan berada di balik pintu besar, menelepon seseorang. Katanya itu Bulik Ratih, tapi murka yang masih betah menyelimuti membuat saya tidak segampang itu jatuh pada ucapannya.

“Hape kamu ketinggalan. Notifikasinya rame, dari Jenan. Berisik. Istirahat saya terganggu,” entah apa yang merasuki saya hingga dengan entengnya saya berkata demikian.

“Pak Jenan bilang apa—”

“Dia tau nomor hape kamu dua-duanya?” Nada saya sedikit ketus.

Ia mengangguk. “Satunya kan buat kerja.”

“Satu lagi?” Cecar saya tidak puas.

Ia diam.

“Jawab, Mentari. Satu lagi buat apa?!” Semua orang yang berada di sekeliling kami sontak meliriknya, juga saya. Tapi mereka lebih memerhatikan dia dengan pandangan sinis.

“Buat kerjaan. Itu kan hapeku yang rusak kemaren, WA-nya baru dibenerin, Mas.”

Saya mendengus marah, “buat kerjaan atau buat bilang ke kamu I would protect you at all cost?”

“Enggak gitu, Mas.” Ia masih berkilah, namun saya tak peduli. “Saya udah bilang sama Jenan untuk cari perempuan lain, jangan kamu yang dia usik terus.”

Saya berkata dalam perasaan kalut bercampur marah. Semestinya saya tidak perlu memperkerjakan dia di kantor ini, kalau tahu Jenan menaruh hati padanya.