noonanya.lucas

Tentang perasaan yang membuat saya tidak nyaman, dan mencari alasan agar saya bisa menghindar.

“Mas.”

Dia tersenyum di sebelah saya ketika saya membuat keputusan gila.

Keputusan yang menurut saya adalah sebuah kesalahan. Saya pengkhianat, saya jahat.

Sekaligus pada dua orang.

Dia yang sejatinya selalu saya doakan kemanapun saya melangkah. Dan—

Dia yang hari itu saya janjikan kehidupannya.

Tidak ada penyesalan yang saya temukan dari guratan wajahnya. Dia justru tersenyum. Bibir merah mudanya, juga mukanya yang hari itu bahkan tak terpoles riasan—menggoyahkan perjanjian yang telah saya buat dengan ibu Aidan.

Saya kalut sekali. Saya tak berani memandangnya. Setiap netranya bergulir pada saya, saat itu juga saya ingin pergi.

Namun tertahan karena Aidan yang terus-terusan meratapi rundungan temannya.

Aidan segalanya untuk saya. Dia hidup saya, hidup saya dan Kirana. Tentu bahagia Aidan, adalah bahagia saya juga.

Maka dengan sejumput keyakinan, saya bertandang ke keluarga perempuan itu.

Perempuan yang saya anggap gila, tidak normal dan mungkin ia mengidap gangguan mental.

Tanpa ragu sedikitpun saya ucapkan dalam satu tarikan nafas, “saya ingin menikahi Mentari.”

Dalam hati berat sekali mengucapkan kalimat itu. Saya benar-benar tak kuasa menahan amarah yang bergemuruh. Rasanya jika tangan saya punya kemampuan untuk berputar, saya akan meminta tangan saya untuk meninju muka saya sendiri.

Sekeras mungkin. Kalau perlu hingga lebam seperti yang dialami Kirana.

Agar saya bisa tanggung rasa sakit yang ia derita.

Peluh di kening saya tiada henti mengalir, perempuan itu tahu betul jika saya sangat-sangat gugup. Saya mati-matian menyembunyikannya, tetapi entah dari mana perempuan itu tahu jika saya hanyalah pecundang bertubuh besar.

Saya kira saya pemenang, ternyata dialah pemenang yang sebenar-benarnya, disaat saya menebar janji palsu di muka keluarganya, bahwa saya sungguh-sungguh dengannya. Bahwa, dengan segenap hati dan jiwa, saya akan memberikan hidup saya kepadanya.

“Kamu yakin?” tanyanya tanpa sesumbar. Dan saya mengangguk cepat, secepat detak jantung saya ketika jemarinya terselip rapi dibalik jari saya.

“Iya, yakin.” Saya menjawab dengan nada tenang. Padahal kecewa sedang menunjukkan taringnya pada saya kala itu.

“Aku yakin juga sama kamu, walaupun aku tahu..” Perempuan itu menjeda kata-katanya yang semakin membuat saya tertarik pada porosnya.

“Tau apa?” tanya saya.

“Tau kalau kamu nggak cinta sama aku, hehe.”

Senyum tulusnya langsung membuat saya gagal dalam hal menepati janji yang saya buat dengan ibu Aidan.

Dia meringis pelan sembari menahan air matanya. Saya bisa melihat betapa sakit dan patah terpancar jelas di raut wajahnya.

Makanya saya bilang, dia pemenangnya.

Jordy.

Seandainya saya memilih untuk tinggal di masa lalu, dan melaju hanya untuk berkeluh, mungkin sekarang senyum putra saya tidak akan seceria ini.

Saya tidak akan mendengar Aidan meneriaki nama saya dengan penuh semangat. Saya tidak akan mendapat kesempatan dari Aidan untuk memeluknya erat, seperti yang saya janjikan pada ibunya.

Saya akan terus bergulir pada perih yang tak berkesudahan. Meratapi betapa saya nyaris gila karena kehilangan.

Saya hancur detik itu. Kalau boleh saya jelaskan, saya ingin raga saya bersatu dengan ibu Aidan.

Tetapi sebuah insiden menghentikan saya. Membuyarkan segala runyam dalam kepala, hanya dengan satu jabatan tangan.

“Jordy Hanandian?” Saya ingat persis bagaimana pemilik mata bulan sabit itu menyipitkan matanya. Senyum tipisnya perlahan merekah, seperti mentari yang sedang melaksanakan tugasnya. Saya tidak pernah meminta dia untuk menggenggam saya, tapi satu yang saya rasa ketika telapak tangannya menyusupkan hangat di telapak tangan saya.

Perempuan ini, berbeda.

Saya sendiri sempat terkejut ketika dia berteriak lantang, saya ini calon artis!

Kala itu saya tertawa puas di dalam perjalanan menuju lokasi. Saya yang jarang tertawa, tiba-tiba dibuat gila karena narsistik seorang perempuan random berambut ikal.

Yang sinting dia apa saya sih sebenarnya?

Saya juga tidak bisa memastikan.

Yang jelas dalam perjalanan saya ke lokasi, entah mengapa suasana hati saya

Membaik.

Lupakan. Lupakan angan-anganku tentang pregnancy glow seperti kata orang, karena begitu aku sampai di rumah, mual-mualku kembali menyerang. Jangankan sempat mencuci muka, aku langsung mencari toilet untuk memuntahkan segala isi perutku. Hilang sudah cireng keju sebagai camilan pengganjal lapar. Jordy di sebelahku sibuk mengelus tengkuk leher dan punggungku karena sudah hampir lima menit aku muntah di kamar mandi. Aidan datang, membawa minyak angin buatku agar mualku sembuh.

Aku bersyukur, baik suami dan anakku tak berhenti mencurahkan perhatian mereka, meski kadang Aidan meluncurkan pertanyaan tak terduga yang membuatku tak kuasa menahan tawa.

“Mamah, cacingan ya?” Pusingku yang tadinya cenat-cenut, mendadak berhenti karena aku terlalu fokus tertawa. Jordy melirik putranya datar, “Dan, di dalem perut Mamah ada adeknya Idan.”

“KOK UDAH ADA?” Anak itu berseru heboh. “Ih, cepet banget. Idan sebel!”

Aku cengo, apalagi bapaknya yang menandangku heran. “Loh, kemaren Idan nanya terus adek udah ada di perut Mamah, sekarang udah ada kok malah ngambek?”

Aidan merengut, “abis nanti Mamah enggak sayang Idan!” Ia berbalik badan lalu berlari ke kamarnya. Aku menatap Jordy pasrah, sedang dia menenangkanku. “Nggak apa-apa, nanti juga Idan ngerti kok. Ya namanya dia jadi anak tunggal sembilan tahun, gitu tau ada adiknya pasti ngambek.”

Aku mengangguk lemah ketika Jordy mengalihkan kekhawatiranku, “Udah enakan belum, Yang?” Jemarinya mengusap lembut punggungku.

“Udah, cuma masih sedikit pusing aja, Mas.” Helaan nafas yang meluncur ringan dari bibirku menandai betapa aku sangat lelah dengan trimester pertama kehamilan ini.

Semula kupikir menjadi ibu hamil adalah hal keren, karena fitrah seorang perempuan.

Tetapi anggapan itu sedikit terpatahkan kala aku mengenal yang namanya muntah, mual, pusing, lemah, dan ringkih. Aku sampai tidak enak hati pada Jordy, karena sedikit-dikit aku jadi bergantung pada suami.

Walau sepantasnya aku menggantungkan segala keluh dan lelahku padanya, tapi dia kan tidak mungkin berada di sebelahku dua puluh empat jam.

Tugasnya sebagai kepala keluarga dan imam untukku dan Aidan harus ia pikul sendirian, dan itu membuatku sedikit merasa bersalah.

“Maaf ya, Yang...” Isakanku pecah kembali. Sungguh, salah satu yang membuatku benci terhadap diri sendiri, ya ini—being moody every single minutes. Persis seperti cuaca Jakarta yang kadang terik dan mendung, begitupun aku. Kadang cerah seperti namaku, kadang kelabu seperti nasibku yang terdahulu.

Belaian lembut mampir dari Jordy padaku di bagian pinggul. “Nggak apa-apa, aku bakal jagain kamu sama adek,” katanya dengan binar hangat. Aku memeluknya erat, mengadukan segala payah yang belakangan kusimpan sendiri karena tak ingin membebankannya.

“Bulik udah tau kalo kamu hamil, btw,” Jordy berpindah posisi dari berjongkok menjadi duduk sebentar di sampingku. Aku melongo bingung.

“Bulik tau dari mana?” tanyaku.

“Dhea. Kamu posting di IG story,” beritahu Jordy. Ah, iya juga. Aku bahkan lupa kalau kabar bahagia itu kubagikan melalui sosial media.

“Iya, iya,” responku sambil berusaha bangkit dari toilet.

“Aku gendong aja.” Tiba-tiba Jordy mengangkat tubuhku. Sontak hal itu membuatku tersipu tapi juga risih. Pasalnya, aku yakin kalau aku masih bisa berjalan walau separuh kakiku mati rasa.

“Yaaaang! Nggak usah deh. Kamu mah lebay banget. Turuninnnn!”

“Nggak.” Tebak, dengan cara apa lelaki itu menerjunkanku ke awan, meski mukanya datar selempeng tol panarukan?

Yap. Betul sekali. Bibir empuk nan lembut milik Jordy menghantarkan sensasi menthol yang begitu kentara ke bibirku, hanya dalam satu pagutan. Aku sampai geleng-geleng kepala dibalik bahu atletis yang kini kugunakan sebagai sandaran hidup (Eaaaaa).

“Eh, Yang. Idan gimana ya?” tanyaku disela-sela ia menurunkanku di ranjang.

“Kan udah aku bilangin, ntaran lagi juga dia baik sendiri. Percaya deh, aku papinya. Aku tau dia gimana,” sahutnya yakin. Aku merespon dengan tawa, “persis kamu banget nggak sih? Bikin emosi tiap hari!”

Tidak, aku bukan bermaksud untuk mengeluh. Maksudku berkata demikian...karena kenyataannya Jordy memang lihai memainkan perasaanku. Sejak awal mengenal sampai aku mengandung benihnya.

Kurang ajar tapi menantang.

Dua puluh dua lewat lima belas menit, dan kami—yang tidak lama lagi akan menjadi orang tua masih sibuk mengarungi rutinitas malam. Sebelumnya aku telah bertanya pada dokter kandunganku, katanya aman. Dan ya, tanpa pikir panjang, bapak-bapak soon to be itu langsung merengek padaku untuk melakukan hal favoritnya.

Tidak terlalu lama, tapi rona merah itu memenuhi wajah tegas Jordy. Ia masih sibuk mengatur nafasnya yang tersengal di atas dadaku sambil sesekali merematnya pelan. Sialan, aku saja sampai tak mampu menolak karena Mr. Huggy Bear-ku itu terlampau hebat, mentang-mentang sudah pengalaman.

Saat kami sudah sama-sama yakin untuk terlelap tanpa mengunakan busana apapun, ketukan terdengar keras dari arah pintu. Aku dalam hati langsung melafalkan ayat kursi, karena dengar-dengar jika ada ketukan dari luar sebaiknya jangan dibuka, sebab bisa saja yang datang bukanlah manusia.

“Yang, jangan. Kata Bulik bahaya tau,” beritahuku pada Jordy.

Tapi semakin lama ketukan itu kian menggebu.

Tok! Tok! Tok!

“Yang, pokoknya kamu jangan tanggepin. Kita baca ayat kursi sama-sama ya,” ajakku sambil menengadahkan tangan dan mengucapkan doa selantang mungkin. Jordypun demikian.

Alhamdulillah, tak lama ketukan itu berhenti. Aku dan Jordy sama-sama langsung bernapas lega.

Eh, sudah tenang sedikit, kini suara isakan kecil menggeletik rasa takutku.

Satu sampai dua detik pertama, isakan itu masih terdengar normal, tapi lama kelamaan ia berubah menjadi gaungan kencang.

“MAMAAAH! Idan mau bobo sama adeeeeeeeeeeeeek!”

Aku dan Jordy kontan saling menatap satu sama lain.

“Yang, beneran itu Idan? Kata Pak Ustad kan suka nipu,” lucunya Jordy yang tubuhnya sebesar petinju profesional justru berlindung dibalik tubuhku. Ia menenggelamkan wajahnya dipundakku.

“Yang, ih! Kok kamu malah sembunyi gitu?”

“Kalo bukan Idan terus dia ketawa lebar kan aku duluan yang teriak,” katanya gemetaran. Aku antara mau nangis atau ketawa melihat ekspresi Jordy yang sungguh kalut saat itu. Terpaksa aku yang harus maju.

“MAMAAAAH, mau bobooook! Idan ngantuk, Maaaaaah!” Suaranya semakin lantang, sementara aku yang masih sibuk berpakaian harus segera berjalan cepat agar dapat membuka pintu. Dan ketika aku tiba di sana...

“Lama banget Mamah bukanya! Idan mau bobok sama Mamaaaaaah!”

Alhamdulillah, ternyata kaki Aidan tertapak di lantai. Tubuhnya sesuai dengan suhu tubuh manusia, sama sepertiku dan Jordy. Aidan langsung menuju kasur dan sementara aku berjalan, Jordy justru berteriak karena kaget.

“WHHAAAAA!”

“Yang, kamu kenapa?” tanyaku bingung. “Ini lho, Idan.”

“I-iya, Idan,” ia masih gemetaran. “T-tapi, Yang, itu dibelakang kamu,” katanya sambil menutup mukanya dengan bantal. Aku dan Aidan kompak melihatnya heran.

“Apa sih, Pi?” Aidan sontak menoleh, ternyata seekor serangga tengah mengepakkan sayap dan terbang ke arah Jordy.

“Ya ilah, Papiiii. Kecoaaak doang!” Aidan terbahak-bahak ketika Jordy meringkuk dalam selimut. Aku yang baru tahu jika orang se-perkasa Jordy ternyata phobia dengan kecoak langsung memastikan ke anaknya langsung.

“Papi takut kecoak, Dan?”

Aidan mengangguk kuat. “Iya, Mah. Soalnya Papi pernah dilewatin kecoak di kakinya pas lagi mandiin Idan waktu TK.”

Aku tertawa sejadi-jadinya setelah itu. “Tuh, kecoaknya udah keluar, Yang.”

“Iya, Yang.” Aidan di sebelahku justru ikut-ikutan memanggil ayahnya dengan sebutan sayang yang tentunya membuatku makin tertawa ngakak.

“Aidan...” Jordy merespon datar sambil menarik putranya untuk bergabung dengan kami.

“Idan udah enggak marah sama Mamah?” tanyaku ketika ia nyaris terlelap. Anak itu mengangguk sambil memilin salah jari telunjukku.

“Makasih ya, Nak...” Aku memeluknya erat.

“Iya, Mamah. Tapi kenapa adek bikin Mamah sakit?”

Aku tersenyum kikuk, agak bingung menjelaskan padanya. “Adek nggak bikin Mamah sakit, justru Mamah bahagia karena ada Aidan dan Adek. Kalian berdua kesayangannya Mamah.”

“Tapi Mamah tadi muntah-muntah, berarti Adek nakal, Mah!”

“Enggak, Dan...emang kayak gitu, bukan salahnya Adek.” Aku refleks melirik ayah dari Aidan yang dari belakang mengeratkan peluknya sambil sesekali mengelus perutku yang membuncit.

“Papi, jangan digituin nanti Adek kegencet! Karena tangan Papi gede kayak armagedon.”

“Dan!” Jordy langsung terbangun dan membuka mata ketika anaknya meledek.

“Udah, udah. Jangan ribut terus,” aku menengahi.

“Mamah, berarti sekarang kalo Idan bobo disitu gak bisa lagi dong?” Ia merengut kecewa.

“Hmm, boleh kok, pelan-pelan ya tapi.” Aku sontak meluruskan posisi tidurku, mempersilakan Aidan untuk meletakkan kepalanya di sana.

“Adek, halooo! Aku Idan. Abang Idan.” Mataku berkaca-kaca pecah saat Aidan yang kupikir takkan senang dengan kedatangan adiknya, justru memberi kejutan dengan memanggil dirinya sendiri “Abang.”

Jordy yang kala itu berada di sebelahku sadar jika sisi sensitif bumil-ku ini sedang berjalan, ia menyeka air mataku dengan ibu jarinya, meski aku tahu Jordy juga tak kalah haru denganku.

“Adek, kata Mamah kita harus berbagi. Nanti Adek Abang pinjemin buku cerita humpty dumpty ya, Mamah suka bacain walaupun Abang nggak ngerti Mamah ngomong apa, soalnya Mamah nggak bisa bahasa Inggris.”

“Idan...” Suasana haru yang tadi menyelimuti aku dan Jordy langsung berubah penuh tawa. Idan...Idan, emang jagoan banget kalau disuruh nge-roasting orang. Mungkin karena dia cukup dekat dengan Chanting dan Renjana, sahabatku—si dua manusia savage.

Fin

Dentuman bass yang melantun dari ruang tamu di depan sontak membuyarkan konsentrasi Jordy di ruang kerja. Tumpukan proposal serta banyaknya ide-ide cerita yang akan diproduksi oleh Rumah Terra terpaksa ia singkirkan, karena pikirannya jauh lebih fokus pada Mentari yang sejak semalam enggan berbicara dengannya. Lelaki itu menarik nafas gusar, meletakkan bolpoin secara sembarangan, dan tak lupa rokok di tanganpun ia sampirkan ke asbak. Kakinya melangkah cepat meninggalkan ruangan. Dengan wajah tegas, lelaki itu menghampiri Mentari yang sedang berolahraga di treadmill miliknya.

Tubuh jenjang Jordy serta tangan kokohnya sigap menarik tubuh Mentari dari belakang, tangannya menggapai tombol off untuk menghentikan segala tindak tanduk istrinya yang masih saja merengut.

“Ke dokter sekarang.” Pandangan datar Jordy yang terarah tepat di manik mata Mentari rupanya belum menggentarkan perempuan itu. Ia masih saja asyik berolahraga kecil di atas treadmill hingga membuat Jordy terpaksa menahan amarah yang membuncah.

“Aku olahraga dulu,” kerasnya yang menuai decakan kesal dari Jordy.

“Olahraga apa sih, Ri, kamu lagi nggak enak badan gitu?” tegurnya dengan pandangan yang turun tepat ke perut sang istri.

“Aku buncit,” keluh Mentari. Jordy lantas menggeleng cepat, “nah, you're not.”

“Gak usah bilang enggak, enggak. Kamu tuh yang jujur kalo emang aku gendutan bilang!”

Jordy kembali menarik nafas frustasi ketika Mentari tetap teguh dengan pikirannya. “Nggak, Ri. Kamu gak gendut, udah ayo siap-siap, aku mau kita ke dokter sekarang.” Lelaki itu kemudian menurunkan Mentari dari treadmill-nya.

“Mas, ini beneran? Kenapa enggak pake testpack dulu...”

Memasuki ruang tunggu rumah sakit, Mentari tampak gugup kala mendapati sekelilingnya adalah barisan ibu hamil yang hendak memeriksakan kandungan. Sebagian besar dari mereka kebanyakan ditemani oleh suami, layaknya Mentari saat ini.

“Kalo tespack bisa akurat, bisa enggak. Selagi bisa ke dokter langsung, ngapain pake testpack,” jawab Jordy acuh kemudian kembali pada ponselnya.

“Kalo aku cuma telat mens doang gimana? Kamu sedih nggak?” sahut Mentari putus asa, sambil melirik kanan dan kirinya. “Yang, pulang aja yuk... Aku takut deh.”

“Enggak,” tegas Jordy.

“Yang, ih! Aku takut...” Mentari memelankan suaranya. Jordy membalikkan posisinya menghadap Mentari, “Percaya deh. Kalopun emang kenyataannya kamu cuma telat mens doang, ya gak apa-apa. Malah lebih bagus lagi, kita bisa tau kenapa kamu telat. Penyebabnya kan banyak.”

Mentari sontak terdiam dan memandang suaminya penuh haru. Karena salah satu hal yang membuat Mentari enggan memeriksakan diri ke dokter kandungan adalah takut mengecewakan suaminya. Sebenarnya ia memang sudah merasa yakin bahwa sedang berbadan dua, namun berkali-kali Mentari menepis keyakinan itu. Ia terlalu takut jika apa yang ia yakini itu justru berbalik memberi kekecewaan pada Jordy juga Aidan yang tidak lelah bertanya pada Mentari, Mamah adik udah ada belum di perut Mamah?

“Kenapa?” tanya Jordy lembut. “Takut, Yang...” tangisnya pun pecah seketika, dan membuatnya menjadi pusat perhatian banyak ibu-ibu. Mendapati istrinya yang menangis pelan, Jordy sigap menenangkan. “Gak papa kalo misalnya belum, jangan takut dulu, Ri.”

Tangis Mentaripun berangsur pudar. Ia mulai merasa tenang walau hanya sedikit, karena setelah ini giliran namanya yang akan dipanggil.

“Ibu Mentari!” panggil seorang perawat yang telah muncul di depan pintu. Begitu namanya dipanggil, Mentari langsung beranjak bersama Jordy. Air mukanya cemas dan tatap getirnya sungguh tak terlepas dari paras ayu itu.

“Siang, Dok.”

Jordy menjadi orang pertama yang membuka obrolan. Ia tahu betul jika Mentari tak punya nyali untuk bicara jika ia segugup itu. Dari tadi Mentari menggenggam erat jarinya karena terlalu tegang.

“Siang, Pak,” sahut sang dokter dengan senyum ramah. Tatapannya yang semula terarah pada Jordy kini beralih pada Mentari. “Sudah telat berapa lama, Bu?”

“Empat hari, Dok,” jawab Mentari takut-takut.

“Yang dirasain apa aja?” tanya dokter itu berikutnya. Mentari sempat diam sejenak, membongkar kembali ingatannya beberapa hari lalu. “Saya mual-mual, Dok. Terus muntah, pusing. Tapi saya kadang emang sering terlambat datang bulan kalau terlalu capek,” kata Mentari menerangkan. Dokter paruh baya itu mengangguk paham.

“Sering mainnya?” tanya dokter itu lagi, Mentari melongo bingung. “Main apa ya, Dok?”

Jordy menghela nafas, sementara dokter di depan Mentari pun sigap mengganti pertanyaan agar lebih jelas, “hubungan suami istrinya sering?”

Mentari diam dengan mukanya yang memerah bagai kepiting rebus. “Oh kalau yang itu...”

“Sering, Dok,” jawab Jordy cepat.

“Berapa kali dalam seminggu?” tanyanya kemudian.

“Tiga kali,” jawab Jordy cepat. Dokter itu menganggukkan kepala seakan paham dengan kondisi Mentari.

“Apa karena sering berhubungan suami istri ya, Dok sampe saya kecapekan dan telat dapetnya?” tanya Mentari polos. Dokter yang tadinya sudah berusaha untuk menahan tawa akhirnya menyerah. Tawanya mengudara, sementara Jordy di sebelah Mentari langsung menundukkan kepala karena tak kuasa menahan malu.

“Kita USG aja ya, Bu,” ujar sang dokter. “Silakan, Bu, pindah ke ruang pemeriksaan, nanti dibantu sama perawat saya, ya.”

Mentari kontan melirik suaminya dengan pandangan ragu. Semakin erat genggamannnya pada tangan Jordy, semakin besar pula ketakutannya. Ini bukan perkara dia positif atau tidak, ia hanya tak mau menelan kecewa sebab setelah menggali informasi di internet, banyak yang menyebutkan untuk tidak terlalu berharap pada kehamilan pertama.

Beberapa orang juga membagikan pengalaman mereka selama menjalani kehamilan hingga mengalami keguguran. Semua hal itu kini menyatu dalam kepala Mentari, ia benar-benar kacau dan kalut jika seandainya keadannya tidak baik dan ia tidak dinyatakan hamil. Apalagi tadi pagi, Mentari justru treadmill karena merasa badannya lemas seharian.

Maka ketika ia telah dibaringkan di ranjang pemeriksaan, Mentari benar-benar tak berani membuka mata karena tak ingin mendengar kabar menyedihkan. Ia hanya terus menggenggam tangan Jordy yang setia berada di sebelahnya.

“Bu, bener enggak mau liat layar USG-nya?” tanya sang dokter dengan senyum lebar.

“Dok, gak papa, Dok. Saya soalnya emang sering telat dapetnya, kalo ada yang aneh-aneh sama rahim saya kasih kabarnya ke suami saya aja ya, Dok. Saya nggak berani liat,” cerocos Mentari cepat.

Jawaban panik Mentari sukses mendulang tawa lebar bagi dokter dan perawatnya. “Lho ini isinya bayi, bukan yang aneh-aneh,” kata sang dokter pelan. Mentari diam dan perlahan membuka matanya.

Ia tak langsung merespon pemberitahuan sang dokter dan malah menatap Jordy cengo. “Yang, isinya bayi, bukan boba.”

“Yang...” Mentari langsung memeluk Jordy erat dan menangis bahagia.

Dokter yang melihat itu semua hanya bisa memaklumkan, “gak apa-apa ya, Pak. Namanya juga bumil, jadi lebih sensitif.”

Jordy mengangguk sambil mengusap puncak kepala Mentari lembut. “Makanya tadi pagi aku narik kamu dari treadmill.”

“Jadi kamu udah tau?” tanya Mentari kebingungan. “Bukan udah tau, kalo kepastiannya ya cuma dokter yang bisa jawab. Cuma kan...dulu pas Aidan...”

“Iya juga ya...kenapa aku nggak kepikiran,” gumamnya. “Aku lupa kalo aku nikah sama duda, hehehehe,” katanya polos.

“Ri...” Jordy memutar bola matanya saat bibir Mentari dengan santai memgucap.

“Hahaha, Pak Jordy sama yang sekarang kayaknya banyak tertawa ya. Istrinya gak jaim, lucu,” puji sang dokter pada Mentari.

“Dulu Dokter nanganin Aidan juga ya?” tanya Mentari.

Dokter itu langsung menggeleng. “Oh, bukan saya. Ada lagi yang lain, tapi sudah pindah rumah sakit. Kebetulan saya kenal baik sama orang tua Pak Jordy. Saya dokter kandungan langganan keluarga Pak Jordy. Dulu sepupunya Pak Jordy yang tinggal di Bali, meriksanya di saya, Bu.”

Mentari lagi-lagi mengangguk lalu mengedarkan tatapan haru pada sang suami yang tiada henti tersenyum dengan raut bahagia.

“Selamat ya, Pak, Bu. Semoga sehat sampai lahiran. Usia kandungannya masih sangat muda, jadi dijaga baik-baik ya.”

“Makasih, Dok.”

“Jangan treadmill lagi ya, Bu. Boleh kalau jalan, tapi jangan lari, nanti malah kenapa-napa.”

“Berapa lama, Dok kalau misalnya mau treadmill?”

“Lima sampai sepuluh menit, oke kok. Tapi jangan lebih ya,” peringat sang dokter.

“Baik, Dokter. Terima kasih ya,” sahut Mentari dengan senyum ramah.

“Jangan kecapekan, Bu. Rahim Ibu bagus kok, nggak ada apa-apa. Kalau sering telat mens karena kecapekan, biasanya karena adanya aktivitas berat. Sering angkat barang, atau ngendarain motor, ya pokoknya yang biasa laki-laki lakukan,” perjelas dokter tersebut.

Mendengarnya, Mentari sontak memberi picingan pada Jordy. Teringat jika laki-laki di sebelahnya inilah yang menyebabkannya stres tak keruan—hari pertama kenal, ia disuruh jadi PU, diminta angkat equipment syuting seperti lighting dan kamera, bolak-balik dari kantor menuju lokasi. Mentari tak menampik jika pekerjaanya yang terdahulu sempat membuat Mentari terlambat datang bulan hingga beberapa hari. Dan siapa lagi penyebabnya kalau bukan si biang kerok itu.

“Iya, Yang. Maaf,” sahut Jordy cepat sebelum ia menjadi sasaran omel Mentari sepulangnya dari rumah sakit.

“Papi, adik datengnya kapan?”

Pertanyaan yang terlontar dari bocah berusia sembilan tahun menyambut kepulangan Jordy sore itu. Dengan alis bertaut bingung, Jordy tertawa keras sambil melangkah masuk ke apartnya.

“Tanya Mamah sana, adik kapan dateng. Siapa tau besok udah ada.” Mendengar jawaban spontan Jordy, osengan di panci Mentari mendadak semakin kencang. Jordy, si pembuat masalah sontak menggendong putranya dan mendudukkannya di kursi ruang makan.

“Kamu!” Mentari membalik tubuhnya dengan sutil yang terarah tepat di depan dada Jordy. “Ngomong apa sama Idan barusan?”

“Aku cuma jelasin ke Idan doang kok, iya kan, Dan?” balas Jordy meminta dukungan. Hebatnya, Aidan kini berada di pihak sang ayah, yakni dengan memberikan anggukkan kepala.

“Kata Papi, Idan disuruh nanya Mamah, adik kapan datengnya.” Anak itu diam sesaat, memasang wajah berpikir usai menenggak segelas air putih di depannya. “Besok bisa nggak, Mah?”

Mentari menghela nafas frustasi mendengar pertanyaan polos Aidan, namun tak berarti ia kesal dengan lontaran lugu putra sambungnya. Justru, Mentari sangat bersyukur sebab Aidan mulai memaknai arti berbagi yang sesungguhnya. Perempuan itu lantas meninggalkan ranah kebesarannya, dan bergabung dengan Jordy dan Aidan di ruang makan, kemudian duduk di sebelah anak itu.

“Idan yang rajin shalatnya, biar adik cepet ada di sini,” tunjuk Mentari pada perutnya sendiri. Aidan mengangguk patuh dan bersemangat. Ia terlihat melahap makanan yang telah disajikan Mentari.

Sementara Jordy sibuk menggulung lengannya untuk mengambil nasi hangat, “Dan, mau adiknya cewek apa cowok?”

“Emang bisa request?” cibir Mentari sambil terbahak.

“Ya bisalah,” jawab Jordy sok yakin.

“Idan mau adiknya cewek, biar bisa diajak main game,” sahut Aidan spontan. Jordy tersenyum tipis, “kalo adiknya cewek, dijagain bukan disuruh main game, Aidan...” lanjut Jordy mengacak rambut anaknya.

Mentari mengekeh sambil menguntai doa agar keluarganya kecilnya selalu hangat seperti sekarang. Tawa penuh canda yang tertuai di bibir Jordy, serta ricuhnya teriakan bahagia Aidan sungguh melengkapi hidupnya. Tak lupa, ia juga mendoakan keinginan Aidan yang lain, yakni mendamba anggota baru dalam keluarga mereka. Tangannya tak terlepas dari surai hitam milik Aidan. Karena putra sambungnya sangat suka bila dielus kepalanya.

“Dan, diabisin makannya. Guru ngajinya dateng jam lima loh,” ucap Mentari mengingatkan.

“Eh iya!” Bocah itu menepuk jidatnya sendiri, “Idan lupa kalo ntar mau ngaji,” gumamnya sembari lekas-lekas menghabiskan makanan di piringnya.

“Makasih, Mah. Idan mau ke kamar dulu ah, mau ambil sarung sama peci!” ujar Aidan penuh antusias. Ia ulurkan tangannya pada Mentari untuk disalami, begitupun Jordy.

“Assalamualaikum Papi, Mamah, Idam mau persiapan les ngaji dulu ya,” pamitnya sambil berlarian ke kamar.

Sepeninggal putranya, tersisalah kedua orang tuanya yang saling melempar tatapan canggung satu dengan yang lain, seakan lupa bahwa tadi malam mereka telah melaksanakan rutinitas wajib hingga dini hari.

“Apa?” Mentari memulai pembicaraan dengan nada ketus.

“Marah-marah mulu kamu,” sahut Jordy. “Lagi cosplay jadi aku pas di pernikahan pertama ya?” ledek suaminya bersenda-gurau.

“Oh,” sahut Mentari sarkas. “Sadar diri juga ya, dulu hobinya marahin aku every single day?”

“Hahahahaha,” tawa Jordy sukses mengubah raut muka Mentari yang sok malu-malu menjadi tersipu.

“Ini suaminya pulang, apa nggak mau dipijet dulu?” singgung Jordy sambil menggerakkan lehernya. Mentari sontak tertawa renyah, seakan tahu maksud terselubung Jordy. “Kamu tuh nggak sesabar itu, ya?” lanjutnya dengan picingan mata.

“Anaknya udah ngasih lampu hijau tuh,” sahut Jordy acuh, kemudian berpindah ke sisi istrinya untuk ia peluk sesaat.

“Di kamar aja, Yang,” hindar Mentari saat Jordy mulai mengusap-usap punggungnya. “Malu aku!” tukasnya dengan menyingkirkan tangan Jordy dari lengannya.

“Iya, iya. Aku beres-beres dulu, abis itu shalat,” katanya beranjak dari kursi. Mentari mengangguk, “Hebat ya Papi, sekarang udah bisa shalat, udah bisa jadi imam. Alhamdulillah,” puji Mentari, menyusul langkah suaminya yang bergerak menuju kamar.

// CW // Content Mature

“Saya terima nikah dan kawinnya, Mentari Ovellie Gaudina binti Aiman Budi Hendarto, dengan seperangkat alat shalat dibayar tunai.”

Kalimat ijab kabul diucapkan secara lantang oleh Jordy dengan wajah gugup. Netranya tertuju lurus pada penghulu dan para saksi yang mendampingi upacara sakral tersebut. Mentari, disebelahnya juga tak kalah tegang, mengingat ini adalah pernikahan kedua bagi mereka.

“Bagaimana saksi? Sah?” Suara penghulu yang memimpin akad tersebut sontak membuat Jordy berkeringat dingin. Ia cemas apabila kalimat yang terucap ada yang tidak lengkap, atau ada yang tiba-tiba menentang pernikahan mereka.

“Sah!” jawab para saksi.

“Alhamdulillah,” sahut Jordy dan Mentari kompak seraya mengusap wajah mereka sebagai ucapan syukur kepada Yang Maha Kuasa. Sesudahnya, Mentari segera menyalami punggung tangan suaminya, sebagai tanda ikrar hidupnya untuk Jordy. Namun tak seperti pernikahan mereka yang pertama, ketika Mentari mencium tangan Jordy, pundak tampak lelaki itu gemetar hebat dengan air mata yang mengalir deras. Kontan para kerabat yang menyaksikan itu juga merasakan harunya, terlebih mereka tahu apa yang sempat menimpa keduanya sebelum mereka berpisah.

“Malu ih, Mas. Idan ketawain kamu, malu sama tato!” Alih-alih ikut berselimut haru, Mentari malah menunjukkan reaksi sebaliknya. Ia nyaris terbahak ketika Jordy sedang memeluknya erat sembari mengucapkan terima kasih karena semestanya telah kembali.

“Awas kamu sampe rumah.” Tawa Jordy menghilang berganti menjadi wajah tanpa ekspresi. Melihat muka jahil sang istri serta Jordy yang menangis haru, sontak pembawa acara yang tak lain dan tak bukan adalah Renjana melontarkan pertanyaan.

“Pak Jordy, ada yang mau disampaikan?” Jordy kontan mengedarkan tatapannya pada pria yang pernah mengisi hidup istrinya zaman remaja.

”...Mungkin pesan-pesan untuk Riri,” tambah Renjana.

Jordy mengambil mic dari tangan Renjana, lalu memutar tubuhnya menghadap Mentari. Tatapan dingin yang barusan ia layangkan pada Mentari sirna, berganti menjadi tatap sendu penuh rayu. Mentari terakhir melihat Jordy memandangnya seperti itu saat mereka memutuskan berpisah.

“Aku...” Digenggamnya tangan Mentari lembut. “Mau minta maaf sama kamu.”

Mendengar ungkapan permintaan maaf itu para kerabat serta orang tua Jordy tak dapat menyembunyikan rasa terkejut mereka, karena sosok Jordy yang mereka tahu adalah lelaki yang penuh harga diri, jarang sekali mau mengakui kesalahan. Kalaupun ia punya salah, Jordy hanya akan bilang 'sorry' dan bukan maaf, apalagi sampai di muka umum seperti ini.

”...Karena aku berkali-kali nyakitin kamu,” katanya pelan.

Mentari mengangguk dengan tangan yang mengusap pipi suaminya. “Makasih udah ngasih kesempatan ke aku untuk memperbaiki diri dan jadi kepala keluarga yang baik. Aku masih perlu belajar banyak untuk ngertiin kamu,” lanjutnya yang membuat para kerabat makin menangis hebat, termasuk Mentari yang akhirnya luruh dengan permintaan tulus suaminya.

”...Udah sih, gitu aja.” Ia kembali memasang wajah tegas.

“Ri, nggak mau ngasih speech in English?” Renjana tambah meramaikan suasana, cengiran jahil pun terulas pada bibirnya, begitupun Chanting yang langsung mengganti mode sedihnya ke usil. “Iya, Ri. Kan lo udah nyontek oxford dictionary!”

Mendengar seruan kedua temannya, Mentari melayangkan tatapan kesal karena apa yang diucapkan Renjana dan Chanting benar adanya. Diam-diam, Mentari mengambil salah satu kamus milik Jordy yang berwarna biru yang ia pikir adalah kamus Bahasa Inggris-Indonesia, tak tahunya kamus itu hanya menyediakan arti dari english to english.

Akibatnya, Mentari begitu frustasi saat harus mempelajari vocabulary yang tercantum di dalamnya meski tak semua. Berkali-kali ia mengadu pada Chanting tentang betapa susahnya belajar bahasa inggris. Namun ia enggan menyerah karena tak mau membuat Jordy dan Aidan malu.

Mentari dengan gigih mempelajarinya. Mulai dari auxiliary verbs sampai sixteen tenses Mentari telan bulat-bulat sampai mual.

“Seriusan?” tanya Jordy bangga dengan wajah berbinar. Mentari mengangkat bahu, sengaja menghindar. Pertama, ia masih belum sefasih Jordy dan kedua, kosa katanya masih begitu mudah, setingkat dengan Aidan. Kalaupun ia mengerti, itu hanya sebagiannya saja. Tidak semua, karena kapasitas linguistiknya hanya mencakup dua bahasa. Indonesia dan Jawa.

“Jangan di sini, aku maluuuuuu!” bisiknya pada Jordy.

“Okay. I'll test you when we're home,” balas Jordy ikut berbisik.

“Yah! Gak jadi neh?” tagih Chanting. “Padahal daughter of Depok and son of Cililitan, wait for you to speak loh!!!” serunya penuh semangat sambil melirik Renjana si biang kerok.

“Maaf, kata suami aku bukan konsumsi publik.” Jawaban Mentari sontak mengocok perut kerabat-kerabatnya, juga Jordy yang agak terkejut dengan selera humor Mentari yang mirip dengan sahabatnya, Jenan. Lelaki yang sempat merasakan pukulan Jordy, namun setia menjadi sahabatnya sampai rela menemani Jordy bertandang ke rumah Bulik Ratih dimasa-masa ia dan Mentari berpisah. Ia mengedarkan tatapannya pada pria berlesung pipi itu, dan Jenan merespon dengan mengacungkan jempolnya, pertanda ia mengikhlaskan Mentari kembali pada cinta sejatinya.

“Okay, let me check what you have here...”

Mentari memutar bola matanya malas, karena alih-alih mengidamkan kemesraan sepulang dari acara akad dan makan siang, suaminya justru mengaminkan ucapannya barusan. Memberinya ujian kehidupan selain ujian rumah tangga—tes bahasa inggris.

“Sayang, aku ngantuk tau, mau tidur. Mau peluk, mau manja-manjaan, eh malah disuruh belajar bahasa inggris—”

“Can you tell me how much you mean to me?”

“Hah?” Mentari mengerutkan alisnya dengan tampang berpikir. Otaknya sontak mengartikan kata per kata dari kalimat yang Jordy ucapkan.

Sementara lelaki yang berperan sebagai guru malam itu melipat kedua tangannya, seakan sangat menanti jawaban Mentari.

“Yang, besok aja yaaa!” bujuk Mentari yang langsung ditentang Jordy. Mau Mentari merayu suaminya dengan elusan, Jordy tetap tak tergoda. Ia melipat kedua tangannya di depan dada dengan wajah serius. “Aku pernah ngasih tau jawabannya lho waktu itu.”

Mentari langsung panik, ia menggaruk kepalanya yang tak gatal sambil memaksa otaknya untuk membongkar segala memori tentang Jordy yang telah tersimpan sekian lama.

“Kapan?” Dahinya mengernyit dalam.

“Oh God, how could you forget everything about us?” Jordy mendekati istrinya dengan ikut menaiki kasur. Tangannya terulur untuk membaringkan tubuh Mentari di ranjang mereka, raut muka seriusnyapun lenyap ditelan bumi, dan seketika berubah sayu seakan sedang menggoda Mentari untuk segera membalas cumbuan Jordy di detik berikutnya.

“Yang...” Tawa renyah serta gugup Mentari mengudara ketika Jordy semakin mendekatkan wajahnya pada Mentari. Kini tubuh mereka kembali saling mengikat dan satu per satu pakaian mereka mulai tanggal, Jordy dengan leluasa menguasai tubuh puannya dan mulai menghantarkan sensasi hangat yang selama ini keduanya nantikan. Usai satu cumbuan panas serta pagutan mesra itu berlangsung, Jordy bergumam, “kamu bilang abis nikah. Ya udah.”

“Hahahaha.”

“Udah inget belum jawabannya tadi?”

Mentari mengangguk, “you mean a lot to me.” Ia menyengir lebar yang disambut Jordy dengan sentuhan lembut pada bagian tersensitif miliknya.

“Yaaang!” Mentari kontan menjerit kaget, namun Jordy membungkamnya dengan menandaskan ciuman panas pada bibir ranumnya. Detik berikutnya kedua sejoli itu saling berlomba mencari kenikmatan di antara nafas mereka yang tersengal. Mentari yang baru pertama kali melakukannya hanya bisa menggigit bibir sambil sesekali meringis kala sang suami meminta lebih.

“Yang, aku baru pertama...” adunya. Jordy tersenyum sembari mengelus pinggul sang istri. “And I'm sorry for doing this to you.”

Mentari menekuk wajahnya, tapi tak lama ia kembali mengizinkan suaminya untuk menjadi tuan bagi tubuhnya.

“Dan, Mamah lagi gak di sekitar kamu?” tanya Jordy sesaat lelaki itu berjalan menuju mobil.

“Iya, Mamah lagi di kamar, tuh beres-beres di kamar Papi,” beritahu Idan. Mendengar Mentari yang sedang menyibukkan diri, lelaki itupun tak ingin menyianyiakan kesempatan. Segera ia minta Aidan untuk tetap berada pada posisinya yang sekarang, “Dan, Papi lagi di toko bunga,” ucapnya.

“Papi mau kasih Mamah surprise ya?” tanya Aidan nyaris berteriak.

“Dan, aduh! Jangan teriak, nanti ketahuan Mamah. Sssst!”

“Iya-iya, maap Pi, Idan lupa,” kata anak itu menutup mulutnya sendiri. “Papi mau beli bunga apa?”

“Coba Idan tebak, nama Mamah menggambarkan bunga apa.”

“Bunga matahari!” Lagi-lagi suara Aidan terdengar heboh. Jordy menggelengkan kepala, dia juga tak dapat berbuat apapun mengingat Aidan gampang excited apabila ia mendengar sesuatu yang menyenangkan.

“Dan...”

“Iya, maaaaaf, Piii,” anak lelaki itu menyengir lebar.

“Papi udah selesai beli bunganya,” kata Jordy kemudian. Suaranya agak teredam karena beradu dengan suara kendaraan lain di sore hari. “Nanti kalau Papi udah pulang, terus Mamah tanya, Idan tau apa enggak, Idan pura-pura enggak tau aja ya. Jangan bilang Mamah,” peringat Jordy sesampainya ia di dalam mobil. Namun Aidan yang ia harapkan akan bisa diajak kerja sama, justru tak membalas permintaannya. Anak itu sibuk berteriak karena makanan kesukaannya sudah siap santap, Jordy rasa ponselnya digeletakkan di atas meja begitu saja.

“Idan...Idan,” gumamnya sambil tersenyum kecil.

“Dan, telepon dari siapa?” tanya Mentari saat putra kecilnya duduk manis di ruang makan. Anak itu melirik Mentari takut-takut, mengingat ayahnya lebih dulu memberitahu agar dia tutup mulut.

“Nono, Mah,” bohong Idan dengan cengiran lebar. “Ngajak main? Atau ngerjain PR bareng?” tanya Mentari berikutnya, menyendokkan semangkuk sup sayur kesukaan Aidan.

“Ng...” Aidan diam, ia berkelit melalui matanya yang sedari tadi melirik ke kiri dan kanan.

“Dan...” Mentari memandang Aidan dengan tatapan menyelidik.

“Bener kok, Mah! Dari Nono, dia nanya PR matematika yang kemaren, besok mau dikumpul!” kilah Aidan panik, namun Mentari tak semudah itu percaya pada Aidan, gelagat anaknya terlalu mencurigakan.

“Mamah baru aja ke kamar Idan, ngecek tugas Idan hari ini, kosong tuh. Enggak ada PR,” singgung Mentari sambil mengelus rambut putra sambungnya.

“Ayo, Idan. Jujur, siapa yang telepon Idan tadi, Papi?” tebak Mentari yang disambut Aidan dengan cengiran lebar, pertanda jawaban Mentari benar.

“Ya elah, kirain siapa–” Sebelum sempat Mentari melanjutkan omongannya, pesan dari Jordy masuk ke ponsel.

Mas Jordy:

Tangan saya penuh

Mendapati pesan Jordy, Mentari kontan tertawa, padahal mantan suaminya itu adalah orang yang paling anti ribet sedunia.

Jangankan bawa barang, Jordy saja malas membawa dompet jika bepergian. Satu-satunya yang Jordy selalu sediakan disakunya, hanyalah card holder kekinian seperti yang dimiliki anak muda pada umumnya. Mentari menggeleng heran, tak percaya dengan ucapan Jordy sampai ketika ia berdiri di depan pintu, dan tidak menemukan sosoknya, melainkan bunga matahari sebesar gumpalan awan yang menutupi badan besar Jordy.

Ia terdiam sejenak, terpana pada kecantikan bunga matahari yang berada pada genggaman Jordy. Senyum tipisnya perlahan merekah saat menemukan secarik kertas yang tertempel pada buket bunga di tangan Jordy.

Kalau masih gak mau liat saya, liat bunganya aja. Hope you like it, Love.

Dan masih ada satu lagi yang benar-benar membuat Mentari nyaris terkulai detik itu juga.

Lets married, again.

“Bisa minggir nggak? Tangan saya pegel banget megang bunga segini gedenya,” gerutu Jordy dibalik buket bunga besar milik Mentari.

“Oh, jadi nggak ikhlas?” balas Mentari dengan picingan mata.

“Sayang, bercanda,” bujuk Jordy dengan nada memohon. “Tapi beneran pegel,” keluhnya. Mentaripun melangkah kecil, memberi jarak agar si tuan rumah dapat masuk ke kediamannya.

Sesaat ia dapati kaki jenjang Jordy berada di dalam, lelaki itu tak langsung menuju ruang makan, ia berhenti sejenak, dan dengan gerakan cepat, ia menautkan satu ciuman kilat pada bibir ranum Mentari. Mata Mentari sontak melebar kaget, ingin menegur, namun lelaki itu berhasil lolos karena putranya telah datang menyambut.

“AKU UDAH TAU DULUAN DONG DARI PAPIIIII,” seru Aidan bangga. Mentari menengok dengan kernyitan pada keningnya.

“Papi kan tadi telepon karena mau beliin Mamah bunga,” lapornya dengan senyum lima jari.

“Idaaaaan,” Jordy berucap pasrah ketika anak lelaki itu dengan tanpa rasa bersalah membeberkan rencana mereka.

“Idan tadi disuruh bohongin Mamah–” Sebelum sempat anak itu kembali berkata, Jordy dari belakang menggendong dan menutup mulut Aidan hingga suaranya teredam, namun hal tersebut tidak menyurutkan langkah Aidan untuk mengungkap semuanya.

Sambil melangkah menuju ruang makan, Aidan terus menggumamkan rencana Jordy pinta kepadanya.

Mentari di belakang hanya bisa tertawa. Binarnya menghangat kala Aidan tertawa lepas dalam gendongan Jordy. Anak itu mengalungkan tangannya pada leher sang ayah menjerit minta ampun agar Jordy berhenti menggelitiknya.

Kado terindah untuk Aidan akhirnya tergapai. Jordy yang tak lagi bersikap dingin padanya dan rela pulang tepat waktu demi bermain dengan Aidan, membuat Mentari dilingkupi haru biru.

Mungkin tugasnya sudah selesai, membahagiakan Aidan dan Jordy disaat yang bersamaan. Tanpa ia sadari, air matanya menetes, membanjiri wajah semu merah mudanya.

Seakan tak mau mengganggu waktu Jordy dan Aidan, Mentari perlahan menjauh dan membiarkan sepasang ayah-anak itu menikmati kebersamaan mereka. Hatinya berucap lega, meski sakit hati dan trauma akan rumah tangganya kemarin masih membuat Mentari pecah kepala.

“Dan, sebentar ya. Papi cari Mamah, kamu di kamar dulu,” pamit Jordy pada Aidan. Ia memberikan boneka kesayangan Aidan, Lightyear agar anaknya cepat terlelap lalu bergegas meninggalkan kamar.

Setelahnya, dengan perasaan menggebu, Jordy cepat-cepat menyambangi kamar tamu, namun saat ia buka, sosok yang dia cari justru tidak ada di sana. Jordy terpekur putus asa. Kamar ke kamar ia lalui, namun jejak Mentari tak dapat ia temukan. Sampai akhirnya, Jordy berdiri di depan kamarnya sendiri. Ia ragu jika Mentari ada di dalam, sebab sejak insiden sprei itu, Mentari benar-benar enggan masuk ke sana. Ia terluka sangat dalam akibat ketidaksengajaan Jordy. Namun kali ini, Jordy coba mengesampingkan ketakutannya. Dengan gemetar, tangannya menggerakkan gagang pintu kamarnya, langkahnya sempat terhenti karena ragu seketika membelai benaknya.

“Ri...”

Isakan kecil perempuan itu kontan membuat Jordy bernafas lega. Rupanya Mentari berdiam diri di kamar Jordy sejak dua jam lalu, ia, Jordy temui tengah duduk di tepi ranjang sembari menyeka sisa air matanya.

“Kenapa, Ri? Saya salah lagi?” tanyanya panik, lelaki itu tidak menempati kasurnya, melainkan setengah berlutut di hadapan puannya.

“Mas...” lirih Mentari pelan. “Aku belum bisa maafin kamu, maaf ya...Aku masih marah banget,” tangisnya pecah. Tangis yang menurut Jordy adalah pelampiasan kekecewaan Mentari terhadapnya. Yang ditahan oleh perempuan itu sejak berbulan-bulan lalu. Jordy sadar akan itu, dan walaupun Mentari masih sulit membuka pintu hati untuknya, Jordy bersedia menanti pengampunan yang Mentari berikan padanya.

“Saya yang harusnya say sorry sama kamu,” bisiknya, kali ini dia beralih ke sebelah Mentari. Dikecupnya pelipis perempuan itu beberapa kali sembari mengusap punggungnya pelan. Dia hancur karena Jordy, dan karena itu pulalah Jordy ingin mataharinya kembali bersinar, menjadi bunga matahari tercantik yang ia miliki.

“Aku nggak suka punya perasaan kayak gini, aku pengen bisa maafin kamu...tapi aku takut, aku takut kalau nanti kita saling ngancurin lagi, Aku takut, Mas Jordy...” isaknya pelan dalam rengkuhan Jordy.

” I owe you so many things, Ri.” Jordy mengelus pundak puannya dengan harap tangis Mentari segera reda, ia bisa membayangkan betapa redamnya Mentari saat ini. Sementara dia yang menghancurkan malah asyik bekerja, menghindari perbuatannya sendiri. Dan ketika puannya terperosok dalam lubang nelangsa, Jordy baru bangkit dan menarik lengan Mentari. Sungguh, keputusan beberapa bulan lalu itu adalah keputusan terbodoh yang pernah Jordy tempuh.

”...Kalau kamu kira kamu yang berutang ke saya, you're wrong. Saya yang paling banyak ngutang sama kamu. It's my son happiness, you bring the joy in this house. You gain his smile, while I destroyed everything you built for us. I'm really sorry, Ri. Now I let you take everything you choose.”

”...Kalau emang keputusannya kamu gak bisa lagi nerima saya, saya ikhlas. Saya tau, saya selalu menyakiti kamu, bahkan disaat kita udah berpisah kayak gini. I let you go, then, if you insisted.”

Perempuan itu membisu dalam pandangan remangnya yang terarah pada Jordy. “Aku masih sayang banget sama kamu, Mas Jordy. I love you so much, tapi kenapa sulit banget buat aku maafin kamu, aku gak ngerti juga..”

“Take your time then.l Saya gak bakalan maksa, I'll just stay here. And if you do, just tell me.* Nanti saya peluk seperti biasanya.”

Jordy tersenyum, meski lebih hancur daripada Mentari. Segala usaha telah ia pertaruhkan, namun kenyataan berkata lain. Ia terlambat menyadarinya.

“Jor, aduh! Lo kenapa lagi deh?” Keluhan Teza pagi hari di kantor menyambut kedatangan Jordy, lelaki itu memandangnya miris—seakan tahu jika sesuatu tengah menimpa Jordy.

“Emang anak-anak kenapa lagi?” Enggan menanggapi pertanyaan Teza, Jordy mengalihkan topik. “PPM udah beres, tinggal casting pemain, itu Renjana, kok belum ngabarin gue ya?”

“Ya elo semaleman ditelepon aja kagak mau ngangkat,” desis Teza kesal, iapun berpindah ke sofa empuk di seberang meja Jordy. Netranya kini bergulir pada si bos yang tiada henti menghela nafas.

“Harusnya lo happy dong, kan ayang udah mau ikut ke Jakarta,” gurau Teza yang dihujami Jordy dengan sorot mata dingin.

“Oh...belum ada keputusan? Lagian lo ngapain cere–”

“Morning!” Belum sempat keduanya melanjutkan omongan, pembicaraan mereka terhenti sejenak. Jenan, dari arah pintu menyapa Teza dan Jordy dengan senyuman lebar.

“Widih, widih, back to the club nih bro! Persadu, jaya, jaya, jaya!” Ia bersorak kegirangan, namun tangannya langsung ditepis kasar oleh Jordy.

“Mutung ae mukaaa lo, Jor.” Tawa Jenan melebar saat ia sadar Jordy merengut.

“Emang setelah dia Bapak-bapak komplek, Je. Kayak nggak paham aja lo,” tambah Teza dengan cengiran lebar. Jenan tersenyum tipis, mendekati Jordy yang menenggelamkan diri pada skenario baru di laptopnya.

“Don't worry, Jor. In the end of times, she will choose you, kok.”

Entah Jordy yang malas menanggapi atau merasa dukungan itu hanya sebatas sarkas, lelaki itu memilih tak memberi respon apapun atas hiburan Jenan. Ia sendiri ragu jika Mentari akan kembali padanya, sebab sudah seharian ini Mentari enggan mengajaknya bicara. Saat semalam Jordy diam-diam pindah dan ikut tidur di kamar Aidan, Mentari saja langsung menyuruhnya keluar. Dia masih berkeras diri, dan enggan membahas apapun dengan Jordy.

“Ri,” bujuk Jordy pelan agar tak membangunkan Aidan yang terlelap.

“Sana, ah!” sahut Mentari, menepis tangan Jordy di atas pinggulnya.

“Aku udah bilang, aku nggak mau tidur sama kamu,” keras Mentari. “Jangan ganggu aku.” Ia membalikkan tubuhnya membelakangi Jordy. Lelaki itu menunduk pedih, merenungi perbuatannya yang secara tidak sengaja menyakiti Mentari untuk kesekian kali. Tangannya terjulur untuk mengelus pundak mantan istrinya, namun kerasnya keteguhan Mentari, serta mendengar perempuan itu tak lagi menangisi dia, Jordy semakin hancur. Ia sadar dengan segala tindak tanduknya, sikap dingin dan ucapannya yang selalu menyakiti sang puan—membuat Mentari semakin menjauh darinya. Dia sangat menyesali perbuatannya.

“Saya keluar aja?” “That's better,” jawab Mentari spontan.

“Saya bener-bener minta maaf.” Jordy melirih sungguh-sungguh, dan setelah ia berkata demikian, Mentari tetap tidak menjawab apapun yang ia katakan. Ia diam dan menunggu Jordy meninggalkan kamar Aidan.

“Beneran, nggak mau liat saya?”

“Tolong, Mas. Jawaban tegas yang mengalun dari bibir Mentari makin membuat Jordy terdiam. “Kamu minta aku pulang ke sini karena Aidan. Jadi ya udah, gitu aja.”

“Ri, tapi saya bener-bener lupa. I didn't mean to hurt you, saya cuma pengen kamu kembali ke rumah ini dengan perasaan yang lebih enak.”

“Lebih enak?” Mentari mendengus kesal. “Enak karena kamu pengen aku sama kayak Mbak Kirana, gitu maksudnya?”

Jordy diam. Ia benar-benar tak ada maksud untuk berbuat demikian, tapi karena terburu oleh pekerjaan dan proyek lain, pikirannya terpecah. Yang Jordy ingat, Mentari sering menggunakan sprei ini untuk kamar Jordy. Jadi ia pikir, Mentari menyukainya.

“Kamu tau, Mas?” Suaranya mulai terdengar parau. “Aku make sprei ini... karena kamu bilang Mba Kirana suka sprei ini...”

”...Kamu minta aku selalu pasang sprei ini karena dengan begitu kamu ngerasa Beliau ada di samping kamu, dan itu membuat kamu lebih tenang.”

“Ri, saya nggak pernah ngomong gitu...”

“Pernah!” tukasnya. “Kamu nggak ingat karena kamu ngomong gitu di hari pertama kita resmi jadi suami istri, dan kamu dalam keadaan mabuk.”

Jordy semakin menunduk saat Mentari membuka luka lamanya sendiri. Ternyata, selama itu Mentari menderita dan tersiksa karenanya. Ternyata, selama itu Mentari mempertahankan perasaannya sendirian. Dan selama itu pula Jordy tidak menganggap segala usaha yang Mentari lakukan padanya.

”...Dari awal aku udah bilang, aku nggak berhak menentukan siapa yang pengen kamu cintai. Sampai kapanpun, aku tau kamu nggak akan pernah sayang sama aku, Mas Jordy.”

”...Jadi udah, ya? Udahin semua, aku juga nggak bisa ngeliat kamu maksain diri buat sayang sama aku. Apapun yang kita lakuin karena terpaksa, yang ada kita sama-sama nyakitin Aidan. Aku nggak mau usaha kamu untuk Aidan sia-sia, dan itu juga yang ngebuat aku mau kembali ke rumah ini. Berhenti nyiksa diri kamu sendiri kalau emang gak bisa. Aku nggak mau,” kata Mentari sambil terisak pelan.

“Ri, saya sayang sama kamu. Saya cinta sama kamu, Ri. Saya tau saya terlambat nyadarin semuanya, tapi jangan berpikiran kayak gitu.”

“Aku nggak mau debat panjang,” perempuan itu memilih tak memedulikan Jordy. “Kalau kamu mau tidur sama Aidan silakan, aku tidur di kamar tamu.” Ia lalu beranjak dari ranjang usai menyelimuti Aidan dan Jordy.

“Ri.” Jordy menahan. “Apa?” sahutnya ketus.

“Apapun yang kamu bilang tadi, saya nggak peduli. Saya maunya cuma kamu, nggak ada yang lain.”

“Udahlah, Mas!” Mentari menepis tangan Jordy kasar. Sorot mata perempuan itu terlihat penuh amarah, namun dibalik semuanya kekecewaan mendalam betul-betul terpancar dari sana. “Sulit buat aku nerima kamu lagi.”

Ia lantas meninggalkan Jordy menuju kamar tamu.

Firasatku terbukti, seharusnya aku tidak ikut Jordy kembali ke rumahnya, sebab ketika kedua kaki ini melangkah ke sana, air mataku nyaris merebak.

Ini bukan air mata bahagia seperti yang Jordy janjikan padaku, melainkan lara yang membuncah sesaat Jordy membuka kamarnya.

Dekorasi sprei pink bermotif kimono. Ingatanku melambung jauh pada ucapannya sebelum kami berpisah, “Kirana suka sprei ini.”

Ketika itu dia dalam keadaan mabuk, entah berapa gelas yang Jordy habiskan. Namun kenangan pahit itu tidak pernah sirna dari kepalaku. Dia bilang dia menginginkan yang terbaik untukku kedepannya, tapi ia malah melukaiku kesekian kalinya.

Air mataku merebak ketika Jordy tersenyum bangga.

“Kamu...kenapa?” Masih sempat ia bertanya. Gila.

“Aku mau tidur di kamar Idan,” putusku tanpa peduli ia berusaha menjelaskan.

“Ri, saya ngubah ini buat kamu–”

“Buat aku?” Aku mendengus kesal.

Ia mengangguk. Dadaku tercekat hebat saat harus membalas ucapannya, sebab saat itu rasa sakit hatiku memuncak, aku kembali putus asa, ragu ia akan sungguh-sungguh dengan semua perkataannya.

“Aku nggak pernah suka warna pink,” ucapku tertahan. Ia tercenung, memandangku penuh rasa bersalah.

Satu helaan nafas terlepas dari diriku, “kamu pernah bilang, sprei ini kesukaan Mba Kirana.”

Tangisku kembali bergaung, disaat lelaki itu kebingungan, merasa tak pernah memberitahuku sebelumnya. Tentu, karena ia memberitahuku dalam keadaan mabuk kala itu, bahkan di malam kami baru resmi menjadi sepasang suami istri.

“Ri, saya...” Ia meraup wajahnya sendiri. “Saya lupa-”

“Kamu bukan lupa, Mas Jordy,” selaku. “Kamu nggak pernah kenal sama aku, dan nggak pernah mau tau tentang aku!” Amukku pecah. Aku meninggalkan Jordy di kamar itu, membiarkan ia menatapku penuh rasa bersalah. Bahkan ketika aku beranjak pergi, tak kudengar kakinya melangkah menahanku.

Kurasa sebaiknya aku menetap pada keputusanku di awal, tetap berpisah dengan Jordy.

“Ri.”

Lenguhan Jordy sontak membangunkanku dari tidur. Malam itu, Aidan menginap di rumah sepupu Jordy yang namanya Jordan, seorang tattoo artist ternama di Bali.

Dua hari kami berada di sini, Jordy sempat mengunjungi tempat usaha Jordan di Canggu, sedang aku dan Aidan menghabiskan waktu di villa milik Jordy. Sepulangnya dari sana, Jordan datang dan mengajak Aidan menginap di rumahnya, bermain bersama anak lelaki mereka yang seusia dengan Aidan—Putra.

Dan sekarang, tersisalah aku dan Jordy di villa. Lelaki itu tahu-tahu berpindah ke kamarku semalam, padahal aku sudah menolaknya karena status kami masih belum resmi seperti dulu. Namun Jordy dengan gigihnya memboyong bantalnya dan tidur di sebelahku.

“Hai,” ia membuka matanya yang setengah terpejam. Tangannya terangkat kemudian memindahkan kepalaku ke atas lengan atletisnya.

“Bener-bener udah dibilangin, tidur di kamar depan aja!” tukasku sebal.

“Tega banget,” gerutunya. “Udah beberapa minggu saya tidur sendiri di Jakarta, cuma meluk guling, meluk Idan, gak meluk kamu.”

“Cih,” decihku. “Emang dulu kamu mau meluk aku?” tambahku dengan mata menyipit. Jordy tertawa pelan, suara seraknya khas orang bangun tidur membuatku harus pandai mengelola deburan jantungku yang tak beraturan.

“Mau,” jawabnya spontan kemudian menyelipkan rambut ikalku ke belakang telinga.

”...Waktu kamu kesurupan itu saya meluk terus,” kenangnya. “Saya nggak tau lagi waktu itu harus ngapain, saya takut kamu ninggalin saya,” katanya dengan pandangan meredup.

”...Maaf, Ri,” ujarnya penuh penyesalan. “You can curse me as much as you want. Go for it,” katanya lagi dengan menjulurkan lengannya padaku dan memejam mata—menanti aku akan melakukan kekerasan fisik kecil padanya.

“You said you hate me, then proof if you say so.”

“Mas, aku makin sebel sama kamu kalo ngomong bahasa Inggris, udah tau ijazah aku gak sampe kuliah,” keluhku sembari melayangkan cubitan di pinggulnya. Dia terbahak, “Iya lupaaa. Sori, sori. Ampun, Ri. Ampuuun!” tepisnya pada tanganku.

Setelahnya, baik aku dan Jordy sama-sama hening. Kami hanya saling berpandangan satu sama lain dengan mengikat tubuh kami di bawah selimut. Aku kehabisan kata-kata, karena yang ada dalam pikiranku saat itu hanyalah ragu. Aku meragukan Jordy walau ia gigih untuk mengajakku kembali.

Masalah yang kami lalui bukan hanya sekedar ketidakcocokan, melainkan jauh lebih rumit dibandingkan itu. Aku takut dia tak dapat menerima sisi sensitifku.

“Kamu jahat,” makiku pelan. Emosi yang semestinya kusimpan sendiri, perlahan mulai memenuhi benakku. Tangisku pun pecah seketika, terisak pilu.

Aku memukul dadanya pelan, “kamu nyebelin.”

Jordy diam dan hanya membiarkanku melampiaskan perasaanku padanya. “Kamu tega banget ngancurin aku, kamu egois. Kamu nggak sayang sama aku, kamu ngecewain aku, kamu laki-laki paling egois yang pernah aku temuin, kamu—” nafasku tercekat seiring Jordy membelai lembut wajahku. Ia mendekat dan kembali memberikan peluk hangat terbaiknya. “Gak mau nampar sekalian?” bisiknya sambil memindahkan tanganku ke atas pipinya.

”...Jangan, nanti kamu kesakitan,” lirihku pelan seraya mengelus pipinya. “Sakit nggak dadanya tadi aku pukulin? Maaf...”

“Gak papa, I deserve that. Idan juga marah sama saya waktu kamu pergi dari rumah, seminggu full dia nggak ajak saya bicara. Saya bingung dan nggak tau harus ngapain,” tuturnya pelan. “...Dia balik jadi nakal lagi, Ri. Nggak mau dengerin saya, marahin Erna, apapun yang dimasakin Erna, dia nggak mau sentuh. Dia cuma mau makan kalo ada kamu di rumah.”

Jordy nampak frustasi dan putus asa saat ia menjelaskannya padaku. Air mukanya yang lelah seakan memohon padaku untuk kembali padanya.

“Nggak apa-apa kalau kamu belum bisa maafin saya. Saya juga sadar kalau saya sering nyakitin kamu, tapi tolong...” Lelaki itu menghentikan ucapannya.

“Ikut pulang ke Jakarta ya?” Binarnya terlihat sungguh-sungguh. “Nggak usah demi saya, tapi buat Aidan. Sampe kapanpun, kamu tetep mamahnya Aidan.”

Aku membisu, ingin menolak ajakannya untuk pulang ke tempat yang membuatku nelangsa itu, namun saat kulihat baju rumahku terdampar di tepi ranjang, aku mulai goyah.

Papi selalu tidur sambil meluk baju Mamah.

Ucapan Aidan mulai meruntuhkan segala ego yang kutanam. Sembari membiarkan Jordy mendekapku erat, aku mencoba menyusun kalimat untuk menjawab ajakannya.

“Aku butuh waktu, Mas Jordy.”

“I know.”

“Gimana kalau kita gagal lagi?” tanyaku takut-takut. Dia membalas tatapanku dengan air mukanya yang nampak pedih dan putus asa, “saya juga takut gagal. Tapi seperti yang udah saya bilang, saya nggak bisa kehilangan kamu.”

”...Saya cuma mau kamu, Ri.”