Harusnya aku tertawa bahagia sambil mengangkat gelas setinggi-tingginya di tengah riuh para tamu yang hadir. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, aku malah menangis tanpa sebab saat menemukan Jevan berdiri di rooftop kamar hotel sambil memotret indahnya langit kota Jakarta saat malam hari.
Jevan begitu fokus dengan kameranya, hingga tak sadar jika aku berada di belakangnya. Aku ingin mendekat, namun langkahku terasa berat saat mengingat raut wajah Jevan sebelum kami mengadakan resepsi. Dia tetap Jevandra yang kukenal. Gagah, tampan, dingin, tapi ketika masuk ke gedung resepsi, ekspresi itu seakan lenyap ditelan bumi.
Jevan yang aslinya memang pendiam, makin merapatkan mulut, air mukanya murung bagai tak punya semangat hidup, padahal pagi tadi saat pemberkatan, Jevan baik-baik saja. Kalau dibilang aku melakukan kesalahan, kurasa tidak. Aku sudah melakukan pekerjaan sesuai titahnya seperti hari-hari biasa. Kopi hitam dengan gula setengah sendok saja masih aku siapkan, apalagi jadwal-jadwal pribadinya? Tentu aku sudah memberitahu pada Jevan sehari sebelum pernikahan kami. Tapi Jevan bilang, dia enggan menerima meeting apapun menjelang hari pernikahan kami. Ia sengaja meliburkan diri untuk menyalurkan hobi orang kaya-nya, seperti berkuda, bermain golf, dan menembak. Aku disuruh ikut menemani Jevan saat itu.
Kupikir dengan healing ala orang kayanya , ia akan baik-baik saja. Ternyata aku salah, hari ini adalah kali pertama aku mendapati Jevan menunjukkan kesedihan. Netranya bulan sabitnya memandang langit Jakarta dengan tatapan kosong. Bukan Jevan yang selalu menunjukkan wajah bengis nan arogan serta menyorot tajam siapapun yang berani meliriknya. Apa...dia juga sama denganku? Dia sesedih itu menikahiku, atau partner Jevan yang asli langsung mencampakkannya begitu berita pernikahannya tersebar?
Entahlah. Hanya Jevan dan Tuhan yang tahu. Aku memutuskan untuk mendekati Jevan pelan-pelan. Ingin menepuk pundaknya, namun hatiku berkata janga, sebab ucapan Jevan terlintas bagai perintah memorandum di kantor, “jangan sekali-kali menyentuh tubuh saya.”
Tapi...di hari ulang tahunnya waktu itu...Jevan memelukku erat. Hari itu kali pertama aku menemukan si angkuh berwibawa ini berubah menjadi pribadi yang sedikit lembut hanya karena sepotong kue matcha yang hancur. Ah, seandainya hari itu dapat kuulang kembali, aku tidak ingin hari itu berakhir.
“Udah selesai teleponannya?” Jevandra menurunkan kamera DSLR-nya, matanya lurus-lurus menatapku.
“Bapak...denger?”
Dia mengangguk perlahan lalu berjalan ke arahku.
“Pak Jevan.”
Ia tidak menjawab panggilanku,
dan hanya memutar tubuhnya menghadapku. Kami saling beradu pandang. Aku dengan gugupku, ia dengan tatapan yang lagi-lagi meluapkan rasa sedih serta bersalah dalam benakku.
“Bapak baik-baik aja? Ada yang kurang dengan after party-nya?”
Ia menggeleng. “Nope. Kalau kamu masih ingin teleponan, silakan. Saya mau istirahat dulu.”
“Saya udah selesai teleponan, Pak!” Entah mengapa nadaku meninggi seolah ingin membantah persepsinya tentang aku dan Mandala.
“Ya udah. Tidur aja,” ujarnya kemudian berlalu.
“Pak.” Sial, kenapa jadi aku yang kegilaan tak ingin menyudahi malam ini, ya? Nggak bener, nih.
“Ada apa, Cali?”
Cali...? Please, kenapa aku ingin menangis ketika Jevan mengubah nama panggilanku? Kenapa aku tidak bisa menerima kenyataan itu? Kenapa aku ingin marah padanya?
“Kok manggilnya 'Cali?'”
“Memang nama panggilan kamu itu kan?” balasnya enteng. Bener, nggak ada yang salah dengan jawaban Jevan. Ia bicara sesuai fakta, tapi kenapa rasanya seperti aku ditolak Mandala? Sakit bukan main.
“Serius, Pak. Kenapa manggilnya 'Cali'?” tuntutku penasaran. Jevan cuma diam dengan air muka yang sulit kutebak.
“Pak Jevan,” panggilku enggan membiarkannya pergi.
“Okay, Angel. Udah?”
Aku mengangguk dengan senyum selebar mungkin dan sepertinya aku belum pernah sebahagia ini saat tersenyum di hadapan Mandala.
“Tidur, udah malem,” ucapnya singkat kemudian menghilang ke kamar.
—
Ternyata Jevan tertidur cukup lama setelah aku membersihkan wajahnya, beberapa saat lalu, ia juga sudah mengganti kemejanya dengan baju piyama berwarna biru donker dengan inisial... A.C.
Sebentar. Apa ini hadiah dari Papa Dion untuknya? Kenapa saat lamaran kemarin aku nggak ngeuh kalau Jevan membordir inisial namaku di piyamanya?!
“Pak Jevan, bangun, Pak. Bangun.”
“Hnggg....Kenapa?”
“Pak, boleh nanya nggak?”
“Nanya tinggal nanya. Punya mulut kan?”
Duh jawabnya bisa nggak sih gak usah nyolot gitu?
“Apa, Ngel?” Jevan menegakkan posisi tidurnya, membuat cetakan perut tak berlemak itu terpampang nyata di depan mataku, bahkan baju piyama berkancing itu sedikit menyisakan celah agar aku bisa melihatnya. Nggak, nggak, aku tidak boleh meliriknya. Aku cepat-cepat mengalihkan tatapanku ke arah lain.
“Nggak jadi deh.”
“Kamu nih, bangunin orang buat hal-hal yang gak penting aja,” gerutunya lalu kembali memejam mata. Tersisalah aku yang terpaksa menahan penasaranku tentang piyama yang Jevan kenakan. Sumpah, aku benar-benar baru melihatnya hari ini. Apa WO-ku sengaja menyembunyikan hal ini atas suruhan Jevan?
Kayaknya enggak deh. Jevan sepertinya bukan tipikal lelaki romantis (kalau seandainya dia normal). Mungkin saja ada arahan Papa Dion yang menuntutnya untuk bersikap mesra agar media percaya kalau kami saling cinta.
“Angel.”
“Naon sih? Ulah ngagetin!”
“PMS-mu bener-bener menakutkan,” sindirnya dengan tampang menyebalkan.
“Ya udah saya tidur di sana aja, kalau Bapak terganggu. Maaf deh, Pak.” Aku siap beranjak meninggalkan kasur besar yang dekorasinya mirip ranjang Ratu Elizabeth itu.
”...Gak usah,” larang Jevan cepat.
“Nanti Bapak gak istirahat cukup, besok sakit kepalanya—” sahutku dengan kalimat yang terpotong tiba-tiba karena Jevandra melakukan sesuatu diluar dugaanku.
“Pak... Bapak ngapain ya, kok nggak izin dulu?” Aku protes dong setelah ia mengecup bibirku tanpa permisi. Setelah itu si sinting ini malah tertawa kecil melihat wajahku yang memerah bagai udang rebus.
“Merah banget mukanya—”
“Saya ngapus make-upnya ga bersih,” kilahku tak mau dibantah.
“Masa sih? Nih, bersih. Nggak ada kotorannya di tangan saya,” balasnya sambil menunjukkan ibu jarinya di depanku. Aduh tolong deh ya Pak Jevandra yang terhormat, kalau saat ini dia membayangkanku adalah partnernya aku akan benar-benar marah.
“Udah deh, Pak. Tadi ngomel karena saya ganggu tidurnya, sekarang malah ngegodain. Cicing maneh teh, ulah loba tingkahna. Lieur aing. Geus sare wae,”
“Saya gak paham kamu ngomong apa,” katanya seraya berbaring di sebelahku.
*“Alus. Lebih baik kitu, teu usah cari artina.”
“Alexa, please translate what's my wife speaking to me.”
Netraku sontak membulat begitu sadar jika Jevandra memboyong salah satu gadget canggih yang ia miliki. Aku tahu persis, karena Jevan selalu minta perangkat ciptaan Google itu dinyalakan setiap waktu.
“Your wife, Angel, speaking in Sundanese. She asked you to keep silent and better not searching the meaning. She said she had a headache, so she wants you to stop talking and go to sleep.”
“PAAAK JEVANDRA!” geram sekalian malu, aku yang sudah tak tahan menahan kesal akhirnya melampiaskannya pada Jevandra. “Kenapa jahil banget....”
“Yah, Ngel, saya cuma pengen ngerti ucapan kamu, kok malah nangis sih?”
“Kan saya lagi PMS hari pertama! Udah dibilangin juga dari tadi! Sengaja banget malu-maluin orang!” protesku seraya mengusap sisa air mata. Sementara oknum dibalik tangisku ini hanya diam memerhatikan aku berkeluh kesah.
“Gak usah malu, Ngel. Pake bahasa daerah juga nggak apa-apa, tapi pahamin artinya, saya memang butuh google assistant untuk nerjemahin. There's nothing wrong to speak in your mother tongue,” bujuk Jevan di sebelah.
Aku...cukup surprise kala mendengar nada bicara Jevan yang nggak pakai urat ketika menenangkanku, cara bicaranya seperti sedang membujuk Maria, anak Kak Jayden.
Artinya, aku terlalu kekanakan kah di mata Jevan? Sejujurnya, aku jarang seperti ini di depan laki-laki, bahkan di depan Mandala, aku lebih memilih menyembunyikan tangisku. Tapi kenapa sama Jevan... emosiku malah nggak terkontrol begini ya Tuhan.
“Ini sudah saya matiin google assistant-nya.” Ia mengarahkan perangkat itu. “Liat sendiri ya, dalam keadaan off,” tambahnya menerangkan. Sesaat kemudian, Jevandra meletakkan benda itu di nakas kecil samping kasur kami, lalu menurunkan tubuhnya sedikit agar sejajar denganku. Aku pikir ia akan langsung tidur seperti tadi, tapi Jevan justru mengusap ujung pipiku yang masih dialiri sisa air mata.
“Jangan nangis lagi, Cal.”
Alisku bertaut, “Cal?”
“I think I should call you Cali by now.”
“Nggak,” sahutku kesal.
“Loh? Kan memang itu panggilan nama kamu.”
“Aneh, aku nggak suka, kata Bapak nama panggilanku aneh. Jadi gak mau dipanggil nama itu lagi.”
Ia tersenyum kecil, bias wajahnya teduh, “Saya bukan bermaksud bilang nama itu aneh, tapi Angel lebih bagus.”
”...tapi katanya waktu itu aneh...”
“Jadi maunya dipanggil Angel apa Cali?”
“Angel!”
“Okay, Angel.”
“Iya, jangan diganti-ganti lagi. Awas kalo besok pagi manggil Cali.”
“Emang kamu mau ngapain?”
“Dokumen Bapak saya buang ke kolam renang di depan.”
“Ya gampang, tinggal print ulang.”
“Deal sama Pertamina loh, Pak.”
“Kan file nya ada di email. Ga ada pengaruhnya kalau kamu buang ke kolam.”
“Jadi maksudnya Bapak tetep mau panggilnya Cali?”
“Yang jadi pertanyaan saya, kenapa kamu nggak suka banget saya panggil 'cali' padahal itu nama kamu sendiri.”
Aku menelan ludah yang mendadak terasa kelu saat mengingat ekspresi Jevan selama kami melaksanakan ibadah pemberkatan pagi tadi. Ia terlihat kesal seolah tak sudi mengucapkan janji pernikahan itu, seakan ia terbelenggu oleh sebuah fakta tentangku dan Mandala. Dan aku...orang yang paling bersalah di sini ingin Jevan tidak salah paham dengan hal itu. Aku benar-benar ingin melupakan Mandala... Aku mulai terbiasa dengan Jevandra yang memanggilku 'Angel,' sampai-sampai aku sedih saat Jevan menggantinya, seakan dia sedang marah padaku jika memanggilku dengan nama itu.
“Ya nggak suka aja,” sahutku tak ingin mendebat. “Saya suka sama nickname dari Bapak, walaupun kelakuan saya nggak mencerminkan malaikat.”
Dia tertawa lebar, “you're an angel, at least buat Papa karena sudah membantu menghilangkan rumor tentang saya.”
“Kalau untuk Bapak?” Waduh kok lancang ya aku nanya begini ke manusia modelan Jevan gini. Mendengar pertanyaan spontan dariku, Jevan agaknya sedikit kaget. Ia terlihat kikuk walau hanya sebentar. Tak lama Jevan tersenyum lagi, jarinya bergerak merapihkan salah satu helai anak rambutku yang sedikit berantakan.
“More than an angel,” jawabnya dalam satu tarikan nafas, namun aku tercekat.
Dia tersenyum lagi saat sadar aku si norak ini tersipu dengan gombalan maut darinya.
“Ngel.”
“Yaaa?”
“Mau go public?” Jevan menggenggam tanganku lembut.
“Pak...jangan bercanda...”
“Kenapa? Kita udah suami istri juga..”
“Biar makin yakin kalau rumor itu gak bener ya, Pak? Gak apa-apa sih kalau memang mau di set-up kayak gitu.”
“Kamu percaya sama gosip murahan kayak gitu?” Jevan merapatkan dirinya kepadaku, wajah kami bahkan cuma berkisar beberapa senti. Dari jarak sedekat ini, aku baru sadar bahwa suamiku ini ternyata memang beneran bibit unggul. Hidung mancung serta rahang tegas yang memperkuat aura maskulinnya membuatku nyaris tak percaya bahwa dia seorang...
“Saya bukan gay, Angel,” ucapnya sambil mengusap bahuku.
”...Saya normal,” ujarnya dengan suara dalam.
Kerongkonganku mendadak kering ketika Jevan memberikan klarifikasi tentang gosip itu. Juga dengan dadaku yang langsung berdebar tak keruan saat sadar bahwa aku belum mengenakan bra. Saking lelahnya aku hari ini, aku sampai lupa mengenakannya selesai mandi tadi.
INI GIMANA YA?
“Pak, saya mau ke kamar mandi dulu!” Aku langsung bangkit berdiri, berlari agak heboh untuk mengoyak koper pakaianku. Sayang... sayang sekali bra itu sudah kumasukkan ke dalam kantung laundry dan telah diserahkan oleh pelayan hotel pada petugas laundry tersebut. Mana cuma satu!!! Aduh Cali kenapa nggak pernah prepare
“Kenapa, Ngel? Kok grabak grubuk?” Jevandra melongokkan kepalanya di belakang pintu, sementara aku yang terlalu panik segera melindungi asetku.
“Jangan deket-deket! Angel gak pake beha!!!!” pekikku sambil membanting pintu kamar mandi, tak lama dari arah luar kudengar Jevandra berteriak setengah mendesah.
“AAAAH!” jeritnya dari luar.
“PAK JEVAN!!!!!!!”
“Hahahahaha. Pake bathrobenya buruan, ntar malem juga lepas.”
“BRENGSEKKKK!”
Dia makin tertawa penuh kemenangan.