Benteng Runtuh
“Dan, kamu dijagain Mba Erna dulu ya?”
“ENGGAK MAUUUU, mau ikut Papi!” Tangis anaknya pecah, disaat Jordy telah berpakaian rapi dan bersiap menghampiri Mentari di rumahnya.
“Dan, sebentar aja. Ya?” bujuk Jordy sekali lagi.
“Ikuuuuut! Mau ikut, pokoknya Idan ikut!” keras sang anak. Diliriknya Erna, sang pengasuh yang juga menghela nafas. “Gak papa, Pak. Nanti saya aja yang bujukin Idan.”
“GAK MAUUUUU! Sana!!!!” Idan mendorong keras tangan Erna yang hendak menggandengnya.
“Aidan.” Kalau Jordy sudah memanggil nama anaknya dengan lengkap, hal itu menandakan emosinya telah memuncak. Yang berarti Idan harus menuruti ucapan ayahnya.
Sorot mata sabar Jordy pun sirna, berganti dingin seperti menahan marah. Tetapi Idan si kecil tak peduli, ia tetap menangis kencang saat ayahnya membuka pintu. “PAPI NAKAL! PAPI JAHAT! PAPI TUKANG BO'ONG!” teriaknya penuh amarah. Ia lantas masuk ke kamar dan membanting pintunya keras.
—
“Mbak, kita ke rumah sakit aja ya sekarang?” Dhea membuka pintu kamar Mentari, menemukan perempuan itu sedang mengurut kakinya yang mulai bengkak dan lebam.
“Jam segini, Dhe. Mana ada klinik yang buka? Jauh lagi. Gak apa-apa, nanti aku urut aja pake minyak. Lagian besok juga masih bisa,” tolak Mentari sembari melanjutkan pijatan. Sedikit-dikit ia meringis karena kakinya sangat sakit.
“Oh iya, Dhe. Hape Mbak mana? Tadi Mbak ketiduran, takut ada telepon yang masuk.”
Dhea menggigit jari, panik seketika saat kakaknya ingat pada benda penting itu. “Kamu keluarin dari tasku?”
Dhea mengangguk pelan. “Mbak, jangan marah ya..”
“Kamu ngomong sama Jordy kalo aku jatuh dari motor?”
Dhea menggeleng kuat. “Terus?”
“Aku salah orang, Mbak...”
Mendadak perasaan Mentari kalut saat Dhea berkata jujur. “Salah orang maksudnya gimana?”
“Aku kira tadi Om Jordy, Mbak...”
“Kira Om Jordy gimana maksudnya sih, Dhe?”
“Aduh, Mbak. Beneran, aku tadi soalnya kesel banget sama Om itu. Jadi aku main bales chatnya, aku kira tadi itu lapak chatnya Mbak sama Om Jordy...” Ia menarik nafas dalam-dalam. “Ternyata bukan.”
Sama seperti sang adik, Mentaripun mulai panik. Terbayang sudah siapa yang Dhea chat malam-malam begini.
Tok! Tok!
“TUH KAN! Aduhhhh, pasti Om tadi nanya sama temennya deh, gimana ya?” Dhea pontang-panting di depan pintu, tak berani membukanya.
“Mbak! Mbak mau ngapain?” Dhea terkejut saat mendapati Mentari nekat bangun dari tempat tidur dan berjalan tertatih menuju pintu.
“Mbak, please jangan marah sama aku.. Aku tau aku lancang..” mohon Dhea nyaris menangis.
“Buka pintunya,” titah Mentari yang akhirnya menyerah tak kuasa menahan sakit. “Mbak, tapi aku malu...”
“Buka, Dhea,” tegas Mentari. Mau tidak mau Dhea hanya bisa berharap jika laki-laki bernama Jenan itu tidak akan menertawainya. Ia beringsut menuju pintu dan seraya membaca doa, tangannya memutar gagang.
“Mentari mana?” Sosok tinggi besar yang tak lain dan tak bukan adalah calon suami kakaknya berdiri di depan. Mukanya panik setengah mati.
“Di dalem, Om,” sahut Dhea pelan. Ia segera menghembuskan nafas lega saat mendapati sosok yang datang bukanlah Jenan, melainkan Jordy.
“Di ruang tamu, Om. Di belakang,” tambahnya sembari mengarahkan Jordy untuk masuk lebih dalam ke rumahnya.
“Dhe! Siapa yang dat—” Perempuan itu tertegun kala netranya menatap laki-laki yang datang di tengah malam begini. Air mukanya tampak lelah dan sedikit menyiratkan khawatir. Ia duduk di sebelah Mentari tanpa mengucap satu katapun.
“Kamu tau, Idan nangis di rumah, dan kamu malah bikin masalah tengah malem begini,” tegurnya tanpa ampun.
“Maaf.” Perempuan itu hanya bisa menundukkan kepala. “Aku cuma pengen cepet sampe di rumah tadi...”
“Hape kamu mana? Kenapa saya telepon gak dijawab?” cecarnya lagi.
“Tadi sampe sini aku langsung istirahat, Mas. Udah gak megang hape lagi.”
“Makanya didengerin kalo saya ngomong,” katanya lanjut ngomel. “Udah dibilangin dianter Devon, gak mau.”
“Iya maaf, soalnya Dhea sendirian di rumah, Mas.. pikirku tuh tadi—” Mentari menghentikan pembelaannya saat Jordy yang ia kenal dingin dan angkuh, menarik celana panjangnya. Daksa lelaki itupun tersorot pada luka lebam yang terdapat di sekujur kaki Mentari, begitupun tumitnya yang membengkak.
“Ini siapa supir gojeknya? Kamu catet nomernya nggak?”
“Nomer...? Nomer motor?”
“Nomor hapenya, Mentari. Masa gitu aja nggak tau?”
“Nggak nyimpen, kan kalo pake aplikasi langsung kehapus kalo—”
“Halo? Ini dengan Gojek?” tanya Jordy melalui sambungan teleponnya. “Bisa nggak kalo hire supir yang bener?” Mentari makin terdiam saat menyadari jika Jordy sedang mengajukan komplain pada perusahaan tersebut.
“Mas, kamu ngapain, deh?” cegat Mentari, berusaha menarik ponsel Jordy. “Udah ah, jangan ngamuk kayak gitu.”
Semakin Mentari berusaha menekan emosi Jordy, lelaki itu semakin asyik memarahi sang operator. “Lain kali kalo hire supir yang bener! Di cek bisa bawa motor apa enggak!” Ia mematikan ponselnya dengan nafas tersengal-sengal.
“Ngapain sih kamu, Mas...” Ia geleng kepala. Satu sifat Jordy yang baru Mentari ketahui, ternyata Jordy tidak seacuh bayangannya. Ia memang sempat mengurungkan niat untuk memberitahu insiden ini, karena tahu Jordy tidak akan peduli. Namun yang tak Mentari sangka, hal sebaliknya justru terjadi.
Dan karena ini, Mentari tak mampu menahan senyum sipunya disaat ia masih berjuang meredam emosi sang calon suami.
“Orangnya udah minta maaf sama aku tadi. Jangan marah-marah gitu. Yang penting aku gak kenapa-napa. Udah.”
“Kayak gini kamu bilang gak kenapa-napa?” balas Jordy tak kalah sengit. Mentari kembali mengalah. Percuma kalau mengajak Jordy berdebat di tengah malam begini, yang ada emosinya makin meninggi.
“Ikut saya balik ke apart,” putus Jordy tiba-tiba. “Eh! Jangan, nanti Dhea sama siapa?”
Pandangan lelaki itu segera bergulir pada perempuan muda yang kebetulan tengah menyusul keduanya di ruang tamu. Ia membawa nampan yang berisi air hangat untuk calon kakak iparnya.
“Mau nginep di apart juga gak, Dhe?” tawar Jordy tanpa basa-basi.
“Hah? Aku juga diajak, Om? Ya gaslah! Gila aja, kapan lagi tidur di kamar yang ada AC-nya.”
“DHEA!” Mentari melotot pada adiknya.
“Ih, kenapa sih, Mbak emangnya?” Bibir Dhea mengerucut kecewa
“Nggak. Nggak ada. Udah, Mas. Kamu pulang aja, kasihan itu Idan di rumah sendirian. Nanti malah makin nangis. Mau ulang tahun, jangan dibikin sedih anaknya.” Mentari tetap keras kepala.
“Kamu tuh kapan sih bisa nurut sama saya? Mau kejadian lagi kayak tadi? Besok abis kaki, apalagi?” tegurnya tak mau mengalah.
Melihat calon kakak iparnya yang ternyata tak jauh berbeda dari kakaknya sendiri saat sedang emosi, Dhea tersenyum kecil. Segala keraguan tentang calon suami kakaknya kini tersapu rata. Ia percaya jika pria bernama Jordy itu memang digariskan hanya untuk kakak sematawayangnya. Walau weton menghalangi, tapi Dhea percaya di atas segala kepercayaan itu, hanya Tuhanlah yang berkuasa.
—