noonanya.lucas

The Ghost Trapped

“Gue mau tereak sumpah!” seruku ketika Chanting menelepon. Sahabatku di seberang sana tertawa cekikikan, padahal aku belum sama sekali bercerita apapun padanya.

“Jenan udah blacklist nih?” sahutnya antusias.

Aku terdiam sejenak. Kalau Chanting tak membahas Jenan, mungkin aku sudah melupakan laki-laki omdo itu. “Hmm, mungkin gue aja kali ya, yang terlalu ambil hati?” timbangku.

Seharusnya aku menuruti ucapan Renjana. Dia yang lebih lama kerja dengan Jenan, tentu Renjana juga yang paham seperti apa sepak terjang sang Pangeran Disney itu.

“Lo sih, sasimo,” ledek Chanting. Tawaku pecah. Sebenarnya bukan aku bermaksud ingin seperti itu, tapi ini Jenan! Jenan yang tampan, yang begitu banyak digilai perempuan. Hanya orang yang kuat iman saja yang tak terlena padanya.

“Ya, mana gue tau kalo dia ternyata buaya,” cetusku, membaringkan diri. Sejak dini hari, aku belum tidur sama sekali. Walau kepalaku pusing, entah kenapa pikiranku terus bermuara pada lelaki yang subuh tadi mampir ke kosan.

“Terus, maksud tweet lo tuh apa sih, Ri? Gue liat-liat lo gila beneran deh kayaknya. Anti depresan lo mending di double dah, kalo kata gua,” saran Chanting dengan logat Depoknya yang kental.

“Anjir, sialan!” tukasku terbahak.

“Tawa mulu lo dari tadi!” protesnya. “Cerita, woy. Ada apaan?”

Aku perlu menyamankan diriku dulu sebelum menyampaikan hal ini pada Chanting. Kalau aku saja sedari tadi ingin berteriak, lalu bagaimana dengan Chanting? Ia pasti akan terjungkal, terkulai lemas setelah mendengar penuturanku.

“Apa anjir! Buruan ngapa sih?” Kuyakin di seberang, Chanting pasti sangat gemas. Terdengar dari suaranya yang melengking sempurna.

“Hhhmmm, iye, iye.” Aku menarik nafas, memastikan semua jendela sudah tertutup rapat. Agenda kerjaku yang berlogo production house milik Jordy-pun sudah kututup agar pikiranku menjauh darinya.

“Lama-lama gue tutup ya telepon lo!”

“Ting, masa kata Jordy kemaren gue disuruh jadi Mama buat Aidan. Dia cuma bercanda kan?” Aku mengatakannya hanya dalam satu tarikan nafas. Sebab kerongkonganku tercekat, merasa pusing hebat, bak dipukul dari belakang.

“Apa? Mama buat Aidan? HAH?!”

“I-iya...”

“Ri? Halo? Woy! Riri? Lah kok ada suara brukk!”

“Maaf...”

“Maaf kenape, Ri?”

“Maaf, saya yang datang...”

“Siapa yang dateng, Ri? Jordy?”

“Saya...Mamanya Aidan, Kirana.”

“Papa, bangun, Pa...Riri mau dijual sama perempuan itu. Riri takut, Pa.”

Sedikit saja perempuan bernama Mentari itu diganggu, entah mengapa Jordy merasa resah, terbayang oleh ucapan Renjana beberapa waktu lalu tentang latar belakang perempuan itu. Ayahnya telah tiada, dan ia besar tanpa kasih sayang seorang ibu. Nyaris dijual oleh ibu tirinya. Kalau saja kisah ini adalah kisah FTV, Jordy yakin ratingnya pasti menembus cakrawala, namun naasnya cerita kelam ini adalah kisah nyata yang tak pernah Jordy sangka, membuatnya mengambil sebuah keputusan besar yang mungkin akan dicerca banyak orang.

Pukul dua dini hari, Jordy memarkirkan mobilnya di depan sebuah pos satpam terbengkalai. Setelah memastikan mobilnya terparkir sempurna, ia lantas berjalan kaki menyambangi sebuah kos-kosan putri. Meski di pagar tertulis larangan masuk bagi kaum lelaki, namun Jordy bersikeras menantinya.

Jari lelaki itu dengan lincah menari di atas layar ponsel. Saat nama Mentari tertera, ia segera menekan tombol 'telepon.'

“Keluar, saya di depan pagar kosanmu,” titahnya tanpa basa-basi.

Yang diajaknya bicara malah bergeming. “Pak, ini jam dua malem loh, Pak,” keluhnya.

“Tadi kamu nelepon saya dua belas kali.”

“Hah?” Ia melenguh. Desahan nafasnya terdengar pelan di telepon. “Mana sih, Pak? Yang bener aja–”

“Shit! Iya lagi!” Terdengar pekik penuh penyesalan dari seberang. Dan tak lama setelah itu, ia mulai mendengar langkah kaki tergesa serta bantingan pintu yang cukup kuat.

. . . .

Empat menit berselang, Mentari muncul dengan pakaian tidur bergambar beruang.

Rambutnya acak-acakan, poninya terbelah tengah, matanya sembab nan sayu. Bisa Jordy tebak, perempuan ini pasti habis menangis hebat.

“P-pak! Aduh, maaf banget, Pak. Saya suka ngigo kalo kecapekan. Gak sadar tadi nelepon Bapak secara brutal. Pulang aja, Pak,” kata Mentari sampai membungkukkan badan, tak enak hati karena mengganggu istirahat malam atasannya.

Jordy hanya diam mendengarkan, kakinya sama sekali tak bergeser. Ia tetap berada di berdiri mematung tanpa mengatakan apapun.

“Pulang, Pak,” ujar Mentari sekali lagi. “Beneran, saya nggak sengaj—”

“Saya nggak tahu gimana bilangnya sama kamu,” potong Jordy. Kali ini kakinya mulai melangkah perlahan—mengikis jarak yang tersisa antara sepasang sepatu dan sandal jepit yang dikenakan Mentari.

“Bilang apaan?”

“jadi Mama untuk anak saya, Aidan. Supaya dia nggak rewel.”

“Hah?” balas Mentari dengan tampang bingung.

Dua dini hari yang sunyi, bukanlah waktu yang tepat untuk bercanda.

Kalaupun Jordy sedang bergurau, menurut Mentari, candaanya kali ini amatlah kelewatan.

“Pak, ini subuh jam...” Perempuan itu menatap layar ponselnya. “Dua lewat sepuluh,” katanya memberitahu.

“Iya, saya bisa baca,” sahut Jordy masih sedatar tadi. Matanya beralih memandang Mentari.

“Itu Bapak tau, kenapa masih bercanda aja sih, Pak?” protesnya, menghela nafas frustasi. Jordy menggeleng.

“Saya lagi gak bercanda.”

Tepat ketika Jordy berkata demikian, Mentari sontak memundurkan langkahnya. Nafasnya tercekat, dan pikirannyapun kacau sampai ia nyaris terjatuh ke belakang, tapi untungnya tertopang oleh Jordy.

Kedua netra mereka pun bertemu. Yang satu dingin, dan yang satu sendu.

“Pulang deh, Pak. Serius.” Perempuan itu melepas tangan Jordy yang masih bertengger di pinggulnya yang berlemak.

“Saya gendut, Pak. Kasihan nanti Bapak sumpek liat saya tiap hari.” Ia lalu membalik badannya dengan susah payah. Selain dari itu, Mentari hanya merasa tak sanggup bila harus menatap Jordy di tengah remangnya malam. Dia sungguh tampan, terlebih usai mengucapkan permintaannya barusan.

Remang rembulan di atas langit Ibu Kota menemani perjalanan Jordy malam itu ke sebuah tempat. Mobil Lexusnya bergerak lambat mengikuti arus padat kota Jakarta yang hari itu dipenuhi oleh para pengemudi roda dua maupun empat. Saat rambu lalu lintas berganti ke warna hijau, Jordy langsung menancap gas mobilnya dengan tujuan berbeda. Tol Wiyoto Wiyono yang biasa ia lewati dalam perjalanan pulang, ia hindari. Ia mengambil jalan lain. Arah yang jelas-jelas bukan menuju kediamannya.

“Uange wis tak terimo. Tapi anak wedho'mu tetep rak iso tak tuku! Dasar kowe, penipu!”

Rumah berukuran kecil yang berada di ujung gang, malam itu mendadak dipenuhi para tetangga. Mereka datang menyaksikan murka seorang pria yang sedari tadi mengganggu istirahat para warga. Beberapa kali pria itu menggedor pintu kayu usang rumah kecil itu. Dari yang pelan, lama-lama menjadi keras. Tergesa dan penuh amarah.

Lelaki bertubuh tambun itu berang tatkala seorang perempuan paruh baya membuka pintu. Tatapan intensnya makin mericuhkan warga. Banyak dari mereka yang menduga lelaki itu adalah lelaki hidung belang yang mencari mangsa di gelapnya Ibu Kota.

“Ngapunten Pak Suryo dan Pak Damar, kulo nyuwun nembah sewu,” ucap sang wanita sembari menundukkan kepala dan membungkukkan badan, seolah begitu hormat pada sang Tuan.

“Duitku! Cepet, gowo rene!” Ia menggertak pintu rumah kayu itu. Tak puas walau ia sudah menerima uangnya, dua pria menyeramkan tadi menginjakkan kaki di rumah petak itu. Netranya beredar ke penjuru rumah. Dua pintu kamar menjadi sasarannya. “Dia mboten tinggal rene?!”

“Nggih, Pak Suryo.” Perempuan paruh baya itu mengangguk sekali lagi. “KURANG AJAR! Jaremu waktu itu dia tinggal sama sampeyan!”

Tanpa peduli ia menjadi tontonan warga, lelaki itu menarik kasar tubuh sang wanita. “Dua ratus lima puluh juta ini buat apa kalau anakmu ora oleh tak sentuh?”

“Nyuwun sewu, Pak Suryo. Duit meriki buat bayar utang bojone kulo ambek Pak Suryo. Mohon diterima nggih, Pak.”

Pria itu menyunggingkan senyum licik, “Bungane piye? Lho, ra mbok pikir bungane rak perlu dibayar? Nek rak gelem, aku akan suruh pegaweiku golek Mentari! Ojo ngapusi aku lho kowe, ki!”

Telunjuknya mengacung tepat di depan wajah perempuan bernama Andini ini. Air mukanya begitu kalut ketika pria bernama Suryo itu kembali menggertaknya. “Kowe kan nduwe anak wedho siji meneh? Endi? Ojo mbo diumpetke!”

Andini tersungkur, bersujud memeluk kaki Suryo. “Jangan dia, Pak. Dia anak kandung saya, dia segalanya untuk saya! Saya mohon, Pak. Saya akan coba membujuk Mentari—”

Ratapan Andini terhenti sejenak, saat derap sepatu seseorang dengan mudahnya masuk ke rumah. Lelaki itu adalah lelaki yang beberapa waktu lalu pengacau segala rencana Andini untuk mengeruk harta kekayaan berlimpah dari Suryo. Dengan pandangan intens, lelaki itu mendaratkan tatapannya pada Suryo, terlihat tak gentar tatkala Suryo mencoba mendorongnya.

“Mau apa?” tanyanya melipat tangan. Andini menggeram. “Saya bilang, weton Mentari nggak bagus! Kamu akan sial kalau menikahi dia! Percaya sama saya, saya sedang menyelamatkan kamu.”

Namun semakin Andini melarang, lelaki itu justru mengacuhkan omongannya. “Jadi kalian beneran mau saya laporkan ke polisi ya?” tanyanya, menatap seisi rumah satu per satu. “Berkasnya masih ada di saya. Dua ratus lima puluh juta yang saya kasih ke Ibu masih nggak cukup?” Kali ini netra lelaki itu terhenti tajam pada Andini. Yang ditanya menyergah kesal.

“Yang kamu bayar itu utang papanya Mentari! Nggak ada hubungannya dengan mahar yang saya janjikan,” ucap Andini menjelaskan. Pemuda itu mengangguk, kemudian bergerak menuju daun pintu rumahnya, sengaja membukanya selebar mungkin.

Dan...

“Selamat malam, kami dari kepolisian, reserse kriminal. Perkenalkan nama saya Kasat Reskrim, IPTU Dionisius Yudi, mendapat laporan dari Bapak Jordy Hanandian mengenai perdagangan perempuan bernama Mentari Gaudina. Saya sudah memegang berkas dokumen dan file yang saya rasa cukup untuk menjadi bukti. Silakan ikut saya sekarang ke kantor untuk diperiksa,” ujar seorang pria berseragam yang berpostur tegak. Mendengar suara tegas pemimpin pamong praja, Andini gemetar takut. Ia menundukkan kepala.

“Tolong, bekuk dia,” kata Iptu Dio pada anak buahnya. Sekali sang pemimpin bertitah, anak buahnya langsung bergerak, mengeluarkan borgol untuk mengikat tangan Andini, serta kedua pria hidung belang yang membeku dan melaraskan tatapan penuh dendam ke arah Jordy.

“Saya nggak salah! Saya dijebak oleh Suryo dan antek-anteknya—”

“Alah! Diem! Gak usah banyak bicara! Kalau mau bicara, di kantor saja!” damprat salah satu petugas kepolisian. Andini meraung-raung kesal saat tangannya diikat dengan borgol, ia dipaksa naik ke mobil khusus tahanan. Sementara Jordy yang berdiri tepat di depan rumah kecil Andini hanya menghela nafas pelan. Entah mengapa malamnya menjadi lebih damai setelah masalah ini terungkap.

“Terima kasih, Pak Jordy atas kerja samanya,” ucap Iptu Dio menjabat tangan Jordy. Lelaki itu melebarkan senyum puas. “Sama-sama, Pak.”

“Thanks, Ren.” Jordy menyalakan puntung rokoknya di sebuah warung kecil dekat gang rumah Andini. Beberapa saat sebelum kejadian mencekam itu terjadi, Jordy sudah lebih dulu mencaritahu tentang akar masalah ini dari seseorang yang sangat terpercaya.

“Sama-sama, Pak.” Pria bertubuh mungil dan berambut semi gondrong yang tak lain adalah karyawan casting-nya tersenyum lega. “Kalau Bapak nggak bergerak, Mentari pasti abis sih, dijadiin simpenan sama tuh bapak-bapak edan.”

Jordy terkekeh, “emang keluarganya sengenes itu ya?”

Renjana mengangguk. “Sejak papanya meninggal, Mentari dijadiin alat sama tuh medusa buat ngapus utang-utangnya, Pak. Tapi dia gak mau ngorbanin anak perempuannya sendiri.”

“Loh, masih ada satu lagi?” sahut Jordy heran.

“Satu laginya itu, anak kandungnya Medusa yang gak berani dia apa-apain. Selalu Mentari yang jadi bemper kalo urusan beginian mah,” tutur Renjana. Jordy menggeleng lagi, tak menyangka ada seseorang yang hidupnya sepahit Mentari. Jika ia rasa kehilangan cintanya sudah membuat hidupnya tawar, lalu bagaimana dengan Mentari? Sakit mental iya, tak mendapat kasih sayang keluargapun, iya.

“Pak,” panggil Renjana, mengutak-atik bungkus rokoknya lalu mengambil salah satu dari rokok itu.

“Ya?”

“Saya tau ini bukan porsi saya bicara seperti ini ke Bapak. Tapi Pak Jenan belakangan ngajak Mentari pergi, terus gak jadi.”

“Saya tau kok,” jawab Jordy tenang.

“Oh, Bapak tau.”

“Hmm.” Ia mengangguk. “Jenan gak bakalan suka sama Mentari, saya tau tipe dia kayak apa,” katanya menjelaskan.

Sejak kapan pukul setengah tujuh malam menjadi begitu lama? Dulu waktu masih bekerja di toko bangunan sebagai admin, rasanya cepat sekali. Jam dua belas makan siang, kemudian kembali ke meja pukul satu, tau-tau semua karyawan di toko tersebut berbenah diri tepat di jam enam lewat lima belas. Bahkan saat jarum jam belum berpindah ke angka enam, rekan kerjaku yang terdahulu sudah sibuk sendiri menentukan warteg mana yang akan menjadi tempat tongkrongan mereka sepulang kerja.

Sedangkan di kantor ini, jangankan bergerak tenggo. Saat jarum jam bergeser ke angka tujuhpun, tak ada seonggok manusia yang bergerak dari kursinya. Barang mereka masih tersusun rapi di atas meja. Tumpukan file yang sering kuantar ke para karyawanpun masih mereka tandatangani. Mungkin, memang seperti ini bekerja dalam sebuah rumah produksi. Karena sebelumnya aku belum pernah bekerja di industri media dan perfilm-an, budaya kantor mereka cukup mengherankan untukku.

Tapi akhirnya...satu per satu manusia pengabdi Jordy menghilang dari pandanganku. Ini artinya... aku juga bisa meninggalkan meja dan bertemu dengan Jenan kan? Kulirik ponselku yang sejak tadi bergetar berkali-kali. Bar notifikasinya ternyata cukup ramai dipenuhi message dari Chanting dan Renjana yang ribut soal dinner plan minggu depan, dan tak satupun dari mereka menjawab pertanyaanku tentang rekomendasi film seru di Netflix. Payah! Benar-benar tidak suportif.

Beralih dari ponsel, aku memilih mengemasi barang-barangku dan segera menunggu Jenan di depan. Biasanya ia selalu muncul sekitar jam setengah delapan malam. Ini merupakan saat yang tepat untuk menunggunya. Selain itu, aku juga tak mau Jordy mengendus kedekatanku dengan Jenan. Karena kalau sampai ia tahu, pasti akan menjadi gosip besar di kantor.

Sebelum meninggalkan meja resepsionis, sekali lagi aku memeriksa kantor—memastikan tak lagi ada satu manusia yang bekerja di dalam. Dengan begitu, rencanaku netflix and chill ria bersama Jenan, Insha Allah akan berjalan mulus.

Aku segera melangkah menuju lorong lift yang dingin dan begitu sepi. Kebetulan lift ini memang jarang sekali dipakai oleh para pengabdi Jordy karena bentuknya yang tua dan usang. Hanya aku yang menggunakannya agar tak terlihat Jordy kalau sedang ingin pulang cepat. Derap sepatuku terhenti seketika saat pintu lift terbuka. Aku segera masuk, lalu menekan tombol ground floor.

Tapi...kenapa liftnya malah bergerak naik? Ini rusak? Atau jangan-jangan! Ada sesuatu yang sedang mencoba menghantuiku? Panik, akupun memencet tombol GF sekali lagi. Namun alih-alih turun ke bawah, lift ini justru berhenti di lantai 2. Lantai keramat bagi para pengabdi Jordy. Karena...

“Baru jam setengah delapan kurang, udah pulang aja.”

Yup, mimpi burukku kini menjadi nyata. Jordy Otoriter Hanandian kini berdiri tepat di hadapanku dengan sorot mata dingin seperti biasa, tubuh tinggi menjulangnya menghalangiku untuk melihat ruangan Jenan.

“Udah jam pulang kantor, Pak,” jawabku sesuai fakta yang ditanggapinya hanya dengan gumaman kecil.

“Hmm.” Setelah itu dia ikut masuk ke lift bersamaku.

“Nyari siapa?” tanyanya, karena aku si perempuan paling teledor sedunia ini tak dapat mengerem keinginanku untuk melirik ke ruangan sebelah ruangan Jordy, yakni ruang kerja Jenan. “Didi, OB,” jawabku seadanya, dan tentu aku berbohong.

“Didi? Tapi kamu dari tadi ngeliat ke ruangan Jenan. Ada file yang harus dikasih ke Jenan?” Aku ingin sekali membekap mulutnya agar dia berhenti menginterogasiku.

“Ah..enggak kok, Pak. Enggak,” kilahku cepat.

“Kalau nyari Jenan, dia udah pulang dari jam setengah tujuh tadi.”

Mendadak dadaku begitu bergemuruh. Aku merasa dibohongi oleh Jenan. Kalau boleh lebih spesifik lagi, sebenarnya aku sedikit merasa tercampakkan.

“Kenapa?” tanya Jordy tiada henti. Kudengar kakinya melangkah kecil dan berhenti tepat di sebelahku, menghimpit sneakers belel yang kupakai.

“Nggak!” tukasku. “Nggak apa-apa,” ucapku menutup-nutupi.

“Jenan ada janji katanya,” lanjut Jordy.

“Sama siapa, Pak?” tanyaku penasaran.

“Pacarnya kali, nggak tahu,” sahutnya acuh. Jordy kembali memfokuskan pandangan pada ponselnya. Sedang aku, masih mencerna apa yang Jordy beritahu padaku dengan perasaan tak menentu.

“Ini nomor rekening ibu tiri kamu?”

Nggak ada angin nggak ada hujan, simsalabim adacadabra, Jordy tiba-tiba menunjukkan sesuatu padaku di ponselnya. Awalnya aku masih bingung dengan apa yang ia bicarakan, namun saat tertera angka lima-tujuh-kosong-kosong-dua di layar ponsel itu, rahangku mengeras dan sulit sekali terkatup.

“Bap...pak....ngapain ya?” tanyaku gemetaran. Yang kutanya menyimpan ponselnya di dalam saku, sambil menatapku tanpa ekspresi.

“Sepuluh juta lima ratus lima puluh ribu, atas nama Arman Hendarto, lunas,” katanya santai.

“Bapak ngapain, Pak? Sumpah?!” Aku memecah kesunyian di dalam lift malam itu yang tanpa kusangka-sangka, disaksikan begitu banyak orang di depan.

“Saya gak ngapa-ngapain, cuma menepati omongan saya ke ibu tiri kamu dan kakek yang mau nikahin kamu waktu itu,” tandasnya sembari melangkah keluar dari lift. Aku mengejarnya saat itu juga. Dia membayar utang Papa dan Medusa itu?

“P-pak! Pak!” panggilku tergesa.

“Kenapa diturutin sih? Nanti dia bakalan terus ngejar Bapak,” kataku.

“Jadi kamu emang mau sama kakek-kakek itu? Kalau gitu, saya minta refund aja uang—”

“NGGAK BEGITU PAK!” potongku panik. “Demi Allah, saya nggak mau!”

“Terus, ngapain bilang gitu?” tanyanya. Aku menundukkan kepala. Kebingungan sendiri dengan pertanyaan yang ia lontarkan. Betul, aku takut sekali dengan lelaki bernama Suryo itu. Namun biar bagaimanapun...aku juga tidak ingin dicap memanfaatkan Jordy, terlebih aku tahu betapa liciknya Medusa itu. Aku ingat dulu Renjana pernah terjebak oleh perempuan ular tersebut, dan alhasil Medusa tiada henti menanyakan padanya kapan uang yang Renjana janjikan akan cair. Itu baru Renjana, masalahnya... dia Jordy! Jordy atasanku, yang jauh lebih tak pantas berjibaku dengan piranha uang seperti perempuan sinting itu.

Lupakan soal agenda netflix and chill bersama Jenan yang sejak tadi berputar dalam kepalaku. Sekarang fokusku langsung teralih pada Jordy yang mendadak bertindak seperti pahlawan dalam hidupku. Dia—orang lain— tapi mengapa...ia bersikap seolah-olah peduli akan kehidupanku?

“Jenan? Pulang cepet?”

Sepengetahuan Jordy, Jenan adalah sosok lelaki workaholic—sama seperti dirinya. Terlebih setelah bercerai dari Elsya, istri ketiganya, Jenan benar-benar penganut pantang pulang sebelum bonus cair. Namun saat Teza datang dan bersantai ria di ruangannya, lelaki itu memberitahukan padanya, jika the most wanted duda yang satu itu, mulai berubah pikiran.

“Biasalah, Jor,” gumam Teza, menyalakan puntung rokoknya, lalu menghisapnya dalam-dalam. “Jenan lagi puber ke lima belas kalinya.”

“Dia tiap hari juga puber kali, Tez.” Jordy mencibir, ikut menghisap rokok malboro merahnya. Keduanya sedang berdiskusi tentang anggaran yang dibuat oleh para PA masing-masing untuk pembuatan Web Series Delana Cintaku Season 2. Jordy sibuk mengecek timeline produksi, sedangkan Teza fokus pada jumlah biaya yang dikeluarkan. Seharusnya Jenan hadir dalam kalkulasi ini. Sebagai seseorang yang pernah bekerja di kantor konsultan, Jenan bertindak sebagai penasihat mereka. Eh, tanpa disangka orangnya justru mangkir.

“Budgetnya oke sih ini,” kata Teza dari balik MacBook-nya. Jordy mengangguk setuju. “Kemaren pas kelar syuting itu, ada biaya tambahan lagi nggak, Tez?” tanyanya kemudian.

“Enggak ada. Aman. Kerusakan juga gak ada kata tim Genta,” beritahu Teza. Jordy mengangguk paham sembari bangkit dari kursi kebesarannya. Ia melipir menuju jendela kantor, dan membukanya sebentar untuk menghirup udara segar. Kepalanya sedikit melongo ke bawah, dan ia melihat Jenan tengah berdiri di sebelah mobilnya sambil bermain ponsel.

“Tuh, Jenan,” lirik Teza dari samping. “Si tai! gue liat-liat sekarang gayanya sok muda banget. Segala pake topi ke belakang,” sungut Teza terkesan tak terima.

“Nih kalo begini gayanya dia, udah pasti lagi ada yang diincer sih,” tandas Jordy menggelengkan kepala. Mereka berdua tidak heran pada Jenan. Sejak berpisah dengan Elsya, Jenan memang dikenal sebagai Don Juan yang hobi menebar tebar pesona. Dan sasarannya pasti anak-anak baru di kantor. Dulu, ada Adelia dari divisi sekertaris produksi yang ternyata kebaperan akibat terlalu sering diajak dinner date. Kemudian ada juga Joanna, dari divisi Finance, serta Michaela dari divisi Business Development. Tiga bidadari tak bersayap itu sukses jatuh dalam peluk Jenan hanya lewat jentikkan jari. Jenan hanya perlu waktu dua minggu untuk membuat mereka saling menyindir di status Whatsapp.

Jordy dan Teza yang pada saat itu cuma mendengar gosip seliweran, awalnya sempat menggubris berita itu. Mereka kira anak-anak kantor membual, tak tahunya, Joanna dan Adelia bersekongkol untuk menjatuhkan Michaela karena tak terima Jenan jalan bareng Adelia di belakang mereka.

“Sekarang siapa nih korban selanjutnya?” ujar Teza tertawa puas.

“Nggak tahu gue,” sahut Jordy sembari kembali ke kursinya. “Eh, bentar,” celetuk Teza dari kursi tamu di ruangan Jordy.

“Tadi gue lewat meja resepsionis, tumben anak kesayangan lo udah pulang. Baru juga gue mau kangen-kangenan,” canda Teza.

Yang diajak bicara melirik jam tangan mahalnya, memandangi jarum jam yang bergeser ke arah kanan. Cukup awal bagi seorang yang berperan penting di kantor ini untuk pulang. Baru pukul tujuh lewat lima belas menit, dan resepsionis sudah berani meninggalkan meja? Jordy tersenyum dingin, merasa menemukan sesuatu yang janggal pada karyawannya itu.

“Cabut?” tanya Teza terheran melihat Jordy begitu tergesa membereskan barang-barangnya. Padahal seharusnya Jordy mengecek surat pengajuan kerja sama sebuah film pendek.

“Jor, ini gak lo periksa dulu?” Teza berlari kecil mengejar Jordy.

“Besok pagi aja,” tolak Jordy yang sudah berdiri di ambang pintu.

“Tumben,” gumamnya heran. Lelaki berhidung mancung itu akhirnya turut menyusul Jordy, meninggalkan kantor sambil berimbuh dalam hati, Jordy sejak kapan keluar lewat lift lobby? Bukannya dia selalu turun ke basement?

Perempuan itu mengatur nafasnya terlebih dahulu setelah berebutan masuk dengan beberapa karyawan yang juga ingin pulang tenggo, mengingat besok adalah harpitnas. Ia berdiri di depan pintu lift yang belum ada lima menit terbuka, menghamburkan beberapa karyawan yang didominasi perempuan bertubuh langsing dan memakai heels serta dress ala-ala seleb korea. Pandangan perempuan itu sontak tersapu pada mereka. Iri dalam hatinya meluap, ingin sekali memutar waktu. Bisa memakai pants, crop-tee seperti perempuan-perempuan cantik tadi. Sayang sekali kini tubuh tambunnya tak memungkinkan dia untuk memakai pakaian haram seperti itu. Kini perempuan itu cuma bisa meratapi bentuk tubuhnya yang menyedihkan.

“Mbak, bisa minggiran gak ya? Saya buru-buru nih,” tegur seseorang dari belakang. Ia sontak menengok.

“Maaf Mb—”

“Udah gendut, gak sadar diri pula, heran! Ganggu aja sih–”

Ting!

Pintu lift terbuka lebar. Mempertemukan perempuan itu dengan sosok laki-laki yang belakangan ini selalu merepotkan dirinya. Lelaki itu lurus-lurus mematrikan pandangannya pada sang puan. Namun terhalang akibat ulah seorang karyawan yang barusan melontarkan ucapan tak mengenakkan itu.

“Eh, Pak Jordy. Kok tumben, Pak lewat lift karyawan?” Karyawan itu bertanya basa-basi, mengibaskan rambutnya hingga tak sengaja mengenai wajah sang puan.

“Buru-buru. Mobil saya di depan,” sahut lelaki itu. Ia melangkah acuh, melewati karyawannya, kemudian mempersilakan pekerjanya tersebut masuk ke lift. Sesudahnya, lelaki dengan surai hitam kecoklatan itu membalikkan dirinya agar bisa berhadapan dengan sang puan.

“Permisi, Pak. Saya juga mau pulang.” Perempuan itu sadar betul jika seharian ini, atasannya tersebut tiada henti memintanya membuatkan sesuatu, yang menurut sang puan bukanlah ranahnya. Terkesan aneh, tapi sayang sekali ia tak dapat berbuat banyak. Bagaimanapun juga lelaki itu yang menggajinya, dan membayar semua terapi sia-sia yang sedang ia jalani. Alhasil, ia juga harus bersikap sama seperti pegawai lainnya. Apapun titah sang bos, ya harus dijalankan.

“Emangnya gojek atau grab bisa masuk lobby?” Ditanyai bagai diinterogasi, perempuan itu terpaksa menyetop langkah kakinya.

“Bikin peraturan sendiri kamu?” Dalam hati, sang puan sudah menjerit kesetanan. Ia hanya ingin acara netflix and chill yang telah ia damba-dambakan tidak batal lagi. Di depan, lelaki lain sedang menunggunya. Ia adalah sosok laki-laki yang menjadi impian semua wanita di kantor ini.

“Enggak, Pak, maaf.” Terpaksa perempuan itu tersenyum kecil. “Saya mau pergi,” tuturnya kemudian, lengkap dengan gesture penuh sopan santun ala perempuan keraton. Menunjuk pintu dengan jempol.

“Udah ditunggu, Pak di depan. Nggak pake grab kok,” jelasnya dengan harap atasannya ini berhenti menginterogasi.

“Renjana kan udah balik,” gumam lelaki itu datar yang membuat sang puan sedikit bertanya-tanya, sejak kapan atasannya ini menjadi seseorang yang begitu banyak bicara kepadanya, bahkan hafal dengan siapa perempuan ini sering menghabiskan waktu.

Ia tersenyum tipis, “saya perginya buk-” Perempuan itu seketika tersadar jika hampir saja ia mengubur diri sendiri dengan memberitahu siapa sosok yang mengajaknya pergi malam ini. Sosok itu telah berpesan sebelumnya agar ia tidak buka mulut. Maka saat atasannya tak lagi mengajaknya bicara, buru-buru ia berpamit diri, “Pak, saya buru-buru banget. Duluan ya, Pak..”

“Mentari,” lelaki itu justru tak menggubris pamitannya.

“Ya?” sahut sang puan setelah berkali-kali mengelus dada.

“Semua yang kemaren Suryo dan ibu kamu minta, sudah saya lunasin.”

Perempuan itu mendesah pelan. Sebenarnya ia benar-benar tidak ingin seorangpun terlibat dalam masalah keluarganya. Apalagi, orang yang ia geret tanpa sengaja merupakan sosok asing yang semestinya tak perlu tahu sedalam itu tentangnya. Mau malupun, nasi sudah menjadi bubur. Atasannya ini telah menjadi saksi kunci rahasia kelam keluarganya, dan karenanya kini perempuan itu harus kembali terlingkar pada problematika yang sama.

Kembali mengabdi diri pada lelaki.

“Aku udah nggak mau lagi. Maaf ya, Je. I don't think we can still together. Enough is enough.”

Wanita bermata sendu berdiri tepat di hadapan sang gagah, Jenan Syailendra.

Tiga tahun lalu.

Jenan pikir Elsya adalah pelabuhan terakhirnya, perempuan yang akan menepati ikrarnya di hadapan saksi dan Allah. Nyatanya, Elsya yang ia sayangi sepenuh jiwa dan raganya, ia temukan tengah bercumbu mesra dengan seorang pria yang tak pernah terpikir oleh Jenan, akan menusuk-nya dari belakang.

Andrew, lelaki lulusan Boston, Amerika, sama-sama mengambil Mass Communication bertiga dengan Jenan dan Elsya. Andrew yang selalu bersikap ramah kepadanya, bersedia menjadi tempat sampah ketika Jenan sedang suntuk menghadapi moody-an-nya Elsya. Ternyata dengan gampangnya memecahkan rasa percaya Jenan.

“Why did you do this to me?” Suara Jenan terpendam amarah. Ia melirih pilu, namun emosi berkecamuk di dalam dada. Sorot matanya yang sayu dan memerah lantaran menenggak sepuluh loki alkohol, ia lawan benar-benar, demi meladeni Elsya dan dustanya.

Elsya di depan Jenan hanya tersenyum simpul. Surai hitamnya sedikit acak, lingerie yang dihadiahkan Jenan saat mereka menikah tampak terbuka dan bagian bawahnya sedikit robek. Jenan semakin kacau usai mendapati pakaian favorit yang Elsya pakai saat mereka sedang bercinta, ia kenakan pula saat ia bercinta dengan laki-laki yang menyebut dirinya sahabat.

“MAU KAMU APA, SYA?!” Jenan membentak brutal. Napasnya memburu kala melihat Andrew berdiri di belakang Elsya tanpa dosa.

“I want this guy, Je. I don't want you anymore. Our marriage has to be broken. I love him. Sorry.” Elsya berkata dengan wajah tenang. Tak sedikitpun Jenan mendapati raut kesedihan di wajah beningnya. Dia dengan mudahnya membuang Jenan ditengah lelaki itu berjuang untuk menafkahinya.

“Sejak kapan, Sya?” Jenan menahan lengan perempuan itu. Ditekannya kuat, sekuat perasaannya yang tersisa untuk Elsya.

“You hurt me, Je! Stop it.” Dahi Elsya berkerut dalam. Ia menghempaskan tangan Jenan begitu saja.

Jenan diam, membiarkan wanitanya pergi tanpa sedikitpun kata ataupun penyesalan. Ini kali ketiga bagi Jenan menikah, dan ia berpikir Elsya adalah perempuan yang tepat untuknya.

Namun semesta tidak merestui mereka. Jenan benar-benar hilang akal saat itu. Ia begitu membenci dirinya sendiri, bahkan jijik. Ia yang dipuja wanita di luar sana, justru dihempaskan dengan mudahnya oleh wanita yang ia cinta. Kejam. Tapi Jenan harus belajar menerima kenyataan pahit ini.

Dan tentu, membalaskan dendam dan sakit hatinya pada perempuan lain yang ia kira akan sama dengan Elsya.

“Gue kaget, berminggu-minggu gak ketemu lo, kok bisa berkembang secepet ini.”

Jujur aku tidak berekspektasi Jenan akan memberikan komentar ambigu semacam ini. Antara dia menghina atau memuji, hanya dia dan Tuhan yang tahu. Tapi yang jelas, sekarang aku tengah dirundung getir, karena Jordy sempat meneleponku beberapa kali. Sementara Prince Disney di sebelahku ini asyik mengajakku ngobrol.

“Udah lama banget gue gak makan di sini tuh,” curhatnya sembari menyapu sisa nasi di piring yang dipenuhi kuah gulai. Aku mengakui sih, Jenan si tampan dan sepiring nasi padang yang nikmat adalah Berkah Allah yang tak bisa kudustakan. Lagipula di zaman edan seperti ini, jarang sekali ada laki-laki sesempurna Jenan rela mengantre demi sepiring makanan murah.

Kalau boleh kusimpulkan, sebenarnya ada dua kemungkinan. Pertama Jenan memang orang yang down to earth dan mau merakyat, atau dia memang sedang melarat, sampai-sampai mau turun ke resto rakyat jelata seperti ini.

“Seenak itu, Je?” ucapku memerhatikannya menyuap satu kepalan tangan nasi padang ke mulut. Setelah memastikan nasi itu masuk dengan sempurna, Jenan baru menyahut. “Enak banget, Ri. Haha. Ini restoran dari jaman gue bujang sampe nikah tiga kali,” jelasnya santai.

Sebentar. Astaga! Aku hampir lupa kalau laki-laki ini pernah menikah sebelumnya. Tubuhnya yang bidang sempurna serta mukanya yang kinclong paripurna, sungguh menyilapkan pandangan. Siapapun juga tak ada yang mengira jika ia adalah seorang duda. Aku tersenyum mendengar ucapannya sekaligus kagum karena Jenan ternyata lelaki cuek yang tak peduli dengan kata dunia.

“Hahaha. Sejujurnya aku baru pertama sih makan naspad yang rasanya gini,” aku mencecap satu ayam gulai yang tadi hampir kutelan. “Hmm, enak. Rempahnya berasa banget—”

“Ri, ini...tangan lo kenapa? Kok diperbannya sampe setebel itu?”

Duh Jenan, bisa nggak ya dia berhenti memompa jantungku? Sekali jemarinya menyentuh pergelanganku, aku tahu ada sesuatu yang menjalar dalam diri ini. Mana wajahnya sungguh berkerut dalam, begitu cemas melihatku terluka.

“Ah, ini?” Aku sok kuat agar tak dibilang cengeng. “Kegores peleg motor,” dustaku.

Dia tertawa lepas, “Gimana ceritanya sih, Ri? Hati-hati dong, lain kali.” Satu tangannya terayun, menyentuh pucuk poniku yang tersibak. Aku diam, menatapnya dalam. Sebenarnya ini acara makan siang atau...acara menantang adrenalinku sih?

”...” Aku masih tak melepas tatapanku dari Jenan yang juga turut memandangku. Kedua mata bulan sabitnya menyipit.

“Lo lucu banget tau, Ri,”

katanya dengan seulas senyum. Kedua pipinya menciptakan sedikit celung, membuatku ingin membalas perbuatannya barusan. Tapi...masih kotor karena aku makan pakai tangan.

Aku kembali diam dan hanya tersenyum, sebab kini jantungku tengah bekerja keras agar tidak berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Kalau pipiku memanas itu artinya, Jenan berhasil mencuri satu poin dari kelemahanku. Sebenarnya, bukan cuma aku. Tapi aku yakin semua perempuan di Indonesia juga akan merasakan hal yang sama sepertiku jika laki-lakinya modelan Jenan begini.

Jika saja suara hatiku bisa terdengar keluar, mungkin orang-orang yang sedang makan bersama kami akan menertawaiku. Karena baru saja seorang Jenan Syailendra telah menghancurkan benteng tertinggi seorang Mentari yang lelah dan ingin melabuhkan hati pada laki-laki.

Apa...Jenan orangnya?

Ternyata tak banyak yang berubah dari kantor Jordy sesaat aku menginjakkan kaki di sana. Ruang kaca transparan, aroma pengharum ruangan yang didominasi zat kimia begitu kental tercium kali pertama aku masuk ke sana. Disambut oleh Budi, satpam sekaligus security andalan PH milik Jordy, aku memasang senyum semu ketika Budi menyoroti bentuk tubuhku yang semelehoy ini.

Budi memandangku heran, entah ia lupa siapa aku atau dia sedang terkaget-kaget melihat perubahan fisikku. Lantas aku menyapanya seperti biasa, “Pagi Mas Budi!” Aku menepuk pundaknya pelan. Dia terangkat bagai tersadar dari hipnotis.

“I-ini, Mbak Mentari??” Ia melongo.

“Iya, Mas Budi. Siapa lagi?” aku menyahut seceria mungkin.

“Astaghfirullah, saya pikir orang lain. Gemukan ya sekarang. Gak apa-apa, lucu,” imbuhnya dengan senyum tulus. Akupun luruh setelah ia memujiku.

“Udah lama banget nggak keliatan, Mbak. Saya sampe kira ada orang baru,” kekehnya sembari menutup pintu.

“Bisa aja nih, Mas Budi,” gumamku usai pamit kepadanya.

Sejurus kemudian, kuletakkan tas di rak bagian dalam meja resepsionis. Tempat paling aman untukku menyimpan berbagai senjata penahan lapar. Karena...sejak bobot tubuhku melonjak naik, isi tasku yang tadinya lipstik dan bedak kini berganti menjadi permen-permen dan kacang atom kecil. Bahkan tidak hanya itu, aku juga membawa kaus ganti karena aku gampang kegerahan. Tak lupa sajadah untuk shalat.

Usai memastikan mejaku bersih, aku mulai bekerja seperti biasa. Menyapa beberapa Budak Jordy yang memandangku sinis karena bentuk tubuhku tak lolos SNI mereka. Juga, aku membuatkan kopi untuk Jordy dan meletakkannya di ruang kerja. Setelahnya aku kembali ke meja, melaksanakan tugas negara dari para pejabat kantor.

Lima menit kemudian aku berkutat pada berkas-berkas ekspedisi yang mesti kuantar hari ini. Karena Udin, yang biasanya menggantikanku sedang cuti. Istrinya melahirkan. Jadi mau tidak mau aku harus meninggalkan kantor, mengantar beberapa equiptment ke lokasi syuting.

“Pagi, baru ya?” Sebuah suara baritone menghentikan pergerakanku bekerja. Bolpoinku terjatuh saat kuarahkan tatapanku pada seorang lelaki yang amat familiar bagiku. Lelaki yang beberapa jam lalu tiada henti mengajakku berangkat bersama setiap pagi. Sang Prince Disney, Jenan Syailendra.

Aku tersenyum kelu saat ditanya. Ternyata bagi sebagian orang bentuk tubuhku ini benar-benar mengubah impresi orang ya? Buktinya Jenan. Dia sama sekali tidak mengenaliku.

“Hello?” Jenan mengibaskan tangannya di depan mukaku. “Mana Mentari? Lo baru? Kok gue gak dikasih tau?” tanyanya terdengar kesal.

“Sa....” Belum sempat aku menjawab pertanyaan Jenan, kulihat Jordy menyambar dari belakang. Satu tangannya bertumpu di meja resepsionis. “Kopi saya udah?” tanyanya tanpa basa-basi. Aku mengangguk.

“B-bentar,” timpal Jenan bingung. “Jor, lo kok gak bilang kalau Mentari lo pecat? Lo ganti sama yang ini?”

Entah mengapa mendengar Jenan berkata seperti itu, sedih dalam hatiku membuncah seketika. Aku langsung menyimpulkan jika ajakannya nonton bioskop bersama, makan di apart-nya hanyalah bualan semata. Sama seperti kebanyakan jantan di luar sana, Jenan sepertinya cuma menyukai perempuan karena fisik. Ya...aku sebenarnya bisa memaklumkan. Karena bagaimana mungkin makhluk se-sempurna Jenan dengan wajah macam Don Juan bisa jatuh sejatuh-jatuhnya padaku yang diibaratkan gadis buruk rupa?

“Dia?” Jordy melirikku. Jenanpun ikut memandangku. “Ya itu depan mata lo, segede ini, lo nggak liat?”

SEGEDE ini? Ternyata dia dan Jenan sama saja. Sama-sama makhluk berdarah dingin. Aku yang berdiri seperti orang tolol cuma bisa memaksa diri tersenyum sambil merutuki keduanya dalam hati.

“Lah emang?”

“Ya itu Mentari. Orang yang lo tagih-tagih ke gue, biar cepet masuk kantor,” katanya tersenyum tipis.

“Ah! Hahaha bercanda lo,” tepis Jenan tak percaya.

“Kopi saya sudah ada?” Jordy malah menanyaiku.

“Udah ada di ruangan, Pak.”

“Two shots, no sugar?” tanyanya seolah tak yakin aku menjalani perintahnya dengan baik.

“Iya, Pak Jordy. Silakan ke ruangan aja kalau emang gak percaya,” sahutku keki.

Jenan di sebelahnya tertawa simpul, “WAH! Kalo gini jawabnya beneran Riri sih.”

“Riri?” Jordy memandang Jenan dingin. Nih orang kenapa ya, sensi banget kalau ada orang yang memanggilku dengan nama 'Riri?' Padahal kan memang itu nama panggilanku.

“Ya kan emang panggilannya Riri. Amnesia lo?” ujar Jenan menahan tawa. Alih-alih menanggapi, Jordy justru mengedarkan tatapan datar pada temannya.

“Gue mau meeting. Kabarin anak-anak di group, jam 11 udah harus ngumpul di ruang meeting besar,” ucapnya sebelum ia melanglangbuana ke ruang kerja.

“Dih, sinting tuh orang,” gerutu Jenan seraya menggelengkan kepala. Aku tersenyum seadanya. Ternyata bukan hanya aku yang kesal dengan Jordy dan emosinya yang labil seperti perempuan PMS, bahkan teman dekatnya pun gemas karena sikap menyebalkannya itu.

“Ri.” Kupikir Jenan langsung menyusul karena telah diultimatum Jordy, rupanya dia malah kembali bertengger ke mejaku.

“Ada apa, Pak Jenan?” tanyaku.

“Hahahaha, segala pake Pak Jenan. Gimana akting gue?”

Aku melongo ketika ia bertanya sesuatu yang membuatku semakin merasa bodoh.

“Akting...apa ya, Pak?” sahutku.

“Akting pura-pura ga suka sama lo di depan Jordy.”

APAAN?!

“Pura-pura nggak suka sama saya gimana ya, Pak maksudnya?” Aku makin ingin menjerumuskan diri ke lubang terdalam di selokan kalau gini caranya. AAAAAAAAAK!

Jenan tersenyum, “lo gak tau tipe gue ya?”

“Tipe?”

“Gue suka cewek yang berisi,” tandasnya ringan tapi sukses membuat pipiku memerah seperti kepiting rebus.

Sepasang mata yang semula terpejam erat, perlahan terbuka. Gerakannya begitu lambat bagai waktu yang dipaksa berhenti. Seorang perempuan tampak berbaring di sebuah kasur beralaskan sprei putih serta selimut tipis. Ruang yang menjadi tempatnya bernaung, yang ia harapkan dapat menyalurkan kehangatan justru memberikan sebaliknya. Dingin mencekam.

Tengkuk lehernya berat, tangannya ngilu bukan main. Perih tak tertahankan. Mentari—perempuan itu—menemukan dirinya terkapar lagi di rumah sakit. Ketika ia melihat ada sebuah kain yang dipenuhi bercak merah, menjeritlah ia dengan sangat histeris. Untung lelaki di sebelahnya terjaga. Teriakan yang berdengung di telinga sang tuan sontak mengangkat bahunya.

“Saya ngapain, Pak?! Aidan mana? Aidan gimana, Pak? Pak, Aidan nggak apa-apa? Maaf banget ya, Pak? Saya ngelukain Aidan, Pak? Maaf sekali. Silakan bawa saya ke polisi, Pak. Saya—”

Lelaki yang duduk di depannya langsung menenangkan Mentari, didekapnya erat. “Kamu nggak menyakiti Aidan, Mentari. Dia yang nyakitin kamu,” kata lelaki itu lembut. “Tenang, Aidan aman.”

Sorot mata lelaki itu menatapnya lekat, namun jelas pancarannya amat cemas. “Dia?” sahut Mentari bingung.

Kedua netra Mentari membulat. Ia nyaris tak percaya bahwa akhirnya lelaki ini mau mempercayainya.

“Ya...itu,” ujar lelaki itu menggantung.

“Itu apa, Pak?”

Kemudian ia berdeham kecil. “Personality kamu yang mirip dengan Kirana. She puts you in danger, Mentari. Dia ngelukain kamu.”

Bahu Mentari merosot dan hatinya seketika mencelos. Tak menyangka jika hal ini semakin berbahaya bagi dirinya. Mentari kalut, namun segala air mata yang sedianya tumpah, justru tertahan. Suaranya mulai parau dan pelan, “Pak... Saya harus pergi sama Renjana. Saya harus ketemu sama dia.”

“Buat apa? Saya bakal nyariin kamu psikiater yang lebih hebat dari Terry. Saya akan jagain kamu, saya udah janji—”

“Pak, please? Saya udah nggak tahan, Pak. Saya takut, saya gak mau gini terus,” isak Mentari masih dalam rengkuhan lelaki itu. Sang tuan diam, membiarkan Mentari menumpahkan isi hatinya. Mungkin melalui hal itu, emosinya stabil.

“Mentari, ingat. Kamu nggak boleh terpancing emosi. Kamu harus jaga emosi kamu, jangan kayak gini. Ya?” Dua matanya bergetar penuh kesungguhan ketika mengajak Mentari bicara.

“Saya cuma mau tau...sebenernya saya kenapa... Pak Jordy. Saya cuma mau itu...” lirihnya tampak putus asa.

“Oke. Saya yang akan nganterin kamu ketemu Renjana.”

“Sendiri aja, Pak.”

“Mau ngapain emangnya?”

“Saya cuma mau ketemu seseorang.”

“Siapa?”

“Ya ada, Pak...”

“Siapa?” ulang lelaki itu sedikit mendesak, namun Mentari enggan memberikan jawaban.

Beberapa jam usai dinyatakan membaik, Mentari enggan membuang waktu. Ditemani Jordy, Mentari pulang ke kosannya. Di depan pintu, sudah terlihat motor Kawasaki Renjana.

Mata Mentari menyipit, mencari sosok Renjana yang tadi berjanji akan mempertemukannya dengan seorang guru spritual agama. Tapi hampir sekian detik menunggu, Renjana tak menunjukkan batang hidungnya.

Yang muncul justru seseorang yang paling tidak ingin Mentari temui—Andini—ibu tirinya dan seorang lelaki paruh baya yang berdiri di sebelahnya.

“Ngapain sih tuh manusia satu di depan kosan gue?” decak Mentari kesal.

“Mereka siapa?” tanya Jordy.

“Ibu tiri saya dan gadunnya,” jawab Mentari sekenanya.

Jordy lantas tertawa kecil. “Gak boleh gitu, Mentari. Biar gimanapun dia tetap ibu kamu.”

Mentari enggan menyahut, dan menghujani tatapan dingin pada Jordy.

“Kenapa ngeliatin saya kayak gitu?” Jordy melayangkan protes.

“Bapak nggak kenal saya dan keluarga saya. Nggak pantes Bapak bicara kayak begitu. Dia yang buat keluarga saya hancur berantakan,” ucapnya dengan sorot penuh dendam Matanya berkaca-kaca. Tanpa memberi celah untuk Jordy menanggapi ucapannya, Mentari turun dari mobil Jordy, meninggalkannya dalam hening yang berujung canggung.

Begitu Mentari keluar dari mobil Jordy, perempuan itu segera menghubungi Renjana.

“Dimana lo, Nyet?”

Kalau sudah begini nada bicara Mentari, itu artinya ia benar-benar sedang marah.

“Nduk, eyalah, Nduk!” Wanita paruh baya itu berlari-lari kecil, menghampiri Mentari. Mentari makin berdecak, merasa terusik dengan kehadiran Andini.

“Nduk, piye kabare? Eyalah kok saiki awakmu lemu koyok ngene?” Mentari makin emosi mendengar basa-basi menyebalkan yang keluar dari mulut Andini. Ia memutar bola mata malas, lalu menjawab sengaja menjawab Andini ketus, “Ibu butuh berapa? Nanti Riri transfer.”

“Eyalah, Ri. Ora ngono toh, Ri. Sing mau masih ono, Ri. Iki lho, Ibu meh ngenalke awakmu ambek Mas Suryo.” Mentari kontan terkejut ketika sang ibu tiri melengkungkan senyum palsunya. Netranya terarah pada lelaki paruh baya yang berdiri cengengesan di samping. Pria itu melirik Mentari, mencoba bersikap ramah, tetapi Mentari menanggapinya dengan senyum dingin.

Mentari sudah paham tujuan ibu tirinya ke sini. Sebelumnya wanita itu telah membujuk Mentari beberapa kali agar ia mau dinikahkan dengan lelaki yang tak tahu aral lintangnya. Dari cara berpakaian Suryo dan caranya menatap Mentari, ia sudah bisa membayangkan betapa mesum dan mengerikannya pria tua ini.

Namun lihat aksi Andini yang tiada henti menjilat pria itu.

“Mas Suryo iki kepala Desa ning Temanggung. Cah Bagus ora bakal ngapa-ngapain awakmu, malah ngejogo awakmu engko. Percaya karo Ibu.” Andini menepuk dada, berucap bangga.

Semakin sang ibu memuja pria hidung belang itu, Mentari tersulut emosi.

“Bu, udahlah. Riri cuma mau kerja—”

“Dek, iku tanganmu kenopo, toh? Kok diperban?” Suryo memegang lengan Mentari, mencoba memberinya perhatian, namun Mentari mendorong tangannya gusar.

“Awakmu iki piye, sih? Dike'ke cah bagus, wong sugeh kok yo malah nolak? Dungu tenan otakmu iku! Ben irupmu ki tenang, ra'usah gawe. Malah ngelawan! Wis, Sur. Langsung wae, biarin aja arek iki memang kurang ajar!” semprot Andini tanpa ampun.

Mentari sebenarnya sangat malas menanggapi paksaan Andini, sebab ia sadar jika mobil Jordy masih bertengger apik di ujung jalan kosannya. Itu berarti Jordy menyaksikan segala drama yang diperbuat oleh ular beludak itu.

“Jangan kira Riri enggak tahu maksud Ibu mengenalkan Riri dengan laki-laki ini,” ucap Mentari tak mau kalah.

“Apalagi yang mau Ibu hancurkan dari keluarga Riri? Papa? Riri? Apa nggak cukup, Bu? Ibu udah ngancurin semuanya! Ibu ambil semua harta Papa, lalu pergi dengan laki-laki lain—”

Plaaaakkkk!

Renyahnya suara tamparan Andini yang melayang pads pipi Mentari sontak mengagetkan Suryo dan juga dua laki-laki yang menyusul ke depan kosannya, Renjana dan Jordy.

Terutama Jordy yang tak menyangka kondisi keluarga perempuan itu ternyata sangat mengenaskan.

“Anak setan!” umpat Andini, menjambak rambut panjang Mentari. Renjana bergidik, sementara Jordy di sebelah Renjana hanya menyaksikan kejadian itu dengan tatapan datar.

“Wis lemu masih keakehan polah! La'opo seh memange? Bapakmu wis modar, rak iso nguripke Ibu ambek adekmu! Neng di sahale nek Ibu munggah ambek lanangan liyo? Kowe cemburu toh? Ibu jek iso tuku wong sugeh, lah kowe? Raimu ayu kelakuanmu koyok iblis! Ngerti ra' kowe?!”

Mentari diam dengan mata yang berkaca-kaca. Ia sungguh ingin pergi dari dunia saat itu juga, sebab semua hinaan dijatuhkan pada dirinya. Sesak di dadanya menjadi-jadi saat perempuan itu menjatuhkan martabatnya dihadapan tiga lelaki sekaligus.

Tangis yang sedari tadi semestinya tak tumpah, akhirnya meluap hebat. Renjana yang berdiri tepat di sebelah Mentari mengelus pundaknya, menyalurkan kekuatan pada perempuan itu setelah ia dipermalukan habis-habisan.

“Ri, udah, udah. Nggak apa-apa. Ada gue,” ujar Renjana mencoba menenangkan. Di belakang Renjana, Jordy terdiam mematung, menyoroti ibu tiri Mentari yang sibuk menyumpahi perempuan itu dengan berbagai kata-kata kasar.

“Opo seng kowe liat soko lanangan iki? Wis isone numpak motor, gawene rak jelas! Opo, Ri! Uripmu susah!”

“Saya dan Riri tidak ada hubungan apapun, Tante.” Renjana mengklarifikasi.

“Saya sekarang hanya berteman dengan Riri. Nggak lebih dari itu. Mungkin di mata Tante saya memang gak punya apapun, tapi seenggaknya saya memperlakukan dan menjaga Riri dengan baik, sesuai mandat Om. Tidak menjual seperti yang sampeyan lakukan!”

Jordy makin-makin terkejut mendengar ucapan Renjana.

“Kamu itu orang luar! Nggak berhak untuk ikut campur urusan keluarga saya! Ikut Ibu! Kita tentukan tanggal pernikahanmu. Maharmu sudah Ibu bayar ke Suryo! Awas kalo ngelawan!” Andini menarik paksa lengan Mentari yang baru beberapa jam lalu diperban. Mentari berkeras diri, mematungkan kakinya. Enggan bergerak dari tempatnya berdiri.

“CEPET THO, Ri! Ojo isin-isini Ibu!” Semakin Mentari diam, Andini makin memaksa. Tanpa peduli di sekitarnya banyak warga serta Renjana dan Jordy yang memerhatikan, Andini menekan pergelangan tangan Mentari hingga perempuan itu meringis kesakitan.

“Saya minta, jangan ganggu Mentari.” Suara tegas di belakang Mentari sukses membuat Andini tak berkutik.

“Lepas.” Sorot mata tajam pemilik suara itu bahkan membuat Andini langsung mengayunkan tangan Mentari menjauh darinya. “Saya akan bayar berapapun yang Anda mau, asal Anda melepaskan calon istri saya.”

Mentari sontak melirik lelaki yang merupakan atasannya tersebut dengan wajah tak percaya. Dia menyebut dengan jelas bahwa Mentari adalah calon istri-nya. Bulu-bulu halus di sekitar lengan Mentari berdiri, seolah ada sesuatu yang ia rasa menjalari benaknya. Mulutnya mendadak kelu untuk menyanggah ucapan laki-laki itu.

“Bilang, ibu kamu butuh berapa? Biar saya bayar semuanya,” kata lelaki itu seraya merangkul Mentari berdekatan dengannya.

“Pak! Ngapain sih? Gila ya? Bapak jangan bikin FTV disini dong!” Mentari berbisik panik setengah mati. Lelaki itu malah tersenyum, “Berapa?” tanyanya. “Lima M? Kecil itu mah.”

“PAK JORDY!” Mentari melotot begitu lelaki itu memasang muka jahil.

“Berapa? Sepuluh M? Ada, tenang aja.”

Mentari nyaris tertawa puas begitu Jordy bertingkah congkak di depan ibu tirinya. Ia puas, benar-benar puas karena rasa dendam dan amarahnya yang memuncak berhasil terbalaskan, begitupun dengan Renjana.

Wajah perempuan tua itu memerah, dan lelaki paruh baya yang telah menerima uang dari Andini itu mendumal kesal karena ia tak berhasil mendapatkan gadis perawan seperti yang dijanjikan Andini.

“Saya manggilnya apa nih? Bapak? Atau Eyang?” Jordy mengejek, sembari mendekati Suryo yang berdiri di hadapannya.

Satu tangannya meraih tangan Mentari yang bersembunyi di balik tubuh atletisnya.

“Jaga ucapan kamu!” bentak Suryo dengan kilatan penuh menantang tapi mukanya sangat ketakutan. Alih-alih menanggapi, Jordy sibuk dengan ponselnya, lalu tak berapa lama kemudian ia tampak seperti berbicara dengan seseorang.

“Halo, dengan Reserse Kriminal dan Kemanusiaan ya? Iya, ini saya Jordy Hanandian. Pak, bisa ke daerah Lebak Bulus? Saya memegang kertas bukti penjualan perempuan di—”

“Anjir, Pak Jordy, ngapain sumpah!!!!” Mentari panik seketika saat Jordy merampas satu kertas dari tangan Suryo.

Mentari sama sekali tak tahu jika kertas itu berisi mahar yang ditanda-tangani Suryo dan Andini untuk memperalatnya.

“P-pak, tolong jangan, Pak. Saya dan anak istri saya butuh makan, Pak. Pak, saya minta tolong sekali!” Suryo tiba-tiba bersimpuh di bawah kaki Jordy, memeluknya. Memohon ampunan penuh agar ia tak tergeret polisi. Sementara Andini langsung kabur dan menghilang.

“Sudah menikah?” Jordy tersenyum miring. “Masih bisa jajan di luar?”

Mentari di belakang Jordy, membisu. Perasaannya mulai tak menentu saat jemari Jordy masih terkait di sela-sela jarinya. Sambil mengurus Suryo, Jordy sama sekali tidak melepas genggamannya.

“Dih si anjing, keenakan lo ye,” bisik Renjana pada Mentari. Ia tertawa, sedangkan senyum yang tadi sempat menghias wajah Mentari lenyap seketika. —

“Aidan gimana, Mentari?”

Tanpa ada kata terima kasih yang mengalun dari bibirnya, Jordy bertanya padaku. Lelaki itu menatap putranya yang terbaring di ranjang berukuran queen size, berselimutkan bed cover abu. Pandangannya cemas. Ia berjalan mendekati Aidan lalu duduk di tepi kasurnya. Tangannya terjulur, meraba dahi Aidan.

“Belum turun juga ya?” tanyanya padaku.

“Tadi udah saya kasih minum sanmol dan bikinin bubur, Pak. Tapi buburnya enggak habis,” jawabku dengan menunjuk ke mangkuk bergambar mobil-mobilan.

“Mau makan tapi dia?” tanya Jordy lagi. Dia berdecak resah, terlihat kacau dan bingung karena Aidan tiba-tiba panas tinggi.

“Mau, tapi sedikit banget. Dua sendok, terus dia tidur setelah minum obat,” ucapku. Jordy mengangguk sembari sibuk membuka kotak P3K, dan mengambil termometer digital. Segera ia selipkan di ketiak Aidan. Lima detik kemudian alarm dari termometer itu berbunyi, menunjukkan angka tiga puluh sembilan derajat. Aku tercengang bukan main. Angka segitu sangatlah berbahaya buat anak-anak seperti Aidan.

“Pak, ini tinggi banget????” Aku melotot heran.

“Aidan sering banget kayak begini,” keluhnya dengan muka lesu. Aku di sebelah Jordy, mencoba memegang lengan Aidan yang justru terasa dingin. Bukankah seharusnya tubuhnya panas? Kenapa malah hawa dingin yang keluar.

“Pak, ini Aidan kenapa dingin banget badannya?”

“Ah, ngaco. Orang panas begini!” elak Jordy.

“Dingin, Pak. Badannya dingin banget. Bawa ke rumah sakit deh, Pak. Bahaya.”

Aku terdiam sebentar sambil mengelus lengan Aidan.

Entah mengapa, di kali kedua aku menyentuh kulit anak itu, ada sesuatu yang dingin ikut menyapu kulitku. Mencengkram lenganku kuat, lalu di sekitaranku terdengar sebuah bisikan mengerikan yang berkata,

“Jangan sentuh anak saya. Jangan bawa dia ke dokter. Dia harus ikut saya pergi. Dia tidak pantas berada di sini, dia harus ikut bersama saya!”

Suara itu menggeram amat jelas di telingaku. Sejujurnya aku amat ketakutan, tapi aku lebih memilih menyembunyikannya dari Jordy, sebab aku yakin jika aku menggubris bisikan itu, sesuatu yang buruk pasti akan terjadi pada Aidan.

Saat Jordy tengah sibuk menyiapkan pakaian Aidan untuk ke rumah sakit, aku mendekati Aidan, melafalkan ayat-ayat Al-Quran dan Ayat Kursi di telinganya.

Tak kusangka, dadaku membuncah hebat. Rasanya sangat sesak, seperti ada sesuatu yang menekan dadaku dari belakang. Sementara aku terus berusaha khusyuk berdoa, aroma wangi rempah yang pernah Jordy pakai waktu itu mengelilingi aku. Aku tak mengerti mengapa aroma itu tak kunjung hilang setiap kali aku berusaha dekat dengan Idan.

“Saaaaakiiiiiiiiit!!!!” Aidan berteriak, tanganku kontan terlepas, dan Jordy segera menengok ke anaknya. Syukurlah, meski tadi aku sempat merasa sesak, setidaknya wajah Aidan sudah tak sepucat tadi. Wajahnya kembali merona.

“Kamu ngapain anak saya?!” Jordy bertanya gusar, mendorong kasar tanganku.

“Kamu ini! Saya suruh jagain Aidan malah nyakitin dia! Sana!” sergahnya menjauhkanku dari putranya.

Aku tidak punya pilihan lain selain diam, karena meski kujelaskan dengan logikaku, Jordy 'penuh logika' Hanandian tidak akan pernah menerimanya.

Alhasil aku cuma menuruti perkataanya, berjalan pelan meninggalkan Aidan dan Jordy yang tengah memeluk anaknya.

Sebenarnya sesak itu kembali terasa. Namun aku tahan setengah mati sambil terus membaca ayat-ayat suci dalam hati. Saat aku mengedarkan tatapanku ke seisi kamar Jordy, Aidan yang tadi kulihat jelas, mendadak samar dalam pandanganku. Yang pelan-pelan tampak justru satu sosok menyeramkan yang berusaha mencengkram leher anak itu.

Mulutku kelu untuk menyampaikannya pada Jordy. Seakan terkunci rapat, aku bagai dihalangi oleh sesuatu yang aku sendiri tak tahu seperti apa bentuknya.

“Pak, t-tolong! T-tolong peluk Idan sekarang!” pekikku terbata-bata.

“Apaan sih kamu?!” Jordy justru menepis omonganku.

“Pak, sekarang,” mohonku. Tangisku seketika pecah, sebab apa yang melintas di depan mataku betul-betul mengerikan.

Tubuh Aidan membiru, bibirnya pucat. Dan sosok menyeramkan itu tetap duduk di sebelahnya, menjulurkan tangan seraya mengelus lengan Aidan. Sungguh, aku berharap semua yang kulihat ini hanyalah mimpi buruk semata.

“PAK SEKARANGGGG!” Sebut saja aku gila, yang penting anak itu harus tetap berada di dunia.

Untungnya walau Jordy tampak linglung, ia masih mau mendengar perkataanku. Ia memeluk putranya kuat-kuat, sedangkan aku beranjak pergi meninggalkan kamar Jordy.

Lututku lunglai, tenagaku bagai terkuras banyak. Aku jatuh tersungkur di lantai, persis di depan pintu.

Kudengar Jordy sempat memekik, memanggil nama Aidan dari dalam. Semoga saja doaku terjabah oleh Allah, Aidan tak lagi didatangi sosok menyeramkan itu.

“Bagaimana, Jordy? Seru, kan?”

Sebuah suara menghentikan segala aktivitas yang sedang Jordy lakukan. Ia yang tengah meletakkan beberapa pakaian tidur Aidan ke lemari, langsung menengok ke belakang.

“Mentari?” Jordy mengernyit heran.

“Kok kamu bisa di sini?”

“Saya tidak suka perempuan ini!” Tanpa menjawab pertanyaannya, Mentari tiba-tiba menjerit penuh amarah.

Sorot matanya sangat memburu. Tangannya mengoyak pakaian dan menjambak rambutnya sendiri.

“Dia menggagalkan rencana saya untuk membawa Idan pergi! Dia membuat saya marah! Dia harus mati!” geramnya.

“MENTARI!” Jordy kaget setengah mati saat Mentari bergerak mengambil gunting di dekat meja belajar Aidan. Di depan mata Jordy, Mentari menggores tangannya menggunakan gunting tajam itu. Darah mengalir deras dari pergelangannya. Tanpa banyak bicara, Jordy langsung merampas gusar gunting itu, lalu berusaha menghentikan darah yang tersisa di sekitar lengan Mentari menggunakan kain tebal.

“Kita ke rumah sakit sekarang.” Dengan sekuat tenaga Jordy mencoba mengangkat tubuh Mentari, namun entah mengapa ia merasa sangat berat. Agak tidak masuk akal karena meski Mentari agak gemuk, seharusnya ia tak seberat ini.