noonanya.lucas

Sewaktu Mentari berjalan di atas megahnya lantai hotel mewah yang Jordy pakai di pesta pernikahannya, semua hadirin yang datang terpukau oleh karena kecantikan Nyonya Hanandian.

Bibir tipisnya terbalut lipstik merah jambu, riasan wajahnya pun sungguh memancarkan aura manten manglingi yang memanjakan semua mata. Ia tampak sangat serasi berjalan mendampingi Jordy, sang suami.

Mentari menjadi buah bibir tersohor di negeri ini. Semua awak media meliput, namanyapun trending nomor satu di Twitter. Bahkan, salah satu perias wajah yang dilibatkan dalam pernikahan Jordy dan Mentari memberi kesaksian, jika aura Mentari benar-benar keluar. Sebelum acara resepsi dimulai dan setelah ijab kabul terucap, sang perias pengantin berpuasa semalaman agar hilalnya berjalan lancar.

Tradisi sembogo, yakni meniupkan asap rokok pada pengantin wanita dalam adat jawapun, ia laksanakan agar Mentari semakin manglingi. Sang perias dalam penuturannya pada awak media, turut menambahi jika usai tradisi jawa itu ia lakukan, wajah Mentari terlihat beda. Air mukanya tak lagi lugu, melainkan anggun dan terkesan angkuh.

“Saya mau lipstik yang merah itu,” tunjuk Mentari pada salah satu lipstik bermerk yang berjejer rapih di tempatnya. Mendengar permintaan sang manten, tentu si perias mengabulkannya. Dipoleskan perlahan pada bibir Mentari, lalu ia tersenyum tipis setelahnya. Kemudian Mentari juga memasang salah korsetnya sendiri tanpa bantuan para petugas di sana. Hal itu menjadi buah bibir di kalangan petugas, sebab baru kali ini ada seorang pengantin yang sangat khatam dengan pemakaian korset jawa yang cukup alot pemakaiannya.

Usai pemakaian kebaya terpasang, Mentaripun bersiap menghampiri suaminya, Jordy di depan. Namun hal aneh terjadi tepat sebelum ia sampai di gerbang depan.

Mentari tiba-tiba berlutut satu kaki dengan kedua tangan yang mengatup di depan kepala, melakukan sungkem pada sang perias. Detik itu juga si perias pengantin jawa langsung melafalkan ayat kursi yang dilanjutkan dengan surat yasin, sebab disaat Mentari menengadahkan kepalanya dan menatap sang perias, bola mata Mentari terlihat penuh—berubah menjadi putih. Sang perias tak dapat berkata apapun, nafasnya terlanjur sesak dan tercekat. Yang bisa ia lakukan saat itu hanya terus mengulang ayat kursi dan yasin dalam hati.

Bahkan dalam pengelihatan Sang Perias, Mentari berubah menjadi sosok yang pernah ia lihat sebelumnya.

Kirana, almarhumah istri Jordy yang telah meninggal tiga tahun lalu.

“Terima kasih telah merias saya dan memberi saya kesempatan untuk menikah kembali dengan Jordy, suami saya.”

Sang perias dibuat tercekat dan kalut bersamaan saat sayup ia dengar suara itu terdengar jelas di telinganya.

Dengan gelisah, tangannya merogoh dus air mineral, lalu mengambil dua buah air putih yang ia tenggak hanya dalam satu tegukan.

“Bu, kadosmenopo?!” Asisten sang perias berteriak heboh kala menemukan wanita paruh baya itu pingsan usai minum air putih. Tubuhnya terasa dingin, bahkan tangannya terlihat pucat seperti mayat.

Tak lama perempuan ini menangis dan beberapa saat setelahnya ia meringis dan menangis.

“Panggil! Panggil yang lain! Tolong angkut Budhe, tolong!” Sang asisten dari perias langsung mencari bantuan.

“Ada apa Mbak? Kenapa ini ibunya?” Salah satu staff WO bergegas mengikuti asisten sang perias.

“Dia milik saya, dia milik saya! Hihihihi!” teriak sang perias lalu ia tak sadarkan diri.

“Happy birthday, Idan! Happy Birthday Idan! Happy Birthday, Happy birthday, happy birthday, happy birthday, Idan!”

Kegembiraan mengalir deras memenuhi suasana perayaan ulang tahun putra tunggal Jordy Hanandian—Aidan. Semua bertepuk tangan menyaksikan bocah kecil itu meniup lilin, diapit Jordy dan calon ibu sambungnya—Mentari. Ketiganya kompak mengenakan kemeja warna merah muda sesuai permintaan Jordy beberapa waktu lalu.

Hanya satu orang yang tak hadir di acara ini, Recha—nenek dari Aidan yang beberapa waktu lalu menolak hadir di acara penting ini hingga menimbulkan banyak pertanyaan dari sanak saudara Jordy yang heran dengannya.

“Oma Recha gak dateng, Jor?” tanya salah satu sepupu Jordy yang bernama Tami. Perempuan yang memiliki rambut sebahu dan piercing di lubang hidung itu mengedarkan pandangannya, mencari sosok yang tak pernah menghidupkan suasana. Jordy menggeleng, “Berhalangan hadir.” Tentu saja Tami tahu kakak sepupunya berbohong. Dia melirik salah seorang perempuan cantik yang ia akui melebihi kecantikan saudari perempuannya. Wajahnya lembut, keibuan. Kulitnya putih seputih susu.

“Cakep ya, pacar lo,” puji Tami tersenyum. Namun melihat wajah datar saudara sepupunya, Tami justru menatap miris perempuan yang baru ia kenal beberapa jam lalu.

Tami terlalu mengenal pribadi Jordy yang sulit membuka hati pada orang baru. Jika Jordy sampai berani melangkah ke jenjang serius bersama wanita muda itu, bagi Tami, pasti ada makna tersembunyi yang ingin Jordy lakukan. . . .

Teza dan Jenan sampai berbarengan. Yang satu membawa pistol-pistolan, dan yang satunya robot serta mobil-mobilan. Keduanya sempat bertemu di gerbang pintu masuk, terpana pada satu perempuan yang jelas begitu mereka kenali penampilannya.

“Riri diundang juga,” bisik Teza. “Samperin Je. Mungkin bos lo mau nyomblangin lo sama dia, lagi baik hati,” sambung Teza tersenyum geli.

Tetapi Jenan rasa pemikiran Teza terlalu naif. Ia bisa melihat jelas jika siang itu, tak hanya Mentari yang memakai outfit merah muda. Tapi Aidan dan Jordy juga kompak mengenakannya. Semula Jenan nyaris mencibir semua fakta pahit itu sampai ia mendengar Aidan berteriak dari depan.

“IDAN MAU IKUT MAMAH RIRI!” Aidan tampak berlari, menyusul Mentari dengan menyelipkan tangan mungilnya di balik telapak sang puan.

Taraaaa! Mak jreng! Bagai tersambar petir di siang bolong, Jenan mematung di depan gerbang. Begitupun Teza yang kaku untuk membuka mulut. Keduanya saling bertukar pandang heran bin tak percaya.

“Jordy, gue tau dia sutradara berbakat, ceritanya juga plot twist, ya tapi...Nggak sampe nyurprisin kita kayak gini juga dong, Je!” gumam Teza tertawa kelu.

“Lo mau pulang ya, Je?” ejek Teza melihat Jenan dengan muka masamnya.

“Kagak lah gila, gini doang, masa pake acara pulang. Gue strong,” katanya menertawai diri sendiri.

Teza juga ikut tertawa pedih menatap sobatnya yang langsung menghindari lirikan Mentari dari depan.

“Om Jenan, haloooo!” Aidan menyapa. “Mamah, aku dapet robot-robotan! Makasih Om Jenan,” pamer Aidan, menyalami punggung tangan Jenan, lalu berjalan meninggalkan Mentari.

“Dan, sini. Sapa Om Teza dulu,” panggil Mentari.

“Eh iya, Idan lupa. Makasih, Om, mobil-mobilannya,” ucap Aidan melakukan hal yang sama pada Teza.

Kedua sobat baik Jordy itu sama-sama menganga melihat Aidan yang mereka kenal sering melempar tantrum, tak mau mengenal orang, dan kadang sering bersikap tak sopan, tiba-tiba menjadi anak yang santun luar biasa. Dugaan mereka pun langsung mengacu pada Mentari yang sukses membawa perubahan besar pada Idan.

“What a plot twist,” gumam Jenan sambil tersenyum kecil.

“Maaf, Pak.”

“Anjir, pantes aja si Jordy ngomen mulu di twitter gue,” kata Jenan menggaruk pelipisnya yang tak gatal. “Anyway, congrats to both of you. Kapan resminya?”

“Empat bulan lagi,” sambar Jordy yang entah dari mana tiba-tiba muncul di depan Teza, Mentari dan Jenan. Ia menyodorkan dua buan undangan pada kedua temannya.

Teza berdecih, sedang Jenan menatap pahit undangan itu. “Sorry, Je,” kata Jordy sedikit dengan nada mengejek. “I wish you come to our wedding reception.”

“Tanteeeee!” Suara Idan memecah kesunyian ketika aku hendak sampai di ruang makan. Kulihat Jordy sedang menyeruput kopi, sementara Idan tersenyum lebar, menunjukkan barisan gigi susu rapihnya. Segera aku bergabung duduk di sebelah Idan dan mengambilkannya selembar smoked beef, juga dua buah sosis ayam kesukaannya.

“Tante kemaren kenapa?” tanyanya lugu. Aku langsung melirik Jordy yang juga memburuku lewat lirikan mata datarnya. “Dan, makan,” kata Jordy, mengalihkan fokus Aidan.

“Kemaren Tante pake baju Mami, sekarang udah enggak. Tante tadi lama gara-gara ganti baju dulu ya?” tanyanya semakin penasaran. Tersisalah aku yang kembali memandang Jordy minta pertolongan agar Aidan berhenti bertanya, sebab saat pagi hari aku baru sadar jika semalaman aku mengenakan pakaian tidur milik almarhumah istri Jordy. Aku tak tahu apa yang kulakukan, tapi usai tersadar, aku cepat-cepat berganti baju dan mengembalikan pakaian tidur itu pada Jordy.

Aku mengangguk, “Maaf ya, Dan.”

Idan menggeleng, “Enggak papa, kok, Tante. Baju Mami kan banyak, terus kayaknya gak pernah dipake sejak Mami bobo di tanah. Buat Tante aja semuanya.”

Tepat ketika Aidan berkata demikian, Jordy dari seberangku melirik putranya dan menggeleng. Aku tahu, ia takkan pernah mengizinkan siapapun menyentuh pakaian almarhumah. Itu sebabnya aku merasa amat bersalah pada Jordy. Buru-buru kuucapkan selamat padanya berhubung kali ini adalah hari anniversary-nya dengan almarhumah. Tanpa Jordy berkata, semalam penuh aku tahu dia tak bisa tidur nyenyak, mungkin karena terbiasa tidur sendiri di kamarnya. Sedangkan bersamaku, ia pasti kesempitan.

“Tante,” panggil Idan disela aku mengambil sebuah roti.

“Ya, Idan? Kenapa?”

“Tante jangan sakit, nanti yang jadi mamahnya Idan siapa...” Anak itu melengkungkan bibirnya, sementara aku benar-benar terdiam. Seluruh benakku dipenuhi rasa hangat saat Aidan dengan manisnya berucap demikian. Jujur, aku tak pernah terpikir Aidan yang sekecil ini ternyata mengerti keadaannya. Ia sama sepertiku yang didewasakan oleh keadaan.

“Iya, nanti Tante rajin minum obat biar gak sakit,” kataku pada Idan. “Idan makan yang banyak, biar kuat.”

“Iya! Biar bisa jagain Tante!” balasnya bersemangat. “Eh!”

“Kenapa, Dan?” Ia menggeleng kuat, “sekarang Tante kan udah bukan Tantenya Idan.” Aku mengernyitkan dahi, tak mengerti apa yang anak itu bicarakan.

“Tante mamahnya Idan!” ucapnya yang langsung membuatku harus bekerja keras menahan haru. Sungguh ucapan Idan yang terasa tulus padaku, jauh lebih membahagiakan daripada genggaman tangan Jordy kemarin. “Idan boleh panggil Mamah?”

“Boleh...” Tangisku pecah seketika. Segera kupeluk Aidan seerat mungkin, aku tak peduli Jordy akan menegurku keras, tapi bagiku saat ini Idan adalah satu-satunya kekuatan untuk menghadapi kehidupan juga sikap dingin ayahnya.

“Huhuhuhu, Den Idan...Mba Erna seneng dengernya...” Tau-tau dari belakang, pengasuh Aidan menimpali. Ia juga tak kalah haru dariku. Dipeluknya Idan, “Den Idan berarti udah gak butuh Mba Erna dong?”

“Ihhh! Enggak! Nanti yang masakin Idan siapa?”

“Tapi Idan suka nakal sama Mba Erna kan? Hayooooo!” ledekku menyentuh pangkal hidungnya. Anak itu menunduk malu, “Enggak lagi-lagi deh. Nanti Mamah sedih kalo Idan nakal,” janjinya.

“Gitu dong!” Aku mengusak rambut hitam Idan.

“Mamah, nanti temenin Idan potong rambut ya, Mah?” pintanya.

“Dan, bisa pergi sendiri, kan?”

Kupikir sejak tadi Jordy hanya sibuk dengan pekerjaannya, sebab tak sedikitpun ia berkomentar atas segala ucapan Aidan padaku.

“Gak mau! Idan mau ditemenin sama Mamah, Papi aja yang di rumah! Hu!” sahutnya sembari menurunkan jempol ke bawah.

“Kamu itu, udah tau dia lagi sakit, gak boleh capek, malah ngerepotin,” omel Jordy.

“Eh, apaan sih? Malah pada berantem,” leraiku.

“Papi nakal, Mah!” cetus Aidan yang tentu saja membuat Jordy nyaris melotot padanya, tapi sukses kucegat. “Jangan marahin Idan!”

Jordy langsung mengurungkan niat dan kembali fokus ke ponselnya, untungnya ia tak kembali menjadi grumpy old man yang hobi menggerutu seperti biasa.

Begitu pintu apart Jordy terbuka, Dhea segera mencari Mentari. Apa yang Bulik Ratih sampaikan selama perjalanan terus menghantui Dhea, ia sangat takut kehilangan Mentari. Terlebih kini mereka hanya tinggal berdua di Ibukota.

Netra gadis itu bergulir pada sejumlah barang-barang antik yang terpajang di lorong ruang tamu Jordy. Tatapannya terhenti sesaat pada satu foto yang menampilkan Jordy dengan seorang perempuan bertahi lalat di hidung. Ia yakin dialah sosok yang diceritakan Mentari beberapa waktu lalu, Kirana, almarhumah istri Jordy yang telah lama meninggal. Melepas pandangannya dari sana, Dhea tertegun saat menyadari jika suara teriakan dan tawa yang semestinya terdengar sama sekali hilang. Apakah kondisinya sudah baik-baik atau tidak, Dhea sama sekali tak tahu. Yang jelas kini cemasnya makin pecah saat Bulik berkata jika hal ini dibiarkan terlalu lama, nyawa Mentari tidak bisa selamat. Maka gadis itu lekas mengetuk pintu kamar kakaknya, tapi terkunci dari dalam.

“Mbak! Mbak Riri! Mbak, Mbak!” panggilnya panik. Lima detik menanti dengan resah, Dhea tak menyangka yang keluar dari sana bukanlah Mentari, melainkan Jordy—calon kakak iparnya. Lelaki itu terlihat lelah, garis matanya hitam, dan dahinya berkeringat.

“Kak, Mbak Riri gimana? Mbak Riri udah tenang kan? Mbak Riri gimana, ya Allah!” Tangis Dhea pun pecah.

“Tenang, Dhe. Mentari udah tenang. Udah minum obat dari psikiaternya.”

Alis Dhea terangkat. Fakta itu membuatnya terkejut nyaris tak percaya. “Mbak Riri ke psikiater? Buat apa, Kak?”

“Mentari sakit, punya kelainan DID, kepribadian ganda.”

Jantung Dhea berdetak cepat. Dadanya bergemuruh saat Jordy berkata pelan, menjelaskan penyakit sang kakak. “Mbak Riri nggak sakit, Kak! Mbak Riri normal!” pekiknya.

“Kak, Mbak Riri tadi kesurupan... Mbak Riri itu sensitif. Dia peka sama hal-hal yang gak bisa kita lihat. Walaupun dia ga bisa liat juga, tapi dia bisa ngerasain. Kak, jangan ngomong gitu, Mbakku gak sakit,” tutur Dhea terisak-isak.

Lelaki tersenyum tenang memandang Dhea. “Dhe, kamu tuh ada-ada aja. Istirahat sana di dalem, ada Idan di kamar saya. Kamar Idan soalnya lagi dibersihin, jadi Idan numpang tidur di kamar say—”

“Kak, kalo sampe Mbak Riri gak tertolong, orang pertama yang akan aku salahin adalah Kakak! Karena Kakak gak bisa jagain dia!” Mata Dhea memicing.

“Udah, istirahat sana. Saya bisa jaga Mentari, tuh buktinya dia sudah tidur.” Telunjuk Jordy mengarah pada Mentari yang tertidur di kasur terbalut oleh selimut hangat. Dhea memang dapat bernafas lega ketika tahu kakaknya sudah tenang, tapi tidak dengan Jordy yang justru menganggap remeh omongannya.

“Gih, sana. Idan kemaren nanyain kamu,” suruh Jordy. Tapi Dhea belum beranjak sebelum ia menyelesaikan ultimatumnya. “Silakan Kakak gak percaya, tapi aku serius sama apa yang barusan aku bilang. Aku nggak akan segan-segan bawa Mbak Riri pulang dan tinggal sama aku, kalau kejadian kayak gini lagi!”

Jordy diam sejenak, menahan emosinya yang mulai terpancing mendengar ucapan ngelantur Dhea. “Iyaaaa...Iyaaaa...Udah sana ke kamar saya, ada Idan di dalam.”

Tepat pukul dua belas malam, Mentari terbangun kaget dari tidur panjangnya saat menyadari jika ia tidak tidur sendiri, melainkan ada seseorang di sebelahnya.

Jordy.

Tatapannya pun berangsur jelas saat lelaki itu menumpukan tangannya pada pinggul ramping miliknya. Namun saat akan memindah tangan pria itu dari sana, kepalanya terasa agak pusing dan tengkuknya masih terasa berat, namun tak sesakit beberapa jam lalu. Akhirnya Mentari memutuskan untuk kembali memejam mata sejenak.

“Ikut saya, Mentari...” Perempuan itu sontak terbangun saat mendengar satu bisikan di telinganya. Suaranya parau namun begitu jelas terdengar.

“Mas, Mas. Bangun, Mas.” Karena takut, Mentari terpaksa membangunkan Jordy yang terlelap di sampingnya. Lelaki itu mau tak mau membuka mata, “kenapa? Tidur. Ini udah jam dua belas.”

“Kamu denger suara gitu gak, Mas?” tanya Mentari memastikan.

“Suara apa sih? Orang gak ada apa-apa. Tadi kamu kan udah minum obat, harusnya kamu tenang. Ada saya yang jagain, udah ayo tidur.”

“Tapi tadi beneran, Mas.. Aku denger ada yang manggil aku. Takut.”

“Ck!” Lelaki itu pun bangkit dari ranjang, menyalakan lampu di sisi kanan dan kiri nakasnya.

“Kamu nggak bisa tidur kalau gelap? Udah saya nyalain. Tidur.”

Mentari hanya bisa terdiam sambil berusaha menyingkirkan segala ketakutannya. Meski ia yakin jika ia tak salah dengar, namun percuma rasanya jika memberitahu Jordy yang tak percaya dengan semua omongannya.

“Tadi aku...kenapa?” tanya Mentari.

“Kambuh,” jawab Jordy seraya kembali memejam mata.

“Mas.”

“Apalagi?” Nada Jordy mulai terdengar ketus.

“Kalau aku sekali lagi kayak tadi, please, kita harus batalin semuanya.”

Mendengar ucapan Mentari, mata Jordy langsung terbuka. “Batal apa?”

“Pernikahan.”

“Kamu ngomong apa sih? Udah dikasih obat bikin masalah terus. Bisa nggak sehari aja jangan bikin saya marah?”

Mentari menghela nafas, “Mas, aku nggak kamu stres gara-gara aku. Idan juga jadi kepengaruh. Semua jadi kacau karena aku. Liat muka kamu secapek itu, aku gak mau bikin masalah terus. Mau aku sakit apa enggak, aku nggak mau—”

“Nggak mau, nggak mau! Jangan ngomong sembarangan. Tidur sekarang. Cerewet banget!” sewot Jordy membalik posisinya memunggungi Mentari. Perempuan itu bersedekap, kembali menyimpan ketakutannya sendiri. Ia rasa hal itu jauh lebih baik daripada terus melihat Jordy emosi padanya.

“Maaf ya, Mas. Aku bikin masalah terus,” katanya pelan.

“Hm,” sahut Jordy menggumam.

“Aku sayang kamu, Mas.”

Jordy tak menyahut. Pikirannya kacau setelah mendengar pernyataan Mentari harusan. Hatinya tercebik, bibirnya kelu untuk menanggapi pernyataan Mentari yang terlalu mendadak baginya. Matanya terpatri pada satu-satunya foto pernikahannya dengan Kirana.

“Eh, sori. Aku cuma asal nyeplos doang. Nggak maksud gitu kok. Maaf ya.”

“Jadi kamu lebih mau sama Jenan?”

“Kok tiba-tiba Jenan?”

“Jenan kan ngedeketin kamu.”

Kali ini gantian Mentari yang diam dan tak bersuara, membuat Jordy menarik kesimpulan jika feeling-nya tentang Mentari yang sedikit menyukai Jenan terbukti benar dan hal ini membuat Jordy sedikit kesal pada sahabatnya sendiri.

Dia Milik Saya

“Anjir, kok si Jordy ga profesional gitu sih?” Protes salah satu produser kawakan, Irez Harahap di tengah zoom meeting untuk proyek web series ketiga Jordy berlangsung. Pasalnya, ayah satu anak itu tiba-tiba menghilang tanpa pamit. Ia terlihat panik, meninggalkan beberapa koleganya yang sedang diskusi.

Diantara mereka, hadir pula Jenan dan Teza selaku produser pelaksana dan eksekutif-nya. Mereka berdua juga keheranan sekaligus bingung ketika Jordy mematikan sambungan meetingnya.

“Cewenya panik kali, Je. Beneran hamil,” gurau Teza masih sempat bercanda. Jenan mengangkat bahu, sebab sejak ia tahu pujaan hatinya akan segera menikah, laki-laki itu bagai kehilangan selera makan. Hidupnya hanya rokok-kopi-rokok-kopi. Pahit yang tak ada manis-manisnya.

“Maaf ya, Mas Irez,” terpaksa Jenan mengambil alih meeting dadakan itu. “Mungkin ada sesuatu yang urgent dari Aidan, anaknya Jordy.”

Untungnya Irez memaklumi, secara ia juga memiliki dua buah hati. “Ya udah gak papa,” katanya. “Lo aja, Je, yang lanjut. Nanti brief ke Jordy aja.”

Jenan mengangguk, dan meetingpun kembali terlaksana. . . .

“Kamu datang.” Sesaat Jordy membuka pintu kamar Mentari, ia melihat perempuan itu telah mengganti baju. Baju yang sangat ia kenali, dari wangi hingga modelnya.

Kain baju linen itu terbuat dari satin kelas wahid, bahannya tipis. Dan Jordy tahu pasti kapan baju minim itu dikenakan oleh mendiang istrinya.

Yap, setiap malam ketika mereka melakukan kewajiban, Kirana selalu memakai baju itu. Entah dari mana Mentari bisa menemukan baju personal milik Kirana. Dan main ia kenakan tanpa seizin Jordy. Jelas-jelas keduanya belum resmi menjadi sepasang suami istri, tapi Mentari tega menjual dirinya pada Jordy.

Murka memenuhi benak Jordy seketika itu. Ia bukan tak suka perkara Mentari memakai baju Kirana, tapi caranya yang terlalu berani membuat Jordy berang.

Ia melangkah maju, lalu memegang kuat lengan Mentari. “Ngapain kamu pake baju gini malem-malem?!” bentaknya. Jordy bahkan harus membuang tatapannya ke arah lain, sebab Mentari tidak mengenakan bra hingga membuat benda sensitif miliknya terlihat transparan di depan Jordy.

Alih-alih Mentari mendengarkan, perempuan itu malah tersenyum miring, seraya menghentikan langkahmnya di depan Jordy. Tangan Mentari terangkat, mengusap pipi Jordy lembut.

“Did you remember when we're doing this?” Dan lagi-lagi tanpa kendali, Mentari mencium bibir Jordy. Ia menekannya kuat, sementara sang penerima cium membeku. Namun sadar jika yang Mentari lakukan sudah kelewat batas.

Jordy terpaksa mendorong tangan Mentari yang kini merogoh sebagian kancing kemejanya, tangannya bergerak cepat hendak membuka barisan kancing yang terkait rapi, membalut tubuh indah lelaki itu.

“You used to like this, Dy,” bisiknya lalu tertawa lepas. Sedang Jordy yang tetap memegang tangan Mentari segera mendorongnya cepat. “Kamu gila, ya?! Kita belum nikah, Mentari! Jangan aneh-aneh!”

Perempuan itu kembali tertawa, “Mentari? Dia milik saya, Ody. Tubuh ini, raga dia, tidak akan pernah kamu miliki.” Ia berbisik tepat di telinga Jordy, namun semakin Jordy dengar suaranya, ia menyadari jika suara lembut tadi telah berganti menjadi suara berat, seperti suara laki-laki.

“Mentari!” Jordy membentaknya sekali lagi, namun Mentari semakin menunjuk aksi. Perempuan itu tiba-tiba menari. Gerak lembut gemulainya bahkan mampu membuat Jordy terhipnotis. Daksanya tak terlepas dari bagaimana Mentari menarikan sebuah tarian tradisional yang tak pernah Jordy saksikan sebelumnya.

Awalnya Mentari menari dengan gemulai, tangannya bergerak sesuai ritme lagu sinden jawa yang pernah terekam dalam memori masa kecilnya. Tetapi saat perempuan itu mencoba membuka mata, ia baru sadar jika di belakangnya ada lima jari yang mendekapnya. Kulitnya keriput dan kukunya hitam bak cakar elang, Mentari semakin sesak lantaran pemilik jari keriput itu menekan lengan dan terus mengendalikan tariannya. Temponya semakin cepat, kepalanya pun tundak-tunduk hingga Jordy di depannya terkejut saat Mentari tertawa lepas, melengking dan menakutkan.

“HIHIHIHIHIHIHIHI!!! Dia telah saya miliki! Dia telah saya miliki! Dia akan saya bawa pergi! Hihihihihi!”

Rumah makan yang nyaris delapan tahun tak pernah Jordy kunjungi, akhirnya menjadi tempat persinggahan untuk makan siangnya bersama Mentari. Sebenarnya Jordy tau tempat makan ini dari Kirana. Ia selalu suka dengan menu sop buntut dan coto makassar yang menjadi ciri khas dari daerah asal Kirana itu.

Netra Jordy bergulir pada salah satu tempat duduk yang dulunya sering ia tempati bersama Kirana kalau sedang mampir ke sini.

“Penuh lagi tempat duduknya,” keluh Mentari kala memerhatikan lautan manusia yang menikmati santapan lezat di depannya. Daksanya pun berhenti pada satu tempat di pojok.

“Mau duduk disana aja?” tawarnya pada Jordy. Tanpa protes, Jordy mengangguk. Ia jalan di depan Mentari. Gadis itu melirik tangan Jordy untuk beberapa saat, sedikit menanti Jordy akan mengggandeng tangannya seperti saat di studio foto tadi.

Tapi ternyata, tidak.

Lelaki itu hanya terus berjalan lurus hingga sampai di tempat duduk yang mereka tuju.

“Eh, Jordy!” Seorang pria yang Mentari belum pernah jumpai menyapa Jordy dengan senyum sumringah. Pria itu melirik Mentari sesaat lalu kian melebarkan senyumnya.

“Udah move on ya, Jor? Cakep banget anjir!”

Mentari kontan memasang mata terhadap Jordy, ingin tahu apa yang akan Jordy katakan pada laki-laki itu. Namun Jordy tak menjawab pertanyaan tersebut. Dia cuma tersenyum simpul tanpa mengangguk.

Mentari membisu.

Ia yang semula berpikir hari ini akan menjadi langkah baik baginya untuk sedikit menata hati Jordy, ternyata salah. Semesta belum memberi ampun padanya. Terus saja Mentari dibiarkan nelangsa karena ia bersikeras menikah dengan lelaki yang sama sekali tidak mencintainya.

Tatap Jordy padaku siang itu tampak penuh rasa bersalah. Ia tak bicara banyak ketika sampai di depanku. Yang Jordy lakukan hanya langsung duduk di sebelah Idan dan bertanya pada anaknya.

“Udah selesai makannya? Pulang sekarang, ya.”

Dan tentu Idan akan menolak. Anak itu sedari tadi sudah merengek padaku untuk main ke Timezone. “Papi, Idan bosen di rumah, Kakak Dhea sibuk. Tante Riri juga bosen kalo cuma langsung pulang, mau ke timezone, main.”

Jordy mengernyit lalu menatapku seolah menuduh aku tersangka utama Aidan jadi tukang merengek padanya. Namun karena kami masih dilingkupi kekesalan, baik aku maupun Jordy hanya bertukar tatap sedetik, lalu sama-sama buang muka.

“Tanya Tante, mau apa enggak,” katanya menyerahkan padaku.

“Tante bilang tanya Papi boleh apa enggak,” kata Idan membalikkan. Lelaki itu kembali melirikku sejenak, “ya udah, kita ke timezone.”

“BENERAN?!” Idan menjerit senang. Binar matanya langsung berubah saat Jordy memberi anggukan.

“Asik! Makasih Papi. Untung Tante Riri udah bisa jalan, jadi bisa ikut Idan main. Ayo Tante, ayooooo!” Anak itu menarik lenganku penuh antusias. “Idan.” Tapi tangan ayahnya menahan tangan Idan untuk memegang tanganku. “Dokter bilang, Tante Mentari harus banyak istirahat. Gak boleh terlalu capek. Nanti Papi aja yang nemenin Idan main.”

Anak itu tersenyum, “Iya. Tapi Tante gak boleh jauh dari Idan.”

“Iya, udah cepet sana ke mobil. Om Devon tadi Papi suruh nyusul. Idan sama Om Devon naik mobil satunya.”

“Yah, terus, Tante Riri sama siapa? Tante Riri ikut mobil Om Devon aja, Piii sama Idan.”

“Papi mau bicara sebentar sama Tante, buat ulang tahun Idan. Nanti Papi sama Tante ikut mobil Devon dari belakang.” Jordy membalik tubuh Aidan sesaat kami sampai di parkiran.

“Ya udah, tapi bener ya, nyusul!” Idan berkata seraya masuk ke mobil dan duduk di jok belakang. Jordy mengangguk dan melambaikan tangan pada Idan. Sisanya, aku, tercenung memikirkan masalah apalagi yang akan hadir saat aku dan Jordy hanya tinggal berdua.

Mobil Lexus andalan Jordy berbelok ke daerah Antasari, tempat kami waktu itu fitting kebaya dan jas pernikahan. Aku mengernyit heran saat mendapati Jordy lagi-lagi membohongi Aidan. Dia pasti kesal pada ayahnya karena menunggu terlalu lama.

“Kamu janji sama Idan mau nyusul dia main, kok malah kesini,” dengusku membuka percakapan. Tapi seperti biasa, Jordy hanya akan menganggap celotehanku ini biskuit gratisan yang sering dibagikan di bawah jalan raya.

“Marahnya nanti dulu, Mentari. Ada yang lebih penting,” sahutnya memutar setir ke kiri. Saat mobil itu berbelok, aku disuguhkan oleh sebuah pemandangan baju pengantin yang sangat apik. Kebaya berwarna merah muda salem dengan payet di setiap kancingnya.

“Mau ngapain sih, Mas? Fittingnya kan udah bulan lalu.”

Lelaki itu turun, lalu membukakan pintu mobilnya. Menggendongku seperti kemarin malam. Syukurnya, aku sudah dapat berjalan normal meski sangat pelan.

“Nih, ngapain tangannya?” tanyaku ketika Jordy melempar tangannya ke belakang.

“Kamu bawel banget, beneran,” dumelnya sambil menggenggam tanganku untuk pertama kali. Aku tak berani berkata apapun setelah kulihat Jordy menyelipkan jarinya di sela-sela jari tanganku.

“Ohhhh ini calon mamah barunya Idan itu? Cakep banget ya, kayak orang Korea. Pasti orang Sunda ya, Mbak. Putih banget soalnya.”

Belum ada semenit kuinjakkan kaki di studio, semua staf mengerubungiku macam lalat.

Ada yang ngurus rambut, tangan sampai kaki. Lengkap semua. Mereka bahkan tak memberiku celah untuk bicara. Yang kudengar hanya celotehan mereka mengenai Jordy si kulkas lima pintu yang akan segera melepas status dudanya denganku.

“Mana rambutnya alus banget, si Om Jordy, bisa aja nyari bini baru secakep mbanya,” puji salah seorang make up artis yang gayanya sangat gemulai.

Dari belakang, kulihat Jordy sudah selesai memakai tuxedo dan segala atributnya, sepatu vantofel yang kupastikan harganya selangit tampak sangat selaras dengan kepribadian dan cara berpakaian Jordy yang fashionista.

“Dia udah, Mel?” Jordy tau-tau bertanya dengan tangan yang bertumpu di pundakku.

“Duh ilah, si bos. Kagak sabaran amat yekan, main dielus-elus aje tuh pundak. Eke juga mau dongggg! Awwww!” Make up artist yang baru kutahu bernama Melissa itu bersender mesra di bahu Jordy. Aku tersenyum geli kala melihat wajah Jordy yang terlihat menahan jijik saat Melissa mendusal di bahunya.

“Cepet, Mel. Kalo lo syuting ama gue, udah abis lo kena omel. Gue masih ada janji sama Idan.”

“Oke, Bosku Sayang!” Melissa semakin brutal dengan meniupkan ciuman udara pada Jordy yang membuat lelaki itu mengedikkan bahu.

“Udah selesai, Mbak Mentari! Ih cakep banget dehhhhhh!” Melissa memujiku sambil menuntunku masuk ke studio foto itu.

Untuk pertama kalinya aku pergi bertiga dengan Jordy dan Aidan. Walau tak menampik, amarah masih memburu di dada, aku memilih menyingkir egoku setelah melihat Idan tersenyum berseri-seri diizinkan ikut oleh Jordy.

Mendapati air mukanya yang seceria itu, aku mengerti mengapa Idan terlihat sangat girang hanya karena hal sesederhana ini. Semua itu akibat Jordy yang terlalu sering membiarkan Idan di rumah. Ruangnya menjadi sempit, bahkan tak bisa seperti anak lain yang bermain dengan tetangga. Sekali Jordy menegur Idan, anak itu langsung menunduk atau bersembunyi di belakangku karena takut pada sang ayah.

Mendapat izin dari Jordy mengajak Idan saja butuh satu jam. Itupun aku harus adu mulut terlebih dahulu dengannya. Tapi alhamdulillah, usahaku terbayar.

Idan dengan santainya nyelonong duduk di depan, tepatnya di kursi sebelah Jordy menyetir. Lelaki itu menoleh pada anaknya sambil siap-siap meluncurkan omelan. “Idan, pindah belakang.”

“Idan mau duduk sama Tante Riri,” katanya acuh sambil melipat tangan di dada. Tak mau pusing, Jordy langsung menggendong Idan dan memindahnya ke bangku belakang. Alhasil, ketika aku sudah berdiri, Idan langsung berteriak dan menangis.

“Idan kamu apain?” ketusku sebal. Yang kuajak bicara turut mendelik sebal padaku, “kan udah saya bilang kemaren, kamu jangan manjain dia. Sekarang makin susah diatur.” Lelaki itu bersungut kemudian menempati bangku kemudi. Sedangkan aku masih menenangkan Idan dari tangisnya, “Gak papa, Dan. Nanti kalo Tante udah sembuh, kamu bisa duduk di depan sama Tante. Udah, gak usah nangis lagi.” Aku mengusap sisa air mata yang membasahi pipi gembulnya. “Nih, Tante bawain risoles kesukaan Idan. Makan di belakang ya, Sayang.”

Anak itu mengangguk sambil membuka tupperware yang berisi makanan kesukaannya. Sementara aku duduk di depan tanpa mengajak Jordy bicara. Malas.

Setengah jam perjalanan kulalui hanya dengan menatap keluar jendela. Jordy sibuk menatap jalan raya, dan Aidan sudah terlelap sambil mendekap boneka Mc Laren-nya. Hanya bising suara mesin mobil dan motor yang menemani perjalananku ke rumah sakit bersama Jordy. Setelah tadi malam kami saling tarik urat, tak sedikitpun ia menyesal. Ia terus menyetir dengan wajah lempengnya yang tak merasa bersalah.

Apa iya, aku harus menuruti omongan Chanting dengan membatalkan pertunangan kami? Aku akan punya waktu lebih untuk menikmati masa mudaku, juga tak harus mengeluarkan air mata karena laki-laki yang belum selesai dengan masa lalunya.

Walau aku tahu aku sangat mencintai Jordy, tapi terkadang sikap kerasnya cukup membuatku tersiksa. Bertahan hanya dengan aku yang memberikan segalanya untuk dia, sedang dia masih menyimpan semua untuk mendiang istrinya.

“Mas,” baru satu kata nafasku mulai tercekat.

“Kenapa?” sahutnya datar.

“Kita tunda aja ya.”

“Udah setengah perjalanan, di depan tinggal belok, nunda gimana—”

“Pernikahannya, maksudku.”

Dia mengangkat sebelah alisnya saat aku berucap demikian.

“Kenapa.”

“Ya karena...”

“Jenan?”

Lah kok jadi geret temennya sendiri? Aku menjerit panik dalam hati. “Udah berapa lama dia deket sama kamu?”

“Deket? Nggak, tuh.”

Jordy tak menanggapi, tapi yang kurasa saat itu mobilnya melaju dengan sangat cepat, bahkan kulihat Aidan sampai terangkat di belakang walau ia tetap tertidur pulas.

“Nomer vendornya, forward ke saya.”

“Buat apaan? Kamu denger nggak sih aku tadi ngomong apa?”

“Forward aja, sekarang,” bibirnya memerintah dengan nada santai, tapi tidak dengan sorot matanya yang dingin.

“Mau ngapain dulu, kalo mau ngomel-ngomel kayak kemaren aku gak bakal ngasih,” ancamku. Kali ini ia sudah benar-benar keterlaluan. Ngomel kanan kiri, semua orang yang tak bersalah kena damprat. Sifat asli Jordy mulai terlihat, dan mungkin benar, aku seharusnya menimbang weton yang Bulik Ratih katakan padaku. Wetonku dan wetonnya tak cocok. Kami saling bertabrakan dan selalu tak sepakat dalam hal apapun itu.

“Jeremy, ini gue, Jordy.” Aku kaget saat tahu-tahu ia menelepon salah satu vendor kami. Padahal aku belum memberikan nomor itu kepadanya.

“Oy, Jor. Kenapa? Ada yang gak beres dari undangan sama gedungnya?”

“Nggak, nggak ada. Foto prewed di Jakarta yang bagus dimana? Kemaren kan maunya diluar kota, tapi calon gue abis kecelakaan motor, jadi kayaknya jangan di luar daerah dulu, deh.”

“Oh gitu, di studio aja, Jor. Ala-ala Korea gitu. Ntar gue sama tim gue yang aturin. Lo bisa cek di pinterest, kaya studio monokrom gitu. Cakep dah pokoknya.”

Aku di sebelah Jordy lagi-lagi terdiam setelah ia dengan acuhnya malah membahas hal lain diluar yang tadi aku bicarakan. Ia meletakkan ponselnya di atas dasbor kecil, dekat perseneling, lalu menatapku sekilas. “Bilang sama Jenan sana, jangan ganggu kamu lagi. Suruh dia cari cewek lain, kayak gak ada kerjaan aja.”

“Tau dari mana?”

“Apanya lagi?” tanyanya dengan nada malas.

“Itu, Pak Jenan,” kataku ragu.

“Nggak perlu tau, bukan urusan kamu.”

“Dia bilang emang sama kamu?”

Jordy enggan menjawab. Si pelit ngomong itu langsung memalingkan wajahnya ke jalan raya. “Coba cek pinterest, foto studio monokrom kayak apa.”

“Kenapa sih kalo aku ngomong kamu selalu gak pernah mau dengerin? Gak pernah ditanggepin?” protesku tak lagi bisa menahan kesal.

Ia menoleh padaku dengan wajah dinginnya seperti biasa, “harus banget kita berantem depan Idan kayak gini? Nanti Idan bangun, Mentari.”

“Gak tau lah! Kesel banget.” Aku merutuk dan kembali membuang tatapanku darinya.

“Anggep aja kalo orang mau nikah selalu dikasih cobaan kayak gini,” tanggapnya santai. Aku menggeleng heran. Setelah berhari-hari dia memborbardirku dengan rentetan omelan, sekarang ia terlihat biasa-biasa saja, seolah pendapatku tak patut ia dengar.

“Orang kamu yang dari kemaren misuh-misuh sendiri!” sengitku tak mau kalah.

“Gimana gak misuh kalo kamu aja nggak bisa jaga diri kayak begini?” Matanya menyorot ke kaki dan tanganku yang masih diperban. “Dibilangin gak bisa, dikasih tau marah. Dijagain gak mau.”

“Jagain gimana?!” Nadaku kian meninggi.

“Pelan-pelan ngomongnya. Bisa?”

Wajahku panas dan memerah padam karena ia tiada henti menekan perasaanku. “Bener kata Idan, kamu tuh jahat.”

Dia diam dan tak menanggapi amarahku. Ia biarkan aku terpekur sendiri karena sikapnya yang membingungkan.

Sepertinya semakin aku mengenal Jordy, banyak hal yang membuat kepalaku seakan mau pecah. Aku tahu kebanyakan laki-laki memilih untuk merapatkan rahasianya agar tak terusik ketika mereka melakukan kesalahan. Namun Jordy, lelaki yang mengikrarkan diri akan menikahiku bersikap demikian karena aku tahu, jauh di lubuk hatinya yang terdalam, mendiang mantan istrinya tetap menjadi nomor satu di hidupnya.

Dia hanya menganggapku sebagai sosok pengganti Kirana untuk anaknya, bukan istri baginya. Aku sampai kehilangan cara untuk membedakan mana tugas istri yang sebenarnya.

Karena sejak hari pertama lelaki itu memintaku menjadi ibu sambung bagi Aidan, putranya, Jordy tidak pernah mengizinkanku untuk mengenalnya lebih jauh.

Ia membangun batasan cukup tinggi agar siapapun—termasuk aku, tidak menyelaminya.

Jika ditanya seberapa besar kecewaku akan sikap Jordy yang selalu membuatku bertanya dan menangis secara bersamaan, aku akan menjawab, tidak ada rasa kecewa yang sama sekali. Aku hanya berlatih untuk memahami Jordy yang begitu mencintai almarhumah dan ingin membahagiakan Aidan di ulang tahunnya yang ke sembilan. Aku mengesampingkan egoku saat ini, sebab aku sadar, aku bukanlah siapa-siapa dalam hidup Jordy. Aku sosok asing yang tak pantas untuk bersamanya. Aku hanya seorang perempuan yang ia harapkan bisa mengendalikan Aidan. Dan, alhamdulillah-nya, Idan bisa kuurus dengan baik. Aku mulai menyayangi Aidan, seperti anakku sendiri. Sedikit-dikit jika Aidan mengalami kesulitan, aku langsung membantunya dan rasanya, aku mulai terbiasa.

Terbiasa menjadi ibu sambung Idan, dan terbiasa untuk tidak berharap lebih pada lelaki yang kucinta.

“Waaaaaah! Papi bawa banyak makanan!!!” Mata Aidan berbinar kala mendapati Jordy kembali ke rumah dengan sejumlah bungkus makanan di tangan. Erna, pengasuh Aidan, dengan cepat mengambil sebagian plastik itu dan ia letakkan di meja makan.

Aku baru saja selesai shalat dan menyiapkan perlengkapan sekolah Aidan esok hari. Kulihat anak itu banyak tersenyum, ia melonjak kegirangan sambil menghampiriku.

“Tante, Kakak Dhea, Papi bawa makanan banyak. Ayo kita makan sama-sama!” serunya sambil berteriak sepanjang lorong rumah. Dhea meninggalkan pekerjaan rumahnya, dan bergabung dengan Aidan yang sudah tak sabar menyantap KFC yang Jordy bawa. Aku tetap berada di belakang mereka tanpa sedikitpun berniat menggerakkan kursi roda.

“Ngapain kamu disitu doang?” ketus Jordy kala aku sedang melipat sebuah kemeja pink. Lelaki itu berjalan, menghampiri aku yang masih sibuk merapihkan pakaiannya.

Ia berpindah ke belakangku, mendorong kursi roda ke dekat meja makan. “Gak apa-apa, kalian makan aja. Tadi aku udah makan–”

“Boong, Pi! Tante Riri belum makan apa-apa dari pagi.” Aidan nyeletuk, dan alhasil aku canggung setengah mati. Aku mengalihkan tatapan dari Jordy dengan segera.

“Erna, tolong ambilin mangkok, dua,” perintah Jordy setelah netranya bergulir padaku. Sementara Erna menghilang ke dapur, mengambilkan permintaan tuan rumah.

“Jangan makan yang itu,” kata Jordy sesaat aku hendak mengambil satu potong ayam garing dan udang telur asin di depan. “Yang ini,” ujarnya mengambil dua buah daging sapi berisi sayuran.

“Papi, kenapa Tante Riri gak boleh makan ayam sama udang? Kata Bu Guru kan sumber protein,” bela Aidan yang kekeuh meletakkan satu udang goreng di piringku.

“Udang bisa bikin luka gatel. Nanti gak sembuh-sembuh lukanya, Tante Mentari gak bisa dateng ke ulang tahun kamu,” jelas Jordy pada Aidan. Mendengar penjelasan Jordy, aku sontak meliriknya sekilas, menyadari bahwa lelaki ini ternyata baru saja membuaiku dengan perhatian kecilnya yang tak tertebak dengan logika.

“Oh gitu, ya? Kenapa bisa bikin gatel, Pi?”

“Nanti Papi jelasin, abisin makananmu. Abis itu ke atas, tidur,” perintah Jordy seperti biasa. Aidan merengut sebal, dua pipi gembulnya menggembung. “Idan gak mau bobo kalo belum dibacain cerita sama Tante Riri!”

“Dan, bisa nggak sih kamu sehari aja gak bikin Papi marah?” Jordy mendengus, suasana makan malam seketika berubah canggung karena lagi-lagi tensi darah Jordy naik tanpa kendali.

“Gak papa, nanti aku bacain cerita. Udah, Mas. Jangan dimarahin terus Idannya, dia cuma minta dibacain cerita. Sini, sama Tante, Dan.” Aku menggerakkan kursi roda, hendak pindah ke sebelah Idan, tetapi tangan Jordy cekatan mencegat kursi roda itu hingga aku tak bisa bergerak.

“Apa sih, Mas?” Lama-lama emosiku terpancing. “Cuma bacain cerita aja. Gitu juga masih gak boleh?” sewotku.

Pertikaian kami membuat Dhea juga Erna saling berpandang heran juga miris. Kulihat Erna mendekati Dhea perlahan dan membisikkan sesuatu. Sayangnya mereka cukup jauh dari jangkauanku sehingga aku tak dapat mendengar isi pembicaraan mereka.

“Tiap hari kayak gini, Mbak? Si Kak Jordy sama Mbak Riri?” tanya Dhea.

“Gak setiap hari juga, Dhe. Tapi Pak Jordy emang orangnya gitu, suka gak mau ngalah dan gak mau dibantah. Terlalu tegas sama Den Idan. Makanya, pas ada Mbak Riri dateng ke rumah, Den Idan seneng banget. Dia jadi lebih hepi, banyak ketawa dan senyum...”

Perempuan itu mengedarkan tatapnya sekilas pada anak majikan lalu kembali pada tuannya. “Kalo Bapak, ya emang dasar orangnya saklek dan cuek jadi ya gitu-gitu aja. Tapi pas kemaren Bapak denger Mbak Riri kecelakaan, Bapak panik sampe grabak-grubuk. Ketakutan banget mukanya, ya khawatir juga. Lututnya nabrak ujung meja sampe biru...”

Perempuan itu menghela nafas sebentar, “jarang liat Bapak sampe ketakutan dan sepanik itu lagi setelah maminya Den Idan meninggal.”

“Erna, Idan udah tidur?” Sesaat sebelum Jordy tiba di basement, ia sempat menghubungi pengasuh putranya, Erna. Memastikan istirahat Aidan tak terganggu bila ia naik ke apart nanti.

“Udah, Pak,” jawab Erna.

“Oke, saya naik ke unit,” ucap Jordy lalu langsung mematikan sambungan telepon. Perempuan di sebelahnya terbangun, memerhatikan wajah lelah Jordy yang kala itu membuncahkan pikirannya. Ada sedikit keinginan dari perempuan itu untuk menyalurkan rasa terima kasih pada Jordy melalui satu usapan pada pipinya. Namun seberkas kenangan tentang masa lalu Jordy, akhirnya menahan sang puan untuk melakukannya. Ia hanya menoleh pada Jordy sesaat.

“Jangan turun dulu, nanti biar diambilin kursi roda,” kata Jordy.

“Iya, makasih ya. Maaf nyusahin kamu jadinya.” Tepat ketika sang puan berkata, Jordy turun. Dan mungkin ia tak mendengar ucapan tulus dari perempuan bernama Mentari itu. Yang Jordy lakukan hanya memindahkan sebagian barang bawaan Mentari serta tongkat penyangga kaki milik sang puan. Sampai-sampai ia tak menyadari jika Mentari tak melepas tatapannya dari Jordy. terus ia ikuti, dari Jordy yang memanggil para satpam di apart untuk membawakan kursi roda, hingga ia kembali di depan Mentari, membukakan pintu.

“Dhe, bangun. Udah sampe,” ucap Mentari menoleh ke kursi bagian belakang. Seperti yang diucap calon suaminya, si bungsu Dhea juga turut serta diajak Jordy untuk menginap di kediamannya. Sungguh, Mentari tak pernah mengira jika Jordy akan mengizinkan sanak keluarganya untuk bertandang kesana, terlebih setelah Mentari menyaksikan betapa akrabnya Jordy dengan ibu dari mendiang istrinya, ia ragu Jordy akan bersikap sama pada keluarganya.

“Aku bisa turun sendiri, Mas. Nggak papa.” Susah payah Mentari keluar dari mobil. Kakinya yang bengkak membuat Mentari terpaksa meringis menahan sakit.

“Bentar, Mbak. Biar aku bantu.” Dhea langsung buru-buru turun dan membantu sang kakak.

“Dhe, gak usah biar saya aja. Tolong jagain barang sebentar,” sambar Jordy dari samping. Ia melirik beberapa barang bawaan Mentari serta gadis itu yang belum dimasukkan ke lobby.

“Oke, Kak—” Dhea sontak berhenti bicara tatkala kakaknya menatapnya seakan meminta Dhea saja yang membantunya turun. Namun seolah tahu bahwa Mentari sungkan, Jordy memutar tubuh menghadap Dhea, mengisyaratkan jika Dhea lebih baik menuruti perkataannya daripada permintaan Mentari.

Dhea langsung mengangguk setuju pada ucapan Jordy. Gadis itu bertolak ke belakang, kemudian bergegas memindahkan tas, seragam sekolah, serta beberapa pakaian milik kakaknya.

“Turun pelan-pelan.” Usai memastikan jika Dhea melaksanakan omongannya, Jordy langsung beralih pada Mentari yang ia sedang menatapnya penuh rasa bersalah.

“Cepet, malah bengong,” rutuk Jordy. Mendengar omelan lelaki itu, Mentari baru benar-benar bergerak. Ia balas memegang tangan Jordy, namun Jordy malah mengejutkan Mentari dengan menggendongnya agar ia cepat turun dari mobil. Semburat merah muda membuat Mentari langsung memalingkan muka dari sang tuan. Tangannya kembali terangkat, namun tak berani menyentuh apapun yang akan segera halal untuknya.

“Yang bener dong kamu tuh, mau jatuh dua kali apa gimana sih? Ini udah jam dua belas. Lelet banget.” Jordy kesekian kalinya merajuk pada puannya.

“Iya maaf. Tadi harusnya aku dianter Pak Devon. Maaf ya,” sahut Mentari dengan tampang penuh penyesalan.

Melihat Jordy yang sedari tak punya waktu istirahat gara-gara dirinya, Mentari semakin menarik diri. Jangankan berani mengucap kata usai permohonan maafnya, melirik Jordypun nyali Mentari sembunyi. Ia hanya bisa berharap Jordy tak lagi marah kepadanya.

“Pelan-pelan ya, Pak.” Jordy berkata pada salah satu satpam yang datang membawa kursi roda. “Abis jatuh dari motor soalnya.”

“Waduh! Kok bisa, Mbak? Hati-hati, Mbak kalo bawa motor jangan ngebut,” ujar sang satpam yang dibuat kaget saat Jordy menjelaskan.

“Ng...”

“Makanya kalo dibilangin sama calon suami tuh nurut,” sayup Mentari dengar Jordy berkata pelan di belakang satpam yang sedang mendorongnya ke dalam lobby. Ia sontak menoleh pada lelaki itu tapi yang ia lihat Jordy sudah merapatkan bibir sambil membawa barang-barang ke lift.