noonanya.lucas

“Mamah...” Aidan menangis pilu di pelukku, tak henti-hentinya ia membenamkan kepalanya di dadaku. Astaga.. apa yang sudah kulakukan pada Aidan sampai ia sebegitu takutnya. Aku bahkan tak punya keberanian untuk mengusap dahinya. Tubuh Aidan gemetar hebat, pasti aku telah melakukan sesuatu yang membuat ia trauma.

“Dan, Mamah ada sakitin Idan? Tangan Idan luka, Nak?” Aku memberondongnya dengan sejumlah pertanyaan saking kalutnya, namun Aidan menggeleng kuat.

“Mamah sakit apa? Kenapa Mamah teriak-teriak dan bilang Papi jahat?” tanya Aidan balik. Aku terdiam, memoriku tentang bagaimana ia dan ibu Aidan sedang melakukan adegan ranjang sontak membuatku enggan menjawab pertanyaan Aidan. Satu-satunya yang paling kuingat adalah hal itu serta tatapan Jordy yang seolah meremehkanku dan asyik bercumbu dengan Kirana.

“Mamah mimpi buruk aja, gak usah dipikirin ya, Nak?” Aku menghindar. Sementara ayahnya memandangku khawatir.

“Ri.” Aku balas menatapnya, tapi entah mengapa adegan bercumbu Jordy dan Kirana kembali menguasai pikiranku. Dan hal itu menumbuhkan benci terhadapnya.

“Dan, mau makan apa? Idan belum makan dari pagi?” Aku mengacuhkan panggilan Jordy. Ia berpindah ke sisi ranjang yang lain—lebih tepatnya—di samping kiriku, sebab Aidan duduk di sisi kanan.

“Ri, saya tadi manggil kamu—” “Dan, mau Mamah pesenin apa?”

“Mentari.” Nada bicara tak lagi selembut tadi. Aku meliriknya dingin.

“Saya lagi ngomong.” Tapi setelah ia berucap demikian, tatapannya terlihat kikuk. Menyadari bahwa kali ini aku menatapnya dingin, akhirnya Jordy menghindari pandanganku.

“Idan belum makan kan? Mau makan apa, Dan? Papi pesenin.”

Aidan hanya diam dan memandang kami satu per satu. Ia mengambil satu tarikan nafas dalam, “Idan makan apa aja, asal makannya ditemenin Mamah.”

“Iya, Mamah kan di sini, Dan.” “Maunya disuapin,” katanya dengan pipi menggembung.

“Mamah sakit, Idan.” Bapaknya angkat bicara. “Ya udah, Idan gak mau makan!” Ia merajuk. Jordy pasrah seraya menatapku. “Kamu? Mau mesen sekalian nggak?”

Aku tak menjawab. Perasaanku masih tak karuan. Hancur iya, kecewa juga. Masih membekas bagaimana Jordy berkata bahwa aku belum pantas menjadi istri. Aku tak bisa menjaga anakku. Lalu sekarang ia bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa?

Aku lelah. Aku enggan melihatnya untuk sementara waktu sampai aku bisa mengikhlaskan ucapannya.

Sebenarnya saya antara percaya tak percaya dengan penjelasan Bulik Ratih, namun melihat Mentari memejam mata dengan tangan terlipat, ragu dalam benak saya, sedikit terbuang.

Saya perhatikan, buku-buku jarinya memucat dan dingin, kulitnya tiba-tiba menjadi keras seperti kayu, layaknya jenazah. Namun yang aneh, alat perekam detak jantung terus bergerak. Artinya, Mentari masih bernyawa. Saya duduk di sisi sebelah kanan Mentari lalu mengusap puncak kepalanya lembut. Saat itu, saya benar-benar merasa lelah. Baik fisik dan mental. Saya bingung harus percaya sama yang mana, sehingga saya tak lagi punya kekuatan untuk bicara.

Satu-satunya yang bisa saya perbuat ialah mengelus punggung tangan Mentari yang kaku, memijat buku-buku jarinya, agar rasa hangat dari telapak tangan saya mengalir di permukaan kulitnya. Saya memandang wajah Mentari yang pucat pasi, teringat akan kejadian Kirana yang sungguh membuka luka lama.

Saya tidak mau hal itu terjadi lagi pada saya baik Mentari. Saya ingin dia kembali pada saya dan Aidan. Jika apa yang dibilang Bulik Ratih benar, seharusnya sosok ini mengenal saya. Tapi nyatanya, Mentari terus terpejam. Tak ada pergerakan yang signifikan dari tubuhnya.

“Ri, ini saya sama Aidan,” ucap saya berbisik sambil terus membelai puncak kepalanya. “Ini Jordy, suami kamu, dan Idan, anak kita.”

Di kursi tamu ada Chanting, sahabat Mentari. Dia tak berhenti melantunkan ayat-ayat suci yang saya tak mengerti mengapa ia bacakan berkali-kali.

Saya hanya membiarkan Chanting terus membacakan doa sambil berusaha menggenggam ujung tangan Mentari yang dingin. Hingga tak lama, Mentari membuka matanya perlahan dan berkata.

“Pergi.” Matanya kemudian mendelik tajam ke saya, dari arah sebelah Chanting mengeraskan suaranya. Seketika itu tatapan Mentari tertuju pada Chanting.

“Suruh dia berhenti!” Tapi Chanting tak menyerah, ia semakin bersuara lantang melantunkan ayat-ayat itu.

“Ri, ini saya dan Idan..” Saya tetap berusaha menyadarkan Mentari.

“Pergi, saya benci kamu.” Ia tetap kekeuh mengatakan hal yang sama.

“Mamah, ini Idan... Mamah apanya yang sakit, Mah? Mamah kedinginan?”

“Pergi!” Hal yang sama diucapkan Mentari pada Aidan. Herannya anak itu tak gentar sama sekali, ia tetap menyentuh tangan Mentari seperti yang saya lakukan.

”...Audzubillahiminasyaitonirojim bismillahirohmanirohim...”

Aidan tiba-tiba saja mendekatkan wajahnya ke telinga Mentari dan mengucapkan bait doa yang sama dengan Chanting. Saya yang berada persis di depan Aidan, seketika terhuyung-huyung karena kepala saya mendadak sakit bagai dihantam palu dari belakang.

“Dan..kamu ngapain...” sebelum sempat saya meneruskan omongan, Mentari membusungkan badannya. Matanya membelalak layaknya seseorang yang tercekik sesuatu

“RI!” Chanting bangkit dari kursinya, berlari ke sisi ranjang Mentari.

“MAMAAAAH!” pekik Aidan di sebelah saya

“Astaghfirullahaladzim...” Mentari menangis sesenggukkan sambil memeluk erat Aidan. Dibelainya rambut anak itu, “Dan...maafin Mamah ya, Dan... Maafin Mamah. Idan takut sama Mamah kan pasti? Maafin Mamah, Idan. Maafin Mamah...” lirihnya pelan. Aidan tak bicara apapun selain membalas pelukan Mentari begitu erat.

“Ri...” Mentari melirik saya. “Ini beneran kamu?” tanya saya hati-hati.

Tanpa banyak omong, tangan Mentari menghujani cubitan ringan di lengan saya, pertanda Riri-nya saya, ibu dari anak saya telah kembali. She's now home and safe.

Alhamdulillah.

“Mamah kenapa, Pi?” tanya Aidan pada saya yang terduduk lemas saat baru sampai di depan ruang ICU. Otak saya terhenti. Tak ada ruang bagi saya untuk berpikir jernih. Ini sama saja mengulang kejadian yang paling membuat saya trauma dan benci pada kematian.

Saya melangkah gontai menuju pintu ruang ICU, Aidan di sebelah saya menggenggam erat tangan saya, seakan paham jika saya sedang hancur-hancurnya.

“Papi, Mamah sakit apa?” Saya cuma bisa menatap Aidan pedih. Rasanya kejadian ini sama seperti mengulang peristiwa yang dialami Kirana beberapa tahun lalu. Persis. Pedih dan sesaknya berkecamuk dalam dada.

“Dan.” Saya merengkuh Aidan agar setidaknya saya memperoleh kekuatan apabila kemungkinan buruk harus terjadi lagi.

“Mamah kayak Mami, Pi?” tanya Aidan. “...Maksud Idan, Mamah gak bakalan kayak Mami kan, Pi?” Suara Aidan mulai melemah dan bergetar. Dia ikut menangis saat saya meluruhkan air mata. “MAMAAAAAAAAAAAH!” Tangisnya tiba-tiba menggaung di depan ruangan.

“Dan, ssst. Enggak, Mamah sembuh kok. Mamah sama kita. Cup, cup. Jangan nangis.”

“MAMAAAAAAAAH! HUAAAAAAA!” Peluk saya mengerat ketika tangis Aidan pecah. Anak itu menenggelamkan kepalanya pada dada saya. Tangisnya mereda, namun tidak dengan sedihnya. Ia terus meracau di sebelah saya, memohon agar Mentari tidak meninggalkan kami.

“Dengan Bapak Jordy?” Dari dalam ruangan, seorang perawat membuka pintu.

“Iya saya!” jawab saya spontan. “Silakan masuk, Pak. Ibu Mentari sudah berhasil melewati masa kritis.”

Tak ada kata-kata lagi yang terucap dari mulut saya, sebab fokus saya tertuju pada kondisi Mentari. Sambil menggendong Aidan, saya langsung menyambangi kamarnya.

“Ri–”

Ia menepis keras tangan saya yang berusaha menggenggamnya, lalu dengan lirikan yang bergerak lambat, Mentari menatap saya dan berkata, “Pergi.”

Tatapan itu... persis dengan tatapan Kirana ketika ia memandang orang-orang yang meremehkannya. Ucapannya yang singkat adalah khas Kirana apabila ia tidak menyukai sesuatu.

Kepala saya semakin pening, bersikeras menolak apa yang dijelaskan Bulik Ratih. Namun tampaknya omongan Beliau tidak main-main.

“Mamaaaah,” Aidan menghamburkan peluknya pada Mentari. Namun tanpa disangka, Mentari justru bersikap dingin. Ia sama sekali tak memeluk Aidan yang meratap di sebelahnya.

“Pergi.” “Mamah, ini Idan, Mah!” Mentari hanya diam dan menatap Aidan datar. “Mah, kok tangan Mamah dingin?”

Seketika itu saya lihat Mentari menutup wajahnya, sekaligus tersadar bahwa mungkin dia bukanlah Mentari.

Wajahku memanas kala mendapati Jordy masuk ke kamar perawatan dengan air muka dinginnya. Ia masih mengenakan pakaian kerja lengkap dengan jas yang sehari-hari ia kenakan bila harus menghadiri meeting dengan beberapa produser atau CEO rumah produksi besar. Alih-alih menghampiriku, Jordy berjalan menuju kursi di sebelah kasur dan menenggak segelas air putih. Dia sama sekali tidak melirikku dan hanya fokus pada ponselnya.

Kami sama-sama diam. Cuma suara dehaman Jordy yang mengudara beberapa kali. Aku yang sedang hancur-hancurnya, tak tahu lagi harus bicara apa pada Jordy yang cuma tau marah besar dan menuduhku tidak becus menjadi seorang istri. Aku lantas membalik tubuhku perlahan-lahan, karena luka akibat pasca kuretasiku masih basah.

Tapi ada yang jauh lebih sakit daripada luka ini, yaitu sikap Jordy yang tak acuh pada kejadian yang menimpaku.

Dia bilang di suratnya waktu itu bahwa aku sangat berharga baginya. Bahwa aku sama pentingnya dengan Aidan, tapi kurasa Jordy tengah mabuk saat menulis surat tersebut. Dia bohong, dia hanya ingin menenangkanku, atau yang paling mungkin—itu adalah upayanya agar aku si kacung ini tetap menjaga dan membesarkan Aidan.

Tangisku pecah, namun kuusahakan agar Jordy tidak mendengarnya. Aku terlampau kecewa dan sakit hati hingga tak mau lagi melihat wajahnya.

Kudengar sepatunya bergeser, pergerakannya melambat dan berhenti tepat di belakangku. Waktu bagai terhenti saat itu. Entah apa yang Jordy hendak lakukan padaku, lagi-lagi—aku enggan bertatap muka dengannya.

“Saya harus pulang, ambil beberapa baju,” ujarnya dengan suara parau.

Aku tidak menjawab.

“Denger?”

Aku merapatkan mulutku.

“Ri.” Kali ini suaranya memelan. “Minum obatnya.” Ia berkata kemudian langkahnya terdengar sedang menuju ke daun pintu.

Tidak ada usapan, pelukan bahkan kecupan hangat yang mampir padaku. Jordy jelas-jelas hanya menjadikanku tameng baginya juga alatnya untuk mewujudkan cita-cita Aidan memiliki keluarga yang sempurna.

“Seharusnya anak kalian bisa selamat.”

Buyar konsentrasi saya saat membaca pesan Bulik Ratih dan mendengar penjelasan Erna tentang kelakuan tak masuk akal Mentari. Begini, saya paham kalau dari awal kondisi Mentari memang tidak baik. Saya aware sekali, tapi yang jadi pertanyaan, bagaimana Mentari bisa membelah nanas hanya dengan tangan? Hal itu tidak mungkin, kan? Bahkan saya yang seorang laki-laki juga tak akan kuat bila harus membelah nanas dengan tangan kosong. Pernyataan itu membuat saya hanya bisa tertawa miris dan berpikir, ini yang gila saya apa Mentari?

Mengapa setiap kali saya dan dia sedang baik-baik saja, tingkahnya menjadi diluar nalar? Apa ia sedang menguji saya dengan kelakuan aneh serta fase maniknya sebagai seorang penderita DID?

Saya benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikirannya. Apalagi, ia tidak aware jika dirinya sedang hamil. Bagaimana bisa? Dia perempuan, yang lebih tahu soal kondisi tubuhnya, jelas dia. Tapi hal semacam ini saja, Mentari bahkan tidak paham. Apa yang ada dalam pikirannya?

Belum lagi sepanjang kambuh, Mentari terus mengulang ucapan yang sama. “you'll never have a child from this woman.” Bagaimana bisa ada perempuan sekeji itu? Saya sungguh kehabisan sabar saking seringnya Mentari kambuh disaat-saat yang tidak tepat.

Saya memandang Mentari yang akhirnya terlelap usai diberi obat penenang. Dokter bilang, Mentari sangat depresi ketika tahu bahwa ia harus dikuretasi. Mendadak, Mentari tak merespon apapun yang Dokter katakan padanya. Setelah itu ia tak sadarkan diri karena kondisinya melemah.

Aidan yang menjadi satu-satunya kunci dalam kejadian ini sampai tak berani bertatap muka dengan Mentari. Untuk pertama kali, Aidan menekankan bahwa ia tak mau melihat wajah Mentari untuk sementara. Ini sangat-sangat aneh menurut saya. Aidan sangat menyayangi Mentari, apapun yang terjadi anak itu akan berada di sisinya. Tetapi tidak untuk hari ini. Ia terus bersembunyi di balik lengan Erna, mengawasi Mentari dari kejauhan.

“Dan,” panggil saya. Saya duduk di sebelah Aidan. Namun Aidan justru tak berkata apapun—ia diam seribu bahasa dengan raut ketakutan.

“Ada apa...” tanya saya hati-hati. Aidan menggeleng lemah, lalu menundukkan kepala.

“Cerita sama Papi, Dan. Kenapa Idan gak mau lihat Mamah?”

Ia melirik ke arah lain. “Dan?” Tak lama, Aidan memeluk saya erat.

“Mamah makan darah....” ia berbisik dengan sangat-sangat pelan.

“Dan, kamu jangan bercanda ya.”

“Tapi Idan gak bohong, Pi...Idan, Idan liat... Idan liat Mamah makan kepala....” tangisnya pun pecah setelah itu. Alis saya mengerut semakin dalam, otak saya bekerja keras untuk menyusun cerita tak masuk akal ini, mencoba menerimanya dengan nalar.

“Idan, yang jujur sama Pap—”

“Aidan.” Cerita Aidan terhenti, omongan saya terpotong. Bulik Ratih berjalan ke arah kami, lalu dengan gerakan cepat, ia mengusap mata Aidan hingga matanya terpejam.

“Dan.” Bulik Ratih menepuk pundak Aidan dan seketika itu juga saya perhatikan Aidan tampak seperti orang linglung.

“Udah enakan, Dan?” tanya Bulik Ratih kemudian. “Udah, Eyang.” Aidan menjawab spontan. Bulik Ratih mengangguk, “mau nyamperin Mamah?”

Saya yang mendengar pertanyaan Bulik Ratih jelas heran dan bingung. Sebab Aidan langsung berbeda dari yang sebelumnya. “Dan, kamu belum jelasin ke Papi apa yang terj—”

“Dia sudah lupa dengan kejadian tadi.” Bulik Ratih menatap saya serius. Saya membeku, perlu beberapa menit bagi saya untuk mencerna maksud perkataan Bulik Ratih. Jadi maksudnya, Aidan tidak mengada-ada?

“Peristiwa tadi sangat traumatis buat Aidan, Jordy. Kalau tidak cepat ditangani, Aidan bisa sakit-sakitan.”

Saya diam sejenak, memandang Bulik Ratih dengan perasaan tak menentu. “Sakit-sakitan?”

“Jordy, saya tahu mungkin kenyataan ini nggak akan masuk dalam nalar kamu. Semua yang Mentari alami dan apa yang Idan saksikan...” Bulik Ratih menjeda ucapannya.

”...terjadi karena ada yang mengganggu rumah tangga kalian. Mendiang istri kamu dendam sama Mentari, Jor.”

Lagi-lagi anggapan seperti itu hanya menjadi angin lalu buat saya. Orang yang sudah meninggal tidak mungkin bisa mengusik manusia. Tubuhnya saja sudah menjadi tulang belulang.

“Kamu...nggak percaya?” Bulik Ratih menebak.

”...Jordy, saya cukup ngingetin kamu sekali ini aja. Kamu harus ingat baik-baik istrimu di dalam lagi berjuang untuk kembali ke dunianya. Dan Aidan...saya menghapus ingatannya tentang peristiwa mengerikan yang tadi dia liat. Terserah kamu. Saya hanya minta untuk tidak menyakiti Mentari lebih jauh dari ini.”

Saya mencelos. Pernyataan Bulik Ratih yang terakhir sepertinya tamparan yang kesekian kali untuk saya. Raut wajah sayu nan seriusnya, membuat saya merenungkan sikap-sikap saya pada Mentari. Saya meraup kasar wajah saya sendiri, memaksa diri untuk ikut masuk ke kamar perawatan Mentari.

tw // blood, gore scene

Aku terbangun tepat pukul tiga dini hari. Kala itu, tiba-tiba saja perutku terasa begitu sakit melilit. Sejak pagi kukira aku akan datang bulan karena rasa sakit ini, tapi semakin kurasa, sakit perut ini bukanlah sakit perut biasa. Keringat telah bercucuran di sekitar dahi dan pelipisku. Di samping, Aidan sudah terlelap. Ia kelelahan setelah ikut ekskul futsal di sekolah. Karena itu, aku tak tega membangunkannya. Jadi kuputuskan untuk menyeret kakiku ke kamar mandi.

Di dalam sakit perutku kian menjadi-jadi. Rasanya bukan lagi seperti ingin buang air besar, tapi perih minta ampun bagai dirobek dan ditendang pakai kaki. Aku sontak berteriak-teriak, namun entah mengapa air keran tiba-tiba menyala sendiri.

Suaraku teredam, dan aku semakin tersiksa karenanya Sakit perut ini makin menggila, mungkin seperti inilah rasanya orang yang mau melahirkan.

Ditengah-tengah aku menahan sakit yang begitu hebat, darah mengalir deras dari bawah

Terlihat sebuah gumpalan darah yang bergerak sangat lambat dan perlahan..ia berhenti. Aku gemetaran, hancur dan luruh kala mengusap darah yang masih berceceran di lantai. Seketika itu aku tersadar bahwa... gumpalan darah itu bernyawa.

Nyawa yang seharusnya bertumbuh dalam rahimku, menjadi kebanggaan dan kesayangan Jordy-Aidan. Namun ia meninggalkanku, bahkan disaat aku belum sempat memeluknya.

Apa yang harus kukatakan pada Jordy dan Aidan? Kepalaku pusing mendadak disela-sela perihnya area sensitifku akibat pendarahan itu.

“Saya sudah bilang...jangan usik keluarga saya!” Geraman seorang perempuan terdengar amat jelas di samping.

“Saya tidak akan pernah membiarkan KAMU punya anak dari Ody!”

Nafasku tercekat. Aku tahu suara itu milik siapa. Penuh dendam dan sangat mencekam. Suara itu terus memborbardir kepalaku hingga aku tak kuat lagi menahan sakit yang bertubi-tubi ini. Mataku lambat laun terpejam, namun jelas sayup suara Aidan terdengar di sebelahku.

“MAMAAAAH! MAMAAAAH BERDARAH!!!” Kurasa Aidan mencoba mendekatiku, tapi entah apa yang terjadi, tiba-tiba saja Aidan menjerit histeris.

“MAMAAAAH! MAMAAAAAH!!! PANASSSS! MAMAAAH TOLONG!!!! MAMAAAHH ADA YANG MAKAN ITU GAK TAU IDAN TAKUT MAAAAH!”

Ini sudah ke tujuh belas kalinya aku mondar-mandir ke toilet untuk buang air kecil, padahal aku tak meminum kopi dari pagi dan hanya menyemil beberapa snek yang dibelikan Erna sesuai pesanan Jordy. Satu mi kremez kesukaan Aidan, satu lagi keripik kentang dan keripik nanas. Minum air putihpun sedikit. Dahagaku menghilang sejak pagi, sementara keinginanku untuk memakan beberapa camilan itu terus bertambah, apalagi nanas. Aku sampai-sampai minta Erna ke pasar demi membelikanku buah nanas.

“Na, boleh tolong beliin nanas nggak?”

Erna melirik perutku. Aku balik memandangnya bingung sambil bertanya-tanya dalam hati, apa sebegitu gendutnya aku sampai ia harus menatap perutku terus-terusan? Tubuhku memang masih berisi pasca meminum obat-obatan dari Terry yang harus kukonsumsi dua kali sehari. Terry telah menjelaskan efeknya padaku. Walau awal-awal aku tak terima, namun lama-kelamaan aku biasa.

“Beliin ya, Na?” Aku memohon. Wajah Erna seketika tak enak, resah.

“Buah apel aja gimana, Bu?” Ia memberi opsi lain. Yang aneh, biasanya aku akan menerima pendapatnya secara terbuka, tapi saat Erna menolak, entah kenapa aku kesal. Hawa panas di sekitar tubuhku meluap dan kepalaku pusing mendadak. Belum lagi aku mendengar bisikan-bisikan di telingaku.

“Beli...beli nanas...saya mau nanas...”

Suaranya serak, menyeramkan. Bulu kudukku berdiri ketika suara itu berkumandang.

“Saya maunya nanas!” Aku membentaknya untuk pertama kali. Jika ia tersentak, aku jauh lebih dari itu. Aku mulai merasa sesuatu sedang mencoba mengendalikan diriku, tapi setiap kali aku hendak menepisnya, suara serak yang tadi terdengar, berbisik.

Lebih dekat dan jelas dari sebelumnya. “Suruh dia beli nanas...cepat...”

“Beli nanas sekarang, Na.” Aku merampungkan ucapanku tanpa melihat wajah Erna yang ketakutan.

“Bu—”

Tanpa sepatah kata, tanganku merampas buah nanas yang ada di tangan Erna.

“Bu, buahnya belum dipot—”

Aku dapat membukanya sendiri tanpa harus menggunakan pisau. Anehnya, semua perkataan ini hanya berlaku di otakku. Mulutku terkunci, seolah ada sesuatu yang memerintahku untuk tak banyak bicara.

“Bu...”

Ada apa? Kenapa wajah Erna terlihat sedih dan bingung, bukankah aku hanya makan saja? Apa dengan aku menyantap buah-buahan ini, berarti aku menyedihkan?

“Bu, itu tangan ibu...berdarah,” katanya lemas.

Berdarah? Dia mengada-ada. Tanganku bersih gini kok, dibilang berdarah.

“Bu, udah ya, Bu? Kasihan adek bayinya nanti...”

Mulutku berhenti mengunyah seketika, tetapi entah mengapa aku begitu tak terima mendengar ucapan Erna.

“Buuuuu! Ampun, Bu!!! Jangan cekik saya, Bu!!!!”

“Tau apa kamu...begundal tua, jangan halangi saya membalaskan dendam pada perempuan ini! MATI! MATIIIII!”

“You'll never have a child from this woman,” seru Mentari lantang, menyambut kedatangan saya tepat pada pukul dua belas dini hari.

Tatapan Mentari yang Aidan terangkan bahwa ia begitu putus asa, mendadak sirna dan berganti menjadi penuh dendam. Daksanya terus mengekor kemanapun saya melangkah.

Dia tertawa cekikikkan.

“Ri, saya tau ini berat buat kamu—”

“I'll never give her my bless to have your child, Ody.” Saya terkejut saat pandangan intens serta intonasi bicara Mentari berubah seperti Kirana.

Sementara Aidan yang mendengar ibunya berteriak, langsung bersembunyi di belakang saya dengan tampang ketakutan, saat Mentari mencoba meraih tangannya.

“Mami's here Aidan..” Tangan Mentari terjulur hingga melepas infusnya. Ia mencoba meraih Aidan beberapa kali namun anak itu terus menghindar hingga tak kuasa lagi rasa takutnya.

“Papiiii!!!!” jerit Aidan histeris.

Dari sekian banyak perilaku Mentari saat ia kambuh, hari ini yang paling menguras tenaga dan juga cukup mengherankan. Seharusnya pasca kuretasi, ia menjadi lemah dan masih dalam pengaruh obat bius. Namun hal itu tidak terjadi.

Dua puluh menit lamanya Mentari terus memanggil-manggil Aidan sambil menyebut dirinya 'mami.'

“Ri! Sadar!” hentak saya sambil menepuk bahunya kuat. Tangan kiri saya menggenggam erat Aidan.

“Papi...Idan takut, Pi...” adu anak itu terisak-isak. Saya menoleh padanya, “Idan tenang aja, Mamah nanti dikasih obat penenang. Idan sama Mba Erna dulu ya. Biar Papi jaga Mamah.”

Tanpa berlama-lama, Aidan langsung berlari ke sisi Erna. Digenggamnya tangan Erna kuat-kuat, sambil berjalan keluar.

Selepas perginya Aidan saya langsung mengambil obat penenang dengan maksud memberikannya pada Mentari. Tetapi Mentari menghempaskan semua obat-obatan dari tangan saya sambil ketawa cekikikan.

“Bagaimana? Seru kan permainan saya?” Peluh di dahi saya kian mengalir deras saat menyadari suara Mentari yang tadinya lembut berubah serak mencekam.

“Saya ditugaskan istri kamu untuk mengambil anak itu...Sampai kapanpun kamu tidak akan bisa memperoleh anak dari perempuan ini...” kekehnya seperti nenek-nenek.

“Sampai kapanpun... saya akan membalaskan dendam istrimu...” Usai berkata demikian, Mentari kehilangan kesadaran. Tubuhnya melemah, kondisinya kritis.

Saya terdiam sembari terus memikirkan ucapan yang baru saya dengar. Mengerikan, membuat saya berpikir apakah perkataan Terry perlu saya pertimbangkan? Mengingat ia mengundurkan diri secara tiba-tiba dan bilang kalau mungkin saja yang Mentari alami ini...

Bukanlah kondisi psikis, melainkan karena pengaruh mistis.

“Ri.” Saya cepat-cepat menyingkirkan ponsel saat mendengar suara decit pintu bergema. Langkah gesekan sandal yang menyentuh lantai membuat saya langsung beranjak duduk, menatap dalam Mentari yang baru saja kembali dari kamar Aidan.

“Sini dulu,” bujuk saya lembut. Tapi Mentari dan kerasnya setiap kami bertengkar tak pernah bosan membuat saya kalut. Sejak awal ia masuk kamar hingga duduk di sebelah saya, Mentari enggan bicara.

“Tadi pagi saya buru-buru, Ri. Gak sempet liat kotaknya warna apa,” saya mencoba menerangkan.

Namun lagi-lagi Mentari cuma diam. Membuat kepala saya bertambah pening.

“Ri.” Kalau dengan omongan tak berhasil, maka peluk adalah jalan selanjutnya.

“Maaf ya, Sayang.”

“Bisa nggak sih, sehari aja nggak ganggu aku istirahat? Aku capek.” Mentari melepas ikatan tangan saya dari pinggangnya.

“Saya cuma mau ngejelasin daripada kamu tambah marah.” Saya bela diri.

“Keliatannya gimana? Malah tambah buruk kan?” Saya tak pernah paham dengan isi kepala Mentari selain overthinking tentang saya.

Apa surat waktu itu belum cukup valid baginya?

“Terserah kamu deh, Ri.”

Dia diam, tapi diamnya makin membuat perasaan saya tidak karuan.

Mentari membalik posisi tubuhnya memunggungi saya. Dalam sejarahnya kami tidur sekamar, ini adalah kali pertama ia tidur sambil membelakangi saya. Biasanya sebesar apapun cekcok mulut kami, Mentari selalu berusaha menyelesaikannya dalam semalam.

”...Saya beneran salah ambil, Ri.”

“Khilaf?” tanyanya tak percaya.

Saya mengangguk.

“Khilafnya terus-terusan,” sindirnya dengan senyum tipis.

Saya sontak meraup wajah sendiri. Disentil sama istri, siapa yang gak kepikiran?

“Sayang...” “Aku udah bilang, Mas Jordy,” lirihnya pasrah. “Ga perlu kamu paksain. Kalau emang gak bisa, ya jangan–”

Saya membalikkan tubuh Mentari, menatap perempuan itu lekat lalu mengecup bibirnya kilat.

“Enough.” Ia menjauhkan wajahnya seketika.

“Saya harus gimana supaya kamu percaya sama saya, Ri?” keluh saya frustasi.

“Ga harus ngapa-ngapain. Dan jangan ajak aku ngomong malem ini.” Ia membuat keputusan.

Throwback

Tak ada yang lebih pedih daripada tidak dicintai oleh pasangan. Aku, adalah salah satu perempuan yang menyedihkan itu. Malam perdana aku dinikahi Jordy, bahkan setelah ia terlihat lugas melantangkan kalimat ijab kabul, Jordy meninggalkanku sendirian. Botol-botol beralkohol kutemukan berbaris rapi di hadapannya, tutupnya sudah terbuka. Dan artinya ia juga sama menyedihkannya denganku.

Daksaku menurun, bahuku merosot. Jangan tanyakan bagaimana hancurnya hatiku saat melihatnya menenggak anggur-anggur itu sendiri. Ia sedang berpesta merayakan kesedihan dan penyesalannya menikahiku.

Satu lagi. Ia melepas cincin yang mengikat kami sehidup semati, ia langsung menggantinya dengan cincin pernikahannya yang dulu.

Tatapnya begitu pedih dan tertahan, “your name engraved here, Kirana.”

Aku terdiam, memandangnya nanar. Batinku bergejolak begitu hebat. Ingin pergi dari pernikahan ini, tapi entah mengapa Aidan mematahkan keputusan itu. Padahal aku jelas tahu ayahnya tidak memiliki perasaan apa-apa padaku.

Tapi anak itu... selalu memintaku untuk menggenggam erat tangannya, memohon padaku agar jangan pergi meninggalkannya.

“I'll never use my new wedding ring,” sumpah Jordy sambil mengusak mata. “Kamu satu-satunya, Na.”

Tangisku menyeruak hebat.