noonanya.lucas

Hampir lima belas menit aku berdiri seperti anjing peliharaan di depan pintu kamar Jordy. Janjinya tadi ia hanya sebentar, tapi nyatanya ia membuat kakiku keram bahkan mati rasa karena menunggunya di depan kamar.

Tahu sih, semestinya aku membiarkan saja dia melakukan kegiatan bebersihnya, atau mungkin, Aidan, si anak nakal itu terbangun, merengek minta dibacakan buku oleh Jordy. TAPI! Setidaknya Jordy bilang, kek, kalau ia masih lama. Sudah mukaku panas dan gatal karena lipstik, masih disuruh menunggu, pula.

Akhirnya kuputuskan untuk bermain handphone, mencari-cari arti mimpi buruk yang setiap malam kualami semenjak aku tinggal di rumah Jordy. Ketakutanku belum hilang. Justru, aku semakin yakin dengan apa yang Renjana katakan. Bahwa aku tidak sakit—aku diikuti oleh arwah mendiang istri Jordy. Tetapi kalau benar itu terjadi, mengapa harus aku orang yang ia pilih? Apa tidak bisa orang lain?

Hampir setiap malam dadaku sesak, nafasku tercekat. Terganggu oleh suara-suara mengerikan yang menggema di sekitar telinga. Jika aku mencoba buka mata, rasanya berat sekali, seolah ada yang ingin menutupi kedua mata ini. Kadang aku lawan, namun jika aku sangat lelah, aku memilih membiarkannya.

Dibiarkan kupikir tidak akan berbahaya. Eh, malah aku bertingkah semakin brutal. Seperti ini contohnya. Aku terbangun dengan mengenakan pakaian almarhumah istri Jordy. Aku bahkan tak ingat sedikitpun apa yang telah kuperbuat. Saksi mata utamanya adalah Aidan. Dia yang tahu apa yang kulakukan selama Jordy tak berada di rumah.

Resah dan gelisah sudah pasti membuntuti. Makanya aku segera menghubungi Renjana agar sepulangnya Jordy dari kosanku, ia bisa mempertemukanku dengan Ustadz yang katanya dapat menelaah apa yang kualami.

Sungguh, aku benar-benar mengharapkan rencana Renjana berhasil kali ini. Aku muak dengan semua obat-obatan Terry. Bukannya sembuh, tubuhku malah membal seperti bola gym. Belum lagi omongan anak kecil bernama Aidan itu yang selalu berkata bahwa aku sangat lucu seperti beruang madu. Gila nggak? Jordy memang benar-benar gagal mendidik anak. Buktinya, Aidan tidak bisa membedakan mana yang sopan dan tidak hingga aku menjadi bulan-bulanan.

“Nih.”

Shit. Malam-malam begini, mana aku baru selesai shalat tahajud, harus banget Jordy keluar dengan keadaan tidak sopan seperti itu? Tubuh atletis serta dada bidangnya ia pamerkan begitu saja kepadaku. Aurat bos! Aurat! Aku langsung menghadap belakang ketika ia hendakmenyerahkan sabun cuci mukanya.

“Ini. Ye, malah balik belakang,” gumamnya terdengar kesal.

“Bisa pake baju dulu nggak ya, Pak? Saya gak biasa ngeliatnya,” kataku cepat.

“Iya, nanti. Ini diambil dulu sabun cuci muka dan pembersihnya.” Sialaan! Dia justru kekeuh agar aku tetap berbalik badan dan harus menatap perut kotak-kotak, serta tato garangnya di lengan. Yang benar saja, shalatku bisa-bisa batal jika begini caranya.

Aku menghela nafas dalam, memohon ampunan kepada Tuhan agar aku tak dianggap zinah mata, walaupun sebenarnya sudah terjadi. Tanpa berlama-lama, aku buru-buru mengambil peralatan pembersih muka milik Jordy dan kembali ke kamar.

“Mentari,” suara Jordy sukses membuatku berhenti melangkah. Aku mematung, tak punya keberanian untuk menatapnya.

“Besok pagi jangan telat bangun,” katanya memperingatkan.

“Iya, Pak, pasti,” jawabku reflek berbalik menghadapnya. Aku antara sadar tidak sadar kala itu, ketika otakku sedang waras aku lantas menutup mata dengan tangan karena canggung melihatnya tak berpakaian. Eh, bukannya buru-buru masuk kamar, si Otoriter itu malah menguar tawa.

“Kamu kayak cakil mukanya merah begitu,” ledek Jordy. SIALAN!!!!!! Dadaku bergemuruh saat mendengarnya mengejek. Tak berbeda jauh dari Aidan anaknya yang gemar menghinaku. Ternyata benar ungkapan buah tidak jauh jatuh dari pohonnya.

Aku memilih diam, enggan menanggapi hinaannya dan melangkah meninggalkan kamar Jordy.

Mobil Lexus andalan Jordy melintasi Jalan Jendral Sudirman dalam kecepatan sembilan puluh kilo meter, mengingat pesan Aidan yang tak henti-hentinya berputar dalam kepala.

“Tante Mentari buka lemari pakaian Mami, terus bilang 'saya udah lama gak pake baju ini.' Terus, dia ke kamar Papi, duduk di meja rias Mami. Dandan.”

Penuturan putranya tersebut tentu menjadi buah pikiran Jordy saat ini. Sudah hampir dua bulan Mentari ditangani oleh Terry, tapi hasilnya hanya sementara. Ia masih tetap berperilaku aneh, dan kepribadiannya yang mirip Kirana itu membuat Jordy risau setiap saat. Jika begini terus, Jordy sepertinya harus mencari alternatif lain—membawa perempuan itu ke psikiater yang lebih andal.

“Halo, Ter.” Jordy segera menghubungi kawannya, Terry.

“Oy, hahaha.” Dari suara parau Terry, Jordy bisa menebak apa yang tengah dilakukan sahabatnya saat larut malam begini. Biasanya dia juga sering menikmatinya, karena Jordy selalu merasa tenang setelah melakukan rutinitas malamnya itu.

“Sadar dulu, Ter. Jangan nge-whiskey melulu,” ujar Jordy membanting setirnya ke arah kiri. Hampir saja mobilnya cacat pandang gara-gara sebuah motor yang melaju cepat.

“Ada apalagi sih, Jor? Gak bisa ngebiarin gue tipsy dikit lo ya?” gerutu Terry seraya menahan rasa mual yang memenuhi lambungnya.

“Ter, gue mau semua terapi Mentari di-stop. Gak bisa gue ngandelin lo lagi,” tandas Jordy cepat. Sahabatnya di ujung sana berhenti menenggak seloki minuman beralkohol di tangannya. Air mukanya begitu kecewa dan penuh penyesalan. Bukan apa-apa, dan bukan karena dirinya yang sedikit meletakkan rasa kagum pada paras Mentari yang cantik, tapi ia merasa gagal sebagai seorang psikiater yang sering diundang dalam beberapa acara Talk Show mengenai kesehatan mental di televisi. Jika kasus Mentari saja tak bisa ia tangani, lalu bagaimana para produser televisi mempercayainya nanti?

Lantas Terry meraup wajahnya yang semerah kepiting rebus, berusaha sober secepatnya. “Kasih gue satu kesempatan lagi, Jor. Please,” mohonnya sambil meringis.

“Lo udah berkali-kali gue kasih chance, yang ada Mentari malah tambah ngadi-ngadi!” Disaat itu entah mengapa emosi Jordy terpancing. Antara ia begitu mengkhawatirkan kondisi Aidan di rumah atau frustasi karena Mentari tak kunjung membaik.

“Ngadi-ngadi apalagi sih...” Terdengar suara gebukan dari sisi Terry. Ternyata lelaki itu ambruk, jatuh ke lantai karena terlalu mabuk.

“Dia buka lemari pakaian Kirana, dress up pake bajunya Kirana, bertingkah kayak Kirana. Lo kira gue gak stres ngadepin orang kepribadian ganda kayak dia?” Acuh tak acuh dengan kondisi Terry, Jordy meluapkan kekesalannya yang pasti akan ditanggapi Terry dengan gurauan gak penting.

“Hahahaha...” Lelaki itu melebarkan tawanya. “Jor, apa jangan-jangan bini lo dateng ya, Jor?”

“Lo tuh psikiater, harusnya mikirnya pake logika!” bantah Jordy marah. “Harusnya lo bisa berpikir jernih. Mana ada sih, orang yang udah meninggal bisa dateng?” omel Jordy memukul setir.

“Hahahaha... Ya gue mah asal ngejeplak doang, Jor. Kali-kali aja ya nggak? Kirana selama ini ada sama-sama kalian,” dengan suara tak jelas seperti orang meracau, Terry berkata demikian.

“Fuck off!” Jordy mematikan teleponnya, tak terima dengan penjelasan tak masuk akal Terry. Toh dia juga sedang dalam pengaruh alkohol, tentu jawabannya akan lebih aneh dari kebiasaan buruknya saat sedang tipsy—mencium kaki teman-temannya yang lain.

Alhasil Jordy harus kembali ke rumah dengan perasaan cemas bertubi-tubi. Ia semakin menandaskan kecepatan gas mobilnya, tak sabar untuk segera sampai rumah—menyelamatkan putranya dari Mentari. . . .

“Aidan, bangun.”

Jordy buru-buru membangunkan Aidan, menyelamatkannya dari perempuan bertubuh gempal yang ia dapati malah tertidur nyenyak di ranjang putranya. Tak ada lagi yang terbersit dalam benak Jordy kala itu, ia hanya ingin Aidan aman di rumah. Dan ia pikir, menjauhkan Aidan dari Mentari adalah keputusan yang tepat.

Usai meletakkan dan memastikan Aidan tertidur di kamarnya, Jordy bergegas menuju kamar Aidan untuk membangunkan Mentari.

“Mentari,” tanpa pikir panjang, Jordy mengguncang kuat tubuh gempal Mentari. Barisan lemak bergelambir yang menyatu di tangannya bergoyang, membuat ujung sprei Mc Laren Aidan terkoyak seketika. Jordy berdecak, kesalnya yang semula menumpuk lama-lama memuncak, menciptakan sinergi emosi yang kuat.

“Mentari!” bentaknya. Perempuan itu langsung terbangun, matanya membelalak dan ia berteriak kencang.

“Astaghfirullah! Astaghfirullah, Muhammad Ya Rasullulah!”

Jordy sontak mundur saat Mentari menarik tubuhnya tiba-tiba. Jantungnya seakan terhenti ketika lengan gempal Mentari menghimpit kuat. Dadanya sesak seakan oksigen yang tadi sempat mengudara diambil alih oleh perempuan tambun itu.

“Mentari! Ngapain kamu meluk-meluk saya kayak gin—” Netra Jordy terhenti sesaat, menyadari ada sesuatu yang begitu ia kenali terbalut di tubuh Mentari. Piyama lengan panjang merah berbahan satin, kesayangan Kirana.

“Dari mana kamu dapetin baju ini?” tanya Jordy gusar. Mentari terdiam, memandang Jordy dengan nafas terengah-engah. Ia tampak ingin berbicara, tapi entah mengapa bibirnya sulit terbuka. Terkunci rapat seolah ada sesuatu yang membuatnya ragu untuk memberitahu Jordy.

“Jawab, Mentari!” desak Jordy tak mau tahu. Begitu suara Jordy meninggi, air mata pun tak luput dari wajah perempuan itu. Ia menangis pilu.

“Pak, saya takut, Pak!” Suara Mentari memelan namun gemetar. “Istri Bapak...” Ia terbata-bata, tapi tak putus asa untuk merangkai kata, “istri Bapak nangis kenceng banget di sebelah saya...suaranya merintih tapi lama-lama dia ketawa...nafas pelan di sebelah saya...lalu dia bilang 'jangan pergi dari kalian.' Tolong, Pak... Saya nggak nyaman kalau begini terus, tolong! Saya boleh pulang aja ya Pak...”

“Kamu ngomong apa sih, Mentari? Jangan bercanda,” tepis Jordy keras kepala. Ia tak punya pilihan lain selain menenangkan Mentari dari halusinasinya yang makin meningkat. Terpaksa ia membelai lembut kepala perempuan itu dan merengkuhnya dalam hangatnya peluk.

“Tenang, Ri. Itu cuma mimpi buruk aja. Kamu cuma bermimpi, you're just too tired.”

Dalam hati Jordy berdecak kesal. Rencananya yang tadi ingin menegur Mentari dan bertanya padanya tentang dari mana ia tahu dimana letak lemari pakaian mendiang sang istri terpaksa ia urungkan. Melihat betapa kacaunya Mentari setelah terbangun dari tidurnya, Jordy tak bisa berbuat apapun selain membiarkan dirinya menjadi bantalan untuk perempuan itu.

“Maaf, Pak..” Usai menangis cukup lama, Mentari menarik dirinya sendiri dari tubuh Jordy. Ia melirik pakaian yang ia kenakan dengan wajah heran.

“Kok saya...bisa pake baju ini?” gumamnya bingung.

“Mentari,” ucap Jordy setelah yakin keadaan Mentari cukup stabil. “Kita ganti pskiater aja. Sepertinya Terry gak cocok sama kamu,” lanjutnya kemudian.

“Pak, jujur, saya udah gak mau berobat lagi. Capek, Pak,” keluh Mentari putus asa.

“Kalau kamu capek terus saya apa?” balas Jordy enggan mengalah. Sama halnya dengan Mentari, Jordy juga tak kalah lelahnya saat harus menahan emosi yang menggebu ketika Mentari kambuh. Setiap kali Mentari berperilaku seperti “Kirana”, Jordy selalu kelepasan terbawa suasana. Sorot mata teduh nan sayu serta cara bicara yang sama persis dengan Kirana sungguh membuat kepala Jordy serasa mau pecah. Kadang Jordy ingin melepas tanggung jawabnya sebagai pendamping Mentari, namun kontrak yang telah mengikat mereka beberapa waktu lalu membuat Jordy menimbang kembali keputusannya.

Mentari diam saat Jordy membalas ucapannya. Ia memalingkan tatapan ke luar jendela, tak berani memandang Jordy.

“Mentari, percaya sama saya. Suatu saat kondisi kamu pasti akan membaik. Saya gak peduli dengan kontrak yang saya tanda tangani sama Terry waktu itu. Saya akan membawa kamu ketemu dengan salah satu pskiater yang jauh lebih hebat dari Terry. Ya?”

“Saya nggak tau apa keputusan Bapak benar atau salah...” Mentari menyahut putus asa. Ia terlalu lelah malam ini karena tak berhenti memecut otaknya untuk mengingat rangkaian peristiwa yang terjadi sebelum Jordy pulang.

“Kadang saya ngerasa diri saya bukan saya, Pak Jordy. Saya takut kalau saya akan melukai Aidan, saya sangat menerima alasan Bapak tidak mengizinkan saya dekat dengan Aidan. Tapi kadang...saya nggak tahu kenapa saya selalu kepingin dekat dengan Idan. Dan setelahnya saya gak inget apa-apa...” Mentari mencoba menenangkan dirinya dengan mengutarakan apa yang ia rasa.

“Iya, saya tahu. Makasih karena kamu mau ngerti alasan saya.” Jordy menjeda ucapannya sesaat, “kamu inget, terakhir kali sebelum kamu berpakaian kayak gini, kamu ngapain?” tanya Jordy pelan.

“Yang terakhir kali saya inget...Aidan minta saya untuk bacain dongeng kesukaannya. Terus setelah itu saya gak inget apa-apa lagi. Dan saya mimpi buruk tentang mendiang istri Bapak.”

“Kalau soal mimpi buruk itu, gak perlu kamu pikirin, Mentari. Itu cuma mimpi, mungkin kamu kecapekan—”

“Pak,” sela Mentari.

“Ya?”

“Boleh saya nanya sesuatu ke Bapak tentang istri Bapak?” Ditanya seperti itu, Jordy agak tersentak. Sepantasnya hal ini bukanlah ranah Mentari, sebab sudah menjadi urusan pribadinya. Namun kali ini Jordy mengizinkan. Siapa tahu ada hal penting yang memicu personalitas Mentari yang mirip dengan Kirana.

“Silakan, Mentari.”

“Istri Bapak...sebelumnya sakit kanker pankreas, ya?”

“Iya. Kamu tahu dari mana?”

Mentari menggeleng, tetapi telunjuknya terarah pada perutnya yang selalu terasa nyeri. “Perut saya selalu nyeri, Pak.”

“Apa hubungannya? Kejadiannya udah lama, kok malah kamu sambung-sambungin,” gumamnya terkekeh.

“Dalam mimpi saya, setiap kali istri Bapak ngomong ke saya, dia selalu megang perutnya. Sambil terbata-bata ngomong ke saya...”

“Ya emang gejalanya seperti itu dulu,” ucap Jordy sembari mengingat kembali detil gejala yang kerap Kirana perlihatkan menjelang ajalnya.

“Dia bilang...saya enggak boleh pergi, tapi dengan nada yang serem, nangis melengking gitu. Jujur, Pak...saya takut banget karena suaranya dan tarikan nafas tersengalnya jelas banget deket telinga saya. Saya bener-bener ngarep semoga yang saya alami sesuai yang Bapak harapkan.” Mentari menghela nafas berat, menjeda omongannya sebentar.

“Maksudnya?”

“Ya... Diagnosa Terry bener,” kata Mentari sepelan mungkin. Air mukanya sendu. “Saya sakit. Karena kalau bukan sakit, saya akan ketakutan setiap malam... Saya gak bisa sendirian kalau begini caranya.”

“Ya emang kamu sakit, Mentari,” ujar Jordy penuh keyakinan.

“Kalau saya nggak sakit gimana, Pak?”

Jordy mengenyit dalam, nyaris tertawa dengan pemikiran non logis Mentari.

“Kalau saya beneran peka sama hal-hal yang gak bisa Bapak liat dan orang lain liat, kalau saya selama ini diikutin mendiang istri Bapak. Saya harus gimana, Pak...”

Mentari tak sanggup lagi menahan air matanya, akhirnya tangisnya pecah. Dadanya bergemuruh, menahan segala ketakutannya sendirian.

“Dengerin saya, Mentari,” kata Jordy sungguh-sungguh. “Orang yang sudah nggak ada, bagaimanapun caranya sudah pasti punya alam yang berbeda dengan kita. Udah ada porsinya masing-masing. Mereka juga gak akan bisa nyentuh kita.”

Tepat ketika Jordy berkata demikian foto pernikahannya yang ia pajang di atas nakas Aidan jatuh dengan sendirinya. Kacanya pecah, berserakan di lantai kayu apartnya. Jordy dan Mentari kompak menoleh ke arah sumber suara pecahan itu.

“Biar saya aja yang angkat—”

“Ody.” Langkah Jordy seketika terhenti. Ia mematung.

“Jadi kamu benar-benar mau saya pergi?”

Jordy segera berbalik menyusul Mentari yang berdiri di depannya dengan sorot mata tajam. “Mentari!” Tanpa berlama-lama lelaki itu lekas memeluk Mentari erat.

“Kamu meluk saya, atau memeluk perempuan ini?”

“Mentari, ini saya, Jordy. Kamu bukan Kirana. Ayo, sadar!”

“Jawab saja, Ody. Kalau memang benar kamu ingin saya gak ada lagi di sebelah kamu, saya akan pergi.”

“Mentari...” Jordy nyaris menggeram, tak kuasa menahan emosi yang menggebu dalam dada.

“Tapi setelah Aidan ikut saya,” ujar Mentari dengan nada dingin.

Usai berkata demikian, Mentari kembali tak sadarkan diri, tubuhnya terkulai, namun untung Jordy lekas menopangnya. Ia sempat memerhatikan wajah Mentari mengeluarkan warna merah merona, seolah aliran darahnya menjalar ke seluruh tubuhnya. Tidak seperti saat perempuan itu bicara—mukanya pucat pasi.

Untunglah kali ini Mentari cepat sadar, meski ia kembali dengan raut wajah panik.

“Pak, setiap malam tolong tidur sama Aidan. Jangan biarin dia tidur sendirian di kamar ini. Tolong banget, Pak. Perasaan saya tiba-tiba nggak enak.”

”...”

“Saya harus pulang besok, Pak. Kalau saya ada di rumah ini terus, nanti Idan kenapa-napa. Saya mohon sekali, Pak,” ucap Mentari dengan tampang ketakutan. Jordy mengangguk meski seperti biasa, pendiriannya tetap teguh menolak apa yang Mentari ucapkan.

“Besok pagi, biar saya yang antar,” kata Jordy sebelum lelaki itu meninggalkan kamar tamu.

“Jangan, Pak!” tolak Mentari cepat. Ia terlihat panik dan itu membuat Jordy sedikit curiga, mungkin ada sesuatu yang sedang ia sembunyikan.

“Sedikit-dikit kamu pingsan kayak barusan, kalo pergi sendiri bahaya, Mentari. Saya yang anter langsung, bukan Devon, supir saya,” kata Jordy.

“Nggak apa-apa beneran, Pak. Saya kuat kok, lagian bisa pake aplikasi. Gak ada yang perlu Bapak khawatirkan—”

“Kalau saya bilang enggak, ya enggak, Mentari,” potongnya tak senang dibantah.

“Pak...?” Aku terkesiap saat menemukan Jordy tertidur di sebelahku dengan posisi yang benar-benar lebih absurd dari yang terlintas dalam pikirku. Tubuhnya setengah membungkuk, ia duduk di kursi dengan tangan yang menggenggam tanganku. Dahi Jordy terlihat basah, seolah ia habis berolahraga. Nafas lelaki itu juga tersengal. Sepertinya benar, Jordy pasti baru selesai berolahraga.

“Pak, bisa lepasin tangan say—”

“Mentari!” Aku terkejut saat Jordy langsung menarikku dalam rengkuhnya. Aku mengerjapkan mata beberapa kali saking bingungnya, mengapa ia sampai secemas itu mendapatiku terbaring. Bukankah dia habis workout? Atau jangan-jangan...personalitiku betulan bertambah?

“P-pak, saya nggak melukai Bapak kan? M-maksud saya, saya takut kalau saya gak sengaja mencakar tangan Bapak kayak waktu di rumah sakit—”

“Mentari,” selanya. “Mau seberapa banyakpun personality kamu bertambah, saya minta jangan kayak tadi.”

Mendapati raut mukanya yang dipenuhi kekhawatiran, akupun makin takut pada diriku sendiri. Apa personalitiku ini se-membahayakan itu? Atau, apa aku melukai Aidan, anaknya?

“Pak, saya ngapain Aidan, Pak? Bapak kan selalu melarang saya untuk dekat sama Idan. Saya ngelukain dia, Pak?”

Jordy menggeleng lesu, “Nggak. Aidan aman. Tapi kamu...” Bola mata hazelnya yang jernih itu memandangku sejenak, “Nggak aman, Mentari.”

“Emang saya ngapain, saya bilang apa, Pak? Please, saya juga pengen tahu, saya selalu gak ingat apa yang saya omongin ke Bapak.”

Jordy diam sebentar dengan muka serius, “Kamu bilang...kamu dulu istri saya.”

Nggak mungkin... Aku terkesiap mendengar ucapannya, mengingat mimpiku selalu menampakkan Kirana yang menangis pilu dan merintih pedih. Ia terus-terusan berkata padaku, “I was his wife...”

“Saya ngomong gitu, Pak?” tanyaku ragu. Sialnya, Jordy mengiyakan pertanyaanku. Itu berarti...Kirana benar-benar datang padaku? Atau ia berusaha menguasai personalitiku?

“Kenapa, Mentari?” Gantian Jordy yang bertanya dengan wajah bingung.

“Saya mimpi, istri Bapak datang ke saya. Dia nangis dan terus-terusan bilang I was his wife...”

Kalut tiba-tiba menggandrungi benakku.

Bagaimana...bagaimana jika yang Renjana takutkan selama ini terjadi? Bahwa aku, bukan penderita DID seperti yang diduga Jordy dan Terry, melainkan seseorang yang peka terhadap hal-hal yang tak bisa dirasakan orang normal?

“Pak,” aku membenarkan posisi dudukku, kemudian melepaskan tangannya yang masih melingkar di pinggangku.

“Ya, kenapa?”

“Gimana kalau selama ini dugaan Bapak dan Terry salah?”

“Maksudnya?”

“Gimana kalau selama ini saya nggak sakit, Pak. Saya nggak DID. Saya peka sama hal-hal yang gak bisa Bapak rasain...”

“Jangan ngaco kamu ya, Mentari! Hal-hal kayak begitu itu musrik. Kamu orang beragama, kan?” bantahnya kuat.

“Pak, tapi...kenapa saya selalu dimimpiin almarhumah istri Bapak? Saya nggak kenal sama Bapak sebelumnya, istri Bapakpun saya juga enggak. Lalu, kenapa harus saya yang terus-terusan ngerasa nggak enak? Selalu saya yang ketakutan sendiri setiap kali almarhumah istri Bapak datang ke mimpi saya? Pak, kalau seandainya apa yang saya takutin selama ini bener, Bapak akan memecat saya, Pak?”

Pikiranku sedang kacau saat itu, hingga apapun yang terlintas dalam kepalaku, terpaksa kuungkapkan semua, padahal Jordy bukan Renjana ataupun Chanting. Jordy bukan seseorang yang pantas kuanggap titik amanku, tapi entah mengapa saat Jordy menghentikan racauanku melalui dekapnya, segala gundah gulana itu pergi, berganti menjadi rasa hangat dan tenang seperti peluk Papa sebelum ia pergi dariku selama-lamanya.

“Mentari, semua yang kamu omongin itu gak bakalan terjadi. Believe me. Kamu aman selama sama saya yang jagain, gak usah mikirin hal-hal takhayul kayak gitu.”

“Tapi, Pak...”

“Just believe me and do what your psychiatrist tell you. Saya gak ninggalin kamu, saya yang akan jagain kamu,” katanya meyakinkanku.

“Makasih, Pak...” sahutku, memasang senyum setenang mungkin.

“Keluar!” Jeritan Jordy yang terdengar dari luar sontak mengejutkan putranya, Aidan. Anak itu buru-buru membuka pintu, bersembunyi di balik tubuh perempuan di depannya.

“Idan, sini! Jangan disitu. Sama Papi, sini!” panggilnya dengan tergesa-gesa. Namun alih-alih menurut, Idan justru menggenggam tangan perempuan itu walau Jordy berusaha menarik anaknya menjauh dari sang puan.

“Idan!” Dengan cepat Jordy mengangkat Aidan dalam gendongannya. “Idan, ke kamar Papi. Sekarang!”

“Pi...tapi...”

“Idan, cepet. Sekarang,” tegas Jordy tak mau dibantah. Mau tak mau anaknya menurut, menyeret langkahnya dengan ogah-ogahan, naik ke ataspun seakan beringsut dari kasur.

“Nggak pake ngintip, Idan! Tutup, kunci pintunya.” Jordy kembali bertitah, sementara perempuan di depannya itu hanya termangu memandangnya.

“Mentari, apa maksud kamu?” tanyanya.

“Saya cuma mau menegaskan bahwa saya—”

Brukk! Tubuh Mentari tiba-tiba terhuyung, dan jatuh tepat di pelukan Jordy. Sontak lelaki itu terpaksa memeluk Mentari dengan erat agar kepalanya tak terbentur lantai.

“Mentari, bangun. Mentari!” Jordy menepuk pelan pipi Mentari, mencoba menyadarkan sang puan. Namun bukannya tersadar, Mentari justru mengikik pelan.

“Akhirnya giliran saya yang menguasai tubuh perempuan ini.. Dengan mata terpejam, Mentari akhirnya menyahut. Namun anehnya, suara Mentari terdengar serak dan berat. Ia juga terbatuk-batuk kecil.

“Siapa?!” Jordy membalas.

“Saya...sudah lama sekali ingin meminjam tubuh perempuan ini. Sejak dua minggu dia tinggal di rumah sakit itu, saya tau...ada sesuatu yang dia miliki. Dia bisa berkomunikasi dengan saya.”

Jordy terdiam. Berkomunikasi katanya? Otaknya butuh mencerna identitas baru apalagi yang kini menguasai Mentari.

“Siapa? Anda siapa? Saya boleh tahu identitas Anda?” tanya Jordy, menuruti saran Terry, pskiater Mentari. Perempuan itu menggeleng, kemudian tertawa lagi. “Jangan sekali-kali, kamu bawa dia ke orang pintar!” Telunjuk Mentari terarah pada wajah Jordy.

“Karena...jika kamu membawanya ke orang pintar, kami, termasuk orang yang sangat kamu cintai, tidak akan bisa berbicara dengan kamu. Dan juga...anak kecil yang sedang mengintip kamu dari balik pintu kamarmu.” Mentari mengarahkan kepalanya ke pintu kamar Jordy seakan memberikan petunjuk jika putranya, Aidan, tidak mendengarkan permintaannya.

“Saya tidak mau berlama-lama berada dalam tubuh ini. Dia dilindungi seseorang yang pernah mengisi hidupnya. Panas! Saya tidak betah! Panaaaas!” Mentari seketika meraung-raung, memegangi kepalanya, sedangkan Jordy di sebelah perempuan itu mencoba sekuat tenaga untuk menarik tangan Mentari dari rambut ikalnya.

“Mentari, tenang! Jangan dijambak rambutnya!” Lelaki itupun berusaha menggendong tubuh Mentari, namun ujungnya dia justru terengah-engah, karena meski bobot tubuh Mentari memang naik drastis, Jordy merasa heran, mengapa tubuh perempuan itu mendadak menjadi sangaaaat berat, seperti kayu yang ditimpa besi beton.

“Allohu laa ilaaha illaa Huwal Hayyul Qoyyuum, laa ta’khudzuhuu sinatuw walaa nauum, la Huu maa fis samawaati wa maa fil ardh, mann dzalladzii yasyfa’u ‘inda Huu, illa bi idznih, ya’lamu maa bayna aidiihim wa maa kholfahum, wa laa yuhiituuna bisyayim min ‘ilmi Hii illaa bi maa syaa’, wa si’a kursiyyuus samaawaati walardh, wa laa yauudlu Huu hifdzuhumaa, wa Huwal ‘aliyyul ‘adziiim...”

Usai shalat Magrib ditunaikan, Renjana ternyata tak langsung kembali ke ruang kerjanya. Entah mengapa seharian itu perasaan Renjana terus gundah gulana. Dan Mentari terlintas dalam pikirnya. Ia teringat akan hal-hal aneh yang Mentari ceritakan padanya. Tentang betapa ia merinding saat melewati foto Kirana di ruangan Jordy; bau anyir yang mengganggu penciuman perempuan itu beberapa hari sebelum ia diizinkan pulang dari rumah sakit. Semua itu membuat hati Renjana tak tenang. Ia pun memutuskan untuk melantunkan ayat suci Al-Quran, yang biasa didoakan ketika diganggu oleh jin dan sebangsanya.

Selama melantunkan ayat suci tersebut, tubuh Renjana terus mengeluarkan keringat. Air minum yang ia letakkan di sebelahnya bergoyang, dan hawanya sangat tidak enak. Kadang berhembus hawa dingin, kadang hangat. Terus terulang hingga seorang Ustadz menghampirinya dan berkata,

“Jangan putus doanya, terus diucapkan sambil diimankan. Ada yang sedang berusaha mengusik. Di luar sana karena kamu mendoakan seseorang. Jangan berhenti sampai benar-benar mereka pergi.”

Renjana mengangguk.

“Masih mual?” Satu pertanyaan meluncur dari lelaki bertubuh tinggi di depanku. Sorot matanya terpatri kearahku, tak berekspresi namun entah mengapa aku mengartikannya sebagai sebuah kekhawatiran.

“Nggak, Pak,” aku menjawab setenang mungkin, menyembunyikan rasa penasaranku tentang alasannya membawaku ke apartnya, dan bukan ke kosan. Jika begini, nama baikku akan tercoreng, bukan? Mana ada sih atasan yang membawa karyawannya pulang ke rumah, apalagi dia bukan siapa-siapaku.

“Berarti yang tadi itu kamu masuk angin,” gumamnya sembari menempelkan kartu apart pada gagang pintu.

“Pak, sebentar.” Aku mencegat, rasa ingin tahuku akan alasannya semakin tak terbendung. Ada baiknya aku bertanya sebelum hal-hal yang tidak kuinginkan terjadi.

“Apa?” tanyanya.

“Kenapa saya nggak diantar ke kosan? Saya punya rumah, Pak. Ngapain saya diajak pulang ke apart Bapak?” tanyaku dengan melipat tangan di depan dada.

“Kita bicara ini di dalam—”

“Nggak, Pak. Saya mau denger alasannya. Ini nggak baik, Pak. Gak baik di mata agama!” Aku menugas.

“Kamu pikir saya sebajingan itu?” balasnya dengan tampang nyolot. Astaga..kalau saja Jordy tidak menghabiskan hampir sepuluh juta demi terapiku, aku pasti sudah menampar wajahnya dengan tangan. Gemas, kesal dan geregetan bergabung memenuhi perasaanku saat ini. Mana, belum bales-bales Jenan lagi. Padahal tadi handphone-ku sudah bergetar, jiwa kepoku kan jadi meroket tinggi! Ingin tahu apa jawaban Jenan.

“Maksud saya nggak gitu, Pak. Tapi menurut saya, hal ini nggak wajar antar bos dan karyawannya—” Belum sempat kuselesaikan ocehanku, tangannya telah membuka pintu. Dan betapa terkejutnya aku ketika mendapati unit Jordy yang sangat-sangat berantakan bagai kapal pecah. Dari dalam, kudengar langkah kaki seseorang yang begitu tergesa-gesa, berlari menuju pintu apartnya.

“Tante!” Astaga, anak itu lagi. Aidan.

“Tante, kemaren sebelum Tante pulang, Tante bilang mau bacain dongeng sama main mobil-mobilan sama aku! Terus, Tante juga bilang mau nginep di rumah. Idan udah bilang sama Papi, minta Tante main kesini! Hehe.”

WHAAAAAT? Sejak kapan aku menebar janji semacam itu pada Aidan? Selama dua puluh lima tahun aku hidup, semua orang-orang terdekatku juga tahu kalau aku sangat canggung dengan anak-anak. Bukan tidak suka, hanya saja aku memang tak terbiasa dekat dengan anak-anak, walau pernah menjadi seorang pengasuh anak-anak, tapi anak bosku itu tak se-aktif Aidan. Anak bosku tipikal yang pendiam dan penurut, bukan seperti Aidan yang banyak mau, persis papinya.

“Kayaknya, Tante enggak bilang gitu, deh,” belaku kebingungan.

“Ih, Tante janji sama aku kok! Tante bilang pengen tinggal disini sama aku dan Papi. Yah, Tante ya? Idan mau dibacain cerita sama Tante, Tante kayak Mami soalnya,” ujar Aidan dengan senyuman lebar. Jari mungilnya menggenggam tanganku, memainkannya sebentar. Kepalaku kembali pusing kala anak itu mendusalkan kepalanya pinggangku.

“Idan, kamu ngapain? Jangan gitu!”

“Nggak apa-apa, Ody. Memang saya sendiri yang sudah janji sama Idan untuk nemenin dia. Saya mau nemenin Idan.”

“Mentari?”

“Yes! Iya, Tante, ayooo main!”

“Mentari!”

“Saya kangen sama Idan, jangan ganggu dulu. Biarkan saya main sebentar sama Idan.”

Baru mau buka handphone untuk membalas Jenan, tiba-tiba saja sebuah suara mengedar di sekelilingku.

“Shshshshs, hhhh...pinjam tubuhmu...aku mau masuk.. shshshsh.”

Aku tersentak saat mendengar suara seorang lelaki tua di sekitaran mobil Jordy. Tepatnya, di luar kaca mobilnya. Aku sontak celingak-celinguk, mencari sang pemilik suara. Tapi aku tidak menemukan sosoknya.

“Pak, barusan ngomong?” tanyaku memastikan. Jordy menggeleng, “Saya dari tadi nyetir. Nggak ngobrol sama kamu.”

Deg! Berarti yang tadi suara siapa? Apa jangan-jangan kelainanku ini ingin menambah identitas? Aku mendadak kalut memikirkannya. Saking kalutnya, aku bertingkah sok sibuk di depan Jordy, sambil mencari-cari obat anti depresanku. Lebih baik kucegah dari sekarang, sebelum beruang madu besar ini menancapkan taringnya.

“Ada apa sih, Mentari!” Tampaknya Jordy amat terganggu dengan suara rangsekan tasku. Cih, mentang-mentang gak branded.

“P-pak, denger ada orang ngomong nggak?” tanyaku sekali lagi, seakan butuh validasi.

“Ya kamulah yang ngomong, orang di mobil cuma kita berdua,” balasnya sengit. Kemudian dengan mata memicing penuh curiga, Jordy bertanya, “kamu mau kambuh?”

“Pak, penyakit saya nggak bisa dipre—”

Belum selesai sampai di situ, mendadak bau anyir menyapa rongga penciumanku. Begitu tajam hingga sukses membuat perutku bergejolak, alias, mual sekali.

HOEEEEEEK! Mampus. Aku ngotorin mobil Jordy.

“Mentari?!” pekiknya dengan muka jijik, saat melihatku muntah. Jika dia kaget karena baru melihat seseorang muntah di depannya, aku lebih terkejut lagi kala tersadar bahwa aku memuntahkan angin, alias tidak memuntahkan cairan. Tapi entah mengapa, bau itu terus-terusan menganggu bersamaan dengan suara mengerikan

“Pak...” kataku sembari mengerjapkan mata saking tak kuatnya mencium bau anyir yang semerbak.

“Pak, pinjem aroma terapinya di rumah Bapak ya? Saya mual, mobil Bapak bau anyir!”

“Ngaco kamu! Saya baru masukin bengkel. Dari mananya bau anyir!” sahutnya tak mau kalah.

“Bau banget, Pak! Buktinya saya sampe mual dan muntah.” Jordy menengok ke lantai mobilnya dengan kernyitan dahi, lalu dia kembali memandangku. “Kamu gak muntah, tuh.”

“Kamu cuma masuk angin, Mentari. Mungkin gak terbiasa kena AC. Nanti sampe apart saya—”

“Lagian, kenapa saya ga dianterin ke kosan saya aja, Pak.. Kenapa malah stop di apart Bapak?” selaku. Ia berdeham sejenak, lalu menjawab dengan raut wajah tenang, “saya ada alasan khusus. Nanti kita bicara di rumah aja.”

HOEEEEK! Sial, mualku malah makin menjadi-jadi mendengarnya.

Bagai masuk pressure test di acara MCI, jantungku bergedup kencang kala harus bertatapan dengan lelaki paling otoriter se-Jakarta Raya, Jordy Hanandian, yang kini tengah menghunuskan pandangan dinginnya kepadaku.

Decakan kecil terdengar dari mulutnya, pertanda aku harus melebarkan senyum sesabar mungkin agar granatnya-nya tidak melukai kepalaku.

“Ng...Maaf, Pak—”

“Makanya, WA kamu ngapain sih di-non aktifkan segala? Hapus aja app yang gak penting. Ngeribetin orang aja bisanya,” dumel Jordy bahkan disaat kakiku belum menapak di mobilnya.

Mau tidak mau aku terpaksa diam dan merenungi omongannya. Cih, dia aja yang nggak tau alasanku sampai me-delete WA. Kan karena dia mendaftarkanku kesini!

“Dan satu lagi.” Aku sudah siap-siap menghela nafas, menahan amarah, tapi rundungannya belum kelar ternyata. Sambil mengecilkan suhu AC, Jordy kembali bersuara, “Sampe kapan WA saya kamu block?”

Jeng, jeng! Nih orang punya mata-mata berapa banyak sih? Kok sampai seluk-beluk sekecil itu saja, aku tak bisa berkelit darinya?

“Ng..nganu, Pak...” Nggak. Akan lebih baik aku mengiyakan saja titah sang duda. Mendapati tangannya yang penuh dengan bekas cakaranku, timbul sedikit rasa bersalah dalam diri ini. Aku sampai tak berani menoleh ke lengan Jordy yang dipenuhi cakaran itu.

“Nanti saya unblock,” janjiku cepat. Dan kulirik sedikit lengannya dengan tampang bodoh, “lukanya dalem juga ya, Pak?”

Dan si Otoriter itu langsung berdecak, “kalau nggak dalem, nggak mungkin berdarah kayak gini.”

“Iya, maaf, Pak.” Aku menundukkan kepala penuh sesal. Apakah akan lebih baik jika aku mengobatinya sekarang? Biar bagaimanapun aku melakukan kesalahan padanya.

“Ngapain ngeliat saya kayak begitu?” tanyanya datar. “Jangan bilang kamu mau kambuh lagi...”

“Enggak, Pak. Saya tadi sudah minum obat kok. Ng..” Aku mengeluarkan salah satu pembersih luka serta handsaplast yang selalu kusediakan di dalam tas.

“Kamu ambil dari kamar Idan, ya?” Sejenak netra Jordy terarah pada handsaplast milikku.

“Enggak, Pak. Ini punya saya. Kebetulan dulu saya pernah kerja jadi pengasuh anak-anak, jadi saya selalu sedia handsaplast corak pororo buat yang cowok, dan barbie buat yang cewek.”

Mendengar penjelasanku, Jordy justru menyeringai, seperti tengah meremehkanku, “kamu? pengasuh anak-anak?”

“Iya, udah lama. Waktu Papa baru meninggal. Sekarang sudah enggak lagi,” jawabku berusaha mengacuhkan remehannya. Jordy hanya ber-oh-oh ria, kemudian kembali memfokuskan tatapannya pada jalanan Ibu Kota. Dia menyetir, sedang aku menatap gamang lengannya yang terluka.

“Pak, lukanya boleh diobatin nggak sama saya? Maaf, ini bukannya lancang. Tapi kalo dibiarkan kayak gitu, takutnya infeksi.” Aku menawarkan satu kebaikan kepadanya yang langsung ia jawab—padat dan singkat.

“Nggak.”

“Oh, ya udah kalau begitu, saya taro disini aja handsaplast dan betadine-nya. Sampai rumah minta tolong sama Aidan untuk dibersihin ya,” kataku, meletakkan peralatan itu di dekat dasbor mobilnya. Siku Jordy yang menahan dasbor mobil dekat persenelingnya, membuatku agak kesulitan memasukkan peralatan itu ke dalam dasbornya, hingga terpaksa aku mendorong sikunya sedikit.

“Ck!” tukas Jordy, mukanya benar-benar kesal seketika. “Kamu tuh perempuan paling ribet yang pernah saya kenal, tau nggak?” Kan, ujung-ujungnya ngomel sendiri. Padahal dia yang ribet, duh.

“Saya bingung mau taro dimana, handsaplast dan betadine-nya. Saya pikir kosong...” Aku berujar pasrah. Nggak sih, lebih tepatnya aku hanya membela diri dari amukannya.

“Nih!” Ia tiba-tiba saja merentangkan tangannya ke arahku usai melipirkan mobilnya ke sebuah jalan yang agak sepi.

“Mau ngapain, Pak?” tanyaku bingung. Kukira sugar daddy alert-nya sedang menyala hingga berani memberhentikan laju mobilnya di suatu tempat terpencil.

“Katanya tadi mau dikasih betadine, saya mana bisa nyetir sambil diobatin,” sahutnya dengan wajah datar. Aku mengangguk saat baru paham apa yang ia omongkan dan segera membubuhkan betadine di atas lukanya. Dan yang mengherankan, Jordy tidak menampilkan mimik apapun. Ia hanya diam sembari memerhatikan tangannya yang sedang kuobati. Kalau begini, aku tidak menyalahkan protesan Aidan tentang papinya yang selalu dingin dan menyebalkan.

Lihat saja reaksi Jordy saat selesai diobati. Tidak ada ucapan terima kasih yang keluar dari bibirnya, dia justru berkomentar sinis, “betadine kamu kebanyakan, by the way.”

Matanya lalu terarah pada cairan coklat yang terbuang sia-sia, seperti usahaku mengobatinya, alias tidak dihargai sama sekali. Sekali lagi, karena menghadapi Jordy yang ternyata memiliki sifat persis dengan anaknya butuh kesabaran, maka aku putuskan untuk tidak lagi mendebat apapun yang ia ucapkan. Malah, aku sok inisiatif, mengelap bekasan betadine di lengannya.

“Ngapain?” Jordy bertanya retoris. Masak nasi! Aku menyahut dalam hati.

“Tadi Bapak bilang, betadine-nya kebanyakan,” aku memperjelas penyebab ocehan panjang lebarnya. Sementara yang kuajak bicara tetap memandang dengan wajah tegas nan dingin, “Ya maaf, Pak. Saya cuma nggak enak sama Bapak, itu tangannya kecakar.”

“Saya nggak butuh kamu ngelakuin hal-hal yang sering kamu tonton di drama Korea.” Dih?! Aku mengamuk dalam batin.

“Saya mau keadaan kamu membaik, supaya kamu bisa kerja lagi,” katanya dengan nada bicara yang mulai merendah.

“Iya, Pak.”

“Yang rajin minum obatnya,” ucap Jordy sekali lagi.

“Emang enggak apa-apa kalau punya resepsionis yang gak sedap dipandang kayak saya gini? Nggak mau cari resepsionis baru aja, Pak?” tanyaku hati-hati, mengingat tubuhku yang makin mirip dengan lagu andalan Tulus, Gajah.

“Yang nentuin karyawan berhak kerja di kantor itu saya? Atau kamu sih? Bawel amat,” sahut Jordy nyolot.

Aku mendengus ketika ia berucap ketus. Dasar duda sinting! Masih mending Jenan, sahabatnya yang talkative dan humoris itu, deh. Walau jokes-nya tak selalu lucu, tapi dia selalu berhasil melengkungkan senyum di bibirku.

Ah, jadi kangen Jenan.

56 Kilogram adalah mimpi terburuk dalam hidup seorang Mentari Ovellie Gaudina.

Lihatlah dagu tebal yang bergelambir di pantulan kaca itu. Apakah itu benar-benar aku? Belum lagi lipitan lemak yang terlihat sesak di bagian lengan. Pipiku yang melebar seluas Sungai Kapuas. Kalau gini caranya, mukaku mau ditaruh dimana saat sarapan bareng Jenan nanti, Ya Allah?

Berkali-kali aku mematut diri di depan kaca, berkali-kali pula aku merutuki nasibku. Sudah sakit, jelek, gendut pula. Masih ada laki-laki yang bersedia menikahiku nanti nggak ya?

Rasanya aku ingin melimpahkan semua kesedihanku pada Jordy. Karena dia yang mendekamku disini. Mau minta pertolongan Renjana, tapi hasil diagnosaku keburu keluar. Mau menangis pun rasanya percuma. Yang bisa kulakukan hanyalah berjuang agar kondisiku betul-betul membaik.

Seperti yang sudah dijanjikan Terry, jika hari ini kondisiku tak begitu parah, aku boleh rawat jalan. Awalnya aku sangat senang mendengarnya, itu berarti aku bisa menghirup udara bebas, menghabiskan waktu dengan berkaraoke ria bersama Chanting. Aku sampai melonjak gembira ketika Chanting mengabariku bahwa ia telah memesan salah satu booth karaoke dekat kosan kami. Tetapi... sayangnya mimpi itu harus gugur hanya dalam satu jentikan jari.

Si Otoriter, Jordy Hanandian meminta Terry untuk menuliskan surat dokter agar aku rehat beberapa hari. Yang artinya, janjiku dengan Jenan terancam batal; aku tidak bisa karaokean dengan Chanting, dan yang terparah, aku harus bertatap muka dengan tembok di kosanku, dibawah pengawasan Jordy Hanandian.

Dia pikir aku putrinya yang berusia enam belas tahun apa? Mentang-mentang semua perawatanku dia yang bayar, dia jadi semena-mena dalam hidupku!

Saat membaca pesan Jordy yang terpampang di layar ponselku, aku dengan cepat melewatinya. Membalas iMess Jenan untuk memperbaiki moodku.

“Pagi, Riri!” Dari balik daun pintu, seorang laki-laki berkacamata mengulaskan senyum terbaiknya padaku. Sosok yang beberapa minggu ini, tak pernah absen memeriksa fase manik dari DID-ku.

Terry, orang terpercaya Jordy.

“Pagi, Ter.” Aku menyapa seadanya. Jujur, aku agak malu bila harus bertatap muka dengannya. Ia mungkin agak terganggu melihat bentuk tubuhku yang gempal ini.

“Gak mau ganti baju aja?” Dengar pertanyaannya barusan? Aku ngerti maksud Terry baik. Tapi entah mengapa aku sedikit sensitif mendengar nada bicaranya yang seolah mengatai bentuk badanku. Iya, aku tahu kok, lemakku berkumpul di lengan, dagu dan pipi.

“Iya, abis ini. Mau ngecek ya?” Aku terpaksa menekan amarahku. Berpura-pura menerima pertanyaan barusan dengan lapang dada.

“Iya,” jawab Terry, mengangguk. Kemudian lelaki itu mengambil catatannya, bersama dua perawat yang senantiasa menemaninya setiap melakukan kunjungan pasien.

“Oke, silakan.” Aku sedikit menggeser tubuhku dengan susah payah.

“Hahaha, gak usah dipaksa gitu. Pelan-pelan aja.”

Sialan. Kupikir dia baik dan ramah, ternyata sama persis dengan koncoannya, Jordy. Yang membedakan hanyalah friendly gesture-nya yang menjebak betina-betina haus kasih sayang sepertiku. Begitu dia tertawa, aku sengaja memutar bola mata, memasang wajah masam agar dia sadar jika omongannya sebagai seorang psikiater telah menyinggung pasiennya.

“Ri?” Terry memandangku heran lalu mengulum bibirnya. Kurasa aksiku berhasil. Dia sadar dengan perbuatannya.

“Ya?” jawabku.

“Nggak apa-apa kok gendut begini, kamu keliatan lebih luc—”

No! Nafasku mendadak tercekat sesaat Terry menghentikan ocehan tak bergunanya itu. Netra Terry terdistraksi oleh sesosok lelaki yang wujudnya belakangan menggandrungi isi kepalaku.

Si otoriter, si paling berkuasa se-dunia perfilman Indonesia, Hanung Bramantyo. Eits, Bukan dong.

JORDY OTORITER RADJASA HANANDIAN.

Makin lengkap deh penderitaanku hari ini.

“Pas banget, Jor!” Teman sekongkolannya menyambut kedatangan Jordy dengan senyum pepsodent. Tapi tidak dengan dua perawat perempuan yang kelihatannya tertipu oleh pesona duda anak satu itu. Mereka saling menyikut satu sama lain, berbisik tertawa-tawa lucu, seolah agar di-notice Jordy. Sayangnya, lelaki yang mereka impikan itu justru menjatuhkan tatapannya tepat ke...

Bentuk tubuhku yang mirip beruang madu.

“Apa?” Aku menyalak lebih dulu, sementara Jordy berpura-pura berdeham karena takut beruang madu sepertiku menyerangnya balik.

“Saya nggak mau komen apa-apa.” Ia membela diri, dan aku mendengus sebal.

“Udah, udah, Ri, Jor.” Terry di sebelah Jordy mencoba mendamaikan kami. Setelah emosiku agak membaik, barulah Terry mulai menjelaskan prosedur tes kesehatanku. “Ri, saya kasih lima detik untuk melihat Jordy ya. He will approach you. Kalau kamu merasa nggak enak, bilang ya.”

Tepat setelah Terry berkata demikian, Jordy selangkah demi selangkah berjalan ke arahku. Aroma tubuhnya yang amat asing justru membuat kepalaku bermain. Sakit sekali. Wangi parfum dengan aroma kayu namun manis, membuat dadaku sesak sekaligus membuncah. Air mataku siap mengalir saat itu, namun sekuat tenaga, aku menahannya.

Daripada aku mendekam dibalik tembok bisu di rumah sakit ini. Alhasil, mataku hanya berkaca-kaca, tetapi tidak demikian dengan kepingan-kepingan potret yang terlintas sekejap dalam ingatanku.

Tawa, peluk dan air mata. Ada sentuhan tangan yang menjalar di atas punggung tangan milik Jordy. Dua bibir ranum yang menyatu, saling beradu penuh luka dan rindu.

Sosok perempuan yang persis sekali dengan almarhumah istri Jordy juga muncul tepat di depanku.

Dia menangis, meraung pilu, penuh sesal dan merintih meminta pertolongan.

Katanya;

“Pinjamkan tubuhmu...biarkan saya menetap sebentar bersama anak dan suami saya. Tolong, saya mohon sekali...Wangi yang ia pakai hari ini adalah parfum kesayangan saya...Dia butuh saya...” . . .

“Ri! Mentari, apa yang kamu ingat, Ri? Apa?”

Saat aku terbangun, aku sudah tak menemukan sosok menyedihkan itu berlutut di depanku sambil menangis sesenggukkan, menggenggam kedua tanganku. Dia hilang, entah ke mana.

Dan yang sekarang ada di depanku...

“Kamu nggak apa-apa?”

Jordy. Tangannya mengusap dahiku yang bercucuran dipenuhi keringat. “Mentari, tadi kamu tiba-tiba pingsan. Kamu kenapa?”

“Pak...” jawabku dengan suara parau. “Parfum yang Bapak pake itu, kesukaan almarhumah istri Bapak?”

Dia diam, tapi jelas raut wajahnya cukup terkejut mendengar pertanyaanku.

“Dari mana kamu tau?”

“Saya mimpi dia lagi, Pak...” Aku meremas tangannya pelan. “Saya takut, Pak. Saya takut...”

Dan tak perlu menunggu lama, tangisku pecah dalam sekejap.

“Ri, dia bilang apalagi?” Terry menimpali.

“Dia bilang...” Nafasku tercekat. Entah mengapa disaat aku hendak memberi jawaban atas pertanyaan Terry, dadaku terasa sangat sakit sekali. Tanganku sampai berusaha menggapai salah satu obat penenang yang diresepkan Terry, karena aku merasa sangat tidak tenang. Sekujur tubuhku terasa dingin, dan bibirku seakan ingin berteriak kencang, tapi aku menahannya sekuat tenaga.

“Mentari!” Jordy di sebelah, terdengar panik saat aku mencengkram lengannya sekuat tenaga.

“Pak, tolong saya...diluar...banyak yang nangis-nangis, minta tolong sama saya. Sama kayak almarhumah istri Bapak...Mereka bilang mau minjem tubuh saya. Pak, saya takut. Saya takut, Pak...”

“Hhhh...” Lenguhan singkat Mentari sontak membangunkan Jordy dari istirahat singkatnya. Pandangannya bergulir pada Mentari yang pelan-pelan membuka mata.

“Pak, saya kenapa? Tangan saya diiket lagi? Tolong, saya mau pulang, Pak. Sakit, saya gak mau diiket gini, Pak. Saya gak gila! Saya waras, Pak. Tolong, kalau Bapak mau pecat saya dari sekarang, silakan, Pak. Saya udah nggak keberatan. Saya juga nggak punya siapa-siapa kok, Pak. Nggak papa, saya bisa cari pekerjaan lain, dan saya janji nggak akan ngerecokin Aidan dan keluarga Bapak. Tapi saya mohon, lepasin saya, Pak...Biarin saya pergi...”

Tangis Mentari pecah kembali. Jordy mau tidak mau menenangkan perempuan itu, menariknya dalam rengkuhan. “Mentari, saya nggak bermaksud untuk nahan kamu disini. Tapi saya mau keadaan kamu membaik. Biar nggak kayak tadi lagi. Tolonglah, kita ngelakuin ini juga demi kamu,” kata Jordy pelan.

“Tenang dulu, oke?” bujuk lelaki itu dengan nada lembut. Setidaknya kali ini, ia memaksa diri untuk menekan ego dalam dirinya. Perempuan di depannya ini sangat membutuhkan support. Dia bilang dia sendirian dan tak punya siapapun, maka Jordy berpikir, mungkin ia bisa menjadi seseorang tersebut.

“Pak, saya takut...” isaknya dalam rengkuhan Jordy. Perlahan, Jordy menepuk pundak Mentari, berharap hal itu dapat menghilangkan sedikit kegetirannya.

“Iya saya ngerti. Its okay. Its gonna be okay. Tenang, kamu nggak akan kenapa-napa,” ujar Jordy. Dan setidaknya, ucapan menenangkan itu berhasil menyudahi tangis Mentari. Suhu tubuhnya pun berangsur normal. “Eh, maaf, Pak. Saya nggak bermaksud.” Ia menjauhkan tubuhnya sendiri dari tubuh Jordy. Matanya berkelana, menghindari sorot mata Jordy yang terpusat padanya.

“Tadi badan kamu dingin, Mentari,” beritahu Jordy. Gadis itu mengangguk. “Kamu ngerasain sesuatu sebelumnya?”

“Pusing. Kepala saya sakit tadi.”

“Sekarang, gimana?”

“Nggak begitu, sih. Tapi badan saya capek banget. Kayak abis ngangkat alat berat,” kata Mentari dengan senyum tipis. “Eh, saya gak bermaksud nyindir Pak Jordy. Tapi beneran, setiap kali saya tidur...”

“Tidur?” sela Jordy tertegun. Mentari mengangguk. “Ya, bukannya tadi saya tidur ya, Pak? Saya tidur aja kok tadi.”

“Kamu nggak tidur, Mentari.” Jordy menjawab dengan muka serius.

“Terus saya ngapain, Pak? Saya nggak ingat apapun...” ucap Mentari dengan kepala tertunduk. Jordy rasa ia perlu sangat berhati-hati mengatakannya pada Mentari. Kondisi perempuan itu yang belum tentu stabil, membuatnya ragu untuk mengutarakannya pada Mentari. Yang Jordy takutkan jika ia nekad bercerita, personality Mentari keluar lagi, dan lama-lama menguasai sifat perempuan itu. “Nggak usah kamu pikirin, yang penting nanti kamu rajin minum obat dan istirahat.”

Mentari hanya mengangguk meski dengan air muka bingung. “Pak, beneran ya, saya bakalan tinggal di RSJ ini selamanya? Saya nggak mau, Pak. Saya mau di rumah aja. Saya janji, saya akan minum semua obat-obatan itu. Kalau perlu tanpa Bapak minta nanti saya kirimin bukti kalau saya habisin obatnya sesuai dosis. Tapi saya mohon sekali, Pak. Saya gak mau tinggal di sini sendirian, Pak..” mohon Mentari berkali-kali.

“Saya nggak bisa ngasih keputusan, Mentari. Psikiater kamu, Terry yang punya wewenang di sini. Dia tau yang terbaik buat kamu. Tapi tenang aja, karena saya sudah janji untuk jadi pendamping kamu, saya akan jagain kamu dari jauh. At least, cek kondisi kamu seperti apa.” Ia melirik ponsel perempuan itu, “Fast rep, tapi. Kamu tau proyek saya banyak.”

“Iya, Pak...” sahut Mentari lesu. Ia membuang tatapannya dari Jordy dan mengitari pandangannya ke seluruh ruangan itu. Sempit dan menyesakkan. Tak dapat Mentari bayangkan jika dinding-dinding kokoh ini akan menjadi teman hidupnya sementara waktu. Ia menundukkan kepala dan menghela nafas frustasi. Kepalanya racau akan gumaman-gumaman tentang dirinya yang kini dijauhi Chanting, dianggap 'gila' beneran oleh Renjana. Semua itu membuat Mentari amat lelah dan akhirnya kembali menjatuhkan air mata.

“Mentari, ini kamu kan?” tanya Jordy memastikan.

“Pak...” lirih Mentari pelan. “Jangan tinggalin saya sendiri, Pak. Temen-temen saya ngejauh semua. Saya pasien sakit jiwa, Pak...” Ada sorot kecewa yang terpatri dalam binar mata Mentari. Jordy paham perasaan itu, walau ia terlihat dingin dan seolah acuh, tapi disituasi seperti ini, Jordy juga tak mau ambil resiko, daripada Aidan dalam bahaya.

“Saya nggak ninggalin kamu, Mentari. At least selama kamu menjalani terapi selama satu tahun ke depan. Saya yang bakal jagain kamu,” janji Jordy.

“Makasih, Pak Jordy,” sahut Mentari seraya tersenyum simpul.

“Sama-sama. Sebentar lagi Terry datang, percaya sama dia ya, Mentari?”

“Iya, Pak.”

. . .

Lima belas menit berselang, sosok yang sejak tadi dinantikan Jordy maupun Mentari akhirnya muncul. Untungnya kali ini ia tak bersama dua perawat yang di mata Mentari seperti tukang jagal di pasar. Gara-gara mereka, pergelangan tangan Mentari kini bengkak dan memerah. Di setiap urat lipatan sikunya, terlihat bekas lebam karena sering disuntik. Mentari jadi terlihat seperti korban penganiayaan ketimbang pasien. Hampir di seluruh lengan dan lipatan sikunya penuh dengan lebam-lebam.

“Ri, ini...kenapa?” Terry tertegun melihat lengan Mentari yang tampak membiru. Warnanya yang biru keunguan, membuat Terry teringat pada bekas suntikan Kirana sewaktu ia masih hidup.

“Selalu kayak gini ya symptomps-nya?” Terry mengambil buku catatannya. Mentari mengangguk. “Kalau saya pencet gini, sakit?” tanya Terry memastikan.

“Nggak, Ter. Tapi nggak tau kenapa pengen nangis aja liatnya.”

“Oke.”

Terry beranjak mengitari Mentari, mengecek setiap jengkal tangan Mentari, memastikan apakah ada tanda-tanda lainnya yang muncul setiap kali personality kedua Mentari keluar.

“Kamu masih gak inget apapun soal kejadian tadi?”

Mentari menggeleng. “Oke.”

“Tentang Aidan?” lanjut Terry.

“Aidan...anak Pak Jordy? Aku ingetnya, dia suka dibacain dongeng Humpty-Dumpty. Dia juga suka dinyanyikan lullaby You Are My Sunshine.”

Jordy dan Terry sontak saling tatap-tatapan. Sesuai seperti diagnosa Terry, jika personality-nya makin berkuasa, maka lama-lama, memori tentang personality baru itulah yang akan terekam oleh otak Mentari.

“Jor,” senggol Terry. Jordy mengangguk.

“Oke, kalau Jordy, apa yang kamu inget tentang this big guy right here?”

Mentari sempat terdiam beberapa saat kala ia harus menjawab pertanyaan dari Terry. Atensinya memang tepat tertuju pada sang atasan, namun entah mengapa otaknya mendadak buntu, lidahnya pun terasa kelu saat akan menjawab. Ia mengumpulkan seluruh sisa tenaganya untuk kembali fokus pada pertanyaan Terry.

“Pak Jordy... bos saya,” jawab Mentari. Kali ini Jordy dan Terry saling berpandang heran, berbeda dari sebelumnya, keduanya saling yakin bahwa Mentari memang sedang dikuasai oleh personality-nya.

“Anniversary saya, tanggal berapa?” Terry kontan menengok saat Jordy menanyakan pertanyaan tak terduga.

“Hah? Pak, jangan bercanda lah. Saya mana tau.” Respon yang Mentari tunjukkan sontak mengejutkan Jordy. Ia tak menyangka jika jawaban itu dilontarkan oleh perempuan yang beberapa menit lalu meraung, mengaku dirinya adalah ibu dari putranya. Dari sini, Jordy semakin meyakini jika diagnosa Terry benar. Mentari benar-benar sakit. Dan sesuai janjinya pada Mentari, Jordy akan mendampingi perempuan itu, setidaknya sampai satu tahun ke depan.

“Lo aneh-aneh aja, Jor. Ngapain lo nanyain kayak gituan sama Mentari?” cetus Terry, tertawa mengejek.

“Tadi dia tau tanggal anniv gue sama Kirana,” beritahu Jordy, setengah berbisik dengan air muka serius.

Terry mengernyitkan dahi, “Hah? Seriusan?”

Jordy mengangguk. “Kalo gak, ngapain gue tanya.”

“Bener, kamu nggak ingat?” tanya Jordy sekali lagi, berusaha meyakinkan Terry.

“Saya bukan siapa-siapanya Bapak, saya nggak tau, Pak,” jawab Mentari penuh keyakinan. Perempuan itu lalu balas bertanya, “Emang saya tadi bilang apa, Pak?”

Jordy menggeleng, tetapi Terry memberikan jawaban, seperti juru bicara lelaki itu. “Ri, tadi kamu nyebutin tanggal anniv Kirana dan Jordy. Sepuluh Oktober.”

“Saya mau peluk Aidan!”

Tepat ketika Jordy tiba di ruang perawatan Mentari, pria itu menemukan Mentari telah melepas semua alat-alat yang terpasang di tubuhnya. Mentari berdiri di sisi kasurnya dengan rambut yang acak-acakan, matanya sembab. Namun sorot mata yang penuh amarah itu terhunus tepat pada Jordy.

“Aidan. Saya mau ketemu Aidan!” Ia menepuk keras kasurnya. “Aidan!” katanya dengan nada m tinggi, sedikit membentak Jordy.

“Kamu tega misahin saya dari Idan!” pelotot Mentari. Jordy yang berdiri di depannya cukup terkejut mendapati amarah Mentari yang tak terkontrol. Lelaki itu reflek memundurkan tubuhnya, menghindari Mentari yang ia takutkan akan menyerangnya tiba-tiba.

“Mentari, tenang. Jangan kayak gini.” Masih dari jarak yang agak jauh, Jordy membujuk wanita itu. Alih-alih berhasil, Mentari malah menangis tersedu-sedu. Ia tersungkur di depan ranjangnya sambil beberapa kali menyebut nama Aidan.

“Idan...” lirihnya pelan, lalu menggumamkan lagu lullaby favorit Aidan, 'you are my sunshine.'

“M-mentari, bisa berhenti nyanyi lagu itu nggak?” tanya Jordy, namun sialnya, Mentari menghardik permintaan Jordy. Ia terus melantunkan You Are My Sunshine, bahkan lebih keras dari sebelumnya.

“Mentari!” seru Jordy dengan harap perempuan itu menghentikan nyanyiannya.

“Saya cuma kangen sama Idan, Ody. Idan selalu datang kalau saya nyanyi lagu ini... Anak saya.. Anak kita kamu kemanain...” Ia menangis lagi. Jordy makin kewalahan saat tangis Mentari pecah, pasalnya suara tangis Mentari cukup membuatnya bergidik. Penuh rintihan dan menakutkan.

“Mentari, tenang dulu. Saya nggak ngerti kenapa kamu terus-terusan bilang Aidan anak kamu, tapi yang perlu saya perjelas di sini adalah, kita bukan suami istri. Kita nggak menikah. Jadi stop geret anak saya. Aidan bukan anak kamu.”

“Aidan anak saya!” Mentari membentak Jordy, dengan sorot mata penuh kecam.

“Oke... oke... Aidan boleh jadi anak kamu, tapi saya minta jangan usik Aidan. Cukup liat dia dari jauh. Don't ever lay your hand on him.”

“Why?” balas Mentari. “He's my son,” sahutnya. “He needs his mom.”

Jordy tertegun mendengar fasehnya Mentari dalam berbahasa inggris. Sepengetahuannya, Mentari pernah bilang kalau kemampuan bahasa Inggrisnya di bawah rata-rata. Ia juga pernah tak sengaja mendengar Mentari membacakan dongeng favorit Aidan—Humpty Dumpty. Dan memang benar, aksen bicara Mentari kala itu terdengar seperti orang Indonesia yang baru belajar bahasa Inggris, berbeda dengan yang ia dengar saat ini—Australian-English, logat kental almarhumah Kirana ketika ia berbicara bahasa Inggris. Dan hal itu membuat Jordy memanfaatkan momen untuk mengetahui personality Mentari yang lain, “May I know who are you?”

“You didn't know me well, huh?” balas Mentari cepat, seringai senyum yang ia perlihatkan pada Jordy cukup menekan lelaki itu. “How could you forget me that fast? Ten years was nothing for you?” Perempuan itu mendekati Jordy.

Sepuluh tahun adalah waktu Jordy dan Kirana saling mengenal. Tujuh tahun pacaran, dan tiga tahun menikah. Dari mana Mentari tahu soal ini?

“You asked me to stay with you, didn't you? So I did. I am here. I keep my promise, unlike you.” Perempuan itu menunjuk-nunjuk dada Jordy dengan telunjuknya.

“Saya nggak pernah bilang apa-apa sama kamu, Mentari. Jangan sembarang bicara,” sahut Jordy.

“Ya, kamu mungkin lupa, Ody. Perlu saya ingatkan kembali?” tanyanya.

“Nggak perlu!” tukas Jordy cepat.

“Well... Saya gak sangka, secepat itu kamu melupakan saya.”

Jordy mengernyitkan alis, bingung. “Mentari, saya tegaskan sekali lagi, kita tidak menikah—”

“Sepuluh Oktober,” sela Mentari. “That's our anniversary date.”

Keringat dingin mulai membasahi dahi Jordy saat Mentari menyebutkan tanggal pernikahannya dengan Kirana. Ia frustasi, tak lagi terlintas dalam pikirnya kalau Mentari sedang sakit. Persetan dengan semua sikap impulsif dan halusinatif yang Mentari tunjukkan. Jordy berada dalam titik terendahnya saat ini. Aidan yang terancam bahaya karena ulah Mentari, juga perempuan itu yang tiada henti membuatnya ketakutan.

“Denger Mentari, saya nggak peduli kamu mau menganggap saya seperti apa, tapi saya minta jangan dekati Aidan. Dia bukan anak kamu, itu yang perlu kamu tau dan sadari.”

“Kalau gitu yang kamu mau, terpaksa saya akan terus ada di sisi ini. I won't let this girl back.”

“What?” Jordy memandangnya heran. “Maksud kamu apa—” Namun sebelum sempat perempuan itu memberikan jawaban, Mentari kembali tak sadarkan diri. Ia jatuh tepat di peluk Jordy.

“Mentari!” Jordy menepuk pelan pipi perempuan itu. “Mentari, bangun,” katanya sekali lagi, tetapi perempuan itu tak memberi respon apapun, kecuali suhu tubuhnya yang kembali sedingin lemari es.