noonanya.lucas

Tangis Aidan menyambut kedatangan saya dan memecah keheningan seluruh unit. Matanya sembab dan beberapa memar di bagian siku terlihat, karena anak itu membanting tubuhnya setiap sedang tantrum.

“Den Idan tadi pagi bangun langsung ke kamar Bapak dan Ibu, terus keluar-keluar nangis. Pas saya liat ke lemari pakaian Ibu, bajunya udah enggak ada semua, Pak...Abis itu, Den Idan nangis gak berhenti-berhenti,” tutur Erna pada saya. Bahkan ketika saya sampai di rumah tangis Aidan yang semula hanya senggukkan langsung berubah menjadi raungan.

“Dan, sini sama Papi, kita cari Mamah ya?”

“MAMAAAAAAAAAAAAAAAH!” Tangisnya pecah. Saya lantas menggendong Aidan, lalu bergegas mengambil kunci mobil.

Sudah satu kota Jakarta saya singgahi, namun Mentari tak kunjung saya temukan. Ponselnya mati, begitu juga dengan Chanting, sahabatnya. Setahu saya jika pergi diam-diam seperti ini, Mentari hanya akan pergi ke kos-kosan sahabatnya itu. Namun ketika saya tiba di sana, rumah sepetak Chanting kosong tak berpenghuni.

Saya terduduk lemas di dalam mobil, menatap Aidan yang terlelap dalam pandangan redup. Tangan saya terulur untuk mengelus rambut hitamnya.

“Maafin Papi, Aidan. Papi jahat sama Mamah kamu,” ucap saya pelan.

Saya terdiam sembari menatap jalanan kosong di depan, merenungi keputusan tak terduga yang Mentari sampaikan pada saya.

Saya memang sempat berpikiran untuk berpisah darinya beberapa hari yang lalu. Namun setelah saya pikir-pikir ulang, saya enggan melakukannya. Saya hanya ingin memberikan waktu pada Mentari agar ia dapat berpikir jernih dan fokus pada pemulihannya.

Tetapi ketika saya membalas segala ucapan Mentari di pesan Whatsapp, saya sadar bahwa kata-kata saya kembali menyakitinya. Saya berbohong padanya dengan bilang bahwa saya masih mencintai Kirana.

Saya hanya ingin menyampaikan betapa saya tidak pantas untuk menjadi suaminya, dan ingin memberikannya kesempatan untuk beristirahat dari kami berdua.

“Mamaaah...” Aidan terbangun dan rupanya ia masih mengingat Mentari yang tak kunjung kami temui seharian ini.

“Idan mau sama Mamah, Pi...” “Iya... Mamah belum ketemu, Dan. Kita cari besok lagi ya? Udah malem, Idan belum makan dari pagi. Mekdi mau?”

“Nanti Mamah marah kalo Idan makan mekdi terus,” katanya.

“Idan gak mau makan kalo Mamah belum di rumah,” rajuknya pada saya. Saya sontak menggaruk kepala. Aidan selalu seperti ini jika bukan Mentari yang menyuapnya.

“Makan dulu biar besok kuat cari Mamah, ya?” coba saya sekali lagi. Tapi hasilnya nihil, Aidan menggelengkan kepala.

Tiga minggu sudah berlalu, sejak Mentari mengalami kesurupan hebat. Kondisinya membaik, meski terkadang wajahnya terlihat murung. Begitu banyak yang berkecamuk dalam dadanya, kemungkinan besar karena saya.

Itu sebabnya setiap pulang, saya memilih tidak mengajaknya bicara. Saya takut jika saya salah berkata, Mentari justru didatangi Mentari. Saya seperti ini untuk kebaikannya.

Malam ini saya sengaja minum bersama anak kantor supaya ketika pulang, saya bisa langsung tidur. Tapi nyatanya, Mentari menunggu saya di ruang tamu. Sambil menahan pusing yang begitu hebat, saya berusaha mengacuhkannya, namun Mentari mencegat.

“Mas, kamu nggak papa? Ke kamarnya sama aku, ya?” Lembut suaranya makin membuat saya benci terhadap diri sendiri.

“Gak perlu,” balas saya sengaja. Tetapi Mentari enggan berpindah, ia justru mengamit lengan saya dan menuntun ke kamar.

Saya berbaring di ranjang, sedang Mentari sibuk membukakan sepatu dan jas kerja yang saya kenakan hari itu. Wangi floral yang lembut khas Mentari yang menembus penciuman saya, membuat saya terbayang ketakutan yang sama dengan perempuan itu.

Apa saya siap meninggalkan semuanya? Apa saya sanggup melihat Aidan kehilangan kebahagiaannya?

Pertanyaan itu terus berputar dalam kepala hingga kadang-kadang saya merasa hancur karenanya.

“Sayang.” Dia telah menunaikan tugasnya sebagai istri dengan baik, tidak seperti saya the worst husband untuknya.

“Kamu udah gak mau ngobrol sama aku lagi ya? Bosen? Atau... kamu gak bisa terima kondisi aku?”

Bagian dimana ia bilang bahwa saya tak dapat menerima kondisinya adalah salah besar. Justru karena kondisi itulah yang membuat saya harus melepasnya. Dia begini kan karena kebodohan saya. Dia tidak salah, yang bajingan disini saya.

Saya hanya diam dan memilih untuk mendengarkan semua isi hati yang ia sampaikan.

”...Aku gak mau pisah sama kamu, Mas. Sebut aja aku bodoh, tapi aku udah cinta sama kamu...”

”...Mungkin kamu belum...bisa sepenuhnya bales perasaanku, tapi aku beneran gak mau kehilangan kamu.”

”...Nanti kalau aku di ruqyah, aku pergi sendiri aja ya? Gak usah ditemenin sama kamu, aku gak mau kamu liat keadaan aku kayak kemaren, kondisi aku lagi hancur. Aku bisa hadapin ini sendirian.”

Sesudah berucap demikian, Mentari terlelap. Giliran saya yang membalas semua ucapannya barusan.

“Saya temenin, Ri. Maaf kalau selama kamu menikah sama saya, saya selalu nangisin kamu, saya gak mau kamu gini terus. I want you to stay alive.”

Saya akhiri perkataan saya dengan memeluknya erat, mengecup bibir serta keningnya agak lama. Karena esok dan seterusnya, kisah kami hanya akan menjadi kenangan.

Nggak banyak yang diucapkan Jordy padaku begitu ia sampai di kamar. Ia hanya berbaring di sampingku dengan tatapan yang terarah kepadaku. Aku menemukan ada rasa bersalah dari binar matanya.

“Sayang...” Tangisku tak terbendung, membuncah hebat kala Jordy membalik badannya menghadapku. Jordy tetap dalam bungkamnya, cuma tangannya saja yang bergerak mengaitkan peluknya padaku, erat.

“Udah, Ri. Istirahat. Inget kata Pak Ustad, kamu gak boleh inget-inget lagi, nanti kepancing.”

Mungkin aku terlalu mengenal pribadi Jordy meski usia pernikahan kami baru sebentar, aku tau raut wajah yang terlihat tenang itu menyampaikan berjuta makna. Pertama, ia menyesal, yang kedua—ia khawatir, dan ketiga—merasa bersalah. Dia cuma menyembunyikannya lewat nada lembut dari bibirnya serta kecupan ringan pada bibirku.

“You'll be fine, Sayang.” Mata coklat susunya beradu pandang denganku dalam binar teduh.

“Makasih...” Aku mempererat pelukku.

Kami diam sejenak setelah itu, membiarkan pikiran kami berkelebat dengan racauan masing-masing, tapi aku sangat menikmatinya. Walau kami tak saling bicara, namun sentuhan yang Jordy berikan sangat membuatku tenang.

“Sayang.” Aku menjadi lebih banyak bicara darinya hari ini, entah mengapa aku hanya ingin melakukannya.

“Iya, Ri?”

“Jangan berubah pikiran lagi ya, Mas?”

Ia tampak terkejut. “Are you scanning me just now?”

Aku si paling payah dalam bahasa inggris hanya melongo. “Maksud saya, kamu baca pikiran saya atau gimana?”

“Ngaco. Aku gak bisa kalo yang itu. Cuma gak tau kenapa... aku takut gak akan bisa liat kamu sedeket ini lagi. Aku takut, Mas.”

“Gak usah mikir gitu-gituan, kalau kamu gak bisa liat saya sedeket ini, kan bisa vidcallan.”

“Jadi... kamu mau pergi?” Dia kok panik ya? Dengan gelagapan, ia menjawab. “Ng.. Enggak, Ri. No. Kalo lagi capek gini, saya suka ngawur. Dah tidur, besok pagi kita ngobrol lagi.”

Aku mengangguk meski pikiranku berisik sendiri. Mataku terpejam, tapi satu yang kusadari berubah dari Jordy—bahwa—kaitannya di pinggulku terlepas. Bahkan bukan cuma itu...cincin pernikahan kami yang selalu melekat di jari manisnya pun tak terlihat di pandanganku.

“Ri.” “Hmm?”

“Promise me something?” “Apa?”

“Be happy.” Tangisku nyaris pecah kembali.

“Aku akan hepi-hepi aja asal kamu dan Aidan yang megang tanganku. Inget gak kamu aku pernah bilang gitu?”

“Saya belum tua-tua banget kali, inget saya.”

“Kalo inget, kapan emang aku ngomongnya?”

“Pas kita lagi argued,” jawabnya dengan suara sepelan mungkin.

“Kamu lupa berarti.” Aku berkata pedih.

“Kenapa cincin nikah kita kamu lepas, Mas?”

Ia langsung berbalik menghadapku kembali.

“Just remember, at any circumstances we face, you'll be here. Forever.” Jordy meraih tanganku dan meletakkannya di atas dada kiri. Sayangnya kemampuan Jordy berbohong sangatlah payah. Mau seperti apa ia mengeluarkan kalimat rayuan, aku tahu ia cuma berpura-pura melakukannya.

Yang terus terngiang-ngiang dalam pikiran saya cuma satu.

Pak Ustad bilang, Mentari bisa tak tertolong jika suatu saat kejadian ini terulang.

“Kamu udah tau, kalau weton kalian bentrok?”

Ia menghisap rokoknya dalam-dalam saat saya mengangguk.

”...Ya, salah satunya juga karena itu, tapi di sini saya tegaskan, semua terjadi atas izin Allah. Kalau Allah berkehendak, semua yang kalian alami cuma cobaan.”

Raut wajah Beliau tampak kusut, seakan meyakinkan saya bahwa jalan saya dan Mentari sedari dulu sudah berbeda.

Saya...harus melepas Mentari apabila ingin melihatnya selamat dan tetap hidup. Saya tidak akan membiarkan Kirana terus mengganggu Mentari hanya karena belum rela pergi dari hidup saya dan Aidan.

“Mendiang istrimu... melakukan perjanjian dengan dukun yang ditugaskan Andini. Mereka mengimingi-imingi rumah tanggamu berantakan dan kalian berpisah,” lanjut Pak Ustad ketika acara pembersihan rumah dan Mentari selesai.

Pandangan menerawang Pak Ustad kemudian terarah pada saya, “perjanjian itu gagal, Jor. Karena leluhur Mentari yang merupakan keluarga terpandang di Yogya membantu. Kasarnya, tadi Mentari selamat itu atas bantuan yang tak kasat mata...”

Beliau menghisap sisa puntung rokoknya yang terakhir, “Walaupun Mentari udah keliatan normal, bukan berarti semuanya sudah selesai... Perjalanan Mentari untuk sembuh masih panjang.”

Itu berarti jika saya terus berada di sebelah Mentari, Kirana juga akan berada di sekitar kami. Kapapunpun Kirana mau berkomunikasi dengan saya dan Aidan, ia akan mengganggu Mentari.

Saya dan Pak Ustad saling diam beberapa detik, kepala saya tertunduk pilu. Bahkan untuk menoleh dan bicara dengan Beliau-pun saya tak sanggup.

Saya takut apabila Pak Ustad membahas sesuatu yang paling tidak mau saya dengar dan hadapi. Terdengar seperti pecundang remeh, namun kenyataannya memang begitu.

”...Kamu siap dampingi selama pengobatannya?” Pak Ustad akhirnya menatap saya dengan raut wajahnya yang terlihat ragu.

“Saya siap, Pak Ustad. Saya akan ngelakuin apapun asal Mentari bisa sembuh dan tetap hidup,” jawab saya cepat.

Beliau tersenyum tipis, “kamu yakin cinta sama Mentari?” Lalu ia menggelengkan kepala.

”...Maksud Pak Ustad?”

“Coba inget-inget lagi, apa yang kamu lakuin sebelum kamu menikah sama dia.”

Lagi-lagi saya cuma bisa diam sembari menatap Pak Ustad dengan wajah redup.

“Harusnya kamu enggak melakukan itu, Jor. Kalau emang belum bisa lupa, jangan dipaksa. Meskipun semestamu sudah mati, tapi raganya tetap di sini...”

Segala kepercayaan diri saya luluh lantah kala Pak Ustad menghantam saya dalam satu kalimat. Saya..memang sepayah itu dalam hal mencintai. Saya tidak seberani Aidan dalam hal menunjukkan kasih sayang, kalau nyakitin, saya mungkin menang bawa piala. Beliau sekali lagi menoleh ke saya lalu melanjutkan ucapannya,

“Ikhlaskan Kirana pergi dari dunia ini, karena tempat dia udah bukan di sini...”

Sekarang saya sadar mengapa setelah beberapa bulan menikah dengan Mentari, kami selalu bertengkar.

Kata Pak Ustad, Mentari terkadang tidak sadar bahwa alam pikirannya dikuasai Kirana. Ada beberapa kali ia selalu berperilaku seperti Kirana, nggak jarang Mentari juga kesal bila saya melakukan kesalahan terlebih jika alasannya karena Kirana.

“Pikirkan baik-baik, Jor. Kalo memang kamu sangat mencintai Mentari, tunjukkin ke dia. Kalo masih bimbang... kamu harus membuat keputusan yang tepat dan baik untuk kalian berdua..”

Saya mengangguk dan belajar menerima semua masukan Pak Ustad. Namun setelah Beliau beranjak meninggalkan saya di ruang depan, pikiran saya bercabang.

Ada perasaan ingin mempertahankan Mentari karena saya yakin betul bahwa sekarang saya benar-benar mencintainya...tapi di sisi lain, saya ingin ia selamat dan tetap hidup karena bertaruh nyawa untuk saya dan Aidan.

“Paklik, jangan bercanda. Tolong Mentari, Paklik. Tolong...” tangis saya pecah begitu saja. Saya dekap tubuh Mentari dari belakang seraya memberi elusan pada puncak kepalanya. “Ri, pulang, Sayang. Inget Aidan, inget saya, Ri... Pulang...”

Saya terus mengucapkan kata-kata itu, mencoba menyalurkan affirmasi padanya dengan harap Mentari tidak akan meninggalkan kami selamanya.

“Njenengan ini kok yo ngeyel? Opo ndak tau, kalau sukmane arek iki wis dadi milikku. Bojomu neng ngarep wis dadi boloku, de'e njaluk kowe karo arek iki pisah. Sakjane bojomu sing anyar entar lagi tak nikahi sekalian.” (Kamu ini maunya apa, dibilangin kok susah? Apa nggak tau kalau sukmanya perempuan ini udah jadi punyaku? Istrimu di atas sudah jadi orangku. Dia ingin kalian berpisah. Istrimu yang baru sebentar lagi juga bakal aku nikahi.)

Suara itu...suara serak yang pernah saya dengar sewaktu Mentari menanduk-nandukkan kepalanya, juga melipat tangan di depan dada. Apa ini sosok yang sama? Ditengah tengarai saya menerka, kepala saya tiba-tiba dibuat pusing oleh bau busuk menyengat yang mengitari sekeliling kami.

“Jangan ganggu Mentari lagi!” Bulik Ratih mengancam. Ia mendekati Mentari kemudian mengusapnya sebanyak tiga kali dengan tasbih di tangan. Tubuh Mentari ternyata langsung bereaksi. Dalam dekapan saya, suhu badannya mulai terasa hangat, namun tidak demikian dengan jeritan serta tawa melengkingnya yang menggelegar.

“Yang masuk dan ngikut Mentari ada tiga, Jordy. Kirana, dan dua lagi adalah suruhan orang.” Paklik memberitahukan dengan nada tenang, tapi buat saya informasi itu bagaikan bumerang.

“Suruhan orang?” Dahi saya mengernyit dalam. Paklik memandang saya dengan raut wajah menerawang.

“Ya.” Ia menepuk pundak saya kemudian. “Kamu sudah mengenal orang itu sebelumnya. Mungkin pernah ketemu.”

Tentu saya tidak perlu menerka terlalu lama, begitu Paklik memberi kode atas sosok yang ia bicarakan, otak saya segera mengingat perempuan yang disebutkan Paklik.

Andini, ibu tiri Mentari dan ibu kandung Dhea. Beliau bahkan menjual Mentari pada seorang pejabat daerah hanya gara-gara utang yang ditinggalkan ayah mertua saya.

“Asal kamu tau, Jordy...” Saya melirik Paklik serius.

“Papanya Riri, alias kakak kandung Ratih meninggal dengan cara yang gak wajar. Dan kamu pasti tau siapa pelakunya...”

Tegukan saliva saya semakin dalam setelah tahu fakta ini.
Pantas... dia pernah menelepon saya hingga dua belas kali saat dulu kami belum menikah. Hal itu ia lakukan tanpa sadar, karena mungkin ia sangat merindukan papanya.

“Maaf kalau saya lancang, Paklik, karena Riri gak pernah cerita soal ini ke saya... Jadi papanya Riri meninggal...?”

”...Wallahualam Jordy, kakak ipar saya meninggal dengan cara gantung diri.”

Saya lagi-lagi cuma bisa tertegun mendengar penuturan Paklik. “Kata Ratih, Beliau sering dengar bisikan yang nyuruh Beliau untuk mengakhiri hidupnya.” Nafas saya tercekat, mengingat mimpi-mimpi saya yang berkaitan dengan penjelasan Paklik. “....Riri menyaksikan sendiri peristiwa mengerikan itu. Riri masih seusia Aidan waktu kakak ipar saya meninggal dan... ya seperti yang kamu tau, Riri dan papanya sangat dekat, Jordy. Kami sekeluarga sangat khawatir Andini memang sudah ngerencanain ini dari lama...”

Saya makin tak berdaya saat Paklik menceritakan semuanya, bayang-bayang kepergian Kirana juga Mentari yang masih belum kembali ke tubuhnya tiada henti menghantui. Saya benar-benar takut jika Mentari tak akan selamat.

Sebab setelah tiga jam Bulik Ratih berjuang, Mentari tetap sama. Teriakan histeris dan tawa melengkingnya tetap bergema, membuat telinga menjadi pekak seketika. Belum lagi bobot tubuhnya yang tak masuk akal. Saya seperti tengah menopang sepuluh orang.

“Aku njaluk arek iki... Arek iki wis dadi milikku. Dia ndak isa balik....” Sosok itu memberontak lalu menjulurkan lidahnya pada saya, sedangkan Bulik Ratih mengusapkan air yang telah dibacakan doa pada wajah dan tubuh Mentari.

“PANAAAAS!” Ia berteriak, lalu membanting diri ke lantai. Dahinya tak lama membiru karena sosok itu membenturkannya terlalu keras. Saya menempelkan telapak tangan di lantai, namun sosok itu justru mencari lantai lain untuk membenturkan kepala Mentari.

“Ngomong! Kamu dijanjikan apa oleh dukun itu!” cecar Bulik Ratih.

Sosok itu tertawa cekikan, “bayi...darah, dan rahim yang rusak.

Saya hancur mendengar kekehan sosok itu. Siapapun dia yang mengisi jiwa Mentari, mau Kirana atau bukan, saya sangat tidak terima dengan kelakuannya.

“Na, kenapa tega, Na...” Tangis saya tak lagi dapat terbendung.

Namun sedihnya saya ternyata tak berarti di mata Kirana. “Tega? Kenapa aku harus peduli sama laki-laki pembohong seperti kamu?! Kamu datang ke rumahku saat kamu mau menikah dengan sundal ini, tapi sekarang kamu nuduh aku tega? Apa kalian gak mikir aku sangat merindukan anakku, Idan?!”

”...Aku juga ingat persis, kamu...nangis dan bilang kalau kamu ga akan pernah lepas cincin pernikahan kita! Tapi kamu malah simpan cincin itu di lemari!”

”...MAKANYA AKU DENDAM SAMA PEREMPUAN INI! AKU UDAH GAK PEDULI APA YANG DUKUN ITU JANJIKAN SAMA AKU! AKU HARUS BAWA AIDAN PERGI DAN IKUT DENGANKU!”

“Nggak bisa!” bentak Bulik Ratih. “Kalian beda alam! Kalau kamu bawa Aidan, sama saja kamu bunuh anakmu sendiri!”

“Kamu harus ikhlas, Kirana. Tempatmu bukan di sini lagi.”

Tangisnya pecah. “Aku nggak akan pernah ikhlas Od—” Bulik Ratih mengusap wajah Mentari dengan air yang telah dibacakan doa, dan setelah itu tubuhnya menghangat. Tapi sayang hanya sebentar. Tiba-tiba ia menghentakkan tubuhnya seperti orang kepanasan.

”...RATIH!!! Tak pateniiiiiiii kowe!” Mentari lepas kendali, wajahnya berang. Ia mencekik leher Bulik Ratih hingga Bulik terbatuk-batuk.

Saya hanya bisa menahan Mentari dari belakang sambil mengikuti arahan dari Paklik. “Panggil Riri terus agar dia bisa kembali ke badannya.”

“Ri, inget...Aidan. Aidan kangen sama kamu, Sayang. Inget... Balik sini. Saya peluk... Pulang, Ri...”

Mentari akhirnya melepas cengkramannya dari leher Bulik Ratih, ia terkulai dalam dekapan saya.

“Mas.... sakit...” “Lawan, Ri. Lawan. Jangan diikutin maunya—”

“Maafin aku Mas... Aku sayang kamu...Aku sayang sama Aidan... tapi Mba Kirana marah kalau aku tetep disini...”

“Ri, please? Tolong, jangan pergi, Ri. Saya cinta sama kamu, saya sayang sama kamu, Mentari,” bujuk saya sambil menangis. Ketika saya berkata demikian, Mentari meremas perutnya sendiri lalu dia mulai berteriak histeris lagi, “KAMU HARUS MATI!!!!!”

Mentari terus memukul dan meremas perutnya berkali-kali, namun saya tidak membiarkan Kirana menyiksa Mentari terus-terusan. “Kirana, aku minta maaf kalau akhirnya aku ga nepatin omonganku ke kamu. Tapi aku sudah ikhlas kamu pergi... Mentari jaga dan sayang sama Aidan seperti anaknya sendiri... Tolong, Na, jangan nyakitin orang lain...”

”...ka..mu...ba...jing...an,” terakhir sebelum Mentari menutup mata, daksanya menyorot saya intens.

“Pergi yang tenang di alammu.” Bulik Ratih datang bersama seorang Ustad yang mengusap kedua mata Mentari pelan-pelan.

“Andini, jangan sembunyi kamu. Kalau dulu saya kecolongan saat nolong Aiman, tapi sekarang tidak sama.” Ustad itu berkata kemudian langsung membacakan ayat-ayat suci ke telinga Mentari. Jeritannya makin histeris seiring Ustad membersihkan Mentari dari makhluk-makhluk tak kasat mata. Setengah jam berlalu dan akhirnya... Mentari kembali dalam pelukan saya.

Saya hanya bisa menangis dan terus menenangkan tubuhnya yang lemah karena terus bergerak. Satu per satu bagian tubuhnya membiru.

“Untung belum terlambat Jordy, kalau nggak kamu antar jenazah Mentari.”

Saya terpukul mendengar teguran sang Ustad. Sontak saya menoleh padanya, lalu bilang. “Saya minta maaf Pak.”

“Gak perlu minta maaf ke saya. Maafnya ke Riri dan keluarga saja. Dan inget, Jordy... jangan sekali-kali mengucap janji dengan barang beginian kalau gak mau kejadian ini terulang..”

”...Satu yang harus kamu ingat, kita hidup berdampingan dengan mereka. Dan istri kamu... punya weton yang sakral. Kamu ga bisa mengabaikan itu. Dari kecil banyak yang menyukai Riri tapi saya pagarin supaya dia bisa hidup dengan baik. Kalau enggak, mungkin kamu akan bertemu dia di rumah sakit jiwa.”

Nasihat-nasihat yang diberikan kepada saya adalah teguran keras juga pengingat bahwa saya gagal menjadi suami untuk Mentari. Saya malu sekaligus merasa kecil hati. Ulah saya sejak mengenal Mentari ternyata telah mengancam nyawanya.

Saya memandang Mentari yang berbaring lemas di sofa, menggenggam tangannya mungkin satu-satunya cara agar saya merasa pantas untuk menjadi pasangannya. Tapi hati saya tak lagi dapat berdusta, saya tidak mau Mentari kehilangan nyawa hanya karena saya.

“Papiiiiiii!!!” Jeritan histeris Aidan menderu sampai keluar unit apartment ketika saya baru saja membuka pintu. Aidan langsung membuang badan ke saya untuk mencari perlindungan.

“Idan... ikut Mami, Nak... Ikut Mami... Perempuan ini jahat, dia mau pisahin kamu sama Mami...”

Saya cukup terkejut menyaksikan mimik muka Mentari yang sungguh persis dengan Kirana, bahkan intonasi mereka pun sama. Tangannya terulur, berusaha mengelus pipi Aidan, seperti yang sering Kirana lakukan apabila Aidan sedang rewel.

“Jangan sentuh anak saya!” hentak saya agak keras, tapi sambil terisak Mentari melirih

“Ody, Idan anak aku juga...”

Jawaban yang terlontar dari Mentari benar-benar membuat saya frustasi. Berarti ucapan Bulik Ratih selama ini... benar.

Mentari dibuntuti Kirana selama berbulan-bulan, raganya dipinjam Kirana dan saya... tak pernah memedulikan hal itu. Saya membiarkan Mentari dipakai Kirana untuk tinggal tetap bersama kami. Saya memandang Mentari yang kini meraung di depan Aidan, memohon agar saya mengizinkan ia menyentuh Aidan.

“Kamu minta aku untuk ga pergi dari kamu!” Mata Mentari membelalak, menantang saya.

“Aku udah nurutin mau kamu, Ody! Tapi apa yang kamu lakukan? Kamu nikah sama perempuan brengsek ini! Kamu nipu aku, kamu bohongin aku, Dy! Kamu bilang cuma aku yang ada di hati kamu! Tapi kamu ngapain? Kamu sampai punya anak dengan perempuan ini!”

Ia menggeram setelahnya, lalu kembali meninggikan suara.

“Kalo kamu mau tau...siapa yang udah bunuh anak kalian di rahim perempuan ini...itu... aku pelakunya.”

“Aku gak akan pernah rela kalian punya anak! Aku juga gak sudi perempuan ini menyentuh anakku!”

Kirana... dalam tubuh Mentari semakin tak terkendali. Ia berlari menjatuhkan benda-benda tajam, lalu dengan gerakan cepat, ia meraih satu benda itu dan hendak menggoreskan tepat di pergelangan tangan Mentari.

“Kalau kamu nggak mengizinkan aku meluk Aidan, aku akan bikin perempuan ini bersatu denganku di sana!”

Mendengarnya, saya naik pitam. Segera saya jatuhkan gunting yang sedikit lagi akan menggores luka pada nadi Mentari. Tapi kemudian, saya diam sejenak, teringat satu kejadian yang sama ketika saya dan Mentari belum menikah.

Lutut saya lemas seketika. Peristiwa itu ternyata sama, dan artinya Kirana benar-benar hadir selama ini. Dia berada di tengah saya, Aidan dan... Mentari. Saya langsung melangkah mundur, tangan saya gemetar saat harus memindahkan gunting itu ke meja. Kepala saya racau, perasaan saya kacau. Mentari... dapat saya simpulkan, menjadi alat Kirana untuk menjaga Aidan dan saya?

Ini semua bagai cerita horor yang sering dikemas oleh para sineas berbakat. Tapi naas, saya benar-benar mengalaminya sendiri.

“Perempuan ini harus mati!” Saya yang berada di depan Mentari, langsung memeluk tubuhnya. Saya tak peduli seberapa lelahnya saya hari itu, asal Mentari selamat dan kembali. Dia tidak boleh pergi.

“Perempuan ini harus matiiiiiii!!!!” Tangannya memukul area perut. “Akan kurusak rahimnya sampai dia gak akan bisa punya anak!”

“Siapa yang suruh njenengan?” Lantang suara itu berasal dari Bulik Ratih. Ia menekan ibu jari kaki Mentari sehingga ia mendadak berteriak kencang.

“TIDAAAAAAKKKKKK!” “JAWAB!” cecar Bulik Ratih. Saya hanya bisa memandang Mentari nanar, memeluk tubuhnya dari belakang dan merasakan bahwa hawa tubuh istri saya...terasa sangat dingin. Ini bukan seperti suhu badan manusia normal lainnya, ia bagai keluar dari lemari es.

“Paklik, ini kenapa badan Mentari dingin kayak gin—”

“Saya harus bunuh perempuan ini!” Mentari berteriak, badannya yang kecil itu bisa-bisanya terlempar ke belakang hingga saya ikut kehilangan keseimbangan.

“Apa yang dia janjikan sama kamu, Kirana?!” Bulik Ratih bertanya pada sosok yang berada di tubuh Mentari. Sosok itu tersenyum, matanya menatap saya kemudian.

“Perempuan gak akan bisa punya anak dari suami saya... Dia janji sama saya bahwa Mentari bakalan pisah dengan Ody dan ga akan ngusik Ody lagi,” telunjuknya kemudian mengarah ke saya. Cengiran meremehkan dari sosok itu sungguh memupuk emosi saya seketika itu juga.

“Kenapa kamu tega banget, Na...” Saya cuma bisa berkata-kata singkat seraya memandang sosok yang mengaku dirinya adalah Kirana itu miris. Kirana yang saya kenal, meskipun angkuh, bukanlah pendendam. Ia mudah memaafkan orang lain.

“Kalau kamu bilang aku tega...Mana janji kamu tiga tahun lalu?”

Semua sontak melirik saya yang berusaha keras mengingat janji yang pernah saya ucapkan pada Kirana.

“Apapun itu, saya minta untuk pergi, jangan ganggu saya lagi.”

Sosok itu tertawa puas, suaranya melengking. “Aku istri kamu, Ody! Gimana bisa aku ganggu kamu? Perempuan ini yang aku pinjem badannya supaya bisa nepatin janjiku sama kamu, tapi kamu ngapain?!”

Saya terdiam memandang betapa sosok itu menghancurkan mental saya sebegini dalamnya. Kirana atau bukan, buat saya sudah tak penting. Saya hanya ingin Mentari selamat dan kembali.

“Jordy... kamu pernah janji apa sama Kirana, Nak? Ini sudah terlalu lama.”

”...Bahaya buat Riri, Jordy. Mereka mengunci Riri jadi ruhnya gak bisa balik ke tubuh ini...”

Nafas saya tercekat, dipenuhi rasa bersalah yang teramat dalam. “Kalau dibiarkan, Mentari gak akan lagi bisa balik ke tubuhnya.”

“Maksudnya apa, Paklik?” Suara saya gemetar.

“Mereka menang, Jor. Kita yang kalah.”

“Mamaaaah!” Aidan nenyisakan sepotong roti ketika mendapati Mentari keluar dari kamar. Biasanya, Mentari akan membalas sapaan Aidan, bukan mengacuhkannya. Tapi pagi ini dahi saya berkerut dalam menyaksikan Mentari yang seacuh itu pada Aidan.

Binar mata Mentaripun tidak sehangat biasa. Sendu dan hampa beradu di manik matanya. Yang menjadi fokus Mentari cuma saya. Dan entah mengapa setiap kami beradu tatap, pelupuk matanya basah.

“Ri,” panggil saya. Mentari menoleh, ya, namun pandangan yang terarah pada saya sama sekali tidak menunjukkan rasa sayang, melainkan dalam dan penuh amarah.

Entahlah mungkin saja saya berpikir terlalu jauh. Tapi sejak awal Mentari bangun, perasaan tak enak segera membubuhi benak saya. Dari semalam, saya tak bisa tertidur nyenyak seperti malam-malam biasanya.

“Ada apa?” tanyanya linglung. “Idan nyariin kamu,” beritahu saya. Dia cuma bergeming. Tidak seperti Mentari yang jika mendengar Aidan mencarinya, akan langsung menghampiri dan memeluk anak itu.

“Ri, are you okay? You're different today, you know?”

“No, I'm not. I'm fine.”

Pikiran saya semakin buntu mendengar jawaban kekeuh Mentari. Dia tidak pernah menjawab balik dalam bahasa Inggris, karena Mentari mengaku beberapa kali ke saya bahwa bahasa Inggrisnya sangat minim.

It's ridiculous, aksen bicara Mentari sangat fasih dan terdengar seperti native American.

“Ri.” Dikepung rasa penasaran, saya kembali memanggilnya.

“Apa?”

Mentari tidak akan menjawab seperti ini. Sedari tadi kami berbincang, ia bahkan tidak memanggil saya dengan sebutan Mas.

“I'm asking you once again, are you really okay?”

Ada gelisah yang terpancar dari manik mata Mentari. “Aku baik,” jawabnya kemudian.

“Saya udah mau berangkat nih.” “Iya, hati-hati.”

“You're not doing my hair?” Mentari terperangah, menatap saya seolah pertanyaan itu aneh.

“Emang kamu nggak bisa nyisir sendiri?” Jawaban Mentari sukses membuat saya yakin bahwa ada sesuatu yang terjadi padanya. Semenjak pulang dari rumah mantan mertua, sosok Mentari yang saya kenal seakan hilang. Kemarin saja ketika kami pulang, Mentari langsung berganti baju. Dia melupakan Aidan. Tidak mengecup kening apalagi membacakannya buku cerita.

Aidan sampai-sampai mengeluh pada saya lantaran Mentari bersikap dingin padanya.

“Ri.” Sebelum saya benar-benar meninggalkan rumah, ada satu hal yang perlu saya pastikan.

“Kenapa?” “Bulik Ratih nelepon kamu semalem, saya udah tidur karena kecapekan. Nanti tolong balas WA-nya Bulik.”

Percaya tak percaya, atau bisa saja pendengaran saya salah, ketika saya melangkah menuju daun pintu... saya mendengar ada suara geraman persis di belakang saya.

Saya harap kali ini saya dapat bekerja dengan tenang.

“PAPIIIIII! Idan mau pulang, enggak mau disiniiii!” rengekan Aidan memecah kepala saya siang itu. Ia menelepon saya sambil menangis kencang. Biasanya, Aidan nggak pernah serewel ini.

“Dan, nanti Oma marah sama Idan...” “Gak mauuu! Idan mau sama Mamah sama Papi, Oma tadi nakal sama Mamah!”

Saya terpaksa memutar balik stir mobil dan menjemput Aidan ke rumah mantan mertua. Begitu sampai, jangankan Aidan diantar oleh Oma Opanya, anak saya hanya disuruh tunggu di luar rumah sendirian.

Emosi saya yang tadinya masih tertahan, akhirnya meluap dengan sendirinya. Saya tidak akan pernah mengizinkan Aidan bertandang ke rumah ini. Tanpa berlama-lama, saya turun dari mobil menggendong Aidan yang menangis tersedu-sedu.

“Papiiii, huhuhu... Idan kepanasan, Pi...” adunya dalam gendongan saya.

“Ya udah, iya. Idan tidur di belakang ya, Mamah lagi sakit soalnya. Mamah juga lagi bobo. Jangan diganggu dulu.”

“Iya, Papi.” Untung Aidan mengerti keadaan Mentari yang telah tertidur pulas di sebelah saya. Anak itu langsung duduk manis sambil menikmati susu kotak yang selalu disediakan Mentari setiap kami bepergian.

Sesampainya di rumah, Mentari tak banyak bicara seperti biasa. Bahkan menengok Aidanpun tidak. Yang ia lakukan justru langsung masuk kamar dan berganti baju.

Baju yang Mentari kenakanpun... tidak begitu asing bagi saya. Warnanya merah pekat, agak sedikit tipis, mirip punya Kirana.

“Ri, kamu dapet baju ini dari mana? Beli?” tanya saya padanya.

“Iya, dari lama,” jawabnya singkat. Yang aneh dari Mentari, nada bicaranya terdengar datar. Tidak seperti Mentari yang saya kenal.

“Ri.” Penasaran, saya kembali mengajukan pertanyaan. “Ga bacain Aidan buku cerita?”

Mentari memutar tubuhnya lalu menghadap saya. “Idan capek, biarin aja dia istirahat. Aku juga sama, mau tidur.”

“Ri...” Gelagat Mentari benar-benar aneh malam ini, sebab ia tidak memiliki kebiasaan semacam merapihkan sisi tempat tidur yang akan ditidurinya.

Kebiasaan itu...

Hanya Kirana yang punya.

tw // mature content cw // kissing ⚠️ Not for minor

“Ngel, kamu...” Jevan terkejut bukan main saat menemukan istrinya mengenakan pakaian yang sama ketika mereka berada di Wakatobi. Pakaian tidur berwarna kuning kunyit dengan pinggiran hitam di sisi lengannya membalut bentuk tubuh Cali. Jevan menelan salivanya dalam-dalam. Kali ini ia tidak khawatir kejadian di Wakatobi akan terulang, kalaupun terulang...

Ya tinggal eksekusi saja, kan udah sah.

“Apa?” tanya Cali dengan lirikan tajam. “Mau bilang saya gemuk? Ini semua gara-gara Bapak ya! Masa mau pemberkatan dibawain croissant sepuluh, dikasih eclaire dua bar.” Alih-alih membalas dumelan Cali, Jevan justru tertawa, memandangi wajah Cali yang merengut sungguh menghibur dirinya dari segala penat.

“Oiya ya, kamu masih dapet. Selesainya kapan?” Bagai menagih memorandum, Jevan bertanya enteng, membuat si puan di depannya ini melebarkan mata.

“Pak...” “Jawab, kapan selesainya?” Jevan maju selangkah. Tubuh atletis, otot bisep besarnya itu nyaris menyaingi tubuh Cali yang mungil dan ramping. Perempuan itu refleks mundur saat Jevan berhenti di depannya. Hidung mancung miliknya kini telah menyentuh pucuk hidung Cali yang minimalis.

“Pak Jevan saya patahin ya hidungnya!!!” Cali memejamkan mata kuat-kuat.

“Saya cuma nanya kapan selesai, gak ngapa-ngapain.”

Dikasih tahu begitu, Cali malah agak tersinggung. Pasalnya Jevan meliriknya dari atas sampai ke bawah, menelaah setiap jenjang badannya. Dalam kepala Cali langsung membuat kesimpulan jika dirinya benar-benar tidak seatraktif itu di mata suami.

Ia mendengus pelan lalu berbalik memunggungi Jevan.

“Angel,” panggil Jevandra. Langkah Cali langsung terhenti di tempat.

”...” Cali menatap Jevandra dari jarak yang cukup dekat, karena lelaki itu telah berdiri kembali di hadapannya.

“Ada apa, Pak—” Jevan ingin membuktikan omongannya tadi malam. Dia tidak peduli tentang Mandala yang masih sibuk mengirim pesan pada Cali, ataupun perasaan Cali yang mungkin masih tersisa cukup banyak untuk Mandala. Di pikiran Jevan saat ini adalah ia ingin Cali berhenti dan percaya padanya, bahwa dia laki-laki normal. Laki-laki yang punya nafsu pada wanita. Maka segera Jevan menangkup perempuan yang baru saja ia nikahi itu, ia mengulum pelan bibir Cali, dan mengubahnya menjadi kecupan-kecupan kecil di bibir. Setelah Jevan puas menjejal bibir wanitanya, kini ia menurunkan kepalanya untuk mengecup leher indah milik istrinya yang seputih susu.

“Pak Jevan... Angel masih dapet...”

Jevan mengangguk, ia juga nggak sinting-sinting banget untuk memaksa Cali melakukan malam pertama mereka. Yang ia butuhkan saat ini hanyalah kepercayaan dari istrinya. Jevan mengusap bahu Cali lembut, lalu menarik tubuh perempuan itu dalam dekapan, sambil terus menghujani beberapa ciuman kecil di daerah leher, tulang selangka dan belahan dada.

Cali terkejut saat Jevandra menciumi sebagian dari tubuhnya, namun alih-alih risih, Cali malah menikmati kejutan dari sang suami.

Jevan terlalu asyik menikmati santapan paginya, sampai-sampai ia tak sadar Cali telah mengusap tengkuk leher Jevan, penanda bahwa Cali meminta lebih.

“Kalau Angel udah selesai dapet, boleh kok.” Cali berbisik ketika Jevan menegakkan kepalanya. Jevan tersenyum puas sambil berusaha mengontrol miliknya agar bangun disaat yang tepat.

“Saya udah selesai sarapan,” ucap Jevandra sembari mengatur nafasnya agar tidak terengah. Keduanya kini berposisi di ranjang, Cali dipindahkan Jevandra di atas lengan kokohnya. Tangan perempuan itu sibuk mengusap wajah sang suami dengan tatapan kagum.

“Ga ada makanan deh tadi, Pak.” “My breakfast...” kekehnya lagi. Cali berani bersumpah senyum miring Jevandra menekan titik hasratnya yang terdalam. Suara tegukan saliva Cali mengisyaratkan betapa dia juga sedang menahan adrenalin yang sama seperti Jevan, apalagi setelah tahu ternyata Jevan normal.

”...is you,” bisik Jevan sambil mendekatkan wajahnya perlahan, lalu mengunci bibir Cali dengan pagutan panas.

Harusnya aku tertawa bahagia sambil mengangkat gelas setinggi-tingginya di tengah riuh para tamu yang hadir. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, aku malah menangis tanpa sebab saat menemukan Jevan berdiri di rooftop kamar hotel sambil memotret indahnya langit kota Jakarta saat malam hari.

Jevan begitu fokus dengan kameranya, hingga tak sadar jika aku berada di belakangnya. Aku ingin mendekat, namun langkahku terasa berat saat mengingat raut wajah Jevan sebelum kami mengadakan resepsi. Dia tetap Jevandra yang kukenal. Gagah, tampan, dingin, tapi ketika masuk ke gedung resepsi, ekspresi itu seakan lenyap ditelan bumi.

Jevan yang aslinya memang pendiam, makin merapatkan mulut, air mukanya murung bagai tak punya semangat hidup, padahal pagi tadi saat pemberkatan, Jevan baik-baik saja. Kalau dibilang aku melakukan kesalahan, kurasa tidak. Aku sudah melakukan pekerjaan sesuai titahnya seperti hari-hari biasa. Kopi hitam dengan gula setengah sendok saja masih aku siapkan, apalagi jadwal-jadwal pribadinya? Tentu aku sudah memberitahu pada Jevan sehari sebelum pernikahan kami. Tapi Jevan bilang, dia enggan menerima meeting apapun menjelang hari pernikahan kami. Ia sengaja meliburkan diri untuk menyalurkan hobi orang kaya-nya, seperti berkuda, bermain golf, dan menembak. Aku disuruh ikut menemani Jevan saat itu.

Kupikir dengan healing ala orang kayanya , ia akan baik-baik saja. Ternyata aku salah, hari ini adalah kali pertama aku mendapati Jevan menunjukkan kesedihan. Netranya bulan sabitnya memandang langit Jakarta dengan tatapan kosong. Bukan Jevan yang selalu menunjukkan wajah bengis nan arogan serta menyorot tajam siapapun yang berani meliriknya. Apa...dia juga sama denganku? Dia sesedih itu menikahiku, atau partner Jevan yang asli langsung mencampakkannya begitu berita pernikahannya tersebar?

Entahlah. Hanya Jevan dan Tuhan yang tahu. Aku memutuskan untuk mendekati Jevan pelan-pelan. Ingin menepuk pundaknya, namun hatiku berkata janga, sebab ucapan Jevan terlintas bagai perintah memorandum di kantor, “jangan sekali-kali menyentuh tubuh saya.”

Tapi...di hari ulang tahunnya waktu itu...Jevan memelukku erat. Hari itu kali pertama aku menemukan si angkuh berwibawa ini berubah menjadi pribadi yang sedikit lembut hanya karena sepotong kue matcha yang hancur. Ah, seandainya hari itu dapat kuulang kembali, aku tidak ingin hari itu berakhir.

“Udah selesai teleponannya?” Jevandra menurunkan kamera DSLR-nya, matanya lurus-lurus menatapku.

“Bapak...denger?” Dia mengangguk perlahan lalu berjalan ke arahku.

“Pak Jevan.”

Ia tidak menjawab panggilanku, dan hanya memutar tubuhnya menghadapku. Kami saling beradu pandang. Aku dengan gugupku, ia dengan tatapan yang lagi-lagi meluapkan rasa sedih serta bersalah dalam benakku.

“Bapak baik-baik aja? Ada yang kurang dengan after party-nya?”

Ia menggeleng. “Nope. Kalau kamu masih ingin teleponan, silakan. Saya mau istirahat dulu.”

“Saya udah selesai teleponan, Pak!” Entah mengapa nadaku meninggi seolah ingin membantah persepsinya tentang aku dan Mandala.

“Ya udah. Tidur aja,” ujarnya kemudian berlalu.

“Pak.” Sial, kenapa jadi aku yang kegilaan tak ingin menyudahi malam ini, ya? Nggak bener, nih.

“Ada apa, Cali?”

Cali...? Please, kenapa aku ingin menangis ketika Jevan mengubah nama panggilanku? Kenapa aku tidak bisa menerima kenyataan itu? Kenapa aku ingin marah padanya?

“Kok manggilnya 'Cali?'” “Memang nama panggilan kamu itu kan?” balasnya enteng. Bener, nggak ada yang salah dengan jawaban Jevan. Ia bicara sesuai fakta, tapi kenapa rasanya seperti aku ditolak Mandala? Sakit bukan main.

“Serius, Pak. Kenapa manggilnya 'Cali'?” tuntutku penasaran. Jevan cuma diam dengan air muka yang sulit kutebak.

“Pak Jevan,” panggilku enggan membiarkannya pergi.

“Okay, Angel. Udah?” Aku mengangguk dengan senyum selebar mungkin dan sepertinya aku belum pernah sebahagia ini saat tersenyum di hadapan Mandala.

“Tidur, udah malem,” ucapnya singkat kemudian menghilang ke kamar.

Ternyata Jevan tertidur cukup lama setelah aku membersihkan wajahnya, beberapa saat lalu, ia juga sudah mengganti kemejanya dengan baju piyama berwarna biru donker dengan inisial... A.C.

Sebentar. Apa ini hadiah dari Papa Dion untuknya? Kenapa saat lamaran kemarin aku nggak ngeuh kalau Jevan membordir inisial namaku di piyamanya?!

“Pak Jevan, bangun, Pak. Bangun.”

“Hnggg....Kenapa?” “Pak, boleh nanya nggak?”

“Nanya tinggal nanya. Punya mulut kan?”

Duh jawabnya bisa nggak sih gak usah nyolot gitu?

“Apa, Ngel?” Jevan menegakkan posisi tidurnya, membuat cetakan perut tak berlemak itu terpampang nyata di depan mataku, bahkan baju piyama berkancing itu sedikit menyisakan celah agar aku bisa melihatnya. Nggak, nggak, aku tidak boleh meliriknya. Aku cepat-cepat mengalihkan tatapanku ke arah lain.

“Nggak jadi deh.” “Kamu nih, bangunin orang buat hal-hal yang gak penting aja,” gerutunya lalu kembali memejam mata. Tersisalah aku yang terpaksa menahan penasaranku tentang piyama yang Jevan kenakan. Sumpah, aku benar-benar baru melihatnya hari ini. Apa WO-ku sengaja menyembunyikan hal ini atas suruhan Jevan?

Kayaknya enggak deh. Jevan sepertinya bukan tipikal lelaki romantis (kalau seandainya dia normal). Mungkin saja ada arahan Papa Dion yang menuntutnya untuk bersikap mesra agar media percaya kalau kami saling cinta.

“Angel.” “Naon sih? Ulah ngagetin!”

“PMS-mu bener-bener menakutkan,” sindirnya dengan tampang menyebalkan.

“Ya udah saya tidur di sana aja, kalau Bapak terganggu. Maaf deh, Pak.” Aku siap beranjak meninggalkan kasur besar yang dekorasinya mirip ranjang Ratu Elizabeth itu.

”...Gak usah,” larang Jevan cepat.

“Nanti Bapak gak istirahat cukup, besok sakit kepalanya—” sahutku dengan kalimat yang terpotong tiba-tiba karena Jevandra melakukan sesuatu diluar dugaanku.

“Pak... Bapak ngapain ya, kok nggak izin dulu?” Aku protes dong setelah ia mengecup bibirku tanpa permisi. Setelah itu si sinting ini malah tertawa kecil melihat wajahku yang memerah bagai udang rebus.

“Merah banget mukanya—” “Saya ngapus make-upnya ga bersih,” kilahku tak mau dibantah.

“Masa sih? Nih, bersih. Nggak ada kotorannya di tangan saya,” balasnya sambil menunjukkan ibu jarinya di depanku. Aduh tolong deh ya Pak Jevandra yang terhormat, kalau saat ini dia membayangkanku adalah partnernya aku akan benar-benar marah.

“Udah deh, Pak. Tadi ngomel karena saya ganggu tidurnya, sekarang malah ngegodain. Cicing maneh teh, ulah loba tingkahna. Lieur aing. Geus sare wae,”

“Saya gak paham kamu ngomong apa,” katanya seraya berbaring di sebelahku.

*“Alus. Lebih baik kitu, teu usah cari artina.”

“Alexa, please translate what's my wife speaking to me.”

Netraku sontak membulat begitu sadar jika Jevandra memboyong salah satu gadget canggih yang ia miliki. Aku tahu persis, karena Jevan selalu minta perangkat ciptaan Google itu dinyalakan setiap waktu.

“Your wife, Angel, speaking in Sundanese. She asked you to keep silent and better not searching the meaning. She said she had a headache, so she wants you to stop talking and go to sleep.”

“PAAAK JEVANDRA!” geram sekalian malu, aku yang sudah tak tahan menahan kesal akhirnya melampiaskannya pada Jevandra. “Kenapa jahil banget....”

“Yah, Ngel, saya cuma pengen ngerti ucapan kamu, kok malah nangis sih?”

“Kan saya lagi PMS hari pertama! Udah dibilangin juga dari tadi! Sengaja banget malu-maluin orang!” protesku seraya mengusap sisa air mata. Sementara oknum dibalik tangisku ini hanya diam memerhatikan aku berkeluh kesah.

“Gak usah malu, Ngel. Pake bahasa daerah juga nggak apa-apa, tapi pahamin artinya, saya memang butuh google assistant untuk nerjemahin. There's nothing wrong to speak in your mother tongue,” bujuk Jevan di sebelah.

Aku...cukup surprise kala mendengar nada bicara Jevan yang nggak pakai urat ketika menenangkanku, cara bicaranya seperti sedang membujuk Maria, anak Kak Jayden.

Artinya, aku terlalu kekanakan kah di mata Jevan? Sejujurnya, aku jarang seperti ini di depan laki-laki, bahkan di depan Mandala, aku lebih memilih menyembunyikan tangisku. Tapi kenapa sama Jevan... emosiku malah nggak terkontrol begini ya Tuhan.

“Ini sudah saya matiin google assistant-nya.” Ia mengarahkan perangkat itu. “Liat sendiri ya, dalam keadaan off,” tambahnya menerangkan. Sesaat kemudian, Jevandra meletakkan benda itu di nakas kecil samping kasur kami, lalu menurunkan tubuhnya sedikit agar sejajar denganku. Aku pikir ia akan langsung tidur seperti tadi, tapi Jevan justru mengusap ujung pipiku yang masih dialiri sisa air mata.

“Jangan nangis lagi, Cal.” Alisku bertaut, “Cal?”

“I think I should call you Cali by now.”

“Nggak,” sahutku kesal.

“Loh? Kan memang itu panggilan nama kamu.”

“Aneh, aku nggak suka, kata Bapak nama panggilanku aneh. Jadi gak mau dipanggil nama itu lagi.”

Ia tersenyum kecil, bias wajahnya teduh, “Saya bukan bermaksud bilang nama itu aneh, tapi Angel lebih bagus.”

”...tapi katanya waktu itu aneh...”

“Jadi maunya dipanggil Angel apa Cali?”

“Angel!”

“Okay, Angel.” “Iya, jangan diganti-ganti lagi. Awas kalo besok pagi manggil Cali.”

“Emang kamu mau ngapain?” “Dokumen Bapak saya buang ke kolam renang di depan.”

“Ya gampang, tinggal print ulang.”

“Deal sama Pertamina loh, Pak.” “Kan file nya ada di email. Ga ada pengaruhnya kalau kamu buang ke kolam.”

“Jadi maksudnya Bapak tetep mau panggilnya Cali?”

“Yang jadi pertanyaan saya, kenapa kamu nggak suka banget saya panggil 'cali' padahal itu nama kamu sendiri.”

Aku menelan ludah yang mendadak terasa kelu saat mengingat ekspresi Jevan selama kami melaksanakan ibadah pemberkatan pagi tadi. Ia terlihat kesal seolah tak sudi mengucapkan janji pernikahan itu, seakan ia terbelenggu oleh sebuah fakta tentangku dan Mandala. Dan aku...orang yang paling bersalah di sini ingin Jevan tidak salah paham dengan hal itu. Aku benar-benar ingin melupakan Mandala... Aku mulai terbiasa dengan Jevandra yang memanggilku 'Angel,' sampai-sampai aku sedih saat Jevan menggantinya, seakan dia sedang marah padaku jika memanggilku dengan nama itu.

“Ya nggak suka aja,” sahutku tak ingin mendebat. “Saya suka sama nickname dari Bapak, walaupun kelakuan saya nggak mencerminkan malaikat.”

Dia tertawa lebar, “you're an angel, at least buat Papa karena sudah membantu menghilangkan rumor tentang saya.”

“Kalau untuk Bapak?” Waduh kok lancang ya aku nanya begini ke manusia modelan Jevan gini. Mendengar pertanyaan spontan dariku, Jevan agaknya sedikit kaget. Ia terlihat kikuk walau hanya sebentar. Tak lama Jevan tersenyum lagi, jarinya bergerak merapihkan salah satu helai anak rambutku yang sedikit berantakan.

“More than an angel,” jawabnya dalam satu tarikan nafas, namun aku tercekat.

Dia tersenyum lagi saat sadar aku si norak ini tersipu dengan gombalan maut darinya.

“Ngel.” “Yaaa?”

“Mau go public?” Jevan menggenggam tanganku lembut.

“Pak...jangan bercanda...” “Kenapa? Kita udah suami istri juga..”

“Biar makin yakin kalau rumor itu gak bener ya, Pak? Gak apa-apa sih kalau memang mau di set-up kayak gitu.”

“Kamu percaya sama gosip murahan kayak gitu?” Jevan merapatkan dirinya kepadaku, wajah kami bahkan cuma berkisar beberapa senti. Dari jarak sedekat ini, aku baru sadar bahwa suamiku ini ternyata memang beneran bibit unggul. Hidung mancung serta rahang tegas yang memperkuat aura maskulinnya membuatku nyaris tak percaya bahwa dia seorang...

“Saya bukan gay, Angel,” ucapnya sambil mengusap bahuku.

”...Saya normal,” ujarnya dengan suara dalam.

Kerongkonganku mendadak kering ketika Jevan memberikan klarifikasi tentang gosip itu. Juga dengan dadaku yang langsung berdebar tak keruan saat sadar bahwa aku belum mengenakan bra. Saking lelahnya aku hari ini, aku sampai lupa mengenakannya selesai mandi tadi.

INI GIMANA YA?

“Pak, saya mau ke kamar mandi dulu!” Aku langsung bangkit berdiri, berlari agak heboh untuk mengoyak koper pakaianku. Sayang... sayang sekali bra itu sudah kumasukkan ke dalam kantung laundry dan telah diserahkan oleh pelayan hotel pada petugas laundry tersebut. Mana cuma satu!!! Aduh Cali kenapa nggak pernah prepare

“Kenapa, Ngel? Kok grabak grubuk?” Jevandra melongokkan kepalanya di belakang pintu, sementara aku yang terlalu panik segera melindungi asetku.

“Jangan deket-deket! Angel gak pake beha!!!!” pekikku sambil membanting pintu kamar mandi, tak lama dari arah luar kudengar Jevandra berteriak setengah mendesah.

“AAAAH!” jeritnya dari luar. “PAK JEVAN!!!!!!!”

“Hahahahaha. Pake bathrobenya buruan, ntar malem juga lepas.”

“BRENGSEKKKK!”

Dia makin tertawa penuh kemenangan.