// CW // Suicide
// TW // Blood
Tiga jam lamanya Mentari mengurung diri, dan selama itupula cemas tiada henti menghinggapi benak saya.
Sudah segala cara saya kerahkan. Menggertak pintu dari luar, meneleponnya berkali-kali, tapi Mentari tak kunjung merespon. Mentari yang saya kenal tidak mungkin bersikap seperti ini, mau sebesar apa masalah kami, ia pasti masih bersedia menjawab telepon saya.
Namun tidak dengan kali ini.
Saat tadi kami masih di mobil, Mentari memandang saya kosong, putus asa. Ia lebih banyak bergeming sepanjang jalan. Dan dalam waktu singkat, Mentari saya yang selalu bersinar itu, melangkah pergi tanpa tujuan dan arah.
Ditambah saya yang tanpa sengaja memakinya, semakin parahlah kondisi Mentari. Ketika kami sampai di rumah, ia langsung menuju kamar tamu dalam hening. Rambut yang terikat rapi terlihat acak-acakan, atasan blouse serta bajunyapun tampak begitu berantakan.
Mentari bahkan tidak membiarkan saya memegang tangannya sedikitpun. Yang ia lakukan hanyalah menyusuri lorong apart dan mengunci pintu kamar.
“Mamah—” Aidan terbata. Saya lihat anak itu sama seperti saya, khawatir namun juga dilingkupi ketakutan yang luar biasa.
“Idan, malam ini Idan tidur sama Mbak Erna. Denger Papi. Sekali ini aja.” Jauh sebelum Aidan membuka mulut dan bertanya pada saya mengenai kondisi ibunya, saya lebih dulu mengantisipasinya.
Untungnya, Aidan sedang bisa diajak bekerja sama. Anak itu patuh tanpa protes. Ia mengekor Erna dan masuk ke kamarnya.
Sedangkan saya di depan pintu kamar tamu, bolak-balik menghubungi Terry. Sayangnya, ponsel teman saya itu sibuk terus-menerus hingga terpaksa saya mengontaknya melalui pesan WA.
Lima detik berselang, Terry membalas. Ia menegur saya habis-habisan karena saya tak bisa mengontrol emosi. Memang, saya akui itu salah saya.
“Gimana?” tanya Terry khawatir. “Pintu udah dibuka?”
“Belum, Ter. Gue lagi minta Devon ke atas untuk bantu,” kata saya.
“Jor, please. Lo sama Devon badan gedean lo anjrit!” Dia malah tambah memanas-manasi.
“Ya gue mau gimana? Gue pake tang gak bisa, ga kebuka. Gue gak tau Mentari tahan pake apa di dalem.” Suara saya mulai melemah. Terry sampai berdecak dan menarik napas dalam-dalam.
“Jor,” suaranya terdengar serius.
“Hmm?” jawab saya cepat.
“I've been considering this for a long time...” Nada bicara Terry makin parau dari yang biasanya.
“Kenapa?”
“Gue udah gak bisa lagi nanganin kasus Mentari.”
Keputusan tersebut sebenarnya tidak terlalu mengagetkan bagi saya. Karena sudah hampir beberapa minggu ini, Terry jarang menanyakan kondisi Mentari. Ia lebih banyak menangani pasien lain di tempat prakteknya dan lebih fokus mengurus mereka. Namun di titik tertentu, saya masih memerlukan Terry ketika Mentari dalam kondisi gawat seperti ini.
Maka itu, saya tidak ingin menyerah. Saya akan melakukan apapun asal gangguan mental Mentari membaik.
“Ter, tunggu dulu. Gue bayar dua kali lipat—”
“Jor, trust me, even lo minta bantuan sama yang lain, mereka bakal jawab yang sama. Kasus Mentari ini one in a million. Sangat langka dan sangat sulit dipecahkan. Okelah, melalui rekam medis, Mentari memang mengalami depresi berat dan gak punya hubungan baik dengan ibu tirinya. Tapi yang bikin fishy dari sekian banyak identitas atau personaliti yang ada dalam diri dia, kenapa harus mirip Kirana? Dia pernah kenal Kirana sebelumnya? Atau, Kirana pernah bikin masalah sama dia? Gak mungkin kan, Jor?”
“Lo ngomong apa sih anjing? Kalo emang gak bisa bantu dari awal, bilang. Muter-muter aja omongan lo!”
“Jordy, dengerin gue. Kalau sampe medis udah angkat tangan, berarti ada sesuatu yang gak masuk nalar. Mungkin buat lo aneh dan gak akan bisa masuk di otak rasional lo itu, tapi, lo harus ingat. Kita hidup berdampingan, Jor.”
Klik!
Percuma, orang seperti Terry tak akan mungkin mengubah keputusannya. Saya akan membuang waktu bila terus memohon pada Terry. Makanya, saya langsung mematikan sambungan telepon tersebut, dan kembali menyiapkan diri untuk menghadapi Mentari.
—
Parasnya...semakin jauh dari Mentari yang saya kenal. Ia tak lagi bersinar seperti hari-hari sebelumnya.
Lingkar hitam di kantung mata Mentari, memberi jawaban kepada saya—betapa lelahnya ia mempunyai suami payah seperti saya.
“Ri,” panggil saya pelan. Perempuan itu saya dapati tengah duduk menghadap jendela di tepi kasur.
“Sayang...” sahutnya dengan suara parau.
“Ya?” Saya berpindah ke sisi kasur sebelahnya, dan seketika itu juga mata saya membelalak saat melihat tetesan darah yang jatuh sempurna di lantai.
“Ri! What the hell are you doing?!” Tangan saya gemetar hebat, begitupun dengan teriakan saya yang mungkin akan membangunkan Aidan dari tidurnya. Tapi siapapun yang menyaksikan hal ini, pasti tak akan luput dari jeritan.
“Mas Jordy...”
“PUT IT DOWN!” suruh saya padanya, tapi semakin saya memintanya untuk menurunkan cutter itu, Mentari semakin memperdalam goresannya di lengan. Tangis perempuan itupun pecah. Penuh raungan dan sesak dalam dada. “Maaf Mas Jordy... Aku bener-bener menyulitkan kamu dan Idan. Bahkan psikater seperti Terry aja menyerah dengan kondisiku. Kamu harus berhenti nyusahin diri sendiri kayak gini.”
“No...” Saya meraih tubuh Mentari. Dan seperti dugaan saya, hawa tubuhnya terasa amat dingin. “Ri, please, don't leave me. Inget Aidan, Ri...”
Sambil meringis menahan perih di lengannya dan dalam rengkuhan saya, perempuan itu melirih pelan, “aku nggak ninggalin kamu Mas Jordy. Tapi perempuan itu terus meminta aku untuk pergi dari kamu. Aku takut, Mas Jordy.”
“Perempuan? Perempuan siapa?” tanya saya menangkap sesuatu yang salah dari kata-kata Mentari. Telunjuknya pun segera terarah keluar jendela.
“Mbak Kirana...Dia ada di depan pintu itu. Dia minta aku untuk pergi sama dia...katanya aku menggagalkan rencana kalian...Katanya aku merusak hubungan kalian.”
Saya menghela napas dalam-dalam. Ternyata gangguan mental Mentari sudah semakin parah, delusinya kian meningkat tanpa saya ketahui.
“Ri, she's died.”
“Dia memang sudah meninggal...tapi raganya tetap disini. Selalu datang ke aku...”
”...Dia bilang dia mau pinjam tubuhku, dia pengen lihat Aidan dan kamu. Dia pengen kamu nepatin janjinya ke dia...” Tangan Mentari kembali bergerak menyusuri celana berkantung saya dan dengan gerakan cepat, cutter yang tadi berhasil saya rebut sudah ada di tangannya.
“Dia bilang aku harus mati... Supaya dia bisa pinjam tubuhku...”
“Mentari! Look at me! Jangan dengerin apa yang ada di kepala kamu!” Saya menangkup wajahnya, dan berusaha mengalihkan pikirannya agar terpusat pada saya.
Ia menggeleng lemah, “Aku cinta sama kamu, Mas Jordy... Tapi kamu lebih cinta sama Mbak Kirana. Kupikir aku bisa menggantikan posisi Beliau, tapi nyatanya enggak. Beliau bilang, kamu selalu tidur sambil meluk pakaian Beliau. Dia bisikin aku...telingaku sakit...”
“Ri, enggak. Gak! Gak bener. Saya nggak ada tidur sambil meluk pakaian dia. Nggak, Ri. Please? Cepet sadar, Ri!” Saya tepuk pelan pipinya, namun yang terjadi Mentari memejam mata dan kembali melirih di telinga saya, “Aku cinta sama kamu, Mas Jordy...Makasih udah bersedia menjadi suamiku. Aku pamit...”
“RI!”
Dan seketika kepala saya terasa pusing, langit-langit di kamar seakan berputar mengelilingi saya. Pandangan mata saya pun memburam, entah apa yang membuat saya sulit membuka mata. Yang saya rasa, ada sebuah tangah yang mengelus lengan dan sekitar bahu saya.
Suaranya mendayu, sungguh pelan. “Mas Jordy...”