noonanya.lucas

“Dan, kamu dijagain Mba Erna dulu ya?”

“ENGGAK MAUUUU, mau ikut Papi!” Tangis anaknya pecah, disaat Jordy telah berpakaian rapi dan bersiap menghampiri Mentari di rumahnya.

“Dan, sebentar aja. Ya?” bujuk Jordy sekali lagi.

“Ikuuuuut! Mau ikut, pokoknya Idan ikut!” keras sang anak. Diliriknya Erna, sang pengasuh yang juga menghela nafas. “Gak papa, Pak. Nanti saya aja yang bujukin Idan.”

“GAK MAUUUUU! Sana!!!!” Idan mendorong keras tangan Erna yang hendak menggandengnya.

“Aidan.” Kalau Jordy sudah memanggil nama anaknya dengan lengkap, hal itu menandakan emosinya telah memuncak. Yang berarti Idan harus menuruti ucapan ayahnya.

Sorot mata sabar Jordy pun sirna, berganti dingin seperti menahan marah. Tetapi Idan si kecil tak peduli, ia tetap menangis kencang saat ayahnya membuka pintu. “PAPI NAKAL! PAPI JAHAT! PAPI TUKANG BO'ONG!” teriaknya penuh amarah. Ia lantas masuk ke kamar dan membanting pintunya keras.

“Mbak, kita ke rumah sakit aja ya sekarang?” Dhea membuka pintu kamar Mentari, menemukan perempuan itu sedang mengurut kakinya yang mulai bengkak dan lebam.

“Jam segini, Dhe. Mana ada klinik yang buka? Jauh lagi. Gak apa-apa, nanti aku urut aja pake minyak. Lagian besok juga masih bisa,” tolak Mentari sembari melanjutkan pijatan. Sedikit-dikit ia meringis karena kakinya sangat sakit.

“Oh iya, Dhe. Hape Mbak mana? Tadi Mbak ketiduran, takut ada telepon yang masuk.”

Dhea menggigit jari, panik seketika saat kakaknya ingat pada benda penting itu. “Kamu keluarin dari tasku?”

Dhea mengangguk pelan. “Mbak, jangan marah ya..”

“Kamu ngomong sama Jordy kalo aku jatuh dari motor?”

Dhea menggeleng kuat. “Terus?”

“Aku salah orang, Mbak...”

Mendadak perasaan Mentari kalut saat Dhea berkata jujur. “Salah orang maksudnya gimana?”

“Aku kira tadi Om Jordy, Mbak...”

“Kira Om Jordy gimana maksudnya sih, Dhe?”

“Aduh, Mbak. Beneran, aku tadi soalnya kesel banget sama Om itu. Jadi aku main bales chatnya, aku kira tadi itu lapak chatnya Mbak sama Om Jordy...” Ia menarik nafas dalam-dalam. “Ternyata bukan.”

Sama seperti sang adik, Mentaripun mulai panik. Terbayang sudah siapa yang Dhea chat malam-malam begini.

Tok! Tok!

“TUH KAN! Aduhhhh, pasti Om tadi nanya sama temennya deh, gimana ya?” Dhea pontang-panting di depan pintu, tak berani membukanya.

“Mbak! Mbak mau ngapain?” Dhea terkejut saat mendapati Mentari nekat bangun dari tempat tidur dan berjalan tertatih menuju pintu.

“Mbak, please jangan marah sama aku.. Aku tau aku lancang..” mohon Dhea nyaris menangis.

“Buka pintunya,” titah Mentari yang akhirnya menyerah tak kuasa menahan sakit. “Mbak, tapi aku malu...”

“Buka, Dhea,” tegas Mentari. Mau tidak mau Dhea hanya bisa berharap jika laki-laki bernama Jenan itu tidak akan menertawainya. Ia beringsut menuju pintu dan seraya membaca doa, tangannya memutar gagang.

“Mentari mana?” Sosok tinggi besar yang tak lain dan tak bukan adalah calon suami kakaknya berdiri di depan. Mukanya panik setengah mati.

“Di dalem, Om,” sahut Dhea pelan. Ia segera menghembuskan nafas lega saat mendapati sosok yang datang bukanlah Jenan, melainkan Jordy.

“Di ruang tamu, Om. Di belakang,” tambahnya sembari mengarahkan Jordy untuk masuk lebih dalam ke rumahnya.

“Dhe! Siapa yang dat—” Perempuan itu tertegun kala netranya menatap laki-laki yang datang di tengah malam begini. Air mukanya tampak lelah dan sedikit menyiratkan khawatir. Ia duduk di sebelah Mentari tanpa mengucap satu katapun.

“Kamu tau, Idan nangis di rumah, dan kamu malah bikin masalah tengah malem begini,” tegurnya tanpa ampun.

“Maaf.” Perempuan itu hanya bisa menundukkan kepala. “Aku cuma pengen cepet sampe di rumah tadi...”

“Hape kamu mana? Kenapa saya telepon gak dijawab?” cecarnya lagi.

“Tadi sampe sini aku langsung istirahat, Mas. Udah gak megang hape lagi.”

“Makanya didengerin kalo saya ngomong,” katanya lanjut ngomel. “Udah dibilangin dianter Devon, gak mau.”

“Iya maaf, soalnya Dhea sendirian di rumah, Mas.. pikirku tuh tadi—” Mentari menghentikan pembelaannya saat Jordy yang ia kenal dingin dan angkuh, menarik celana panjangnya. Daksa lelaki itupun tersorot pada luka lebam yang terdapat di sekujur kaki Mentari, begitupun tumitnya yang membengkak.

“Ini siapa supir gojeknya? Kamu catet nomernya nggak?”

“Nomer...? Nomer motor?”

“Nomor hapenya, Mentari. Masa gitu aja nggak tau?”

“Nggak nyimpen, kan kalo pake aplikasi langsung kehapus kalo—”

“Halo? Ini dengan Gojek?” tanya Jordy melalui sambungan teleponnya. “Bisa nggak kalo hire supir yang bener?” Mentari makin terdiam saat menyadari jika Jordy sedang mengajukan komplain pada perusahaan tersebut.

“Mas, kamu ngapain, deh?” cegat Mentari, berusaha menarik ponsel Jordy. “Udah ah, jangan ngamuk kayak gitu.”

Semakin Mentari berusaha menekan emosi Jordy, lelaki itu semakin asyik memarahi sang operator. “Lain kali kalo hire supir yang bener! Di cek bisa bawa motor apa enggak!” Ia mematikan ponselnya dengan nafas tersengal-sengal.

“Ngapain sih kamu, Mas...” Ia geleng kepala. Satu sifat Jordy yang baru Mentari ketahui, ternyata Jordy tidak seacuh bayangannya. Ia memang sempat mengurungkan niat untuk memberitahu insiden ini, karena tahu Jordy tidak akan peduli. Namun yang tak Mentari sangka, hal sebaliknya justru terjadi.

Dan karena ini, Mentari tak mampu menahan senyum sipunya disaat ia masih berjuang meredam emosi sang calon suami.

“Orangnya udah minta maaf sama aku tadi. Jangan marah-marah gitu. Yang penting aku gak kenapa-napa. Udah.”

“Kayak gini kamu bilang gak kenapa-napa?” balas Jordy tak kalah sengit. Mentari kembali mengalah. Percuma kalau mengajak Jordy berdebat di tengah malam begini, yang ada emosinya makin meninggi.

“Ikut saya balik ke apart,” putus Jordy tiba-tiba. “Eh! Jangan, nanti Dhea sama siapa?”

Pandangan lelaki itu segera bergulir pada perempuan muda yang kebetulan tengah menyusul keduanya di ruang tamu. Ia membawa nampan yang berisi air hangat untuk calon kakak iparnya.

“Mau nginep di apart juga gak, Dhe?” tawar Jordy tanpa basa-basi.

“Hah? Aku juga diajak, Om? Ya gaslah! Gila aja, kapan lagi tidur di kamar yang ada AC-nya.”

“DHEA!” Mentari melotot pada adiknya.

“Ih, kenapa sih, Mbak emangnya?” Bibir Dhea mengerucut kecewa

“Nggak. Nggak ada. Udah, Mas. Kamu pulang aja, kasihan itu Idan di rumah sendirian. Nanti malah makin nangis. Mau ulang tahun, jangan dibikin sedih anaknya.” Mentari tetap keras kepala.

“Kamu tuh kapan sih bisa nurut sama saya? Mau kejadian lagi kayak tadi? Besok abis kaki, apalagi?” tegurnya tak mau mengalah.

Melihat calon kakak iparnya yang ternyata tak jauh berbeda dari kakaknya sendiri saat sedang emosi, Dhea tersenyum kecil. Segala keraguan tentang calon suami kakaknya kini tersapu rata. Ia percaya jika pria bernama Jordy itu memang digariskan hanya untuk kakak sematawayangnya. Walau weton menghalangi, tapi Dhea percaya di atas segala kepercayaan itu, hanya Tuhanlah yang berkuasa.

“Dy, ada apa ini? Kok... ruang kerja kamu kosong?” Sepintas pikiran Recha memutar memori tentang almarhumah putrinya dan sang anak menantu. Saat Jordy membangun rumah produksi ini, ruang yang kini sedang ia tempati memiliki kenangan tersendiri.

Jordy selalu meletakkan sebuah kursi empuk di pojok ruangannya yang berfungsi untuk Kirana kalau ia sedang bertandang ke kantor suaminya. Namun saat Recha menginjakkan kaki ke ruang kerja Jordy, ia tidak menemukan kursi itu lagi, juga beberapa foto pernikahan sang putri dan anak menantu.

“Kamu mau pindah kantor?” tanyanya kemudian. Agak tergelitik benaknya untuk tahu alasan Jordy menggusur foto-foto Kirana dari meja serta pajangan dindingnya. Sementara sosok gagah yang sedang ia ajak bicara sibuk meletakkan sebuah undangan di atas meja.

“Ody, Mama lagi bicara lho...” ucap Recha.

“Ada yang mau Ody bicarakan, Ma.” Tanpa basa-basi lelaki itu mengangkat tatapannya pada Recha. Serius.

“Iya, apa? Ulang tahun Idan kan? Kamu udah WA Mama lokasinya waktu itu. Apa mau pindah lokasi lain?”

Anak menantunya kontan menggeleng. Menggeser satu undangan yang ternyata tak sengaja terselip di bawah undangan ulang tahun Aidan.

“Ody mau menikah lagi,” tandas lelaki itu dalam satu hembusan nafas. Recha terdiam, terlalu kaget dan tak percaya mendengar ucapan anak menantunya.

Ia lantas menertawai ucapan anak menantunya. “Kamu ini, bercandanya ya, suka kelewatan—”

“Maaf, Ma. Ody serius. Ody...”

Recha yang mendengar Jordy memotong pembicaraannya langsung mendekat. Nafasnya menggebu. Bahkan tak sungkan perempuan itu menggebrak meja dan yang lebih parahnya lagi, ia melayangkan satu tamparan pada pipi mulus lelaki itu.

“Kurang ajar! Saya tidak akan pernah datang ke ulang tahun Idan. Tahun ini bahkan tahun-tahun berikutnya. Anak saya rela meninggalkan rumah demi kamu, dan sekarang firasat saya terbukti! Kamu malah berkhianat dengan perempuan lain?!” Suaranya meninggi namun gemetar. Matanya melebar penuh amarah.

“Ma, ini demi Aidan juga–”

“Demi Aidan dari mana? Kamu aja yang gak bisa mengurus dia dengan baik. Buktinya, kalo Idan kamu urus dengan bener, dia gak perlu mencoreng nama keluarga saya karena nakal di sekolah. Kamu emang gak bisa jadi ayah yang baik buat Idan! Gara-gara kamu, anak saya meninggal! Dia sakit keras dan ga berani bilang ke kamu! Dia mempertahankan hidupnya demi kamu. Eh, sekarang malah enak-enakan mau nikah lagi sama perempuan lain!”

Amarah Recha yang meledak saat itu sontak membuat laki-laki di depannya ini tak berani mengangkat kepala. Sedari tadi ia hanya diam dan menerima semua repetan dari mantan ibu mertuanya. “Ody sekali lagi minta maaf. Ody sangat mencintai Kirana, Ma..”

“Cinta? Kamu cinta sama dia? Dari awal saya tuh udah ragu sama kamu. Dia sakit aja kamu nggak tau, ga pernah kamu temenin. Eh, sekarang sok banget jadi pahlawan bilang cinta! Anak saya udah gak bisa balik lagi. Raganya udah ga ada di muka bumi. Kalau kamu bisa balikin, baru saya akuin kamu cinta sama anak saya!” sergah perempuan itu memburu. Ia keluar dengan wajah kesal yang membuat semua mata menoleh ke arahnya.

Juga, seorang perempuan muda yang tadi sempat berbuat ulah dengannya di depan.

Sepuluh lewat tiga puluh, aku mendaratkan diri pada bangku putar di belakang meja resepsionis. Memastikan semua tamu yang hari ini telah mendaftar ada di dalam buku catatan. Dari setiap halaman yang kuperiksa, ada satu lembaran yang membuat daksaku menetap.

Tamu Jordy Hanandian.

Devianti Recha — Mertua Bapak Jordy Hanandian.

Bahkan disaat kami akan melangsungkan pernikahan, aku belum mendapat celah apapun untuk menyelami hatinya.

Air mataku sontak menetes tepat di atas nama “Devianti.” Bohong bila aku merasa tenang, nafasku tercekat dalam waktu singkat. Sesak yang tadi bersembunyi kini menjalari hati. Aku lekas membalik halaman berikutnya. Dan nama berikutnya adalah milik Jenan.

Tamu Jenan Syailendra.

Nihil.

Hari ini ternyata Jenan tidak dijadwalkan menerima tamu. Pantas saja lelaki itu tak berseliweran di depanku. Biasanya, setelat-telatnya Jenan, jam setengah sebelas dia sudah menampakkan diri.

Tak lama sosok yang tak kusangka muncul. Seorang perempuan paruh baya yang wajahnya cukup mirip dengan almarhumah Kirana. Sama-sama memiliki tahi lalat di pangkal hidung. Bahkan auranya pun sebelas-dua belas, anggun dan sedikit terlihat angkuh.

“Ody ada?”

Ody.

Ulangku dalam hati. Entah mengapa saat bibir wanita itu menyebut Jordy dengan panggilannya, dadaku gemetar hebat. Rasanya tangisku tak lagi bisa kuelakkan.

“Belum datang, Bu,” sahutku pelan. “Kalau begitu, biar saya duduk di sini.”

“Silakan. Mau minum apa, Bu? Biar saya bilangin pantry?” tawarku kemudian.

“Kamu pasti pegawai baru,” tandasnya membingungkan. Matanya menyipit, lalu ia bangkit ke depan meja resepsionis. “Semua pegawai di sini, tahu mama mertua Jordy seneng minum apa. Emang kamu nggak di briefing dulu sebelumnya?”

Aku sangat terkejut mendengar ucapannya yang sedikit menghakimi. Dari awal aku bekerja di kantor ini, tidak ada seorangpun yang memberitahu siapa sosok ibu mertua Jordy, apalagi minuman kesukaannya.

“Maaf, Bu. Iya. Saya baru beberapa bulan di sini,” kataku mengalah. Ia berdecih, “pantes.” Lalu netranya bergulir mencari karyawan lain. “Didi mana? Bisa panggilin? Dia tau minuman kesukaan—”

“Hai Tante.” Suara baritone itu adalah ciri khas Jenan yang dulu selalu membuatku tersipu. Tapi kini...

“Jenan? Hai! Makin ganteng banget kamu, Je. Sekarang pacarnya siapa? Udah lama lho, Tante nggak liat kamu.” Jenan tertawa lebar kemudian sekilas melirikku. Ngapain dia ngeliat gue dah? Aku bertanya-tanya dalam hati.

“Mau fokus sama karier dulu, Tan,” jawab Jenan sopan.

“Nunggu Jordy ya? Duduk aja dulu. Dia masih lama kayaknya,” kata Jenan memberitahu.

“Emang Jordy ke mana, Je?” tanya wanita itu.

“Tadi sih dia bilang ke makamnya Kirana, Tan.”

Begitu mendengar penuturan Jenan, aku tak sengaja menggoreskan jari pada gunting yang terletak di ujung meja. Alhasil keduanya sontak menatapku yang menjengit menahan perih.

“Eh, mana? Saya tadi minta panggilin Didi lho. Kok kamu kerjanya gak becus banget ya?” protesnya.

Bisa dibayangkan betapa Jordy menjadi menantu kesayangan keluarga Kirana. Wajar saja sih, secara dia memang gagah dan tampan. Ibu-ibu tak akan mampu melawan pesonanya.

“Ah, iya. Sebentar ya, Bu.” Aku langsung menekan tombol extention menuju pantry, mengabarkan jika ada orang penting yang bertamu.

“Ya, Mbak Riri?” Lelaki yang bernama Didi itu akhirnya menjawab. “Di, ada mertuanya Pak Jordy. Katanya pengen ketemu kamu.”

“Minta minum itu, Mbak. Sebentar ya, tak bikinkan dulu.”

“Oke, makasih ya, Di—”

“Tangan lo kenapa?” tanya Jenan. Dua alisnya mengkerut, khawatir.

“Kena pisau, Pak. Gak apa-apa, nanti aja. Temenin Ibu mertua Pak Jordy dulu,” ucapku meliriknya sopan.

“Sini, tangannya,” perintah Jenan tak suka dibantah.

“Gak apa-apa, Pak. Beneran.” Aku sengaja menarik tanganku yang nyaris disentuh Jenan. Entah mengapa setelah ia minta maaf waktu itu, aku merasa agak canggung dengannya. Selebihnya, karena fokusku pecah ketika menatap Jordy yang baru datang dan langsung memeluk mama dari Kirana.

Tatapannya yang sangat tulus hebatnya justru meluluhlantahkan perasaanku.

Sejak ia berikrar di depan Bulik akan menikahiku, tak pernah Jordy memberi tatapan tulus itu pada keluargaku.

Sedikitpun.

“Maaf Ma. Tadi Ody nyekar dulu ke makam Kirana,” katanya, melepas peluk erat itu.

“Iya, Nak. Nggak apa-apa. Makasih ya kamu masih sering nyekar ke makam Kirana. Oh iya, Aidan nanti dirayain dimana ulang tahunnya? Mama belum dapet undangannya lho, Dy.”

Jordy tersenyum kecil, lalu menatapku sekilas. Ia berjalan ke arahku tanpa memedulikan Jenan di sebelahnya. “Undangannya masih ada?”

“Ada, Pak.” Aku merogoh tasku dan menyerahkan undangan bertema mobil pada Jordy.

“Ini, Ma. Oh iya, mau ke atas? Ada yang mau Ody obrolin,” ajaknya tak lama kemudian.

“Iya, ayo. Mama sudah lama nggak ngobrol sama kamu, Dy.”

Perempuan itu mengekor Jordy dari belakang. Tersisalah aku yang meringis menahan tangis bukan karena lukaku yang mulai terasa perih melainkan laki-laki yang dengan tegasnya memintaku untuk menjadi ibu dari anaknya.

Still About Her

Helaan nafasku kali ini terdengar berat daripada biasanya. Aku sadar jika aku tak semestinya melirik dua huruf konsonan yang tertera di bawah.

Namun kuasaku atas rasa perih ini bagai dibuat tak berdaya. Selalu aku membiarkan rasa sakit itu menguar. Tangis pun tak terhindarkan ketika aku sedang membereskan tumpukan kartu ulang tahun Aidan, serta kemeja pink yang Jordy minta untuk dipakai di acara nanti.

Kira-kira sampai berapa lama aku sanggup mempertahankan rasa ini padanya? Kepalaku hampir pecah, dadaku membuncah setiap kali harus menatap kartu ucapan ini. Kalau boleh memilih, aku tak ingin membagikannya pada teman sekolah Aidan. Namun Jordy telah mengingatkanku untuk memasukannya ke tas sekolah Idan.

“Tante, mau liat dong kartu undangan ulang tahun Idan.” Anak itu menyambangiku setelah memakai seragam serapih mungkin. Saat ia hampir sampai di dekatku, aku buru-buru air mata yang tersisa. Aku tak mau Aidan mengetahuinya.

“Ini, Dan. Tante masukin di tas kamu ya?” izinku sembari membuka resleting tasnya.

“Tante.”

“Hmm?”

“Kok tisunya banyak amat di tong sampah? Tante abis nangis, ya?” tebak Aidan tepat sasaran.

Tanganku kontan berhenti memasukkan beberapa kartu undangan itu. “Nggak, Dan. Tante lagi kurang enak badan aja, kayaknya mau flu.”

“Titip Papi beliin obat aja, Tante. Nanti Tante gak dateng di ulang taunku lagi,” bibirnya mengerucut. Memang itu yang ingin kulakukan. Kuharap aku bisa menjauh sejenak dari Jordy demi memantaskan diri menjadi pendampingnya.

“Nggak apa-apa, Dan. Tante bawa obat kok dari rumah. Dah sana, berangkat. Udah ditungguin sama Pak Devon tuh di depan.” Aku sengaja membalik tubuh Aidan agar tidak melihatku yang nyaris menitihkan air mata.

“Tante, ada yang kurang,” ujarnya kembali menghadapku.

“Ada yang ketinggalan, Dan? Apa? Tadi Tante cek bekal sama botol minum Idan udah dalem ta–”

“Ini, Tan...” Anak itu meraih punggung tanganku, menyalamiku tanpa aba-aba. Aku lantas tersenyum, membiarkan rasa hangat nan haru melingkupi benakku. Benar apa yang kuduga, Aidan tidak seburuk yang Jordy ceritakan padaku. Yang suka melawan lah, tidak penurut. Aku yakin, Aidan begitu karena ada alasannya.

“Assalamualaikum, Dan. Yang pinter di sekolah ya, anak soleh.”

Lagi-lagi Aidan menghadap belakang, mengacungkan jempolnya sambil dipegang oleh Devon, supir pribadi Jordy.

Ketika pintu lift terbuka, Jordy segera melangkah masuk ke unitnya. Ia berlari cepat ke kamar. Dilihatnya Mentari tengah memegangi tangannya.

“Darahnya kayak waktu itu lagi?” tanya Jordy panik. Namun perempuan yang ia ajak bicara justru tersenyum dan mengelus lembut pipinya.

“Kamu udah pulang?” tanyanya.

“Ya kamu nggak liat saya ada di depan kamu gini? Mana sini, tangannya.” Jordy bahkan tak menanggapi pertanyaan Mentari. Ia hanya fokus pada pergelangan tangan perempuan itu yang ternyata terluka. Tidak separah waktu itu, tapi tetap saja goresannya sukses membuat Jordy bergidik ngeri.

“Aku bisa bersihin sendiri. Gak usah, gak apa-apa. Istirahat aja,” gumam Mentari seraya menarik tangannya dari pegangan Jordy.

“Nanti makin parah. Biar saya aja.” Jordy membantah. Ia berbalik, lalu merogoh kotak P3K yang disimpannya di dekat sebuah lemari kecil untuk mengambil pembersih luka.

“Ini kenapa bisa gini sih, Mentari?” tanyanya sambil membasuh luka goresan dengan kapas yang telah ia bubuhi obat merah.

“Ada yang jatuh tadi, jadi aku beresin.”

“Apa yang jatuh? Aidan ngejatuhin apa?”

“Bukan Idan yang jatuhin.” Jordy menghentikan pergerakannya membersihkan luka Mentari. Lalu menatap Mentari heran. Entah mengapa binar mata perempuan itu terasa kosong dan menyedihkan.

“Aku yang jatuhin. Maaf ya..” Nada bicaranya pun lembut sekali. Berbeda jauh dari Mentari yang biasanya. Saat Jordy hendak menempelkan handsaplast pada luka goresan itu, Jordy tersadar akan sesuatu.

Tubuh perempuan itu sangat-sangat dingin. Bahkan nadi di tangannya pun nyaris tak terbaca. Mendadak kulitnya pucat, juga dengan bibirnya.

“Ini kamu ngebersihin semua sampe demam gini?” Lelaki itu berujar dengan menempelkan tangannya di dahi Mentari. Tak ada jawaban.

“Mentari?” panggilnya.

“Aku nggak sakit, aku cuma gak suka ada orang lain yang ngusik kita.”

Jordy semakin bingung dengan ucapannya barusan. “Ngusik kita? Siapa?”

“Dia, perempuan ini.” Mentari mengakhiri ucapannya dengan senyum miring yang lagi-lagi membuat Jordy tersadar akan sesuatu.

“Obat dari Terry kamu minum nggak?”

“Belum...” sahutnya datar.

“Bisa nggak kalo diajak ngomong liatnya ke saya? Jangan ke sana—” Jordy menemukan arah pandang Mentari hanya fokus pada foto pernikahannya dengan Kirana dalam tatap sedih dan kecewa.

“Foto kamu nggak rusak...tapi kenapa gambar di sebelahnya hancur?” Tangisnya pecah. Tangis yang menurut Jordy sangat berpotensi menghancurkan gendang telinga. Merintih namun melengking.

“Mentari, gak apa-apa. Paling kena angin doang—

“Apa ini pertanda kalau kamu udah lupa ya?” selanya.

“Lupa apa? Kita kan entar lagi nikah, apanya yang saya lupa? Saya udah janji sama tante kamu, Mentari.”

“Iya...kamu lupa sama aku, Dy. Kamu lupa segala sesuatu tentangku. Tentang janji kamu, tentang aku yang kamu minta untuk besarin Idan sama-sama.”

Jordy menghela nafas. Ya, personaliti yang Jordy kira sudah tenang, rupanya kembali menyerang. Bahkan bisa Jordy bilang kali ini sangat brutal karena menghancurkan sebagian foto pernikahan Jordy dan Kirana.

“Mentari, sadar. Tolong secepatnya sadar. Jangan males minum obatnya.”

Lalu ia bergegas mencari obat yang telah diresepkan oleh Terry. Begitu dapat, segera Jordy minumkan pada perempuan itu.

“Kamu sayang sama dia?” tanyanya.

“Sayang sama siapa?”

“Dia.”

“Dia udah lama meninggal...Mentari.”

Setelah Jordy berkata demikian, Mentari menarik nafas dalam-dalam dan langsung memeluk Jordy persis ketika tangannya terluka.

“Demi Allah, Mas Jordy. Aku takut... Tolong. Kepalaku tadi sakit, aku nggak tau aku dimana. Tolongin,” isaknya sembari mencengkeram lengan Jordy kuat-kuat.

“Makanya kalo saya suruh minum obat, diminum,” omel Jordy melepas kasar tangan Mentari dari lengannya. Perempuan itu hanya diam dan menundukkan kepala. “Maafin.”

“Tidur di kamar tamu, jangan di sini,” ucap Jordy beranjak dari kursinya.

“Iya, Mas. Makasih.” Perempuan itu berdiri tepat di depan Jordy, hendak memeluknya kembali.

“Ngapain sih? Gak malu ada Idan di depan?” Tanpa mengetahui putranya di luar sedang mengintip, Jordy kembali menepis tangan Mentari. Kali ini hingga terdengar suara tepakan keras tepat di dekat luka yang baru saja ia berikan obat merah. Sontak perempuan itu meringis kesakitan.

“Maaf, Mas. Maaf ya? Aku izin dulu kalo gitu–”

“Jangan pernah peluk-peluk saya,” peringat Jordy dingin lalu menghilang ke kamar mandi.

Usai memastikan Aidan tidur, aku bergegas keluar dan menempati ruang tamu untuk merebahkan diri sebentar. Pukul dua belas lewat satu menit, pertanda aku mengambil waktu untuk mengadu pada Sang Khalik.

Aku merogoh tas yang berisi mukena dan sajadah, mencari posisi yang menghadap kiblat. Setelah mengambil wudhu, aku langsung menunaikan ibadah.

Satu menit... Dua menit pertama kurasa shalatku sangat khidmat. Tetapi tidak di menit kelima.

Sekujur tubuhku lagi-lagi menggigil. Dan mendadak aroma busuk tercium sangat kuat hingga membuatku mual.

Tanganku yang sedang memegang tasbih mulai gemetar hebat dan badanku lemas tak bertenaga.

Teringat pesan Pak Ustad jika aku harus membaca doa, maka dalam hati kulafalkan ayat kursi. Namun entah mengapa dadaku terasa begitu sesak saat akan mengucapkannya. Meski aku melawan dengan mendoakannya lewat suara, bibirku semacam kaku ketika akan membuka mulut. Bukan itu saja, dari kamar depan, tepatnya kamar Jordy, terdengar suara pecahan kaca.

Dan akhirnya... semua kejadian itu membuat ibadahku runtuh. Terpaksa aku bangkit dari sujudku, menyambangi kamar Jordy.

Ketika pintunya kubuka...

Foto pernikahan Kirana dan Jordy terbanting ke lantai. Bingkainya pecah, dan serpihan kacanya berserakan dimana-mana. Salah satu foto yang ternyata tadi Jordy rampas dari tanganku (namun versi besar) juga terlepas dari dalam bingkainya.

Netraku tertuju pada bingkai foto pernikahan Jordy dan Kirana. Semua pecahan kaca itu menutupi wajah keibuannya, dan sama sekali tak mengenai wajah Jordy.

Bagaimana bisa? Bagaimana bisa hanya foto Kirana yang tercoreng? Pikirku lantas menyimpulkan jika kejadian ini terhubung dengan hal-hal diluar nalar. Masalahnya, aku tak mungkin memberitahukan pendapatku pada Jordy. Dia pasti akan menganggap remeh dan berkata aku halu. Aku menghela nafas sembari berpikir keras untuk menemukan alasan tepat agar Jordy dapat menerima hal aneh ini. Sembari kubereskan serpihan kaca itu, tiba-tiba sebuah suara terdengar di sebelahku. Lirih dan pelan.

“Jangan baca. Berhenti. Panas. Tolong, jangan baca itu. Saya ingin terus di sini bersama Idan.”

Detik saat rintihan itu semakin kencang, kepalaku terguncang.

Sakit luar bisa bagai dipukul palu. Aku mengerjapkan mata beberapa kali karena hebatnya sakit itu. Tasbih di tiba-tiba terlempar jauh, sementara aku tersungkur di depan foto pernikahan Jordy dan Kirana.

Memasuki apart yang dulu selalu mengguncang isi kepala, membuatku sedikit merasakan getaran yang berbeda. Canggung, takut, dan khawatir bila Aidan akan terkejut saat aku yang menjaganya, muncul dalam kepala dengan segera.

Aku meyakinkan diri untuk melangkah masuk. Jordy telah membekaliku dengan access card serta password untuk membuka pintunya.

Dua puluh lima Januari.

Pikirku pun segera membuka satu ingatan tentang tanggal bersejarah itu. Tanggal itu tak sengaja tertera di balik foto pernikahan Jordy dengan mendiang istrinya, Kirana.

Lagi-lagi aku terpekur hanya karena foto usang itu.

“Tante?” Aidan melongokkan kepala dari balik pintu. Sesuai dugaanku, ia nampak terkejut melihatku berdiri mematung di depan rumahnya.

“Tante!!!!” Ia tiba-tiba melonjak kegirangan, mendorong pintunya selebar mungkin lalu berlari memelukku. Eh? Kok dia senang?

“H-hai,” sapaku canggung. Tanganku sebenarnya telah terulur hendak mengelus surai hitamnya. Namun entah mengapa percakapanku dengan Jordy menghentikan segalanya. Alhasil tanganku, kukembalikan ke posisi semula.

“Dan,” panggilku.

“Iya? Tante kesini mau bacain cerita lagi kayak waktu itu? Tante udah sembuh dan gak sakit lagi?” Aidan memberondongku dengan sejumlah pertanyaan yang aku tak bisa kujawab.

“Iya, alhamdulillah, Tante udah sembuh,” kataku menebar senyum. “Asyik! Kalo gitu, ayo Tante, aku mau dibacain buku cerita baru!” Anak kecil itu menarik lenganku dengan sangat antusias. Nampaknya Aidan menerima kehadiranku dengan mudah.

“Tante, Papi pulang nggak?” tanya Aidan disela-sela ia mengerjakan PR sekolahnya. Aku kontan membisu, sebab tidak ada pemberitahuan jelas dari Jordy.

“Tante nggak tau, Dan,” jawabku jujur. Aidan mengerutkan dahi serta bibir bawahnya. “Papi pasti nggak pulang.” Kemudian ia merajuk.

Tersisalah aku yang sibuk menahan tawa melihat tingkah manjanya. Aku bisa memaklumkan pertanyaan spontan Aidan itu, sebab waktu kecil posisiku sama dengannya. Papa selalu sibuk di kantor, sedangkan aku dan Dhea ditinggal berdua di rumah. Kalau Medusa...ya, dia ada di rumah juga, sih. Tapi perempuan itu sering menghabiskan uang belanja dari Papa untuk hal yang tidak penting, sampai aku dan Dhea sedang kesulitan, barulah Medusa kelabakan sendiri dan menuduh kami berdua pemutus rejeki Papa.

Melihat raut sedih terpancar di wajah Aidan, akupun lekas mendekatinya. “Dan—”

“Tan, Papi nggak sayang sama Idan ya?” ceplos Aidan murung.

“Papi gak mungkin gak sayang sama Idan. Dia cuma sibuk aja, Dan. Kerja buat Idan sekolah, terus bisa makan enak.” Anak itu mengangguk paham, lalu senyumpun mengembang perlahan di bibirnya.

“Eh iya.” Aku mencoba mengalihkan perhatiannya. “Idan, entar lagi ulang tahun, kan? Katanya request warna pink ya?”

Jawaban yang kudapati dari Aidan benar-benar menghancurkanku detik itu juga.

“Nggak, Tan. Kata siapa?” Aku tercekat. Lagi-lagi aku terhantam batu besar dalam sekali pukul.

“Ng... nggak kata siapa-siapa,” bohongku. “Tante cuma nebak doang. Mamimu suka warna pink?”

“Iya, Tan. Kata Papi, Mami suka banget warna pink.” Aku mengangguk pelan, berusaha menahan bulir kristal yang tertumpuk di mataku.

“Oh gitu...” Suaraku parau. “Hmm, tadi Papi kamu ngasih tau, katanya ulang tahun nanti, temanya warna pink. Tante...nggak tau mau kasih apa buat Idan. Tapi tadi Tante nemu kemeja pink, siapa tau kepake buat ntar ulang tahun Idan,” jelasku dengan helaan nafas frustasi. “Idan...mau coba? Kalau enggak, juga gak apa-apa.”

“Mau, Tan! Mau cobaaaa. Idan bosen, Papi kalau beliin baju buat Idan kalo gak putih, item. Idan bosen pokoknya, nggak suka.”

Aku lantas tertawa. Kupikir semua anak-anak itu selalu berisik dan menyebalkan. Tapi sepertinya dugaan itu hanya ada dalam kepalaku. Buktinya, Aidan, anak yang selalu dicap pembangkang oleh Jordy malah bersikap sebaliknya.

“Tanteeee!” Idan keluar dari kamarnya sembari berlari kecil ke arahku.

“Lucu! Pas apa kesempitan, Dan?” tanyaku merapikan sebagian kancingnya yang terbuka.

“Enggak, ini pas kok, Tan,” katanya ikut mematut di depan kaca. Akupun turut menghadap kaca, namun entah mengapa seluruh jariku mendadak dingin dan kaku. Digerakkan pun rasanya sangat sakit, terlebih saat aku hendak mengusap pundak Aidan, sakit di tanganku makin menjadi-jadi.

“Tante, tangannya kenapa?”

“Nggak apa-apa, Dan. Rapihin sendiri ya?”

Jangan sentuh Aidan. Kamu boleh mengambil suamiku, tapi tidak dengan anakku.

Suara itu benar-benar membuat semua bulu lenganku tegak seketika. Kutatap sekeliling rumah Jordy, memastikan bisikan barusan kudengar hanyalah sebuah ilusi.

Mungkin, aku hanya terlalu lelah dan banyak pikiran. Tapi angin dingin yang tiba-tiba membelai tengkukku, membungkam bibir ini untuk bicara.

“Hhhhhhhhhhaaaahhhh...” Desahan nafas di sebelah kirik membuatku sesak nafas. Aku lantas mencoba membaca ayat kursi, atau ayat suci apapun yang kuhafal mati. Tapi semua sia-sia. Suara itu justru mengikuti omonganku.

Beberapa jam setelah pembicaraan Jordy dengan Bulik Ratih selesai, semua yang kulihat pada diri Jordy berubah.

Ia bukan lagi sekedar orang luar yang membantuku dalam segala hal, namun lelaki yang kuyakini dapat menjagaku dengan baik. Bulik Ratih pun berpendapat sama denganku.

“Jordy sepertinya baik ya, Nduk.” Bulik Ratih berbisik saat Jordy sedang mengobrol dengan Paklik Eko, suaminya. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, tetapi kuperhatikan Jordy banyak tersenyum. Ia juga makan masakkan Bulik dengan sangat lahap. Tak henti-hentinya Jordy berdiri di sebelah meja makan, mengambil opor dan gudeg andalan Bulikku. Mendapati Jordy sedikitnya melepas tawa dengan Paklik, keyakinanku untuk menikah dengannya kian bertambah. Tatapan yang terpancar dari netranya sangatlah hangat, terlebih ketika ia membantu Paklik untuk berjalan menuju kursi.

Paklik Eko penderita diabetes. Sejak tahun 2019, kaki kiri Paklik harus diamputasi karena ada pembengkakan pada luka kecelakaan motor yang ia alami di tahun yang sama. Sejak saat itu, Paklik harus menggunakan tongkat dan kursi roda jika hendak berjalan. Netraku terpatri kala Jordy meletakkan piring makannya hanya untuk memapah Paklik untuk duduk di kursi.

“Terima kasih ya, Nak Jordy.” Kudengar Paklik berucap lembut padanya.

“Sama-sama, Om,” sahut Jordy, sembari membantunya duduk.

“Saya senang sekali mendengar kabar tentang kalian,” kata Paklik. Jordy tersenyum kecil. “Boleh saya tahu, alasan Nak Jordy mau menikah dengan ponakan saya?”

Aku yang saat itu duduk berjauhan dari Jordy dan Paklik, diam-diam memasang telinga. Walau aku terlihat asyik mengobrol dengan sepupuku dan Dhea, adik tiriku, aku tetap berjaga, ingin tahu kalimat apa yang akan keluar dari mulut Jordy.

Lelaki itu diam sebentar, kemudian berdeham. “Nggak macem-macem, orangnya.”

Singkat, padat dan jelas, tapi sukses membuat Dhea dan satu sepupuku memandangku dengan tatapan jahil. “Ya ampun Mbak Riri sampe merah gitu mukanya.”

“Enggak! Mana ada!” tukasku bohong.

“Iya, Mbak. Raimu lho, abang tenan.” Sepupuku makin semangat menggoda. Ia tertawa keras, tapi herannya Jordy sama sekali tak menoleh ke arahku. Ia hanya fokus pada ponselnya beberapa detik.

Tak lama, Jordy berdiri. Mempertontonkan kaki jenjang serta tubuh proporsionalnya yang sempurna seperti model. Lelaki itu benar-benar tidak melirikku sedikitpun, dan entah mengapa aku merasa ia sedikit tidak nyaman saat aku tertangkap basah sedang memandanginya. Apa...ada yang aneh dengan penampilanku hari ini?

“Mbak.” Dhea membuyarkan lamunanku.

“Ya?”

“Yakin ta, sama Mas Jordy iku?”

Aku melongo. Sudah kubilang berkali-kali bahwa aku memandang Jordy sebagai calon suamiku yang patut kuhormati. Masih saja ada orang yang meragukan pilihanku. Bulik saja sudah setuju. Jika Bulik menyetujuinya, apalagi yang kurang?

“Kenapa, Dhe? Kamu suka ya?” tanyaku sedikit judes. Dhea menggeleng sungkan. “Nganu...”

Dhea mengambil sesuatu dari kantung celananya lalu ia berikan padaku. “Ki lho, Mbak. Aku nggak sengaja nemuin foto ini pas tadi Mas Jordy jalan. Kayaknya dia...ngejatuhin sesuatu deh.”

Aku meraih benda itu dari tangan Dhea. Sebuah foto lawas yang menunjukkan Jordy mengenakan kemeja formal, sedang menyalami penghulu di depannya. Di sebelah Jordy tampak seorang perempuan cantik yang memakai kebaya. Anggun dan sangat berkharisma. Figur wajahnya lembut, keibuan. Tahi lalat di batang hidungnya mengingatku pada sosok yang pernah hadir di setiap malam di mimpiku.

Aku hanya bisa diam dan terpekur ketika harus memegang foto itu di tanganku. “Mbak, kamu yang bener aja toh? Jangan mau dijadiin istri sirinya,” bisik Dhea kesal.

“Dhe.” Nafasku tercekat. Aku runtuh saat itu juga.

“Dia siapa, Mbak?” cecar Dhea. “Mantan istri Mas Jordy, udah lama meninggal.”

Dhea yang tadinya sudah memasang wajah garang, langsung melunak. Tidak demikian dengan diriku yang mempertanyakan apakah Jordy sungguh-sungguh menginginkan pernikahan ini.

Malam sebelum lelaki itu meyakinkan diri untuk mengambil keputusan ini, ia sempat mengunjungi suatu tempat yang disebutnya, sanctuary of love.

Asri, rindang dan berada di bawah penghijauan, langkah kaki lelaki itu berhenti tepat di sebelah timbunan tanah. Tangannya mengusap sebuah batu nisan yang memajang sebuah nama, Paola Kirana Elizabeth.

Helaan nafas berat terdengar dari bibir sang adam. Begitupun ratap sendu yang terasa sangat nelangsa dari matanya. Ia melepas kacamata yang bertengger di hidung mancungnya, lalu dengan pelan ia berkata.

“Aku minta izin ya, Na. Kamu percaya sama aku kan? I'm doing this for Aidan's sake. I'll make sure that he won't forget you. Kamu tetap satu-satunya ibu untuk Idan, anak kita. Nggak ada yang bisa ngegantiin kamu.”

“Please, jangan pergi dari aku, sekalipun aku mengambil keputusan yang salah. Aku tau kita udah gak bersama, tapi aku yakin semestaku itu kamu, Na.”

Usai berucap demikian, lelaki itupun bangkit. Ia membalik tubuhnya menghadap depan. Menahan diri untuk tak lagi menengok ke tempat yang selalu memberinya kedamaian.


“Maaf, njenengan ini siapa?”

Pertanyaan itu terlontar dari seorang perempuan yang berdiri tepat di depan pintu beraksen kayu. Rumah kecil di ujung gang sempit milik seseorang yang belakangan ini menjadi buah pikiran Jordy.

Netra perempuan renta itu terarah tepat padanya, sedikit memicing menaruh curiga. “Saya Jordy, Bu.”

Mendengar namanya disebut, sang wanita kembali menaikkan sebelah alisnya bingung. “Mau ngontrak rumah ini, apa beli?”

Jordy tersenyum kelu. Ia bahkan lupa kalau belum memperkenalkan diri pada sosok yang tinggal di rumah usang tersebut. “Nggak, Bu. Saya calon suaminya Mentari.”

Sang wanita tampak tercengang. “Calon...suami?” Jordy mengangguk. “Iya, Bu.”

Raut getir seketika memenuhi wajah sang wanita. “Kamu mau nikah sama ponakan saya?” Sekali lagi, Jordy mengangguk, meyakinkan sang wanita.

“Iya, Bu. Saya mau menikah dengan Mentari.” Wanita itu kembali melengkungkan senyum ragu. Seraya membuka pintunya sedikit demi sedikit, sang wanita memberi celah agar Jordy dapat naik ke lantai rumah. “Masuk, biar kita bicara di dalam.”

Tak perlu berlama-lama, Jordy segera menuruti ucapan perempuan itu. Ia mengekor langkah sang wanita yang mengarahkannya untuk duduk di sebuah sofa usang berwarna merah tua.

“Saya Ratih, tantenya Riri.” Setelah cukup lama merapatkan mulut, akhirnya perempuan itu memperkenalkan diri.

“Iya, Tante.” “Mas-nya ini kenal Riri dari mana?” Mendengar pertanyaan yang terlontar dari Ratih, Jordy agak tersentak. Benaknya kembali dipenuhi tanda tanya. Bukankah kalau kedatangan orang yang akan menjadi bagian dari sebuah keluarga, harus disambut hangat? Bagi Jordy pertanyaan yang Ratih ucapkan itu sedikit membingungkan.

“Saya atasan Mentari di kantor, Tante.” Pada akhirnya, Jordy berusaha menepis keterkejutannya dengan menanggapi pertanyaan Ratih.

“Oh.” Perempuan itu kemudian merapikan posisi duduknya dengan menyilangkan kedua kaki. “Saya ndak bisa melarang Mentari kalau memang kalian sudah mantap dengan keputusan ini.”

”...Hanya saya ingin berpesan satu sama kamu,” ujar Ratih dengan nada serius.

“Dari kecil hidupnya sudah keras, Nak Jordy. Saya nggak mau dia sulit di kemudian hari. Tolong jaga Mentari, walaupun ke depannya pernikahan kalian akan kedatangan banyak rintangan.”

Jordy adalah sosok yang penuh logika. Ia tak terlalu percaya pada ramalan. Setiap kali ada orang yang bertingkah bak cenayang, Jordy akan selalu menepis pandangan itu. Lagipula, pernikahan ini bukanlah pernikahan pertamanya. Jordy sudah kenyang dengan asam garam rumah tangga. Tentu ia dapat mengatasinya dengan sangat baik.

“Weton kalian nggak cocok,” gumam Ratih yang membuat Jordy harus menahan diri untuk tidak tertawa. Semburat merah di wajahnya adalah pertanda bahwa ia tak ingin mempercayai hal-hal takhayul seperti itu.

“Mentari nggak bisa sembarangan jatuh ke tangan orang lain, Jordy. Dia spesial,” kata Ratih sekali lagi. “Wallahualam, semua terjadi atas izin Gusti Allah. Semoga Jordy bisa mengatasi masalah apapun yang terjadi di kehidupan rumah tangga kalian nanti.”

Jordy menganggukkan kepala, “terima kasih banyak, Tante. Saya izin untuk menikah dengan Mentari.”

Ratih kembali tersenyum, “semoga amanah ya, Jor. Tante cuma bisa mendoakan kalian berdua—”

Dar!

Dari arah luar, pintu usang tadi tiba-tiba terbanting keras. Ratih yang duduk berseberangan dengan Jordy menundukkan kepala lalu hening sejenak. Entah apa yang ia lakukan, namun pemandangan itu membuat Jordy tersenyum remeh. Zaman sudah berubah, teknologipun canggih. Kok masih ada yang percaya dengan hal-hal di luar nalar?

“Jordy, terima kasih ya, kamu sudah menyelamatkan Riri. Papanya Riri senang sekali bisa mengenal kamu,” kata Ratih yang membuat Jordy melongo. Seingatnya, Mentari pernah bercerita kalau ayahnya telah lama meninggal dunia.

“Ah, anggep aja ucapan yang tadi Tante bilang cuma ceplosan biasa. Nggak usah dipikirin. Tante dan suami bersedia menjadi wali untuk Riri di pernikahan kalian nanti.”

“Terima kasih, Tante—”

Belum sempat Jordy menyelesaikan ucapannya, pintu rumah Mentari kembali terbuka, beserta dengan embusan angin yang membelai Jordy dengan begitu kencang. Ternyata di depan, perempuan itu datang dengan wajah tak karuan, sama seperti subuh itu.

“Ba...Bapak?” Perempuan itu melangkah pelan ke arahnya. Jordy menepuk salah satu bangkunya yang tak berpenghuni.

“Saya lagi bicara dengan Tante kamu mengenai pernikahan kita,” tandas lelaki itu tanpa terbata-bata. Mentari menengok ke Ratih dengan dahinya yang mengkerut. “Wallahualam, Ri. Tante sudah bilang ke Jordy untuk jadi wali nikah di pernikahan kalian nanti.”

“Bulik...serius?” Wajahnya terlihat kaget.

“Bulik kan udah ngomong dari tadi di WA, Ri. Sing penting kamu tanggung jawab.”

“Bulik! Riri ra meteng. Tenan, Riri ra meteng duluan,” paniknya saat Ratih tersenyum kecil. Meski Jordy tak begitu paham dengan pembicaraan mereka, otaknya mencerna dengan sempurna, menebak obrolan itu pasti terarah pada tuduhan Mentari yang dihamili olehnya.

“Bulik tau, Ri. Wis tho, ndak usah panik gitu. Sana, salim sama calonmu.” Mentari membalik dirinya menghadap Jordy. Tanpa aba-aba, ia langsung meraih tangannya untuk ditempelkan pada dahi. Jordy diam. Sekelebat ingatannya kembali teringat pada pernikahan pertamanya dengan Kirana. This was happened too. Bedanya, setiap kali ia mengingat Kirana terputar Jordy selalu merasa nyeri. Ia sadar bahwa hatinya tidak akan pernah menerima kepergian Kirana yang terlalu cepat. Walau kini Mentari akan menjadi sosok baru dalam hidupnya, saat tadi ia menyalami tangan Jordy, lelaki itu benar-benar merasa asing dan canggung. Ia terpaksa membiarkannya karena ada Ratih dan keluarga Mentari.

“Mas Jordy,” Perempuan itu tersenyum tulus sambil memandang Jordy penuh harap.

“Hm?” balasnya singkat.

“Nggak, cuma mau manggil doang,” sahut Mentari, tersipu. Jordy sama sekali tak merespon apapun yang Mentari perlihatkan padanya. Untuk Jordy, ini adalah bentuk pengorbanan terbesar bagi Aidan di hari ulang tahunnya yang ke sembilan nanti. Setianya hanya untuk Kirana walau takdir mengatakan hal berbeda.


“Ri! Riri! Ri, gue sama Pak Ustad, sama Chanting nih, Ri!”

Renjana berteriak sekuat tenaga dari luar. Bersama dengan seorang lelaki yang memakai peci serta tasbih di tangan, Renjana tak putus asa terus melafalkan ayat kursi dalam hatinya.

“Gue aja deh yang buka. Kali aja setannya nurut, jagoan Depok nih aing!” Chanting bersuara, menepuk dada dengan bangga. Maka tanpa berlama-lama gadis itu segera mendorong pintu kamar Mentari yang ternyata...tak terkunci.

Mereka menemukan Mentari dalam kondisi segar, sehat dan sadar. Tak ada yang aneh dari pandangan Renjana dan Chanting.

“Assalamualaikum.” Ustad yang kebetulan diajak Renjana selangkah maju tepat di depan Mentari.

“Wa'alaikumsalam,” jawab Mentari seperti biasa. Sontak, Renjana dan Chanting saling bertukar pandang, heran dengan apa yang ia saksikan. Terutama Chanting yang tadi ketakutan setengah mati saat harus membalas iMess Mentari. Tutur kata serta bahasanya sama sekali jauh dari sosok “Riri” yang ia kenal. Heboh dan galak, sama sepertinya.

“Gim..ana, Pak Ustad?” Chanting memberanikan diri bertanya, sambil sesekali melirik Mentari, memastikan bahwa kawannya sudah kembali.

Sang Ustad hanya diam dan tersenyum. Tak ada ucapan lebih lanjut yang ia sampaikan pada Chanting maupun Renjana. Namun ketika netranya bergulir pada sahabat mereka, entah mengapa bulu roma keduanya naik seketika. Bahkan, Chanting langsung menghindari berkontak mata dengan sobatnya sendiri.

“Weton njenengan Jumat Kliwon, calon suaminya, Minggu Pahing. Dan...yang terdahulu Selasa Wage.” Sang Ustad tiba-tiba berucap sembari mengelus dagu lalu mengangguk pelan. “Wis nggak apa-apa, Insha Allah aman. Yang penting shalatnya jangan ditinggal.”

Makin terdiamlah dua orang yang berdiri mengapit Mentari itu. Sementara sang gadis hanya termangu, berusaha mencerna apa yang sang ustad katakan. “Pak Ustad, saya sama sekali nggak mengerti apa yang Pak Ustad bilang.”

Sang Ustad tersenyum tipis, “Nggak usah jadi pikiran. Yang punya dunia hanya Gusti Allah. Njenengan tinggal memperkuat iman. Pokoknya, jangan ditinggal shalatnya.”

Sang Ustad mempertegas ucapannya kembali. Wajahnya begitu tenang, namun getir pada senyumnya terbaca oleh Mentari.

“Saya nggak ada rencana menik–” Mentari terdiam. Ia baru ingat kejadian beberapa jam lalu. Seketika tangannya dingin membeku, begitupun dengan tubuhnya.

“Sini, tak bilangin,” panggil Sang Ustad. Mentari sempat merasa takut dan ragu, membayangkan semua mimpi buruk yang selama ini ia alami kemungkinan bisa menjadi nyata. Ia menolehkan kepala ke Chanting dan Renjana, meminta diyakinkan jika keputusan untuk melangkah ke arah Ustad itu, adalah benar. Dan usai kedua sobatnya mengangguk, Mentari baru mau melangkah, walau kakinya terasa begitu berat dan sakit.

Sesaat Mentari berdiri di sebelah Sang Ustad, netranya refleks terarah pada telapak tangannya sendiri. Di matanya, tangannya itu nyaris tak berwarna dan sangat pucat. Namun tubuh Mentari bereaksi sebaliknya. Yang ia rasa justru gelisah sepanjang masa dan tubuhnya terasa panas.

“Sing nduwe dunyo iki, cuma Gusti Allah. Sampeyan wis ono tempate dewe. Lungo.” Ustad tersebut berbisik sambil mengusap dan meniupkan sesuatu pada punggung Mentari.

“Terasa ringan, nggak?” tanya Sang Ustad kemudian. Mentari mengangguk walau ia tak begitu paham mengapa Sang Ustad berkata demikian, tapi setelah Beliau mengusap punggungnya, ia benar-benar merasa lebih baik. Pusingnya berkurang meski kakinya masih sedikit sakit.

“Iya, Pak Ustad. Matur nyuwun, Nggih.”

“Sami-sami.”