noonanya.lucas

“Agak panas ya, Xav mobil lo,” keluh Della sesaat ia daratkan dirinya pada bangku penumpang. Perempuan itu mengibaskan rambut serta melepas kacamatanya. Ia meletakkan tasnya di atas dasbor mobil Xavier. Melihatnya, Xavier melayangkan tatapan malas ke arah Della. Namun sayang, Della tak menyadari netra Xavier terarah lurus kepadanya.

“Tasnya boleh turunin gak ya, Del?” pinta Xavier datar.

“Ah, sori. Iya, iya. Abisnya gue kegerahan, tadi nyari tisu dulu,” ucap Della, mengangkat tasnya dari atas dasbor.

Regina yang sedari tadi belum berkata apa-apa, terperangah mendengar ucapan Xavier. Ia melirik lelaki itu dari balik rear-spion mobil, mendapati wajah Xavier seketika terpasang dingin. Sungguh kontras dengan Xavier yang beberapa jam lalu berangkat ke gereja bersamanya.

“Gue gedein dikit ya AC-nya?” izin Della, mengulurkan tangannya ke pendingin mobil.

“Jangan,” cegah Xavier. “Regina alergi dingin.”

Gadis berkacamata itu langsung menoleh ke belakang, memerhatikan Regina yang tersenyum untuk meminta dimaklumi.

“Emang jaket lo mana, Gin?” tanya Della. “Eh, tapi kan lo udah pake lengan panjang kayak gitu? Emang masih ga cukup anget juga?”

Regina menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. Ia bingung harus melontarkan jawaban seperti apa pada Della agar sahabatnya tidak salah paham. Ingin menyalahkan Xavier, tapi hari ini lelaki itu sudah begitu baik kepadanya.

“Ng....”

“Orang alergi dingin sama kedinginan itu beda, Del. Kalau alergi dingin emang gak bisa kena AC. Kalo kedinginan ya beda lagi,” ujar Xavier menjelaskan. Mendengar perkataan Xavier yang terkesan galak, rasanya Regina ingin menenggelamkan dirinya ke dasar jurang. Ia tidak mau Della dirinya menikung Xavier.

Karena sikap lelaki itu amat dingin saat bersama Della. Pantas saja Della bilang kalau penilaian Regina salah besar. Xavier benar-benar tegas nan acuh pada sahabatnya, sedangkan ketika bersamanya, Xavier seakan memberinya perhatian yang semestinya tidak Regina terima.

“Eh, nggak apa-apa. Kalo kepanasan, gedein aja AC lo, Xav.” Regina segera memutar otak demi mencegah terjadinya pertikaian kecil antara Xavier dan Della. Lebih baik ia mengalah, untuk kebahagiaan temannya.

“Boleh gue naikin AC mobilnya...” Xavier menggantungkan kalimatnya di udara. “Tapi ada syaratnya.”

Regina dan Della memandang lelaki itu heran. “Apaaa?”

Xavier mengeluarkan minyak kayu putih dari saku celananya. “Lu pake ini biar alergi lu gak kambuh. Karena ini punya lu.”

XAVIERRRRR!!!!! Regina menjerit panik dalam hati. Matanya langsung terarah pada Della yang nampak kaget setelah mendengar ucapan Xavier.

”...Dan yang kedua, lo pake jaket gue tuh yang ada di sebelah lo. Biar lo tetep ngerasa hangat.”

Della melirik Regina dengan tatapan yang amat sulit Regina artikan. Bisa jadi sahabatnya itu kecewa dan merasa Regina membohonginya.

“Ng...gue pake minyak kayu putih aja,” sahut Regina cepat, demi kemaslahatan bersama dan menghindari kesalah-pahaman yang kian dalam, Regina menolak tawaran Xavier yang terakhir.

“Kalau kenapa-napa bilang sama gue. Jangan sakit.”

Della langsung terdiam mendengar ucapan Xavier pada Regina. Sedikit banyak, kini hatinya mulai dilingkupi rasa sakit yang perih. Bak tergores pisau, nyeri dalam hati Della membuatnya tak percaya jika orang yang ia percayai sebagai teman baiknya, tega menikam dirinya dari belakang.

Sayang, Della tak dapat berkata banyak setelah mendengar ucapan Xavier. Ia harus banyak memupuk kesabaran dan lebih kuat berdoa kepada Santo Rafael, agar lelaki idamannya itu dapat berpaling dari perempuan yang sudah memiliki kekasih.

“Gin!”

Langkah Regina yang beberapa detik lalu baik-baik saja mendadak gontai seketika, kala mendengar sebuah suara memanggil namanya.

Ternyata sang pemilik suara itu adalah Della, sahabatnya sendiri. Mendengar nada ceria yang mengalun dari Della, Reginapun segera memutar tubuhnya menghadap Della.

“Iya, Del?” tanya Regina sambil tersenyum seolah tak terjadi apa-apa.

Dulu-dulu, Regina tak pernah setakut ini jika hang out dengan beberapa anak mudika. Ia selalu senang bila bepergian ke gereja bersama mereka. Dengan hati penuh sukacita dan gembira menyambut Tubuh Kristus di rumah-Nya.

Beda dengan sekarang. Ia selalu diburu was-was dan rasa bersalah. Bukan hanya ke satu orang, melainkan pada dua orang sekaligus. Lelaki yang paling ia cintai, Gabriel dan sahabatnya sendiri.

Regina sadar akan apa yang telah ia lakukan. Bila ia paksakan untuk tetap berada di persimpangan itu, maka ia akan kehilangan orang-orang yang tulus mencintainya. Dan tentu, Regina belum siap menerima konsekuensinya. Sekuat tenaga dan semampu raganya, Regina berjanji bahwa ia akan menjauh dari kesalahan itu.

“Lo kesini sama siapa, Gin?” tanya Della usai Regina mampir berdoa di Goa Maria sebentar.

“Sama...Xavier,” jawab Regina hati-hati.

“Xavier?” balas Della. Matanya terlihat menyipit, seakan mencoba mengingat satu fakta tentang Xavier. “Kok bisa...?”

“Gue satu lingkungan sama Xavier, Del.” Regina cepat-cepat mengklarfikasi.

“Oalaaah. Iya, ya!” Della merespons. Nampaknya ia lupa kalau Regina dan Xavier berada di satu lingkungan yang sama. Tapi syukurlah. Setidaknya ia telah berhasil menyelamatkan diri dari masalah yang paling tidak mau ia cecap—salah paham.

“Kalo gitu..” Della mengangguk paham, kemudian berbisik dan tersenyum penuh arti. “Lo ngertilah, Gin, maksud gue.”

Gadis itu mengedipkan sebelah matanya.

“Apa...?” balas Regina bingung.

“Gue duduk sebelah...Xavier ya, nanti?” ujar Della penuh harap.

“Eh, ya silakan! Good luck ya, Del. Semoga Xavier bawel nanti di chat sama lo.”

Della terperanjat bingung. “Emang Xavier bawel ya? Perasaan tuh anak dingin banget.”

Untuk pertanyaan yang satu itu, sepertinya Regina lebih baik bungkam, daripada mulut besarnya ini menjerumuskannya dalam masalah baru.

Manusia boleh berencana, akan tetapi Tuhan yang punya kuasa. Tidak selamanya yang kamu inginkan seturut dengan kehendak-Nya. Dan apabila Ia menarik apa yang kamu kehendaki, percayalah bahwa suatu saat nanti Ia akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih indah.

Sudah kesekian kalinya Biel mengacuhkan telepon Regina. Sebelum ia dijemput oleh Xavier, perempuan itu sempat mencoba menelepon ponselnya, namun sang kekasih tidak merespons. Biasanya, seorang Biel akan segera mengabarinya melalui chat WhatsApp apabila ia sedang tidak dapat dihubungi, tetapi kali ini... Regina tidak menerima pesan apapun dari lelaki itu.

Resah bercampur cemas karena belum menerima kabar dari Biel, Regina tak mampu menyembunyikan perasaannya dari laki-laki yang semestinya tidak perlu tahu keadaannya.

Xavier.

“Lu kenapa, Gin?” tanya Xavier. Kemudian, pandangan lelaki itu turun ke buku-buku jari Regina yang tampak memucat. Regina sendiri tidak sadar jika kekhawatirannya ini berimbas pada kesehatan fisiknya. Tubuhnya dingin dan ia mulai menggigil.

“Gin,” panggil Xavier sekali lagi, memastikan Regina mendengar panggilannya.

“Eh. Iya, Xav?” sahut Regina getir.

“Gak papa?” tanya Xavier memastikan. Regina menggeleng, mencoba meyakini Xavier kalau keadaannya baik-baik saja.

“Tangan lo pucet banget, Gin.” Lelaki itu bergumam. Tangan kokohnya tergerak, mengutak-atik AC mobilnya. Sementara sang hawa yang memandangi pergerakan Xavier, hanya bisa terpaku melihat lelaki itu sibuk mengecilkan angin AC-nya.

“Eh, gak usah, Xav.” Regina merasa perlu mencegah Xavier mengurangi angin AC-nya hanya untuk dirinya. Mobil ini adalah mobil Xavier. Di sini, ia cuma menumpang saja, tidak etis rasanya kalau karena penyakit kampungan Regina ini, Xavier harus mati kepanasan.

“Loh, kenapa? Tangan lu udah pucet banget itu. Enggak apa-apa.” Alih-alih langsung menyahut, Regina malah terdiam beberapa saat. Terpaku pada guratan-guratan urat yang terlihat di lengan Xavier, juga bagaimana lelaki itu tetap kekeuh mengurangi temperature pendingin mobilnya sampai ke suhu dua puluh lima.

“Segini udah anget belum, Gin?” tanyanya seraya menoleh ke Regina. Astaga, kalau saja Regina boleh berdecak, maka saat itu ia akan melakukannya. Namun Regina menahannya sebisa mungkin, karena tak ingin Xavier salah paham.

Pasalnya...bukan ini yang Regina inginkan. Berada dalam satu mobil bersama laki-laki lain, diperhatikan secara utuh oleh laki-laki yang notabene-nya dicintai oleh sahabatnya sendiri. Regina merasa tidak cukup baik untuk menerima perhatian tulus dari lelaki bernama Xavier. Della-lah yang lebih berhak. Regina menginginkan raga lain untuk menjaga perasaannya secara utuh, bukan seseorang yang semestinya memberi perhatian pada hati yang tepat—yakni—temannya sendiri.

Regina diam, bukan karena ia kehilangan arah. Ia memilih bungkam karena pada dasarnya dia tidak tahu bagaimana caranya keluar dari rasa yang salah. Rasa yang semestinya tidak tertinggal ketika Xavier mengulurkan tangannya, dan memberinya sebuah benda sederhana, namun animonya cukup menghantarkan residu-residu hangat dalam hatinya.

“Ini, Gin. Kalau masih kedinginan, lo bisa gosok minyak kayu putih,” ujar lelaki itu dengan suara rendahnya. Namun yang menjadi perhatian Regina, bukan suara bass yang terlontar dari Xavier. Melainkan tatapan lembut yang kini terpatri pada netra Regina.

Bahkan Gabriel tidak pernah menatapnya seperti itu.

Regina sudah bilang, kan? Ia cukup heran mengapa Xavier selalu memandangnya seperti itu. Teduh, dan lekat.

Dan tentunya bias wajah serta pandangan lekat yang Xavier peruntukkan kepadanya membuat kepala Regina mendadak pening. Ia tak tahu harus merespon semua perlakuan Xavier padanya dengan cara apa.

Karena Regina betul menyadari, dia tidak menginginkan takdir hari ini. Ia berencana untuk pergi dari lelaki itu, namun yang terjadi justru sebaliknya.

Xavier yang datang kepadanya. Bukan Gabriel. Ia selalu berseberangan dengan Gabriel, tetapi tidak ketika ia sedang bersama Xavier. Pertemuan-pertemuan singkat yang ia cecap, mulai menyisakan satu perasaan yang paling tidak mau Regina rasakan.

Baru setengah menit perjalanan, Regina tiada henti mengeluh dalam batin. Kapan sih gue nyampe di gereja? Kenapa mesti macet total? Rese banget, badan gue mulai menggigil.

Begitulah saat keinginan tak sejalan dengan takdir. Seperti kata pepatah yang sering Regina dalam khotbah Pastur, manusia boleh berencana, namun Tuhanlah yang punya kuasa.

Hal ini ternyata terjadi juga pada Regina. Mulai dari pagi hingga sore menjelang, semua yang Regina rencanakan tak terlaksana. Biel batal menjemput, cowok disebelahnya pun justru menjemputnya lebih dulu dibanding sang teman. Kalau begini caranya, bagaimana Regina dapat berpikir tenang? Otaknya seakan bercabang, memikirkan apalagi yang akan terjadi nanti ketika Regina dan cowok di sampingnya ini sudah sampai di gereja. Kalau bisa, Regina ingin segera menjauh dari lelaki itu, agar sang sahabat lebih leluasa melakukan gencatan senjata pada sang Adam. Ya, itulah yang menjadi rencana Regina selanjutnya. Ia tidak mau menambah masalah yakni salah paham dengan teman baiknya.

“Gin.” Shit. Tanpa sengaja Regina mengumpat dalam hati.

“H-hmm?” Ia lantas menyahut, namun entah mengapa suaranya agak gemetar saat menanggapi panggilan lelaki itu.

“Tangan lo pucet banget. Sakit? Apa kedinginan?” Lelaki itu berbicara seakan-akan memberinya perhatian. Semestinya pertanyaan ini dilontarkan oleh kekasihnya kan? Bukan pemuda lain yang notabene-nya gebetan temannya sendiri. Regina menggeleng. Menyembunyikan fakta sebenarnya.

“Yang bener lu?” Lelaki itu kembali bertanya. Kali ini raut wajahnya mulai terlihat cemas.

“Bener, kok.” Regina mencoba meyakini lelaki itu melalui ucapannya yang lantang dan mantap. Namun alih-alih mengacuhkan, cowok itu tampak sibuk, merogoh sesuatu dari sela-sela pintu mobilnya.

“Pake minyak kayu putih aja. Tangan lo pucet banget, Gin.”

Tolonglaaah Regina menjerit pasrah dalam hati. Pasalnya tiba-tiba, lelaki itu menyodorkan minyak penghangat itu pada Regina.

Yang menjadi masalah bukan pada minyak kayu putih yang berada pada genggaman lelaki itu, tetapi pada netra teduh miliknya saat membalas tatapan Regina. Biasnya terasa begitu tulus hingga membuat Regina harus mengumpulkan kekuatannya untuk tidak goyah dan setia pada kekasihnya.

Lima detik berlalu, nampaknya lelaki berhidung mancung itu masih setia menanti jawaban Regina atas tawarannya barusan. Pandangan lelaki itu yang terarah padanya seolah menginginkan Regina untuk memakai minyak kayu putih yang ia sediakan.

“Ng...” Regina mengalihkan pandangannya pada minyak kayu putih tersebut. “Punya cici lu kan ini? Ah, jangan deh. Xav. Nanti lu kena marah kalau ngasih ke gue. I mean ini kan punya orang ya, gak baik kalo belum izin sama yang punya. Kesannya jadi maruk, pengen milikin apa yang bukan punya kita.

“Oh..” Lelaki itu tersenyum kecil. “Bukan punya Ci Anna.” Ia menjelaskan.

“Terus?” tanya Regina penasaran.

“Hmm...” Lelaki itu sedikit memberi jeda diantara deru nafasnya yang tenang. Sangat kontras dengan degup jantung Regina yang berdetak amat.

“Tadi sebelum ke rumah lu, gue mampir sebentar ke minimarket. Beli ini, buat jaga-jaga, kalo alergi lu kambuh. Soalnya, AC mobil gue masih tetep dingin walaupun udah dikecilin. Biar lu gak kedinginan juga selama naik mobil.”

Jawaban yang terucap dari bibir lelaki itu sontak membungkam Regina. Pikirannya reflek tertuju pada sang kekasih—Gabriel—yang selama dua tahun belakangan nyaris tidak pernah memperlakukan Regina seperti yang lelaki di sebelahnya ini lakukan.

Taking care of her.

Well, its just a small act, but that small act she hopes her boyfriend does, justru dilakukan oleh temannya sendiri.

Teman yang selama ini ia anggap asing karena mereka hanya dipertemukan sebagai rekan satu komunitas.

“Kalau gak mau pake disini, simpen aja di tas lu,” ucap lelaki itu, membuyarkan segala lamunan Regina.

“Ah..” Regina mengangguk-angguk kecil, lalu mengangkat tatapannya pada lelaki itu.

“Nih,” kata laki-laki itu menyodorkan minyak kayu putih kepadanya.

“Makasih ya, Xav.”

“Sama-sama.” Setelah minyak kayu putih itu berpindah tangan, sang Adampun kembali fokus menyetir. Kebetulan waktunya pas sekali dengan bergantinya lampu lalu lintas dari merah ke hijau.

Seolah takdir ingin menyampaikan sebuah pesan, jika Regina harus berjalan dan meninggalkan persimpangan yang salah.

Biel menurunkan standar motornya di depan sebuah rumah berpagar putih, dan memiliki tembok berwarna senada. Ia menunggu seorang gadis keluar dari dalam sana. Kaki Biel sejak tadi tak bisa diam, entah mengapa ia begitu semangat siang ini meski terik matahari sedang membara memanaskan bumi.

Gadis yang ia tunggu-tunggu tak lama datang. Memakai baju cardigan warna pink dan dalaman berwarna putih. Amat kontras dengan cara berpakaian seseorang yang telah lama ia kenal. Melihat perempuan itu menebar senyum, Biel segera membalas. Ia tersenyum tipis menyambut kehadiran sosok itu.

“Maaf ya Biel, lama nunggu, ya?”

“Enggak kok, gak papa.” Biel lekas menyahut, tak mau si gadis berprasangka buruk.

“Biel mau masuk rumah dulu, Papa mau ngobrol sebentar sama kamu,” ajak perempuan itu. Tanpa ragu Biel mengiyakan.

“Papa kamu Gembala Utama di gereja ya?” tanya Biel sambil mengikuti perempuan itu memasuki halaman rumah.

“Iya, Pastor Simeon Rambey,” ucap gadis itu singkat. Tak lama berselang, mereka tiba di halaman rumah gadis itu.

“Shalom, Pa. Ini Caca ajak Biel, WL di Nehemia Church yang Caca cerita itu.” Gadis itu berceloteh pada ayahnya.

Pastor Simeon Rambey adalah salah seorang Pendeta tersohor di salah satu gereja Kristen Protestan yang pernah Biel datangi. Beliau dianugerahi karunia nubuat oleh Tuhan, dan hal inilah yang membuat Biel ingin mengagumi sang Pendeta sungguh-sungguh. Semua khotbah Pastor Simeon sangat menginspirasi Biel dalam melakukan pelayanan. Terutama ketika dirinya sedang berada dalam titik tercuram dalam hidup, saat mendengarkan kata-kata serta untaian doa yang indah dari Pastor Simeon, Biel merasa begitu damai dan tenang.

“Shalom Pastor,” sapa Biel seraya menjabat tangan Pastor Simeon.

“Shalom, shalom,” sahut Pastor Simeon, mengumbar senyum. Kemudian pria itu menjatuhkan tatapannya pada Biel, seakan menaruh harap pada dirinya.

“Jarang...” ucap Pastor Simeon. “Jarang sekali ada anak muda yang mau menyerahkan hidupnya buat Tuhan.”

”...Saya begitu terkesan dengan pelayanan yang kamu berikan di gereja. Caca bilang, kamu adalah worship leader dan kakak pembina yang bagi jemaat muda di Nehemia Church,” ungkap sang pendeta penuh kekaguman.

“Aduh, Pastor. Rasanya saya belum sesempurna itu, masih jauh sekali. Kadang suka lupa saat teduh, kadang kalau baca firman cuma se-ayat dua ayat. Jadi malu, Pastor. Saya sangat senang bisa mendapat kesempatan bertemu dengan Pastor,” balas Biel tersenyum sungkan.

“Hahahaha, saya suka nih kalau ada anak Tuhan yang begitu rendah hati seperti kamu, Gabriel.”

Biel tertunduk malu, namun dalam hati ia cukup tersanjung dengan pujian Pastor Simeon.

Beberapa saat setelahnya, Biel dan Pastor Simeon berbincang tentang tema-tema kekinian yang dapat diangkat untuk menjadi bahan renungan di gereja. Perempuan muda di sebelahnya—Caca—tampak begitu antusias mendengarkan obrolan antara Biel dan ayahnya. Ia tak dapat menampik jika Biel sangatlah tampan, religius pula, takut akan Tuhan. Seolah sudah menjawab doa-doa ayahnya sendiri yang menginginkan pasangan tulang rusuk yang berasal dari Tuhan.

“Biel,” panggil Pastor Simeon. “Iya, Pastor?”

“Kalau lagi ke rumah gak usah panggil Pastor. Om saja juga enggak apa-apa.”

Biel mengerutkan hidungnya, dia memang begitu kalau malu-malu. “Ah, iya, baik Om Simeon.”

“Nah begitu,” sahut Pastor Simeon menepuk pundak Biel.

“Biel..” Pandangan Simeon kembali terangkat. Tetapi kali ini, pria itu tak langsung menatap Biel, melainkan mengedar ke anak perempuannya sebentar. Wajah sang putri tampak memerah, terlihat begitu bahagia dengan kedatangan anak muda di depannya ini.

“Biel sudah punya pacar?” Pertanyaan yang terlontar dari bibir ayah Caca sontak membuat mata Biel membulat. Seketika, dunianya terombang-ambing karena pertanyaan itu. Biel berdeham sebentar, menjernihkan kerongkongannya yang mendadak terasa gersang. Juga, mempersiapkan jawaban atas pertanyaan tersebut.

“Belum Om.”

Rumah Xavier yang bernuansa putih dan minimalis cukup membuat Regina sedikit terbuai dengan interiornya. Seperti berada di negara empat musim, rumah Xavier memiliki tempat khusus untuk mengadakan api unggun, walau hanya sebagai hiasan. Di sampingnya terpasang pohon natal berukuran yang cukup tinggi. Namun tidak seperti pohon natal pada umumnya, daun pohon natal Xavier berwarna putih seperti salju. Regina dengar, pohon natal itu dipesan khusus dari Eropa oleh kedua orang tua Xavier. Sungguh menganggumkan. Sebab, belum pernah Regina mendapati ada pohon natal yang daunnya dari pinus asli, tetapi berwarna putih.

“Eh, anaknya Pak William ya?” Tau-tau saat baru mau menarik kursi, seorang wanita paruh baya datang menghampiri Regina.

“Iya, Tante.” Regina lekas menyahut, kemudian tersenyum kepada wanita itu.

“Duduk, duduk. Papa Mama nggak ikut? Siapa lagi namanya, Tante lupa.”

“Regina, Tante. Papa Mama nanti nyusul, soalnya masih diluar,” kata Regina.

“Oh, begitu... iya, iya. Kata Xavier, nanti baca renungan kan?”

“Betul, Tante.”

“Oke, nanti biar dikasih Xavier kertasnya. Anaknya masih mandi, ntar lagi kelar paling. Sebentar ya, Gin.”

“Iya, Tante. Nggak papa.”

Regina menjadi tamu pertama yang datang. Sepeninggal wanita paruh baya tadi, Regina langsung menyibukkan diri pada ponselnya. Mengontak Biel yang dari setengah jam lalu sama sekali belum membalas pesannya. Satu menit, dua menit bahkan sampai sepuluh menit kemudian, notifikasi pada ponsel Regina tidak berubah. Belum ada tanda-tanda nama Biel tertera disana.

Regina mengembuskan nafas pelan. Kecewa, lantaran sang kekasih tak kunjung memaafkannya. Entah apa kesalahan fatal yang membuat Biel sampai semarah itu padanya, padahal masalahnya simple. Salah paham, tapi Biel sepertinya enggan mendengarkan Regina terlebih dahulu.

“Oit.” Regina sontak menoleh ketika suara familiar menyapanya dari arah belakang. Kali ini yang cukup mendistraksi Regina bukan suara dari sosok itu, tetapi aroma tubuhnya yang khas. Gimana ya? Wanginya enak. Mirip sekali dengan milik Biel, hanya sedikit lebih bold. Manly banget.

“Eh, Xav.” Regina merespons, segera ia simpan ponselnya di dalam tas, lalu menerima kertas renungan yang dipegang sosok itu, Xavier.

“Udah dari tadi apa baru datengnya?” tanya Xavier, merapatkan bangkunya pada Regina.

“Baru aja. Ini yang mana aja yang harus gue baca?” sahut Regina tanpa menoleh pada Xavier. Dirinya fokus pada selembar kertas yang tadi diberikan oleh lelaki itu.

“Yang ini.” Telunjuk Xavier terarah pada judul renungan tersebut, 'Allah dan Segala Kuasa-Nya di dalam Doa.' Regina refleks tertampar dengan judul itu, ia baru sadar jika belakangan ia sedikit menjauh dari Tuhan. Lebih memprioritaskan Biel, padahal pacarnya sering mengingatkan kalau lebih baik ia mengutamakan Tuhan daripada ciptaan-Nya. Regina tak lagi menyempatkan diri untuk berdoa pagi, dirinya hanya sibuk mengerjakan tugas kampus dan memerhatikan orang yang belum tentu menjadi pasangan tulang rusuknya.

“Gin?” Terlalu lama termangu, Regina sampai tak sadar jika Xavier menjentikkan jari.

“Eh, iya, Xav. Sori-sori, jadi dari atas sini, sampai disini?” Regina bertanya kembali.

“Yep. Gue tinggal sebentar ya, mau bantuin nyokap nyiapin minum buat tamu.”

“Iya, iya silakan.” Usai berkata demikian, Xavier membalik badan, membelakangi Regina yang sedang membaca renungan tersebut. Namun belum ada lima detik lelaki itu melangkah, suaranya kembali terdengar memanggil Regina. “Gin, lupa. Mau minum apa?”

“Eh?”

“Ada jus jambu, lo mau nggak?”

“Nggak usah gak apa-apa. Gue bebas minum apa aja.”

“Bener nggak mau? Muka lo agak pucet deh. Lo nggak lagi sakit kan?”

Regina langsung menggeleng. Dia tak mau memberitahukan kondisi yang sebenarnya. Sebab jika boleh jujur, sebenarnya Regina sedang kurang sehat akibat hujan kemarin. Biel lupa meminjamkan jaketnya saat mengantar Regina pulang. Mungkin Biel lupa Regina alergi dengan cuaca dingin. Tapi kalau dipikir-pikir ulang, masa sih Biel lupa? Pacarnya itu bahkan menghafal ayat-ayat alkitab diluar kepala, masa sekedar alergi dingin yang diidap Regina saja...Biel bisa lupa? Atau kemungkinan terburuknya, Biel memang mulai mengabaikan Regina karena terlalu asyik dengan anak gerejanya.

“Air putih aja beneran, gak mau ngerepotin,” tolak Regina tak enak hati.

“Nggak kok. Kemaren pulang pendalaman iman gue beli dua, Ci Anna sama Koko gue gak suka.”

“Buat nyokap lo aja, Xav. Siapa tau Tante mauu,” kata Regina sekali lagi menolak dengan sopan.

“Nyokap gue ga suka jambu, sukanya strawberry.”

“Bokap lo.”

“Bokap gue udah tenang di sisi Tuhan, Gin,” kekeh Xavier pelan. Regina langsung bungkam saat Xavier mengungkap satu fakta baru tentang dirinya. Aneh sih, padahal Regina juga gak kepingin tahu mengenai seluk beluk keluarga cowok itu, namun saat mendapati wajah Xavier berubah sendu, Regina merasa bersalah karena tanpa sengaja mengorek luka lelaki itu.

“Eh, maaf. Gue gak tau, Xav. Sori banget ya...”

“Gak apa-apa, santai banget. Jadi, mau apa enggak jus jambunya?”

“Boleh deh...” Untuk kesekian kalinya, Regina tak sanggup menolak atau berusaha menjauhkan diri dari Xavier. Padahal tadi ia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mengecewakan Biel. Namun entah dorongan dari mana, Regina malah mendengar kata hatinya dengan bertandang ke rumah Xavier dan menghadiri doa lingkungan.

Untuk pertama kalinya.

Perjalanan pulang Regina dan Biel seketika berubah hampa ketika lelaki itu tak mengucapkan kata apapun saat Regina menyapa.

“Sayang,” sapa Regina lembut dan senyum tulus. Diusapnya lengan Biel, tapi lelaki itu justru mengalihkan pembicaraan dengan sorot mata dingin.

“Siapa yang tadi?” Biel melepas helmnya, wajahnya tetap sama, tanpa ekspresi. Sambil menyodorkan helm kepada Regina, Biel melipat kedua tangannya di dada, seakan sedang menginterogasi perempuan itu.

“Ketua OMK aku, Biel.” Regina menjawab, dari nada bicara Biel yang amat datar, perempuan itu langsung mengerti jika kini sang kekasih tengah merajuk. Biel memang seperti itu. Dia kurang suka jika Regina berdekatan dengan lawan jenis. Cemburuan.

“Cowok? Aku kira cewek,” desis Biel singkat. “Buruan naik, aku masih harus nulis lirik lagi,” kata lelaki itu terdengar tak sabar.

Regina lebih baik mengalah. Kalau sudah gini, nggak ada gunanya juga menjelaskan pada Biel yang masih diselimuti amarah. Lelaki itu akan meninggi jika Regina mencari celah bicara, padahal sesungguhnya, sama seperti Biel yang kalut, Regina juga sedang merasakannya. Ia hanya ingin menjelaskan jika dirinya dan Xavier cuma teman biasa, dan mereka cuma mencari tempat berteduh karena takut kehujanan.

“Biel, dengerin aku dulu...” pinta Regina sungguh-sungguh. Dia tak mau marahnya Biel berlarut-larut, maka ia putuskan untuk menjelaskan apa yang dilihat Biel tadi tidak seperti yang lelaki itu pikirkan.

Perempuan itu sampai mempererat peluknya agar sang kekasih. Setidaknya, pikiran buruk Biel dapat terhenti. Lagipula, Regina mau cari spek yang seperti apalagi, sih? Biel sudah sangat mencakup semuanya. Anak Tuhan, rajin ibadah.

“Gin, jangan gini ah.” Biel menepis tangan Regina hingga membuat gadis itu sedikit tercengang. Pasalnya, Biel yang Regina kenal tidak pernah risih jika dirinya yang memeluk.

“Biel jangan marah... Please?” bujuk Regina putus asa, tapi Biel tetap bungkam dan enggan memberi respon atas usaha Regina.

“Biel..” Sekali lagi, Regina memanggil nama kekasihnya, namun tanpa ia sangka, Biel justru larut dalam heningnya. Membuat Regina termakan ragu untuk kembali memeluk sang kekasih, takut jika ditepis lagi.

Dan begitu motor ninja milik Biel berhenti di depan pagar rumah Regina, cowok itu baru bersedia buka suara.

“Iya, aku tadi lagi bawa motor, ga denger kamu ngomong apa,” katanya datar.

“Ga denger?” Regina mendengus. “Orang tadi kamu ngempas tangan aku, kok bisa kamu ga denger.”

“Gina.” Biel menarik nafas. Sorot matanya terlihat dingin. “Aku lagi capek banget, bisa gak, ga usah dibahas?”

“Iya,” sahut Regina. Sudut bibir gadis itu terangkat untuk melengkungkan senyum. “Aku minta maaf ya, Biel. Tadi marah-marah sama kamu, padahal aku yang salah.”

“Gak apa-apa,” sahut Biel, menepuk puncak kepala gadisnya. “Aku pulang ya, Gin? Maaf banget gak mampir. Chord-nya sama liriknya belum selesai.”

“Iya, Biel. Inget istirahat ya? Jangan begadang terus, mata Biel soalnya cekung. Nanti sakit,” ujar Regina panjang lebar terdengar khawatir. Biel mengangguk usai memasang helmnya, dan sebelum ia menstarter motor, lelaki itu berkata, “love you.”

“Love you too,” balas Regina tersenyum kecil.

Jauh dalam lubuk hati pernyataan 'love you' dari sang kekasih entah mengapa terasa begitu dingin, dan Biel terkesan agak terpaksa saat mengatakannya. Entahlah, mungkin Regina hanya terlalu takut dan berprasangka buruk pada Biel. Bisa jadi kan, Biel memang sedang dilanda lelah saat ini?

“Ujan.” Suara berat dari belakang membuat Regina mengedikkan bahu, ketika ia refleks menoleh, dilihatnya tangan sesosok laki-laki tengah menengadah ke atas. Sosok ini begitu dekat dengannya, ia berdiri mengikis jarak hingga tak menyisakan celah sedikitpun diantara sepatu kets Regina dan sepatu kets milik laki-laki itu.

Regina sontak menggeser kakinya agar ia tak terlalu dekat dengan sosok itu. Ia tahu batasan, ada hati yang harus ia jaga di luar sana. Tidak etis apabila posisi berdiri mereka mengundang pertanyaan dari anak-anak.

“Nih payungnya,” ujar sosok itu tenang. Angin yang berembus kencang serta cuaca dingin menembus kulit membuat wajah Regina menampilkan semburat merah muda. Bukan karena kehadiran sosok di sampingnya ini, melainkan karena ia alergi dengan cuaca dingin.

“Gak pilek, kan? Maskernya dinaikin deh,” kata sosok itu sekali lagi, mengingatkan. Anehnya, Regina tak melayangkan protes apapun. Ia segera melakukan apa yang dikatakan sosok itu. Sepertinya hari ini cukup melelahkan untuk seorang Regina, sampai-sampai dirinya tak keras kepala seperti biasa.

“Iya, thank you udan ngingetn. By the way, Xav.”

“Hmm?”

“Baju sama rambut lo basah,” ujar Regina memberitahu. Lelaki itu mengikuti arah netra Regina yang berakhir pada bahu bidangnya.

“Nggak papa, santai. Ntar juga kering. Cowok lo udah dimana?”

Astaga! Regina sampai lupa mengecek ponselnya karena terlalu fokus merevisi susunan acara yang diminta Hazel. Ia pun bergegas mengambil ponselnya dari dalam tas selempang.

Seketika ekspresi Regina benar-benar berubah. Yang tadinya masih terlihat ramah, sedetik kemudian, Regina tampak menahan marah. Seolah-olah ada sesuatu yang terjadi pada perempuan itu.

“Xav, gue duluan ya.”

“Gue anter sampe depan.”

“Jangan, Xav. Nanti cowok gue marah,” larang Regina gemetar.

“Kenapa mesti marah?” tanya Xavier bingung. Alih-alih mendapat jawaban, Xavier malah dibuat heran oleh sikap gadis itu. Tanpa ucapan terima kasih dari bibirnya, Regina meninggalkan Xavier tanpa sepatah kata.

Terlambat

“Makasih ya, Pak.” Regina buru-buru melepas helm yang terpasang, bahkan sebelum kakinya menapak di tanah. Pandangannya terarah pada sunyinya lapangan Gereja Santo Damianus, yang menjadi penanda bahwa kemungkinan rapat OMK telah dimulai.

Nafas Regina sedikit tak beraturan, karena langkahnya tergesa-gesa. Ia berlari kecil, memasuki gereja, kemudian segera menuju ke ruang aula Santa Theresia.

Regina merutuk pelan dalam hati, dan air mukanya terlihat sedih, kalo aja tadi Biel ngabarin, gue kan ga nunggu dia jemput.

Belakangan Regina memang merasa ada sesuatu yang mengganjal tentang sang pacar. Tidak, ia bukan menuduh Biel selingkuh, hanya saja waktu Biel untuknya semakin berkurang. Regina begitu menaruh percaya pada Biel. Dia sosok yang lembut dan setia. Anak Tuhan, pula. Tidak mungkin seorang Biel bermain di belakangnya, kan?

Biel yang dulu, saat baru jadian, selalu menyediakan waktu bagi Regina. Apapun kendalanya, cowok itu akan memprioritaskan Regina terlebih dahulu. Bahkan, rela mengantar Regina ke gereja, walau ia tidak ikut misa. Tapi sekarang...Biel perlahan-lahan berubah. Ia lebih memilih menghabiskan waktu untuk pelayanan di gerejanya.

Regina tidak ingin bersikap egois atau terlalu kekanakan, walau tahu dirinya agak manja. Apalagi Biel pelayanan untuk Tuhan. Masa iya, Regina tega membatasi kegiatan Biel, yang mempersembahkan dirinya demi Kemuliaan Allah?

Maka, gadis itu berupaya menyingkirkan segala pikiran buruknya tentang Biel. Meletakkan kembali rasa percayanya pada sang pacar dengan mendoakannya dalam hati agar kegiatan Biel selalu lancar dan menjadi berkat bagi orang-orang di sekelilingnya.

“Jadi berdasarkan arahan Xavier, nanti kalian akan berkoordinasi dengan tatib, begitu? Susunan acaranya sudah baik. Hanya perlu di-remind kembali untuk keamanannya, mengingat saat malam natal pasti umat banyak yang datang,” ucap Romo Doni saat memeriksa keseluruhan rundown acara natal Muda-Mudi.

“Baik, Romo,” sahut Xavier sigap.

“Ini...Humasnya gak ikut rapat apa gimana? Kok belum dateng jam—”

“Selamat sore, Romo.” Suara pelan yang berasal dari arah pintu membuat anggota OMK di Aula sontak menoleh kepada seorang perempuan.

“Maaf Romo,” ujar perempuan itu. “Saya terlambat, tadi ojek online-nya cancel semua.” Entah mengapa di telinga para anak OMK, suara perempuan berambut hitam legam ini terdengar sangat gemetar. Seolah ketakutan akan sesuatu.

“Iya, enggak apa-apa. Lain kali jangan terlambat lagi,” kata Romo Doni, mengangkat tatapannya sedikit ke arah sang perempuan. “Kamu... Humasnya ya?” Romo Doni kembali bertanya.

Perempuan dengan kulit seputih susu itu mengangguk. “Benar Romo, saya Regina.”

“Oh, kalau gitu, nanti tolong bantu juga di bagian perlengkapan. Just to make sure kalau ada alat yang kurang saat acara,” ujar Romo Doni.

“Siap Romo,” sahut Regina cepat.

“Koordinasi lebih lanjut bisa ke Xavier dan tim ya, Regina. Saya tinggal dulu. Ada kunjungan ke Panti Jompo Cinta Kasih.”

“Baik Romo, terima kasih sudah mendampingi rapat,” ucap Xavier, mengantar sang Imam meninggalkan ruang aula, selaku ketua OMK.

“Kalau dari Frater Tarci, ada tambahan lagi nggak?” Hazel angkat suara. Melihat rekan pelayanannya tengah mengantar pastur paroki, dialah yang menggantikan.

“Kalau dari saya...” Frater Tarci berdeham sebentar, melirik susunan acara yang tertera di kertas yang ia pegang. “Gak ada sih. Cuma pastikan saja saat acara natal nanti, untuk nyebar ke titik-titik yang udah diatur sama tatib, biar kalian bantunya juga enak. Gak tabrakan sama petugas tatib maupun panitia gereja. Makasih ya teman-teman atas waktunya. Tuhan berkati,” tutup Frater Tarci, melempar senyum pada Hazel, Fabian, Edrigo, dan Rafael. Begitu juga dengan Regina, Phanie dan Della.

“Baik Frater. Nanti saya sampein ke Xavier,” jawab Hazel, mengacungkan jempol. Bertepatan dengan berdirinya Frater Tarci, Xavier kembali ke ruangan. Matanya menyorot satu per satu teman sepelayanannya.

“Udah selesai, ya? Thanks banget, Frater.”

“Siap, siap, Xav. Btw, ingetin lagi ke temen-temen kamu, supaya lebih disiplin kalau dalam rapat. Untung Romo Doni lagi mood hari ini,” ucap Frater Tarci mengekeh. Xavier mengangguk paham. Ia tahu betul sifat tegas Romo Doni yang paling anti dengan keterlambatan.

“Siap, Frater. Aman itu,” kata Xavier. Setelah berucap demikian, kini anggota OMK kembali duduk di kursi panas. Dimulai dari Hazel yang tak lain adalah wakil Ketua OMK, cowok itu bergegas memeriksa kembali rangkuman meeting panitia barusan. Sedangkan Regina menarik kursinya pelan di sebelah Phanie dan Della. Dua sobatnya itu menyenggol lengan Regina pelan.

“Tumbenan, Gin.” “Hhh... Biel gak jadi jemput, terus telat ngasih tau guenya,” bisik Regina takut-takut.

“Gin.” Suara dalam itu berhasil membuat bahu Regina terangkat. Rupanya, Xavier telah berdiri dengan posisi tangan yang bertumpu di ujung meja. Netra cowok itu terpatri jelas pada manik mata bulat milik Regina.

“Sori ya, temen-temen, gue telat. Maaf banget, lain kali...”

“Nggak papa, sih. Cuma kayaknya lo harus izin di grup lain kali, kalau telat kayak tadi,” peringat Xavier.

“Iya, Xav. Nanti gue kabarin di grup,” respons Regina.

“Oke, deh. Just to remind aja, Gin,” ucap Xavier sebelum cowok itu benar-benar berbalik badan.

“Iya, Xav. Paham,” ujar Regina lagi tanpa menoleh ke lelaki itu. Bukan tanpa alasan, namun karena tiba-tiba saja wangi Xavier mengingatkannya pada wangi Biel. Parfum mereka sepertinya sama, dan hal ini membuat Regina termangu seketika. Entah mengapa, ia jadi tak ingin mengingat aroma tubuh Biel. Ada sesuatu yang kembali mengganjal hatinya, hingga perempuan itu cuma bisa terdiam.

“Gin.” Hazel memanggil. “Gue mau nanya deh,” katanya kemudian.

“Ya?” jawab Regina. “Yang rundown itu kan bakalan ada perform nari ya, dari temen-temen, kalau ganti bajunya lima menit, apa nggak terlalu singkat waktunya? Kasih waktu agak lebih kayaknya masih oke,” ucap Hazel memberi saran.

“Iya, boleh. Kemaren gue nanya sih sama Stella, mereka biasanya butuh berapa lama untuk ganti baju. Karena kan riweh, Zel. Ada yang butuh make up juga. Kata Stella paling cepet lima menit, karena masih ada kata sambutan dari Xavier dan Romo Doni,” kata Regina menjelaskan.

Hazel mengangguk paham “Kalo dari anak tarinya udah oke, berarti no probs, sih.” Regina mengiyakan. “Aman ya berarti?” Hazel mengacungkan jempol, mengisyaratkan jika kerja rekannya itu sudah benar. Lain lagi halnya dengan Xavier. Ia cukup terkejut saat mendengar jika dirinya harus memberi kata sambutan dalam acara natal nanti. “Lo aja, Zel.”

“Enggak, ah. Lo kan ketuanya,” tolak Hazel mentah-mentah.

“Anjir.” Xavier mengelus dada, mendadak kalut saat ia dipercaya oleh teman-temannya memberi kata sambutan.

“Bisa, Xav. Bisa.” Regina memberi semangat. Perempuan itu sempat menemukan kegamangan dalam tatap Xavier, seolah tak yakin pada dirinya sendiri.

“Iya, bener. Lo bisa. Kalo gak ngapain dari jaman masih jadi PaPi kita milih lo jadi ketua?” Edrigo turut memotivasi.

“Ya deh, semoga nggak salah ngomong aja gue entar,” tutup Xavier, menyambar tas ranselnya kemudian keluar aula.

“Cabut yuk, entar lagi misa. Gue mau ke Goa Maria dulu,” ajak Xavier, melongokkan kepala dari balik pintu.

“Ngapelin putri altar lo yaaaa?” ejek Rafael mengedipkan mata.

“Iya tuh, biar ga skip doa angelus,” tambah Edrigo cekikikan.

Bibir Xavier mengerucut, sadar kalau teman-temannya sedang mengolok dirinya perihal cuitan di akun Twitter pribadinya.

“Hahahaha, malu dia,” ujar Hazel tertawa puas. Kalau Hazel yang meledek, jangan harap Xavier akan mengacuhkannya. Cowok itu berbalik badan dan langsung meremas telapak tangan Hazel sampai ia menjerit minta ampun.

“Tenaga lo terbuat dari apa sih anjir!” Hazel yang setengah berlutut menahan sakit, mengibaskan tangannya.

“Ampun gak lo? Mulut lo comel banget,” tanpa peduli, Xavier makin mengeraskan remasannya.

“Santa Maria Bunda Allah!!!” Hazel berteriak karena tak kuasa menahan sakit.

Semua sontak tertawa melihat tingkah ketua dan wakil OMK itu. Termasuk Regina yang merasa terhibur melalui candaan teman-teman se-gerejanya. Gurauan mereka berhasil menyingkirkan pikiran negatifn Regina tentang Biel.

Langkah tergesa-gesa dapat terdengar dari sepatu belel seorang lelaki berkacamata. Mukanya panik, nafasnya tak teratur. Lelaki yang mendapat julukan “si kutu buku” dari teman-teman sekampusnya itu menerobos orang-orang yang sedang berkerumun di depan mading kampus. Raut wajah sosok ini terlihat getir namun juga sendu disaat yang bersamaan, setelah membaca pengumuman yang tertempel di dinding.

Syahvina, si cantik dari Sastra Inggris di drop out oleh Rektor Universitas, Bapak Sastro Djuwono, setelah kedapatan menunggak uang kampus selama satu setengah tahun.

Netra lelaki yang akrab disapa Jamal itu terhenti disana. Nanar. Sulit ia percaya jika kemarin ucapan Vina ternyata berkebalikan dengan pengakuannya. Melalui pesan Whatsapp-nya, Vina bilang ia pulang ke Jogja karena urusan keluarga. Tetapi kenyataannya, Vina justru dihina dan dikucilkan oleh mahasiswa lain. Jamal membeku. Sebagai lelaki yang memiliki perasaan mendalam pada cewek itu, ia merasa tak berguna. Gundah menerpa, namun tak banyak yang bisa Jamal perbuat untuk sang Dewi Fortuna.

“Mal.” Jamal seketika menoleh saat merasakan bahunya ditepuk oleh seseorang. Lauren, salah satu teman Vina rupanya. Perempuan dengan gaya boyish itu memandang Jamal dengan tatapan sedih.

“Hampurasun ya, Loren,” sesal Jamal. “Aing gagal ngejagain Pina.”

Lauren menggeleng, “Nggak, Mal. Lo udah ngelakuin banyak hal untuk dia. Tapi ya...” Lauren menjeda omongannya sebentar, lalu mengembuskan nafas berat, “lo tau kan, tuh anak emang batu kepalanya? Kalo kata gue, dia gak maksud jutek sama lo, Mal. Dia cuma malu.”

Mendengar penjelasan Lauren yang sudah pasti jauh lebih mengenal Vina ketimbang dirinya, Jamal berusaha menerima kenyataan pahit ini dengan lapang dada. Meski ia tak memungkiri, kini dadanya bergemuruh perih. Ingin rasanya ia berlari memeluk Vina seerat mungkin, setidaknya agar bahu Vina yang ternyata menanggung beban berat, dapat berkurang.

“Mal.” Kembali, Lauren mengangkat pandangannya ke arah Jamal. Melihatnya lurus-lurus. Perempuan itu kemudian mengeluarkan sebuah buku catatan yang sangat familiar untuk Jamal.

“Kemaren Vina nitip ini,” ujar Lauren.

“Hatur nuhun-nya, Loren,” balas Jamal, menunduk pedih.

“Sama-sama. Semoga lulus tepat waktu, kata Vina.”

Jamal tidak menjawab ujaran Lauren yang menyampaikan pesan dari Vina. Lelaki itu cuma memberi jawaban lewat sorot mata nanar khasnya. Sebab hari itu menjadi hari paling kelabu bagi seorang Jamal.