noonanya.lucas

“Ri, kenapa?” Saya sontak menopang tubuh Mentari ketika ia nyaris saja terjatuh.

“Agak pusing sedikit,” bisiknya. “Gak apa-apa, Mas. Nanti minum obat juga hilang.” Saya tahu jawaban itu hanyalah titik aman yang Mentari berikan untuk saya agar tidak terlalu mengkhawatirkannya. Namun tetap saja, saya tak dapat menyembunyikan kecemasan saya kala mendapati wajah Mentari perlahan memucat. Beberapa kali ia mengerjapkan mata demi menahan pening.

“Mamah, Mamah, kita ke kamar Mami yuk.” Aidan datang, menarik tangan Mentari untuk ikut bersamanya. “Dan, Mamah gak bisa sembarangan masuk ke kamar yang bukan kamar Mamah... Mamah anter Idan sampe sini aja ya? Besok kita ketemu lagi. Oke?”

“Tapi, Mah...” Saya segera melirik Aidan, mengisyaratkan agar tidak memaksakan kehendaknya.

“Ya udah deh, Mah. Idan mau peluk Mamah sama kiss-kiss Mamah dulu.”

Mentari mengangguk, ia setengah berlutut kemudian mendekatkan pipinya pada Aidan. Namun dari yang saya perhatikan, sepertinya Mentari hanya sedang berpura-pura kuat. Tadi dia sempat hampir lunglai lagi.

“Jangan lama-lama, Dan. Mamah harus istirahat,” kata saya padanya. Mendengar ucapan saya, lagi-lagi Mama Recha menimpali.

“Aduh, aduh... Mesra sekali ya Mentari dan Ody. Kayaknya kamu sangat menikmati ya, menjadi pengganti Kirana,” cicitnya sembari berjalan ke sebelah Mentari. Aroma cendana khas wewangian Kirana tercium kuat, Mentari di sebelah saya mengendus pelan. Tangannya menggenggam lengan saya erat.

“Ma, Ody sama Riri balik dulu, ya.”

“Kok cepet banget? Gak mau nostalgia sama istri pertama kamu, Dy? Biar gimanapun Kirana sangat berharga buat Idan dan berjasa dalam hidupmu. Jangan karena satu perempuan gini dong, kamu jadi melupakan Kirana.”

“Ma, saya minta untuk tidak bicara kayak gitu di depan Aidan dan Riri,” tegas saya padanya, tetapi Mama Recha cuma menanggapi dengan senyum remeh khasnya dan tanggapan tersebut membuat emosi saya makin menyeruak di dalam. Tanpa permisi, akhirnya saya tinggalkan rumah penuh kenangan itu.

“Mamaaaaaahhhhh!” Aidan menjerit saat Mentari berjalan meninggalkan kediaman Mama Recha.

“Idan, liat. Liat gimana Mamah baru kamu itu memengaruhi Papi. Sekarang Papi jadi orang jahat kan? Idan mau jadi seperti Papi?” Mama Recha enggan berhenti memengaruhi Aidan.

“Oma, Idan mau pulang. Idan mau sama Mamah dan Papi. Idan nggak mau di sini!”

“Kenapa gitu, Dan? Oma dan Opa udah siapin makanan kesukaan Idan,” cegat mantan ayah mertua saya.

“Mamah Idan bukan orang jahat! Mamah Idan orang baik! Mamah Idan surganya Idan sekarang!” balas Aidan sengit, wajahnya memerah karena dipenuhi amarah. Ia menyusul kami, namun saat sampai di depan pagar, Mentari terjatuh lemas. Ia nyaris tak dapat berdiri tanpa bantuan sambil memijat kepalanya.

Perasaan saya mendadak tak menentu kala mendapati Mentari meringis kesakitan. “Kepala saya sakit.” Ia melirih sendu.

“Oma, Omaaaaa!” Suara Aidan dari depan pagar sontak membuat mata para pekerja di rumah Mama Recha menoleh. Mereka menunduk sungkan, melirik saya dengan tatapan penuh simpati, seakan paham betapa saya sudah lagi tak dianggap keluarga oleh ibu mendiang Kirana.

“Sebentar ya, Mas Ody. Saya harus catat dulu nomernya. Ibu Recha bilang kalau tamu orang luar harus kita catat di buku tamu.”

Saya mengangguk paham. Kebiasaan ini juga saya alami saat dulu masih berpacaran dengan Kirana. Saya belum punya apa-apa saat itu, hanya motor buluk yang harganya tak sebanding dengan jejeran mobil sport koleksi mantan ayah mertua. Tentu kehadiran saya pasti akan ditolak mentah-mentah oleh satpam di sana.

Saya pikir hal itu tidak akan terulang lagi, ternyata keputusan yang saya ambil membuat mereka menganggap Aidan, cucunya sendiri seperti orang asing. Saya sebagai ayah Aidan sangatlah tak tega mendapati anak tak bersalah ini harus berpanas-panasan di bawah matahari sambil menenteng beberapa perbekalannya. Nurani mereka tampaknya sudah mati, padahal bisa saja mereka mempersilakan Aidan untuk segera masuk.

“Baik, Pak. Silakan. Dari dalam sudah diperbolehkan.” Saya langsung menggandeng Aidan dan mengantarnya, namun anak itu berhenti di tengah jalan.

“Om Satpam, Mamahnya Idan suruh masuuuuk! Mamah gak boleh tunggu di luar. Idan marah ya!”

Para satpam hanya tersenyum sungkan kala Aidan memarahi mereka, sedangkan saya cepat-cepat membawa Aidan ke dalam. “Idan gak mau masuk kalo Mamah gak masuk, gak nemenin!” Ia melipat kedua tangannya di dada.

“Dan, jangan gitu.. udah ditunggu Oma Opa. Ayo masuk,” ucap saya membujuk.

“Enggak! Idan mau Mamah juga sama Papi anterin Idan!” Ia menghentakkan kakinya. Dari kejauhan mantan ayah mertua saya memerhatikan. Beliau menuruni tangga kecil di halaman rumah menuju tempat kami berdiri, mengulurkan tangannya untuk menggandeng Aidan.

Namun dengan cepat Aidan menepis tangan mantan ayah mertua saya. “Kenapa Idan? Kan sama Opa.”

“Opa, kenapa Mamah Idan gak boleh masuk? Idan mau Mamah masuk juga.” tanya Aidan tanpa basa-basi.

“Ya karena... Mamah Idan itu bukan orang baik.” Dari belakang suara serta sindiran pedas itu terdengar. Bukan dari mantan ayah mertua, tapi siapa lagi kalau bukan Mama Recha.

“Mamah Idan baik kok, Oma. Mamah suka bacain buku cerita, Mamah temenin Idan belajar, Mamah masakin makanan kesukaan Idan. Dan...”

“Mamah bikin Idan lupa sama Oma, Opa dan Mami.” Mama Recha sengaja melirik saya sinis, seakan menyindir keputusan saya yang begitu ditentangnya.

“Iya kan? Coba. Dulu Idan seminggu sekali main ke rumah Oma, main sama Oma-Opa. Sekarang? Sebulan sekali. Pasti Mamah baru kamu itu yang bilang ke Papi supaya kamu gak main ke sini.”

“Enggak kok, Oma. Mamah gak pernah ngomong begitu.”

Ia tersenyum picik, “itu kan di depan Aidan. Idan gak tau di belakang, Mamah baru Idan bicara apa sama Papi.”

Ini keterlaluan. Saya tak menyangka bahwa setega itu nenek kandung dari anak saya meracuni pikiran cucunya.

“Jangan ngomong begitu, Ma. Mentari gak pernah bicara seperti itu!” Saya yang sudah terlanjur emosi, akhirnya lupa daratan. Saya meninggikan suara hingga mantan ayah mertua terkejut mendengarnya.

“Ody! Berani-beraninya ya kamu membentak istri saya!” Ia naik pitam, sedangkan saya terdiam menahan segala emosi yang mulai berkecamuk di dada.

“Maaf, Pa.” “Dengar, sampai saat ini nggak ada yang pantas untuk menjadi ibu dari Aidan. Boleh aja perempuan itu masuk ke sini. Silahkan.”

“Nggak usah, Ma. Saya pulang sekarang,” balas saya menahan emosi dan langsung meninggalkan halaman rumah, namun Aidan menarik baju saya. Ia memandang saya dengan tatapan melas.

“Pak, perempuan yang di luar suruh masuk ya.” Begitu titah Mama Recha berbunyi pada para karyawannya.

Saya lihat dari kejauhan Mentari melangkah, dan setelah sampai ia mencoba bersikap ramah pada Mama Recha. Tangannya telah terulur untuk menyalami punggung tangannya, tetapi Mama Recha bersikap angkuh dan tidak membalas uluran Mentari. Saya di sebelah Mentari, mengusap punggungnya pelan. Saya tahu dibalik wajah kalemnya, ia menyimpan sejuta luka akibat menerima perlakuan tak enak dari keluarga Kirana.

“Tuh, sudah ya, Idan.” “Mamaaah!” Suara Aidan berubah ceria. Ia menggandeng tangan Mentari kuat-kuat. Namun begitu kami sampai di dalam, Mentari tiba-tiba saja terhuyung-huyung, ia nyaris pingsan.

“Maaf lama ya, Sayang.”

Sebuah kecupan singkat dari Mentari mampir di pipi saya. Ia datang dengan mengenakan mini skirt yang dipadukan turtle neck orange, persis kaus yang saya kenakan saat ini. Ia tersenyum samar, tapi jangan salah. Satu senyum Mentari sudah cukup menghanyutkan seorang Jordy Hanandian. Rambut hitamnya ia kuncir ke belakang, diluruskan. Padahal saya lebih suka rambut gelombangnya.

“Kamu catokan tadi?” tanya saya usai ia mendaratkan diri pada bangku penumpang.

“Kenapa? Aneh ya?”

“Kan kamu tau saya sukanya rambut kamu gelombang.”

Ia berdecih pelan, “ya biar rapi aja, Papi. Masa mau keliatan kayak orang bangun tidur?”

“Tau nih, Papi. Hu!” Aidan menimpali dari belakang. Saya geleng kepala mendengarnya. Semakin hari Aidan semakin menunjukkan sifat tengilnya yang saya gariskan.

“Kamu nih, Dan...” Saya hanya bergumam pasrah. Mentari tertawa kecil melihat saya yang menyerah atas celotehan Aidan.

“Ngalah sama Idan ya, Sayang,” bujuk Mentari sembari mengelus pipi saya. Aduh, kalau begini gimana saya bisa konsentrasi menyetir? Jika Mentari sedang memanjakan saya, rasanya saya ingin membatalkan jadwal Aidan main ke rumah Omanya. Lebih ingin spend time bertiga dengan Mentari dan Aidan di rumah, belum lagi reaksi Mama Recha jika bertemu Mentari.

Hingga saat ini, mertua saya belum menerima keputusan saya, meski memperbolehkan Aidan bertamu ke rumahnya. Seperti hari ini. Namun bila saya perhatikan lagi, Aidan...malah tak seantusias biasanya. Padahal dulu ia akan meloncat kegirangan bila diantar ke rumah mantan mertua.

“Mamaaah, nanti anterin Idan ya, Maaaah?” rengek Aidan tiba-tiba. Saya tentu langsung mengantisipasi. “Dan, nanti sama Papi aja. Kan sama.”

“Maunya sama Mamaaaah,” balasnya dengan manja. Saya sontak menggaruk pelipis, lantaran sudah terbayang apa yang akan terjadi seandainya Mentari menginjakkan kaki di rumah Mama Recha.

“Aidan—” “Gak apa-apa, Mas. Nanti aku temenin.” Mentari memotong ucapan saya dengan penuh keyakinan.

“Ri, nanti kamu malah diapa-apain sama Mama.” Ia mengusap punggung tangan saya, tatapannya lembut dan teduh. “Aku nggak akan kenapa-napa, cuma nganterin Idan sampe pager doang.”

Saya terenyak. Perempuan setulus ini sebenarnya tidak pantas mendapat perlakuan sekasar itu dari perempuan lain. Meski tak sedarah dengan Aidan, saya adalah saksi betapa Mentari sangat menyayangi anak saya. Ia mengurus putra saya seperti anak kandungnya sendiri, ditengah tengarai orang-orang yang meragukan Mentari karena usianya yang masih muda. Tapi terbukti kan? Ia lmembawa dampak besar bagi Aidan. Walau terlih at manja, Aidan yang sekarang lebih bisa menjaga emosi dan tantrumnya. Kalau perihal manja... Sepertinya hal ini masih harus pelan-pelan dihilangkan. Saya memaklumkannya sebab Aidan ingin merasakan kasih sayang seorang ibu. Maka wajar rasanya saat Mentari hadir dan menjadi ibu sambungnya, Aidan benar-benar menikmati perhatian darinya.

“Ya udah, nanti saya temenin. Saya akan berusaha keras supaya kamu gak diapa-apain sama Mama.”

“Iya, Sayang. Makasih banyak,” sahutnya seraya mengusap pipi saya pelan. . .

Kami tiba di rumah Mama Recha sekitar pukul setengah tiga sore. Memang melewati waktu yang sudah saya janjikan, namun jalanan Jakarta siang ini terlalu padat. Arah tol ke MT Haryono dipadati kendaraan roda empat, hingga saya harus cari jalan alternatif agar cepat sampai.

Namun sepanjang perjalanan, saya perhatikan Aidan tidak bawel dan excited seperti biasa. Padahal setahu saya, Aidan paling semangat kalau ke rumah omanya karena dia tahu apa yang saya larang akan dituruti oleh Mama Recha.

“Dan, kenapa?” tanya Mentari pada Aidan yang murung.

“Idan nanti sama siapa bobonya... mau sama Mamah...” Suara Aidan mulai gemetar.

“Kan cuma sehari, Nak. Besok Idan kan udah pulang...”

“Tapi maunya sama Mamaaaah, Mamah ikut nginep aja di rumah Oma, ya, Ma, ya?” Saya dan Mentari sontak berpandangan. Kami sama-sama bingung untuk menjelaskannya pada Aidan.

“Dan, itu kan bukan rumah Mamah sama Papi...” Mentari mencoba memberinya pengertian. “Kemaren Idan udah janji sama Oma, kan?”

“Tapi, Mamah kan Mamahnya Idan. Berarti Mamah boleh masuk ke rumah, kan Mamah istrinya Papi. Anaknya Oma juga.”

Pening langsung kepala saya. Aidan memang terlalu kecil untuk mengerti apa yang terjadi antara mantan mertua saya dan Mentari.

“Dan, Mamah bukan anaknya Oma. Yang anaknya Oma kan Mami..”

“Tapi, kata Oma Papi anaknya Oma, terus kenapa Mamah gak boleh jadi anaknya Oma, Pi? Kenapa?”

Pertanyaan Aidan sungguh membuat saya tak lagi mampu menjawab. Aidan dan logikanya yang terlalu realistis memang terwaris dari saya, namun kadang di situasi yang tidak tepat. “Kalo Mamah ikut, Mamah kan bisa pake baju Mami. Bobo di kamar Mami berdua Idan. Mamah ikut aja, pleaseeeeee...”

Ia mulai merengek pada Mentari. “Idan, Mamah gak bisa sembarangan ke rumah Mami Kirana tanpa seizin Oma Recha, soalnya rumah itu kan rumahnya Oma Recha...”

Aidan melengkungkan bibirnya. “Tapi Mamah boleh anter ke dalem kan, Mah? Idan maunya Mamah ikut...”

That was unexpected.

Saya sudah kehabisan ide membujuk Aidan dan memberi pengertian padanya. Aidan yang saya kira akan baik-baik saja tanpa Mentari, justru paling takut berpisah darinya.

Kalau begini... mau tidak mau saya harus bicara dengan mantan mertua agar setidaknya Mentari boleh diizinkan masuk ke rumah.

Jika banyak perempuan menangis saat dilamar dengan suprise sebegitu mewah nan romantis, aku malah menangis cuma gara-gara Jordy yang menggandeng tangan Aidan. Buatku hal ini adalah sebuah kemajuan. Seperti yang kalian tau, saat awal menikah dengannya, Jordy tak pernah punya dad and son agenda bersama anaknya, kecuali saat Aidan merengek padaku ingin ke Jakarta Aquarium. Disitu Jordy benar-benar terlihat canggung ketika Aidan menyelipkan tangan mungilnya ke telapak tangan Jordy. Raut wajahnya kaku dan matanya memancarkan ragu.

Namun hari ini Jordy sukses membuatku terpukau dengan segala hangat dan tutur lembut yang keluar dari bibirnya ketika ia bicara dengan Aidan. “Boleh ke sana, tapi gandeng tangan Papi, Nak.”

Dan tanpa protes, Aidan yang notabene-nya enggan dekat dengan Jordy tanpa ragu menuruti perkataan ayahnya. Karena satu-satunya cara agar Aidan patuh, hanya melalui nada bicara lembut. Tidak pakai bentakan apalagi teriakan.

Aku teringat akan suatu momen dimana aku dan Jordy bertengkar hebat usai aku memenuhi panggilan Kepala Sekolah Aidan.

“Idan nggak bisa kamu bentak kayak gitu, Mas Jordy. Aku tau cara dia salah... Tapi kalau mau negur bicaranya yang baik. Dia pasti mau dengerin kata-kata kamu.”

Saat itu yang menjadi fokus utamaku hanyalah menghilangkan trauma Aidan karena terus menjadi bahan rundungan di sekolah. Aku tak peduli mau semarah apa suamiku, atau ia menganggapku 'sok tahu' karena aku hanya ibu sambung anaknya, yang penting hubungan Jordy dan Aidan bisa membaik.

Alhamdulillah... doaku terjabah oleh Yang Maha Kuasa. Dari tadi di depanku sepasang anak dan ayah itu sibuk ngobrol berdua. Aku sebagai penonton di belakang, cuma bisa menahan haru lewat helaan nafas. Kulihat Aidan begitu antusias saat berhenti di sebuah mobil dengan harga yang mungkin sebanding dengan tas Hermes yang dihadiahkan Jordy.

“Mamah, Mamah, liaat! Ada mobil impian Idan, Mah!” seru anak itu berbinar. Aku mendekat, mengelus surai hitam Aidan. “Shalawatin, Dan. Siapa tahu nanti kalau Idan udah gede, bisa kebeli.”

Aidan memejamkan matanya dan langsung melantunkan ayat suci shalawat.

“Ri,” tau-tau Jordy pindah ke sebelah, tangannya merangkul bahuku. “Saya minta izin ya.”

“Izin apa?” Kok perasaanku tiba-tiba gak enak, ya?

“Ini.” Jordy menunjukkan kunci mobil berlambang kuda. Mobil impian Aidan.

“Mas...” Dengkulku lemas mendadak.

“you can't blame me since its one of my hobbies,” sahutnya santai tanpa beban. Aidan yang sudah selesai berdoa kemudian membuka mata dan langsung berteriak heboh ketika Jordy menunjukkan kunci mobil porsche itu di depan matanya. “MAH, DOA IDAN DIKABULIN ALLAH, MAH!”

Aku tersenyum hangat, tapi tidak saat kulirik ayahnya yang tertawa penuh kemenangan.

Sinting tuh orang.

“Ma, jangan gitu liatnya. Kan anakmu tuh yang minta,” bujuk Jordy sambil mendusalkan kepalanya di kepalaku.

Aku menatapnya datar. “Udah ya, jangan belanja yang aneh-aneh lagi.”

Sebenarnya kakiku sangat pegal mengitari mall seluas samudra ini. Dari ujung ke ujung, dari Timur ke Barat, tak ada satupun barang yang ingin kubeli. Bukan karena modelnya yang kurang pas, tapi harganya itu setara dengan cicilan motor Dhea. Bayangkan ya, satu tas jinjing dibanderol seharga tiga puluh juta!! Aku bagaikan LC yang memeras harta gadunnya dalam semalam. Mana gak boleh pulang pula sebelum membawa barang. Dari sekian banyaknya tas, akhirnya aku menemukan harga yang kira-kira cukup bikin jantungan, tapi tak terlalu menguras dompet.

Ya! Michael Kors. Aku langsung masuk ke store nya, tapi tiba-tiba kakiku membeku ketika mendapati Jenan berada di store sebelahnya. Aduh, aku panik bukan kepayang. Mau kabur tapi Jenan dengan senyum pepsodentnya lebih dahulu menyapaku.

“Hai, Ri.” Mampus.

“Hai!” Aku tersenyum kaku. Ia melirik ke arah kanan dan kiri lalu tertawa kecil. “Pawang lo mana? Eh, ya... Deep Condolences buat insiden waktu itu ya. So Sorry to hear that.”

Aku manggut-manggut karena apa? Ya, aku tidak paham apa yang ia bicarakan dengan akses amerikanya yang plek ketiplek dengan Jordy.

“Iya, makasih ya, Pak Jenan.” Ia tersenyum tulus. “Anyway, belanja?”

Saya mau maling, Pak. Jawabku dalam hati

“Hmm. Enggak liat-liat doang.” Dia mengangguk paham. “Oalah, gitu. Btw, gue lagi nyari tas nih buat kado. Mau ngadoin temen, cewe kebetulan. Siapa tau lo bisa bantu. Boleh temenin nggak?”

Kalau begini caranya aku ribut lagi nggak ya sama Mas Jordy? Mengingat cemburuannya menembus langit, sebaiknya aku menolak Jenan.

Aku tersenyum sungkan. “Pak, saya kayanya harus pulang deh. Udah kesorean ini. Gak bisa lama-lama.”

“Yah, padahal deket banget tempatnya. Tuh cuma di seberang.” Ia menunjuk salah satu toko dengan warna ngejreng mampus. Oranye menyala.

Aduh... bukannya ini tas yang harganya selangit itu ya? Tapi untuk selevel Jenan dan tampangnya yang gantengnya juga seperti pangeran, barang-barang seperti ini pasti mampu dibelinya. Lihat, dia melenggang masuk seperti tak ada beban sementara dengkulku lemas seketika saat melangkah ke dalam. Kakiku menapak sedikit demi sedikit, tangan ini kukatupkan agar tidak satu barangpun kusentuh. Ngeri-ngeri ada yang tak sengaja kusenggol, nanti malah menyusahkan.

Maunya menghindar, malah terjebak.

“Ri, menurut lo ini bagus nggak?” tanya Jenan dengan telunjuk yang terarah pada satu tas dengan logo H, HANDOKO (becanda) berwarna merah menyala.

“Bagus, keren. Saya suka.” Dia mengangguk-angguk kemudian meninggalkan jejeran tas itu. Dilihat-lihat harganya senilai rumah di Pondok Indah. Astaga... orang-orang seperti Jenan juga suamiku Jordy bisa kaya gini dari mana sih? Kalau ayah mertuaku memang pebisnis di bidang kelapa sawit dan tambang, jadi aku tak begitu heran mengapa Jordy bisa membeli barang-barang mahal. Ditambah series yang ia kerjakan selalu sukses, makin banyak pundi-pundi yang ia raup dalam rekeningnya.

Kalau Jenan... kabarnya sih juga anak dari seorang pengusaha kaya di Magelang.

Ah, sudahlah tak penting membahas sejarah sirkel jetset suamiku. Yang harusnya kupikirkan adalah bagaimana aku bisa menyudahi aksi jalan-jalan dengan mantan crushku-slash-sahabat suamiku sendiri. Aku tak mau mereka saling bersitegang seperti dulu.

Saking gugup dan fokusnya, aku sampai tak sadar jika tanganku tak sengaja menyentuh satu scarf berwarna putih satin dengan lambang H di setiap design nya. Cantik sekali, tapi gitu lihat harganya yang setara dengan biaya kuliah Aidan nanti. Lututku tambah lunglai setelah merapikannya ke posisi semula.

“Yuk Ri, udah nih.” Jenan datang dengan menenteng box segede gaban.

“Iya, Pak.” Aku mengangguk sambil mengekor Jenan tapi dengan jarak yang agak jauh.

Kami kemudian menyusuri satu bagian lagi, letaknya di pojok lantai G sebelah kiri. Toko yang menjadi surganya banyak perempuan dan barangnya juga fantastis. Aku sempat meliriknya sebentar dan sebenarnya aku tertarik pada satu gelang yang terpampang di manekin tanpa kepala itu.

Gelang dengan buah kalung bewarna soft pink marble. Cantik, tapi kalau aku yang pakai rasanya tuh barang jatuh pasarannya.

“Ri, lo mau masuk nggak?” tanya Jenan di sebelah. Aku sontak menggeleng.

“Saya harus pulang, Pak.” “Bentar dulu. Gue mau liat ke sana. Kayanya ada yang bagus buat aksesoris.”

SAKAREPMU WIS!!!!! Aku nyaris menjerit di telinga Jenan. Dari jaman kami berteman mesra sampe sekarang aku menikah, nih manusia satu nggaaaa pernah berhenti menambah masalah di hidupku yang seperti wahana kesayangan Aidan, Alang-alang Dufan.

“Kalau emang capek nanti duduk aja di dalem. Dapet complimentary kok.”

Aku cengo. “Complimentary tuh makanan apa ya, Pak?”

Dia cuma tertawa. Persis kaya sobat kentelnya, Jordy.

Cukup lama aku dan Jordy hanya saling memandang satu sama lain dengan posisi Jordy yang menempelkan kepalanya di pahaku sambil cosplay menjadi candi, alias tidak bicara.

Dia hanya mendusal disana, mungkin dia mengira aku masih marah, dia tak berani mengajakku bicara. Kepalanya mendongak sedikit, tatapannya terangkat padaku.

Kupikir ia akan mengucapkan sesuatu, ternyata cuma menghela nafas. Ya Tuhan, baru kali ini aku menemukan Jordy yang kebingungan skak-mat bin speechless. Biasanya ia akan masuk dengan mulut yang sudah siap mengomel panjang lebar atau ngoceh karena aku melakukan pekerjaan rumah.

Tapi bukan itu fokusku, ada hal lain yang lebih penting. Matanya yang sudah sembab dari dua hari lalu, kini makin menjadi-jadi. Dia menangis lagi? Astaga...

Kepalanya kemudian sedikit naik dan terhenti di bagian perutku. Ia mendusalkan kepalanya sesaat.

“Maafin Papi ya, Dek...” Suaranya bergetar pelan, lirih penuh lara. Di situlah aku baru tahu kalau selama dua hari kami tidak bicara, Jordy berduka sebegitu dalamnya. Benar, dia hancur.

Tangisnya luruh tak beberapa lama kemudian. Akupun sama. Walau tangisku tak seperti hari pertama, tapi baru kali ini kulihat Jordy menangis sampai sesenggukkan seperti ini.

“Maaf...Maafin Papi, Dek... Maaf ya, Nak..”

Dia terus mengulang kalimat yang sama sambil mengelus-elus perutku. Tanganku sampai gemetar saking khawatirnya pada Jordy. Karena seingatku, Jordy belum makan apa-apa sejak kemarin.

“Mas... udah...” Cuma itu yang sanggupku kukatakan padanya.

“Adek sedih kalo liat papinya yang kuat jadi gini...” kataku dengan suara yang tak kalah gemetar dari dia.

“Dek...” racaunya seraya mengaitkan tangannya pada pinggangku. “Dek...maafin ya?”

“Udah, Mas... Bukan salah kamu sepenuhnya, aku juga salah,” bujukku sambil mengelus wajahnya lembut. Jordy mengeratkan kaitannya, “Dek, lagi hukum Papi ya? Baik-baik di sana ya...”

“Allahuakbar, Mas Jordy... Udah.” Sesak langsung mengerubungi dada, ketika Jordy berulang kali mengatakan hal yang sama. Akupun sama sepertinya, kami mungkin melakukan kelalaian sehingga anak kami harus pergi, aku juga menyalahkan diri sama seperti Jordy saat ini. Tapi dia yang kukira kuat seperti badannya yang mirip atlet tinju, ternyata luruh ketika harus menghadapi kenyataan pahit ini. Aku langsung menarik Jordy dalam pelukku, mengusap dahinya seperti Idan saat mau tidur untuk menenangkan sedihnya— membiarkan ia sekai lagi menumpahkan sedih dan sesalnya di sana.

Dalam kondisi begini, tidak penting siapa yang salah dan benar; atau siapa yang lemah dan kuat. Seberapa besar salahnya padaku atau sebaliknya, aku harus menguatkan suamiku...yang ternyata jauh lebih ringkih daripada aku.

Jordy yang kukira kuat dan dingin, ternyata menyimpan luka dan lara yang sama denganku.

“Udah ya? Kita harus bisa ikhlasin Adek, Mas.”

“Ikhlas gimana, Ri? Kalau malam itu saya ga berangkat syuting, kamu sama Adek pasti bisa selamat.. yang salah di sini saya. Saya yang gak bisa jagain kamu, adek, Idan. All is my fault. Saya minta maaf... maaf buat yang gak tahu udah keberapa kali ke kamu...”

”...Mungkin kalau suami kamu Jenan, kondisi kamu ga akan semenyedih—”

“Ngomong gitu lagi, WA-mu aku block! Mau?” Aku mengancam sambil menyeka air matanya sampai ia terdiam dan hanya memandangku sendu.

“Jangan...Ma,” cicitnya pelan. “Makanya, kalo ngomong jangan sembarangan!”

“Iya, maaf.” Ia menundukkan kepala. “Elus-elus lagi kayak tadi, jangan Idan doang.”

Aku tertawa kecil padahal wajah kami yang sama-sama sembab menjadi kaku karena terlalu banyak menangis.

“Lagi, Ri, lagi. Sampe saya tidur.”

Aku tak punya pilihan lain selain mengiyakan kemauan bapak-bapak anak satu yang selalu tak mau kalah dari anaknya, yang sudah tertidur lebih dulu di sebelahku.

Pintu kamar saya... tidak terkunci, padahal biasanya Mentari akan menguncinya jika ia sedang kesal dengan saya. Dia tak akan mau bicara atau bahkan melihat muka saya, seperti yang terjadi dua hari ini.

Kali ini ia membiarkan pintunya sedikit terbuka, memberi akses saya untuk bisa masuk dan memerhatikan kondisinya. Kamar yang semula berantakan pasca ditinggal berhari-hari telah ia sulap menjadi rapi. Saya tahu Mentari yang membereskannya. Kebiasaan bersih-bersihnya adalah jalan ninja Mentari untuk menenangkan diri. Tapi... saya tahu jauh dalam lubuk hati yang terdalam, ia memendam segala patah dan hancurnya sendirian.

Ia selalu tak berani menceritakan apapun pada saya karena takut berimbas pada pekerjaan saya. Kalau hal sebesar ini, tentu akan sangat berpengaruh bagi saya. Malaikat kecil kami berpulang, siapa yang takkan terpukul dengan kepergiannya?

Jangan kira...saya nggak hancur. Saya juga hancur, saya tidak bisa kata-kata yang saya ucapkan pada Mentari. Dia mungkin berpikir bahwa saya ikhlas dengan perginya anak kami, nyatanya tidak. Saya tidak baik-baik saja.

Hampir dua malam penuh saya menangis usai dokter yang menangani Mentari berkata bahwa anak kami sebenarnya bisa selamat, seperti yang dikatakan Bulik Ratih. Ia dan timnya berjuang mencari penyebab anak kami meninggal, namun mereka tidak menemukan penyebabnya.

Ia hanya berkata semua ini terjadi atas kehendak Tuhan, mungkin belum rezeki kami. Bagian itu makin mengiris hati saya karena saya langsung ditegur tak pantas menjadi seorang suami juga ayah. Saya lalai menjaga amanah ini. Ucapan Mentari sewaktu ia benar-benar marah pertama kali karena saya asal menuduh Aidan yang memukul temannya, seketika memenuhi kepala saya.

Benar...

Jika mengurus Aidan saja saya tidak bisa, mungkin kepergian malaikat kecil kami adalah ganjaran dari perbuatan saya.

Kalau sedang ribut begini, ada satu hal yang paling aku rindukan dari Jordy, yakni ia yang akan melarangku untuk pergi jauh darinya. Tapi kali ini...Jordy tidak melakukannya. Kami pulang ke rumah dalam hening. Ia meletakkan barang-barang bawaan di sofa kemudian langsung menghilang ke ruang kerja.

Sebegitunya kah dia tidak menginginkanku? Lalu mengapa ia mencium kepala serta menggenggamku sepanjang perjalanan pulang? Aku lantas mempertanyakan lagi kesungguhan Jordy. Jangan-jangan yang ia lakukan cuma sebuah formalitas. Pulang ke rumah inipun hanya untuk beristirahat. Tidak untuk Aidan, apalagi aku.

Daksaku membeku di sana.

Ruang keluarga yang tadinya selalu dipenuhi tawa Aidan juga Jordy yang ricuh setiap mereka bermain playstation. Sekarang... hampa. Benar-benar menjadi saksi bisu kehangatan itu memudar.

Keluarga? Bahkan aku tak lagi merasakan adanya hangat dalam keluarga kecilku. Jordy menjauh, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Sedangkan aku...berusaha menguatkan hati, usai kehilangan buah hatiku. Acara pengajiannya akan diselenggarakan malam nanti, tapi Jordy sama sekali tidak membahasnya, tak peduli dengan perginya calon buah hati kami. Dia bilang dia juga sama terpuruknya seperti aku, tapi nyatanya Jordy hanya membual. Ia malah mengunci dirinya rapat-rapat seperti saat aku dan dia memutuskan untuk menikah dengan alasan demi Aidan.

Aku kembali ke kamar, menata pakaian-pakaianku di dalam lemari, sebelah pakaian dalam Jordy. Tak jauh dari situ, ada bingkai foto pernikahanku dengan Jordy saat resepsi. Tanganku tak sengaja menyentuhnya hingga terjatuh namun untungnya tidak sampai pecah. Kudirikan kembali posisinya, namun sesak seketika membuncah dalam benakku. Aku...tak bisa membayangkan jika suatu saat aku mengamini keinginanku untuk berpisah dengan Jordy.

Bagaimana dengan Aidan? Hal ini selalu membuatku tak berani mengambil langkah itu. Bukan karena penyesalan, juga bukan karena aku hancur dengan fakta Jordy masih mencintai Kirana.

Lima menit berlalu, aku masih menata beberapa potong pakaian yang belum kususun sejak aku terjatuh di kamar mandi. Posisi baju-baju itu masih sama, tercecer di lantai bahkan sampai masuk ke bawah kolong lemari. Aku membungkukkan tubuhku sedikit meski dokter melarang, karena hanya dengan cara seperti ini aku bisa melupakan masalahku.

Aku meringis pelan, karena ngilu itu ternyata masih ada walau tak seperti di hari-hari pertama. Setidaknya aku mampu dan bisa menyelesaikannya sendiri. Jadi...bila suatu saat aku harus meninggalkan Jordy dan Aidan, aku siap, dan tak lagi terbayang-bayang mereka.

“Mamah...” “Ya, Idan?” Aku buru-buru menyeka air mata yang tersisa di wajah saat Aidan masuk dan menyapa. Ia berlari ke arahku lalu memelukku erat.

“Kenapa, Sayang?” tanyaku seraya mengusap kepalanya.

“Mamah... Mamah tenang aja, adik udah tenang di surga. Nanti kita doain ya, Mah... titip doa ke Mami biar jagain adiknya Idan.”

Tangisku pecah seiring Aidan mengakhiri ucapannya. Aku mengeratkan pelukku pada Aidan, putraku satu-satunya. “Idan tau dari siapa? Maafin Mamah ya, Mamah gagal jagain amanah buat Idan..”

“Enggak, Mamah–”

“Ri, Dan, ayo—” ucapan Jordy terhenti. Ia melangkah mendekati aku dan Aidan, lalu merapatkan tubuhnya sedikit padaku. Kecupan kecil mendarat pada puncak kepalaku di bagian belakang. Wajah Jordy memerah... dan matanya sembab. Ia menangis?

Jordy tak banyak bicara, tapi raut mukanya begitu jelas memancarkan kepedihan yang sama denganku. Ia menghindari tatapanku, sama seperti yang kulakukan padanya beberapa hari ini Tangannya dipenuhi barang bawaanku dan tas Aidan, sangat kentara bahwa Jordy sedang menghindar dariku.

“Papi...” Aidan mengulurkan tangannya. “Nanti ya, Dan. Papi harus bawa barang ke mobil. Idan sama Mamah dulu ya.”

“Papi jangan nangis...” Jordy melirik Aidan sebentar dan hanya tersenyum tipis. Tinggallah aku yang kini dipenuhi rasa bersalah karena telah meragukannya.

“Aduh, kebelet pipis lagi!” Aku bergumam pelan di tengah malam. Kulihat Aidan sudah tertidur pulas di sebelah dengan posisi mengamit lenganku. Dengan hati-hati, kuletakkan tangan Aidan di bantal, kemudian menurunkan kakiku. Tunggu. Kenapa lantainya sedikit lembek dan bertekstur?

Aku langsung menyalakan lampu kecil saking panik dan takut ada orang yang menyelinap ke kamar. Aku menunduk sedikit dan ternyata...benar ada penyelinap yang masuk entah dari mana. Tidak lain tidak bukan, Jordy Hanandian.

Ia tertidur di lantai tanpa alas sedikitpun. Lengannya menutupi dahi dan muka. Dia..sangat kelelahan. Aku tahu, tapi lagi-lagi egoku muncul. Amarah yang masih tersisa kembali memenuhi benakku. Kuputuskan untuk melangkahinya dengan memastikan bahwa kakiku takkan menimbulkan suara.

Tapi...aku lupa. Geretan infus yang mesti kudorong pasti akan membangunkan Jordy, sementara perawat menarik tiangnya cukup tinggi sehingga sulit buatku untuk menggapai kantung infusnya.

“Mau ke toilet?” Jordy tiba-tiba saja berdiri tegap di belakang seraya menyangga tiang infus itu.

“Aku bisa sendiri,” jawabku dingin. Meski rasa ngilu setelah kuretasi masih terasa, aku menahannya sebaik mungkin. Aku tak mau ia melihatku meringis. Aku berjalan pelan menuju kamar mandi, diikuti langkahnya dari belakang.

Tak sampai sedetik, aku tiba di kamar mandi. Aku sengaja mengunci pintunya, membiarkan Jordy menunggu di luar. Entah ia tetap menunggu atau kembali tidur, aku masih amat terpukul dengan ucapannya.

“Ri, bisa nggak?” tanyanya dari luar. Aku tak menjawab.

“Ri?” ulangnya. Aku sengaja menyalakan flush toilet agar ia berhenti menanya-nanyaiku. Aku berdiam sebentar di toilet, menangis di sana. Ini adalah satu-satunya caraku meluapkan kesedihan serta betapa hancurnya aku saat tahu Jordy lagi-lagi berbohong. Tentang perasaannya, tentang cara pandangnya terhadapku. Ia yang kucinta sepenuh hati, ternyata mematahkanku hanya dalam sedetik. Padahal berkali-kali aku ingin menyangkal keyakinanku sendiri; juga tentang weton kami yang katanya berseberangan, namun nyatanya anggapan tradisi itu kian nyata dalam hidupku. Aku dan Jordy adalah dua pribadi yang berbeda. Kami seatap walau tidak satu rasa. Lalu untuk apa aku harus bertahan dengannya?

Selain karena Aidan...yang sudah kusayangi seperti anak kandungku sendiri.

“Ri.” Aku berjalan menuju ranjang tanpa sedikitpun merespon panggilan Jordy. Helaan nafasnya terdengar seolah frustasi karena sudah seharian tak kuajak bicara. Ia duduk di sebelahku setelah memindahkan Aidan di sofa yang lebih empuk.

“Ri...” Suaranya mengudara, ia menggeser tubuhnya agar bisa dekat denganku. Netranya memandangku teduh. Aku nyaris tergugah, tapi sekali lagi hati kecilku bertanya-tanya, Untuk apa?

“Masih ngilu-ngilu nggak?” Wajahku memerah dan seluruh mukaku terasa panas. Tanpa sadar air mataku terjatuh. Jordy lantas mengusap mukaku dengan ibu jarinya. Ia hendak membawaku ke peluknya, namun dengan cepat kutepis.

“Saya juga kehilangan, Ri. Sama seperti kamu. Dia anak saya...Jangan kira saya nggak hancur.”

Suaranya memelan dan gemetar, tapi aku tetap meragukan perasaannya? Benarkah ia merasa kehilangan anak kami? Benarkah ia menyayangi anak ini walau tidak lahir dari rahim perempuan yang ia cintai?

Aku harap apa yang Jordy ucapkan bukan hanya bualan. Aku harap ia merasakan hal yang sama denganku terlepas kata-kata menyakitkan yang ia hadiahkan padaku disaat aku berjuang sendirian di ruang operasi.

Jordy akhirnya berpindah dari kasur dan mengusap kepala serta punggungku sebelum ia kembali tidur tanpa alas di lantai. Sesaat kudengar gesekan kain celananya berjibaku dengan dinginnya lantai rumah sakit, perih di hatiku bergaung hebat. Sekali lagi, aku hancur.

Kali ini bukan hanya kehilangan anakku, tetapi juga laki-laki yang kucinta.