Sepasang mata yang semula terpejam erat, perlahan terbuka. Gerakannya begitu lambat bagai waktu yang dipaksa berhenti. Seorang perempuan tampak berbaring di sebuah kasur beralaskan sprei putih serta selimut tipis. Ruang yang menjadi tempatnya bernaung, yang ia harapkan dapat menyalurkan kehangatan justru memberikan sebaliknya. Dingin mencekam.
Tengkuk lehernya berat, tangannya ngilu bukan main. Perih tak tertahankan. Mentari—perempuan itu—menemukan dirinya terkapar lagi di rumah sakit. Ketika ia melihat ada sebuah kain yang dipenuhi bercak merah, menjeritlah ia dengan sangat histeris. Untung lelaki di sebelahnya terjaga. Teriakan yang berdengung di telinga sang tuan sontak mengangkat bahunya.
“Saya ngapain, Pak?! Aidan mana? Aidan gimana, Pak? Pak, Aidan nggak apa-apa? Maaf banget ya, Pak? Saya ngelukain Aidan, Pak? Maaf sekali. Silakan bawa saya ke polisi, Pak. Saya—”
Lelaki yang duduk di depannya langsung menenangkan Mentari, didekapnya erat. “Kamu nggak menyakiti Aidan, Mentari. Dia yang nyakitin kamu,” kata lelaki itu lembut. “Tenang, Aidan aman.”
Sorot mata lelaki itu menatapnya lekat, namun jelas pancarannya amat cemas. “Dia?” sahut Mentari bingung.
Kedua netra Mentari membulat. Ia nyaris tak percaya bahwa akhirnya lelaki ini mau mempercayainya.
“Ya...itu,” ujar lelaki itu menggantung.
“Itu apa, Pak?”
Kemudian ia berdeham kecil. “Personality kamu yang mirip dengan Kirana. She puts you in danger, Mentari. Dia ngelukain kamu.”
Bahu Mentari merosot dan hatinya seketika mencelos. Tak menyangka jika hal ini semakin berbahaya bagi dirinya. Mentari kalut, namun segala air mata yang sedianya tumpah, justru tertahan. Suaranya mulai parau dan pelan, “Pak... Saya harus pergi sama Renjana. Saya harus ketemu sama dia.”
“Buat apa? Saya bakal nyariin kamu psikiater yang lebih hebat dari Terry. Saya akan jagain kamu, saya udah janji—”
“Pak, please? Saya udah nggak tahan, Pak. Saya takut, saya gak mau gini terus,” isak Mentari masih dalam rengkuhan lelaki itu. Sang tuan diam, membiarkan Mentari menumpahkan isi hatinya. Mungkin melalui hal itu, emosinya stabil.
“Mentari, ingat. Kamu nggak boleh terpancing emosi. Kamu harus jaga emosi kamu, jangan kayak gini. Ya?” Dua matanya bergetar penuh kesungguhan ketika mengajak Mentari bicara.
“Saya cuma mau tau...sebenernya saya kenapa... Pak Jordy. Saya cuma mau itu...” lirihnya tampak putus asa.
“Oke. Saya yang akan nganterin kamu ketemu Renjana.”
“Sendiri aja, Pak.”
“Mau ngapain emangnya?”
“Saya cuma mau ketemu seseorang.”
“Siapa?”
“Ya ada, Pak...”
“Siapa?” ulang lelaki itu sedikit mendesak, namun Mentari enggan memberikan jawaban.
—
Beberapa jam usai dinyatakan membaik, Mentari enggan membuang waktu. Ditemani Jordy, Mentari pulang ke kosannya. Di depan pintu, sudah terlihat motor Kawasaki Renjana.
Mata Mentari menyipit, mencari sosok Renjana yang tadi berjanji akan mempertemukannya dengan seorang guru spritual agama. Tapi hampir sekian detik menunggu, Renjana tak menunjukkan batang hidungnya.
Yang muncul justru seseorang yang paling tidak ingin Mentari temui—Andini—ibu tirinya dan seorang lelaki paruh baya yang berdiri di sebelahnya.
“Ngapain sih tuh manusia satu di depan kosan gue?” decak Mentari kesal.
“Mereka siapa?” tanya Jordy.
“Ibu tiri saya dan gadunnya,” jawab Mentari sekenanya.
Jordy lantas tertawa kecil. “Gak boleh gitu, Mentari. Biar gimanapun dia tetap ibu kamu.”
Mentari enggan menyahut, dan menghujani tatapan dingin pada Jordy.
“Kenapa ngeliatin saya kayak gitu?” Jordy melayangkan protes.
“Bapak nggak kenal saya dan keluarga saya. Nggak pantes Bapak bicara kayak begitu. Dia yang buat keluarga saya hancur berantakan,” ucapnya dengan sorot penuh dendam Matanya berkaca-kaca. Tanpa memberi celah untuk Jordy menanggapi ucapannya, Mentari turun dari mobil Jordy, meninggalkannya dalam hening yang berujung canggung.
Begitu Mentari keluar dari mobil Jordy, perempuan itu segera menghubungi Renjana.
“Dimana lo, Nyet?”
Kalau sudah begini nada bicara Mentari, itu artinya ia benar-benar sedang marah.
“Nduk, eyalah, Nduk!” Wanita paruh baya itu berlari-lari kecil, menghampiri Mentari. Mentari makin berdecak, merasa terusik dengan kehadiran Andini.
“Nduk, piye kabare? Eyalah kok saiki awakmu lemu koyok ngene?” Mentari makin emosi mendengar basa-basi menyebalkan yang keluar dari mulut Andini. Ia memutar bola mata malas, lalu menjawab sengaja menjawab Andini ketus, “Ibu butuh berapa? Nanti Riri transfer.”
“Eyalah, Ri. Ora ngono toh, Ri. Sing mau masih ono, Ri. Iki lho, Ibu meh ngenalke awakmu ambek Mas Suryo.” Mentari kontan terkejut ketika sang ibu tiri melengkungkan senyum palsunya. Netranya terarah pada lelaki paruh baya yang berdiri cengengesan di samping. Pria itu melirik Mentari, mencoba bersikap ramah, tetapi Mentari menanggapinya dengan senyum dingin.
Mentari sudah paham tujuan ibu tirinya ke sini. Sebelumnya wanita itu telah membujuk Mentari beberapa kali agar ia mau dinikahkan dengan lelaki yang tak tahu aral lintangnya. Dari cara berpakaian Suryo dan caranya menatap Mentari, ia sudah bisa membayangkan betapa mesum dan mengerikannya pria tua ini.
Namun lihat aksi Andini yang tiada henti menjilat pria itu.
“Mas Suryo iki kepala Desa ning Temanggung. Cah Bagus ora bakal ngapa-ngapain awakmu, malah ngejogo awakmu engko. Percaya karo Ibu.” Andini menepuk dada, berucap bangga.
Semakin sang ibu memuja pria hidung belang itu, Mentari tersulut emosi.
“Bu, udahlah. Riri cuma mau kerja—”
“Dek, iku tanganmu kenopo, toh? Kok diperban?” Suryo memegang lengan Mentari, mencoba memberinya perhatian, namun Mentari mendorong tangannya gusar.
“Awakmu iki piye, sih? Dike'ke cah bagus, wong sugeh kok yo malah nolak? Dungu tenan otakmu iku! Ben irupmu ki tenang, ra'usah gawe. Malah ngelawan! Wis, Sur. Langsung wae, biarin aja arek iki memang kurang ajar!” semprot Andini tanpa ampun.
Mentari sebenarnya sangat malas menanggapi paksaan Andini, sebab ia sadar jika mobil Jordy masih bertengger apik di ujung jalan kosannya. Itu berarti Jordy menyaksikan segala drama yang diperbuat oleh ular beludak itu.
“Jangan kira Riri enggak tahu maksud Ibu mengenalkan Riri dengan laki-laki ini,” ucap Mentari tak mau kalah.
“Apalagi yang mau Ibu hancurkan dari keluarga Riri? Papa? Riri? Apa nggak cukup, Bu? Ibu udah ngancurin semuanya! Ibu ambil semua harta Papa, lalu pergi dengan laki-laki lain—”
Plaaaakkkk!
Renyahnya suara tamparan Andini yang melayang pads pipi Mentari sontak mengagetkan Suryo dan juga dua laki-laki yang menyusul ke depan kosannya, Renjana dan Jordy.
Terutama Jordy yang tak menyangka kondisi keluarga perempuan itu ternyata sangat mengenaskan.
“Anak setan!” umpat Andini, menjambak rambut panjang Mentari. Renjana bergidik, sementara Jordy di sebelah Renjana hanya menyaksikan kejadian itu dengan tatapan datar.
“Wis lemu masih keakehan polah! La'opo seh memange? Bapakmu wis modar, rak iso nguripke Ibu ambek adekmu! Neng di sahale nek Ibu munggah ambek lanangan liyo? Kowe cemburu toh? Ibu jek iso tuku wong sugeh, lah kowe? Raimu ayu kelakuanmu koyok iblis! Ngerti ra' kowe?!”
Mentari diam dengan mata yang berkaca-kaca. Ia sungguh ingin pergi dari dunia saat itu juga, sebab semua hinaan dijatuhkan pada dirinya. Sesak di dadanya menjadi-jadi saat perempuan itu menjatuhkan martabatnya dihadapan tiga lelaki sekaligus.
Tangis yang sedari tadi semestinya tak tumpah, akhirnya meluap hebat. Renjana yang berdiri tepat di sebelah Mentari mengelus pundaknya, menyalurkan kekuatan pada perempuan itu setelah ia dipermalukan habis-habisan.
“Ri, udah, udah. Nggak apa-apa. Ada gue,” ujar Renjana mencoba menenangkan. Di belakang Renjana, Jordy terdiam mematung, menyoroti ibu tiri Mentari yang sibuk menyumpahi perempuan itu dengan berbagai kata-kata kasar.
“Opo seng kowe liat soko lanangan iki? Wis isone numpak motor, gawene rak jelas! Opo, Ri! Uripmu susah!”
“Saya dan Riri tidak ada hubungan apapun, Tante.” Renjana mengklarifikasi.
“Saya sekarang hanya berteman dengan Riri. Nggak lebih dari itu. Mungkin di mata Tante saya memang gak punya apapun, tapi seenggaknya saya memperlakukan dan menjaga Riri dengan baik, sesuai mandat Om. Tidak menjual seperti yang sampeyan lakukan!”
Jordy makin-makin terkejut mendengar ucapan Renjana.
“Kamu itu orang luar! Nggak berhak untuk ikut campur urusan keluarga saya! Ikut Ibu! Kita tentukan tanggal pernikahanmu. Maharmu sudah Ibu bayar ke Suryo! Awas kalo ngelawan!” Andini menarik paksa lengan Mentari yang baru beberapa jam lalu diperban. Mentari berkeras diri, mematungkan kakinya. Enggan bergerak dari tempatnya berdiri.
“CEPET THO, Ri! Ojo isin-isini Ibu!” Semakin Mentari diam, Andini makin memaksa. Tanpa peduli di sekitarnya banyak warga serta Renjana dan Jordy yang memerhatikan, Andini menekan pergelangan tangan Mentari hingga perempuan itu meringis kesakitan.
“Saya minta, jangan ganggu Mentari.” Suara tegas di belakang Mentari sukses membuat Andini tak berkutik.
“Lepas.” Sorot mata tajam pemilik suara itu bahkan membuat Andini langsung mengayunkan tangan Mentari menjauh darinya. “Saya akan bayar berapapun yang Anda mau, asal Anda melepaskan calon istri saya.”
Mentari sontak melirik lelaki yang merupakan atasannya tersebut dengan wajah tak percaya. Dia menyebut dengan jelas bahwa Mentari adalah calon istri-nya. Bulu-bulu halus di sekitar lengan Mentari berdiri, seolah ada sesuatu yang ia rasa menjalari benaknya. Mulutnya mendadak kelu untuk menyanggah ucapan laki-laki itu.
“Bilang, ibu kamu butuh berapa? Biar saya bayar semuanya,” kata lelaki itu seraya merangkul Mentari berdekatan dengannya.
“Pak! Ngapain sih? Gila ya? Bapak jangan bikin FTV disini dong!” Mentari berbisik panik setengah mati. Lelaki itu malah tersenyum, “Berapa?” tanyanya. “Lima M? Kecil itu mah.”
“PAK JORDY!” Mentari melotot begitu lelaki itu memasang muka jahil.
“Berapa? Sepuluh M? Ada, tenang aja.”
Mentari nyaris tertawa puas begitu Jordy bertingkah congkak di depan ibu tirinya. Ia puas, benar-benar puas karena rasa dendam dan amarahnya yang memuncak berhasil terbalaskan, begitupun dengan Renjana.
Wajah perempuan tua itu memerah, dan lelaki paruh baya yang telah menerima uang dari Andini itu mendumal kesal karena ia tak berhasil mendapatkan gadis perawan seperti yang dijanjikan Andini.
“Saya manggilnya apa nih? Bapak? Atau Eyang?” Jordy mengejek, sembari mendekati Suryo yang berdiri di hadapannya.
Satu tangannya meraih tangan Mentari yang bersembunyi di balik tubuh atletisnya.
“Jaga ucapan kamu!” bentak Suryo dengan kilatan penuh menantang tapi mukanya sangat ketakutan. Alih-alih menanggapi, Jordy sibuk dengan ponselnya, lalu tak berapa lama kemudian ia tampak seperti berbicara dengan seseorang.
“Halo, dengan Reserse Kriminal dan Kemanusiaan ya? Iya, ini saya Jordy Hanandian. Pak, bisa ke daerah Lebak Bulus? Saya memegang kertas bukti penjualan perempuan di—”
“Anjir, Pak Jordy, ngapain sumpah!!!!” Mentari panik seketika saat Jordy merampas satu kertas dari tangan Suryo.
Mentari sama sekali tak tahu jika kertas itu berisi mahar yang ditanda-tangani Suryo dan Andini untuk memperalatnya.
“P-pak, tolong jangan, Pak. Saya dan anak istri saya butuh makan, Pak. Pak, saya minta tolong sekali!” Suryo tiba-tiba bersimpuh di bawah kaki Jordy, memeluknya. Memohon ampunan penuh agar ia tak tergeret polisi. Sementara Andini langsung kabur dan menghilang.
“Sudah menikah?” Jordy tersenyum miring. “Masih bisa jajan di luar?”
Mentari di belakang Jordy, membisu. Perasaannya mulai tak menentu saat jemari Jordy masih terkait di sela-sela jarinya. Sambil mengurus Suryo, Jordy sama sekali tidak melepas genggamannya.
“Dih si anjing, keenakan lo ye,” bisik Renjana pada Mentari. Ia tertawa, sedangkan senyum yang tadi sempat menghias wajah Mentari lenyap seketika.
—